Thursday, 23 October 2025

Ketakutan Kolektif: Siapa Sebenarnya yang Menciptakan Rasa Takut pada Setan? Agama, Budaya, atau Film Horor?

        Banyak orang, sejak kecil hingga usia lanjut, pernah merasakan takut pada bayangan atau cerita tentang setan. Ketika lampu padam, terdengar suara aneh di malam hari, atau melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya, rasa takut itu bisa tiba-tiba muncul. Mengapa demikian?

Ilustrasi ketakutan pada sesuatu yang tak jelas.
(Sumber: foto grup)

 1. Rasa Takut Adalah Mekanisme Alami

Tubuh manusia diciptakan dengan sistem perlindungan. Otak kita, terutama bagian yang bernama amigdala, bekerja seperti alarm. Jika ada sesuatu yang dianggap berbahaya—misalnya bentuk wajah yang aneh, suara misterius, atau bayangan gelap—alarm itu berbunyi. Hasilnya, jantung berdegup lebih cepat, bulu kuduk berdiri, dan tubuh bersiap melarikan diri. Jadi, rasa takut pada “wujud setan” sebenarnya adalah cara alami tubuh menjaga kita tetap waspada.

2. Bayangan dari Ingatan dan Sugesti

Sejak kecil, kita sering mendengar cerita tentang setan: dari orang tua, dongeng, film, atau tetangga. Cerita itu melekat dalam ingatan. Saat berada di tempat gelap atau sunyi, otak kita memunculkan kembali gambaran itu. Bayangan imajinasi bercampur dengan rasa cemas, lalu muncullah perasaan takut.

3. Simbol dari Kegelapan Jiwa

Dalam agama, setan dikenal sebagai musuh manusia. Ia menggoda dengan bisikan halus, menjerumuskan pada dosa, dan menjauhkan dari jalan kebaikan. Karena itu, perwujudan setan sering digambarkan menakutkan. Takut kepada setan, pada dasarnya, adalah refleksi dari rasa waspada terhadap keburukan yang bisa merusak hati dan jiwa kita.

4. Mengubah Takut Menjadi Kesadaran

Bagi orang beriman, rasa takut pada setan tidak perlu dihindari, melainkan diarahkan. Takut itu bisa menjadi pengingat untuk lebih dekat kepada Tuhan, memperbanyak doa, dan menjaga diri dari perbuatan salah. Dengan begitu, setan bukan lagi sekadar bayangan menakutkan, tetapi sebuah tanda agar kita lebih waspada pada bisikan buruk dalam diri.

Penutup:

Takut pada setan adalah hal yang manusiawi. Itu bagian dari fitrah kita untuk selalu waspada terhadap bahaya, baik bahaya yang nyata maupun yang berupa bisikan batin. Namun, jangan biarkan rasa takut itu menguasai hidup. Ingatlah bahwa setan hanya bisa menggoda, tidak bisa memaksa. Ketenangan hati, doa, dan kedekatan dengan Tuhan adalah cahaya yang membuat bayangan setan memudar.


 Artikel lain yang Menarik:





Sumber :

  1. Al-Qur’an

    • QS. Fāṭir: 6 → “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh...”

    • QS. Al-A‘rāf: 27 → tentang setan yang melihat manusia dari arah yang tak terlihat.

    • QS. An-Nās: 4–6 → tentang bisikan setan ke dalam dada manusia.

  2. Hadis

    • HR. Bukhari & Muslim: “Sesungguhnya setan berjalan pada anak Adam melalui aliran darah.”

Sumber Psikologi & Neurosains

  1. LeDoux, J. (1996). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. New York: Simon & Schuster. 

  2. Ohman, A., & Mineka, S. (2001). Fears, phobias, and preparedness: Toward an evolved module of fear and fear learning. Psychological Review, 108(3), 483–522.
     

  3. Freud, S. (1923). The Ego and the Id. Vienna: Internationaler Psychoanalytischer Verlag.
     

  4. Jung, C. G. (1969). The Archetypes and the Collective Unconscious. Princeton University Press.
     

Sumber Budaya & Antropologi

  1. Eliade, M. (1964). Shamanism: Archaic Techniques of Ecstasy. Princeton University Press.
     

  2. Davies, O. (2007). The Haunted: A Social History of Ghosts. Palgrave Macmillan.
     



Tuesday, 21 October 2025

GEGER! Dokter Terbaik DUNIA Sudah Dampingi, Kenapa Tokoh Penting INI Tetap Tak Tertolong?

Rahasia di Balik Batas Medis dan Penuaan yang Tak Bisa Dilawan

       Meski memiliki dokter pribadi terbaik dan fasilitas medis canggih, banyak tokoh penting dunia tetap tak tertolong di usia lanjut. Mengapa hal itu terjadi? Artikel ini mengulas penyebab ilmiah, contoh nyata, dan makna reflektif di balik batas kemampuan manusia.

Ilustrasi tokoh penting tidak tertolong meskipun dokter terbaik mendampingi.
(Sumber: image ai)

Teknologi Medis Hebat, Tapi Tubuh Manusia Punya Batas

Kita sering berpikir: “Kalau saja ada dokter terbaik dan alat tercanggih, pasti bisa diselamatkan.”
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Tubuh manusia memiliki batas biologis alami.

Seiring usia, sel-sel kehilangan kemampuan regenerasi. Jantung, ginjal, paru, dan otak menjadi rapuh.
Ketika serangan jantung atau stroke datang, bahkan tim dokter presiden pun sering tak mampu menghentikan kerusakan yang sudah terlalu dalam.

Penyakit Kronis yang Saling Memperberat

Tokoh lansia sering memiliki kombinasi penyakit berat — diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.
Ketika satu organ terganggu, organ lain ikut melemah.
Dokter menghadapi dilema: obat untuk jantung bisa memperburuk ginjal, obat untuk ginjal bisa menekan tekanan darah berlebihan.

Itulah sebabnya, meskipun pengobatan intensif diberikan, tubuh tidak lagi mampu menanggung beban terapi kompleks.

The Lancet Healthy Longevity (2021) mencatat lebih dari 60% lansia di atas 70 tahun memiliki dua penyakit kronis atau lebih.

Sistem Tubuh yang Melambat

Pada usia lanjut, respon tubuh menjadi lamban.
Sistem imun tidak cepat bereaksi terhadap infeksi, dan sistem saraf tidak secepat dulu dalam mengirim sinyal.
Ketika terjadi keadaan darurat medis, seperti serangan jantung mendadak, “waktu emas” (golden time) untuk penyelamatan sangat pendek — terkadang hanya beberapa menit.

Bahkan dengan alat canggih dan dokter terbaik, tidak ada waktu cukup untuk membalikkan kerusakan yang terjadi.

Usia Biologis: Batas Tak Terhindarkan

Studi Nature Communications (2021) menunjukkan bahwa usia biologis manusia memiliki batas alami sekitar 120–125 tahun.
Setelah itu, sistem tubuh kehilangan kemampuan mempertahankan keseimbangan hidup (homeostasis).
Artinya, kematian bukan kegagalan medis, melainkan bagian dari desain biologis alamiah.

Saat Semua Organ Menyerah: Gagal Organ Ganda

Pada titik tertentu, penyakit kronis menyebabkan multiple organ failure — jantung melemah, paru tidak bisa bernapas, ginjal berhenti menyaring racun, dan otak kehilangan kesadaran.
Kondisi ini disebut “fase terminal”, di mana pengobatan tidak lagi menyembuhkan, hanya mempertahankan sementara.
Banyak tokoh dunia berpulang dalam fase ini.

Contoh Tokoh Lansia yang Tidak Tertolong Meski Dalam Perawatan Intensif

1. Presiden Soeharto (1921–2008)

Dirawat intensif di RSPP dengan pengawasan dokter terbaik dan teknologi modern. Namun tubuh beliau mengalami multi-organ failure — gabungan gangguan jantung, ginjal, dan pencernaan.

2. BJ Habibie (1936–2019)

Perawatan intensif dilakukan di RSPAD Gatot Subroto. Namun, ia mengalami gagal jantung nonkoroner akibat kelemahan otot jantung alami.

3. Ratu Elizabeth II (1926–2022)

Dalam pengawasan Royal Medical Household, salah satu tim medis terbaik di dunia.
Namun, meninggal secara damai karena usia tua dan penurunan fungsi tubuh alami.

4. Nelson Mandela (1918–2013)

Dirawat di Pretoria, Afrika Selatan. Namun infeksi paru kronis yang berulang tidak lagi mampu dilawan tubuh lansia.

5. George H. W. Bush (1924–2018)

Presiden Amerika Serikat ke-41 ini dirawat dengan fasilitas terbaik di Houston, namun akhirnya meninggal akibat Parkinsonisme vaskular dan komplikasi paru.

Refleksi: Kematian Bukan Kekalahan Medis

Kematian tokoh-tokoh besar dunia menjadi pengingat bahwa ilmu kedokteran dapat memperpanjang hidup, namun tidak dapat meniadakan ajal.
Tubuh manusia dirancang untuk menua, melemah, lalu berhenti.
Menerima kenyataan itu bukan tanda putus asa, melainkan bentuk kearifan biologis dan spiritual.

“Hidup yang panjang bukan tentang berapa lama kita bernapas,
tetapi seberapa dalam kita memberi makna.”


Artikel Pilihan:



Sumber:  

  1. National Institute on Aging. Biology of Aging: Research Today for a Healthier Tomorrow. U.S. Department of Health & Human Services, 2022.

  2. The Lancet Healthy Longevity. Patterns of Multimorbidity in Older Adults. Vol. 2, Issue 8, 2021.

  3. Nature Communications. Limits to Human Lifespan: Insights from Molecular Aging Studies. Vol. 12, 2021.

  4. Kompas.com. Presiden Soeharto Tutup Usia di RSPP Jakarta. 27 Januari 2008.

  5. DetikHealth. BJ Habibie Meninggal Dunia karena Gagal Jantung Nonkoroner. 12 September 2019.

  6. BBC News. Queen Elizabeth II Dies at 96: Cause of Death Revealed as Old Age. 9 September 2022.

  7. CNN Health. Nelson Mandela Dies After Long Battle with Lung Infection. 6 Desember 2013.

  8. The Guardian. George H. W. Bush Dies Aged 94 after Long Illness. 1 Desember 2018.


 


Sunday, 19 October 2025

Gigi Ompong Bisa Bikin Cepat Pikun? Ini Penjelasan Lengkap untuk Lansia

        Bagi banyak orang lanjut usia, kehilangan gigi sering dianggap hal yang “wajar karena sudah tua.” Namun, tahukah Anda bahwa gigi ompong bukan hanya urusan senyum atau penampilan, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan tubuh, daya ingat, dan kepercayaan diri?

Mari kita pahami bersama bagaimana prosesnya terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan sehari-hari.

Tidak ompong menjadi harapan lansia.
(Sumber: foto rekai) 

Mengapa Gigi Bisa Ompong di Usia Senja?

Seiring bertambahnya usia, tubuh kita mengalami banyak perubahan — begitu pula bagian mulut dan gigi. Gigi tidak hanya tertanam di gusi, tetapi juga ditopang oleh tulang rahang dan jaringan halus yang disebut ligamen periodontal.
Ketika usia menua, peredaran darah di gusi berkurang, tulang rahang menipis, dan jaringan penyangga gigi melemah. Semua itu membuat gigi menjadi longgar dan mudah tanggal.

Faktor lain yang mempercepat gigi ompong antara lain:

  • Penyakit gusi kronis (periodontitis) akibat penumpukan plak dan karang gigi.

  • Kekurangan nutrisi seperti kalsium, vitamin D, dan protein.

  • Kebiasaan merokok dan kebersihan mulut yang kurang baik.

  • Mulut kering (xerostomia) karena berkurangnya air liur, terutama akibat obat-obatan dan penuaan alami.

Jika satu gigi tanggal dan tidak segera diganti, gigi di sekitarnya akan bergeser, dan tulang rahang terus menyusut. Lama-lama, wajah bisa tampak lebih tua dan cekung.

Dampak Gigi Ompong bagi Kehidupan Lansia

1. Sulit Mengunyah dan Menelan

Lansia yang kehilangan gigi tidak bisa mengunyah makanan dengan baik. Akibatnya, makanan sering ditelan dalam potongan besar, membuat lambung bekerja lebih berat dan penyerapan gizi menurun.
Mereka biasanya memilih makanan lunak, sehingga asupan serat, vitamin, dan protein berkurang. Kondisi ini bisa berujung pada kelemahan otot, berat badan menurun, dan daya tahan tubuh melemah.

2. Pengaruh terhadap Daya Ingat dan Otak

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivitas mengunyah membantu merangsang aliran darah ke otak, terutama ke bagian hipokampus, yang berperan penting dalam memori.
Ketika gigi ompong dan aktivitas mengunyah berkurang, stimulasi otak juga menurun. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mempercepat penurunan kognitif bahkan risiko demensia.

Sebuah studi dalam Journal of Alzheimer’s Disease (Gao et al., 2023) menyebutkan bahwa lansia tanpa gigi memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami penurunan fungsi otak dibanding mereka yang masih memiliki gigi lengkap.

3. Gangguan Bicara dan Kepercayaan Diri

Gigi depan berperan besar dalam membentuk suara, seperti huruf “f”, “s”, atau “v”.
Ketika ompong, ucapan jadi tidak jelas. Banyak lansia menjadi malu bicara atau tersenyum, sehingga memilih diam dan menarik diri dari pergaulan.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan rasa sepi, minder, bahkan depresi ringan.

4. Perubahan Bentuk Wajah

Tanpa gigi, tulang rahang tidak mendapat tekanan gigitan yang biasa. Akibatnya tulang mengalami resorpsi (penyusutan).
Wajah tampak lebih cekung, pipi kendur, dan bibir masuk ke dalam.
Inilah sebabnya mengapa seseorang yang kehilangan banyak gigi sering terlihat lebih tua dari usianya — bukan karena umur, melainkan karena struktur wajah berubah.

5. Risiko Kesehatan Umum

Kehilangan gigi sering terkait dengan peradangan kronis di jaringan gusi.
Peradangan jangka panjang ini dapat memengaruhi pembuluh darah dan berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes.

Dengan kata lain, menjaga kesehatan gigi bukan hanya soal estetika, tapi bagian dari menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh.

Menjaga Senyum Sehat di Usia Emas

Berikut beberapa langkah sederhana agar gigi tetap sehat meski usia menua:

  1. Sikat gigi dua kali sehari dengan pasta gigi berfluorida.

  2. Bersihkan sela gigi dengan benang gigi atau sikat interdental.

  3. Perbanyak makanan kaya kalsium, vitamin D, dan protein.

  4. Hindari rokok dan minuman manis berlebih.

  5. Rutin periksa gigi tiap enam bulan.

  6. Bila gigi sudah ompong, gunakan gigi palsu atau implan agar fungsi mengunyah tetap terjaga dan bentuk wajah tidak berubah.









Sumber:

  1. American Dental Association (ADA). (2024). Aging and Oral Health: Maintaining Dental Wellness in Older Adults.

  2. World Health Organization (WHO). (2023). Oral Health in Older Adults. Geneva: WHO Press.

  3. Newman, M. G., Takei, H., Klokkevold, P. R., & Carranza, F. A. (2022). Carranza’s Clinical Periodontology (13th ed.). Elsevier.

  4. Gao, S., et al. (2023). “Tooth Loss, Mastication, and Cognitive Decline in Older Adults.” Journal of Alzheimer’s Disease, 95(2), 421–431.

  5. Petersen, P. E., & Ogawa, H. (2022). “Promoting Oral Health and Quality of Life in Aging Populations.” Gerodontology, 39(1), 15–25.