Thursday, 30 October 2025

Stop Anggap Remeh! Bukan Malas, Tapi 5 Faktor Mengejutkan Ini yang Bikin Lansia 'Kelelahan' Beraktivitas!

        Banyak orang tua yang dulu rajin beraktivitas, kini tampak enggan bergerak atau menolak melakukan kegiatan rutin, meskipun kegiatan itu jelas baik untuk kesehatannya. Mengapa hal ini terjadi? Apakah sekadar “malas”? Ternyata tidak sesederhana itu, berikut faktor penyebabnya.

Ilustrasi- lansia-yang-merasa-malas-berolahraga.
(Sumber: image ai)

1. Perubahan Otak Mengurangi Semangat

Seiring bertambahnya usia, otak mengalami penurunan hormon dopamin — zat yang membuat kita merasa bersemangat dan termotivasi. Akibatnya, kegiatan sederhana seperti jalan pagi, senam, atau membaca terasa tidak menarik lagi.
Selain itu, beberapa lansia juga mengalami penurunan fungsi kognitif yang membuat otak cepat lelah, sehingga lebih suka duduk diam daripada melakukan hal baru. 

2. Faktor Emosional dan Psikologis

Perasaan kesepian, kehilangan pasangan, atau merasa tidak berguna setelah pensiun bisa menurunkan minat melakukan apa pun.
Dalam banyak kasus, apa yang tampak seperti “malas” sebenarnya adalah gejala depresi ringan. Lansia mungkin tidak menangis atau murung, tapi kehilangan minat terhadap kegiatan yang dulu disukai.

Tanda-tandanya:

  • Tidak tertarik melakukan aktivitas rutin

  • Tidur terlalu lama atau sebaliknya sulit tidur

  • Tidak bersemangat makan

  • Lebih suka menyendiri

3. Kondisi Fisik yang Melemah

Tubuh lansia cenderung mengalami penurunan massa otot dan energi, sehingga aktivitas kecil pun terasa melelahkan.
Nyeri sendi, gangguan keseimbangan, hingga masalah pernapasan juga bisa membuat lansia memilih untuk “tidak melakukan apa-apa”.

Masalah lain seperti anemia, diabetes, atau gangguan tiroid bisa menyebabkan rasa lemas terus-menerus yang disalahartikan sebagai kemalasan.

4. Kurangnya Dukungan Sosial dan Lingkungan

Lansia yang hidup sendiri atau jarang berinteraksi sosial lebih berisiko kehilangan motivasi.
Kegiatan yang dulu menyenangkan, seperti berjalan ke taman, menjadi membosankan jika dilakukan sendirian.
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung — seperti rumah sempit, cuaca panas, atau minim fasilitas — juga memperkuat rasa enggan beraktivitas.

5. Cara Mengembalikan Semangat Lansia

Agar lansia kembali bersemangat menjalani kegiatan rutin, kuncinya adalah membangun makna dan suasana positif.

Berikut beberapa tips yang efektif:

  1. Ciptakan kegiatan bermakna: Misalnya berkebun, memasak untuk keluarga, atau merawat hewan peliharaan.

  2. Lakukan bersama orang lain: Aktivitas sosial meningkatkan hormon bahagia (endorfin) dan menurunkan risiko depresi.

  3. Mulai dari hal kecil: Jalan kaki 5–10 menit per hari sudah cukup untuk membentuk kebiasaan baru.

  4. Gunakan suasana menyenangkan: Putar musik favorit, lakukan di tempat terbuka, atau sambil bercerita dengan cucu.

  5. Rutin cek kesehatan: Jika lansia tampak terus-menerus lemas, periksa kadar gula darah, tekanan darah, dan kondisi tiroid.

  6. Berikan pujian atau penghargaan kecil: Dukungan emosional jauh lebih efektif daripada sekadar “menyuruh bergerak”.

Kesimpulan

Lansia bukan malas, mereka hanya sedang menghadapi perubahan besar dalam tubuh, pikiran, dan perasaan.
Dengan dukungan keluarga, suasana yang positif, serta kegiatan yang penuh makna, semangat lansia bisa kembali tumbuh.
Ingat, gerak kecil hari ini adalah langkah besar untuk kesehatan di usia senja.



 Sumber:

  • Santrock, J. W. (2019). Life-Span Development. McGraw-Hill Education.

  • WHO. (2020). Ageing and Health.

  • National Institute on Aging. (2023). Depression and Older Adults.

  • Harvard Health Publishing. (2022). How to Stay Motivated as You Age.

  • Mayo Clinic. (2021). Senior Health: Tips for Staying Active.

Tuesday, 28 October 2025

Mengapa Kita Jadi Lebih Bijak (atau Keras Kepala) Saat Tua?

        Pernahkah Anda memperhatikan bahwa seseorang yang dulunya keras kepala kini menjadi lembut di usia tua? Atau sebaliknya, orang yang dulu periang kini tampak mudah marah dan sensitif? Perubahan semacam ini bukan kebetulan — karena karakter manusia memang bisa berubah seiring bertambahnya usia.

Karakter-seorang-dapat-berubah-seiring-bertambah-usia.
(Sumber: foto- grup)

1. Karakter Itu Tidak Kaku

Banyak orang mengira karakter seseorang sudah terbentuk sejak muda dan tidak bisa diubah. Faktanya, karakter adalah hasil dari proses panjang — gabungan antara kepribadian bawaan, pengalaman hidup, dan nilai-nilai moral yang terus berkembang.

Seiring waktu, manusia belajar dari kegagalan, kehilangan, dan kebahagiaan. Dari situlah karakter terbentuk ulang. Itulah sebabnya lansia sering lebih bijak dan sabar dibanding masa mudanya.

2. Ilmu Psikologi Menjelaskan Perubahan Ini

Penelitian jangka panjang seperti Baltimore Longitudinal Study of Aging menemukan bahwa lima dimensi utama kepribadian manusia berubah seiring usia:

Aspek KepribadianPerubahan Umum Saat Menua
Kecemasan & Emosi (Neurotisisme)Berkurang — lansia lebih tenang
Sifat Ramah & Pemaaf (Agreeableness)Meningkat — lebih sabar & toleran
Kedisiplinan (Conscientiousness)Meningkat — lebih berhati-hati & tanggung jawab
Keterbukaan (Openness)Sedikit menurun — lebih menyukai kestabilan
Ekstraversi (Keterbukaan sosial)Cenderung menurun — lebih selektif dalam pergaulan

Perubahan ini bukan tanda melemah, melainkan bukti bahwa manusia terus berevolusi secara psikologis.

3. Pengalaman Hidup Mengubah Cara Pandang

Lansia telah melalui banyak fase kehidupan: bekerja keras, membesarkan anak, menghadapi kehilangan, dan menikmati masa pensiun. Semua pengalaman itu mengubah cara mereka memandang dunia.

Beberapa faktor yang paling memengaruhi perubahan karakter antara muda dan lansia adalah:

  • Pengalaman kehilangan: mengajarkan arti ketenangan dan penerimaan.

  • Spiritualitas: membuat seseorang lebih reflektif dan damai.

  • Penurunan peran sosial: menggeser fokus dari pencapaian ke hubungan yang bermakna.

  • Perubahan biologis otak: bagian otak pengatur emosi bekerja lebih stabil, membuat lansia tidak mudah meledak-ledak.

4. Tidak Semua Perubahan ke Arah Positif

Meski banyak lansia menjadi lebih lembut dan sabar, ada juga yang berubah sebaliknya. Rasa kesepian, kehilangan harga diri setelah pensiun, atau penyakit kronis dapat membuat sebagian orang lebih mudah tersinggung atau tertutup.

Itulah mengapa dukungan sosial dan kasih sayang keluarga sangat penting. Lansia yang merasa dihargai dan didengar cenderung mempertahankan karakter positifnya.

5. Dari Ambisi ke Kebijaksanaan

Secara umum, pola perubahan karakter bisa digambarkan seperti ini:

Tahap UsiaCiri Dominan Karakter
Muda (20–40 th)Penuh ambisi, berani, ingin diakui
Dewasa tengah (40–60 th)Lebih seimbang, mulai reflektif
Lansia (>60 th)Tenang, bijak, mencari makna hidup

Pada tahap akhir kehidupan, banyak orang lebih fokus pada makna, bukan lagi pada pencapaian. Mereka lebih sering merenung, memaafkan, dan berbagi pengalaman hidup kepada generasi muda.

Kesimpulan: Karakter Lansia Adalah Hasil Dari Kehidupan Itu Sendiri

Karakter seseorang memang bisa berubah — dan usia tua bukan akhir dari perkembangan diri, justru puncak dari perjalanan batin manusia.
Lansia yang bahagia biasanya bukan karena tidak punya masalah, tetapi karena telah belajar berdamai dengan kehidupan.


Artikel lain yang Menarik:



 Sumber:

  1. Costa, P. T., & McCrae, R. R. (2006). Personality in adulthood: A five-factor theory perspective.

  2. Baltimore Longitudinal Study of Aging (BLSA). National Institute on Aging.

  3. Freund, A. M., & Baltes, P. B. (2002). Life-management strategies of selection, optimization, and compensation: Measurement by self-report and construct validity.

  4. Carstensen, L. L. (1999). Socioemotional selectivity theory: The social and emotional life of the elderly.

Sunday, 26 October 2025

FAKTA MEDIS: Mengapa Terlalu Cepat Bergerak Adalah Pembunuh Senyap Bagi Lansia.

        Pada masa lanjut usia, tubuh mengalami banyak perubahan alami: otot melemah, tulang menjadi lebih rapuh, daya ingat menurun, dan reaksi tubuh melambat. Karena itu, tindakan yang terburu-buru justru bisa membawa risiko yang lebih besar bagi kesehatan lansia.

                                     
Ilustrasi lansia yang terburu-buru.
(Sumber: image ai)

1. Risiko Jatuh dan Cedera

Banyak lansia mengalami masalah keseimbangan dan kelenturan sendi. Ketika bergerak terburu-buru—misalnya bangun dari duduk, berjalan cepat, atau menyeberang jalan tanpa perhitungan—risiko jatuh meningkat tajam. Akibat jatuh pada lansia bisa serius, seperti patah tulang panggul atau pergelangan, yang sering kali memerlukan waktu lama untuk pulih. Bahkan, pada sebagian kasus, cedera akibat jatuh bisa menurunkan kemandirian hidup.

2. Tekanan pada Jantung

Tindakan tergesa-gesa membuat tubuh memicu respons stres. Denyut jantung meningkat, tekanan darah naik, dan pernapasan menjadi lebih cepat. Bagi lansia yang memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung, atau stroke, kondisi ini sangat berisiko karena dapat memicu serangan jantung atau stroke mendadak.

3. Gangguan Pencernaan

Kebiasaan makan terburu-buru juga sering dilakukan tanpa disadari. Bagi lansia, hal ini dapat berakibat pada masalah serius seperti tersedak, kembung, atau naiknya asam lambung. Sistem pencernaan yang sudah melambat di usia lanjut membutuhkan ritme makan yang lebih tenang dan teratur agar makanan dapat dicerna dengan baik.

4. Beban Mental dan Emosional

Bertindak tergesa-gesa biasanya tidak lepas dari rasa cemas atau gelisah. Lansia yang hidup dalam tekanan semacam ini berpotensi mengalami stres kronis, yang pada akhirnya dapat memengaruhi daya ingat, kualitas tidur, dan kesehatan otak. Rasa tidak sabar dan mudah marah juga bisa membuat suasana hati mereka memburuk.

5. Menurunnya Kualitas Hidup

Kehidupan di usia lanjut seharusnya dijalani dengan lebih tenang, perlahan, dan penuh kesadaran. Jika lansia terbiasa terburu-buru, mereka cenderung kehilangan kesempatan untuk menikmati aktivitas sehari-hari. Padahal, ritme hidup yang lebih pelan justru dapat menjaga kesehatan fisik sekaligus membawa ketenangan batin.

Tips Praktis Mengurangi Kebiasaan Terburu-buru pada Lansia

  1. Bangun dan Bergerak Perlahan
    Biasakan untuk tidak langsung berdiri dari posisi duduk atau berbaring. Ambil jeda beberapa detik agar tubuh beradaptasi, lalu bergerak perlahan.

  2. Atur Waktu Lebih Longgar
    Beri waktu tambahan dalam aktivitas sehari-hari. Misalnya, jika ada janji pukul 9 pagi, mulailah bersiap satu jam lebih awal agar tidak merasa tergesa-gesa.

  3. Latihan Pernapasan dan Relaksasi
    Lakukan pernapasan dalam atau meditasi ringan setiap hari. Cara sederhana ini membantu menurunkan kecemasan dan menstabilkan detak jantung.

  4. Makan dengan Kesadaran (Mindful Eating)
    Kunyah makanan perlahan, nikmati rasa, dan hindari makan sambil tergesa. Selain baik untuk pencernaan, hal ini juga memberikan rasa tenang.

  5. Gunakan Alat Bantu Jika Diperlukan
    Tongkat, pegangan di kamar mandi, atau alas kaki yang nyaman bisa mengurangi risiko jatuh ketika bergerak terburu-buru.

  6. Buat Rutinitas Harian yang Tenang
    Menyusun jadwal harian yang tetap dapat membantu lansia menjalani aktivitas dengan ritme teratur tanpa terburu-buru.

Kesimpulan

Lansia yang terburu-buru rentan terhadap cedera fisik, tekanan pada jantung, gangguan pencernaan, stres mental, serta menurunnya kualitas hidup. Dengan membangun kebiasaan hidup yang lebih tenang melalui langkah-langkah sederhana—seperti bergerak perlahan, mengatur waktu, dan melatih pernapasan—lansia dapat menjaga kesehatan tubuh sekaligus menikmati masa tua dengan lebih damai dan bermakna.


Artikel lain yang Menarik:


Artikel Inspirasi Lansia:




Sumber:

1. American Heart Association. (2021). Stress and Heart Health. 
   Diakses dari  https://www.heart.orgCenters for Disease Control and Prevention (CDC). (2020). 

2.National Institute on Aging. (2022). Healthy Eating for Older Adults. National Institutes of Health.

3. WHO. (2015). World Report on Ageing and Health. World Health Organization.

4. Yeo, S. S., & Lim, C. G. (2016). Stress and aging: Biological and psychological implications. Journal of Geriatric Psychiatry, 29(4), 345–356.


Thursday, 23 October 2025

Ketakutan Kolektif: Siapa Sebenarnya yang Menciptakan Rasa Takut pada Setan? Agama, Budaya, atau Film Horor?

        Banyak orang, sejak kecil hingga usia lanjut, pernah merasakan takut pada bayangan atau cerita tentang setan. Ketika lampu padam, terdengar suara aneh di malam hari, atau melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya, rasa takut itu bisa tiba-tiba muncul. Mengapa demikian?

Ilustrasi ketakutan pada sesuatu yang tak jelas.
(Sumber: foto grup)

 1. Rasa Takut Adalah Mekanisme Alami

Tubuh manusia diciptakan dengan sistem perlindungan. Otak kita, terutama bagian yang bernama amigdala, bekerja seperti alarm. Jika ada sesuatu yang dianggap berbahaya—misalnya bentuk wajah yang aneh, suara misterius, atau bayangan gelap—alarm itu berbunyi. Hasilnya, jantung berdegup lebih cepat, bulu kuduk berdiri, dan tubuh bersiap melarikan diri. Jadi, rasa takut pada “wujud setan” sebenarnya adalah cara alami tubuh menjaga kita tetap waspada.

2. Bayangan dari Ingatan dan Sugesti

Sejak kecil, kita sering mendengar cerita tentang setan: dari orang tua, dongeng, film, atau tetangga. Cerita itu melekat dalam ingatan. Saat berada di tempat gelap atau sunyi, otak kita memunculkan kembali gambaran itu. Bayangan imajinasi bercampur dengan rasa cemas, lalu muncullah perasaan takut.

3. Simbol dari Kegelapan Jiwa

Dalam agama, setan dikenal sebagai musuh manusia. Ia menggoda dengan bisikan halus, menjerumuskan pada dosa, dan menjauhkan dari jalan kebaikan. Karena itu, perwujudan setan sering digambarkan menakutkan. Takut kepada setan, pada dasarnya, adalah refleksi dari rasa waspada terhadap keburukan yang bisa merusak hati dan jiwa kita.

4. Mengubah Takut Menjadi Kesadaran

Bagi orang beriman, rasa takut pada setan tidak perlu dihindari, melainkan diarahkan. Takut itu bisa menjadi pengingat untuk lebih dekat kepada Tuhan, memperbanyak doa, dan menjaga diri dari perbuatan salah. Dengan begitu, setan bukan lagi sekadar bayangan menakutkan, tetapi sebuah tanda agar kita lebih waspada pada bisikan buruk dalam diri.

Penutup:

Takut pada setan adalah hal yang manusiawi. Itu bagian dari fitrah kita untuk selalu waspada terhadap bahaya, baik bahaya yang nyata maupun yang berupa bisikan batin. Namun, jangan biarkan rasa takut itu menguasai hidup. Ingatlah bahwa setan hanya bisa menggoda, tidak bisa memaksa. Ketenangan hati, doa, dan kedekatan dengan Tuhan adalah cahaya yang membuat bayangan setan memudar.


 Artikel lain yang Menarik:





Sumber :

  1. Al-Qur’an

    • QS. Fāṭir: 6 → “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh...”

    • QS. Al-A‘rāf: 27 → tentang setan yang melihat manusia dari arah yang tak terlihat.

    • QS. An-Nās: 4–6 → tentang bisikan setan ke dalam dada manusia.

  2. Hadis

    • HR. Bukhari & Muslim: “Sesungguhnya setan berjalan pada anak Adam melalui aliran darah.”

Sumber Psikologi & Neurosains

  1. LeDoux, J. (1996). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. New York: Simon & Schuster. 

  2. Ohman, A., & Mineka, S. (2001). Fears, phobias, and preparedness: Toward an evolved module of fear and fear learning. Psychological Review, 108(3), 483–522.
     

  3. Freud, S. (1923). The Ego and the Id. Vienna: Internationaler Psychoanalytischer Verlag.
     

  4. Jung, C. G. (1969). The Archetypes and the Collective Unconscious. Princeton University Press.
     

Sumber Budaya & Antropologi

  1. Eliade, M. (1964). Shamanism: Archaic Techniques of Ecstasy. Princeton University Press.
     

  2. Davies, O. (2007). The Haunted: A Social History of Ghosts. Palgrave Macmillan.
     



Tuesday, 21 October 2025

GEGER! Dokter Terbaik DUNIA Sudah Dampingi, Kenapa Tokoh Penting INI Tetap Tak Tertolong?

Rahasia di Balik Batas Medis dan Penuaan yang Tak Bisa Dilawan

       Meski memiliki dokter pribadi terbaik dan fasilitas medis canggih, banyak tokoh penting dunia tetap tak tertolong di usia lanjut. Mengapa hal itu terjadi? Artikel ini mengulas penyebab ilmiah, contoh nyata, dan makna reflektif di balik batas kemampuan manusia.

Ilustrasi tokoh penting tidak tertolong meskipun dokter terbaik mendampingi.
(Sumber: image ai)

Teknologi Medis Hebat, Tapi Tubuh Manusia Punya Batas

Kita sering berpikir: “Kalau saja ada dokter terbaik dan alat tercanggih, pasti bisa diselamatkan.”
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Tubuh manusia memiliki batas biologis alami.

Seiring usia, sel-sel kehilangan kemampuan regenerasi. Jantung, ginjal, paru, dan otak menjadi rapuh.
Ketika serangan jantung atau stroke datang, bahkan tim dokter presiden pun sering tak mampu menghentikan kerusakan yang sudah terlalu dalam.

Penyakit Kronis yang Saling Memperberat

Tokoh lansia sering memiliki kombinasi penyakit berat — diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.
Ketika satu organ terganggu, organ lain ikut melemah.
Dokter menghadapi dilema: obat untuk jantung bisa memperburuk ginjal, obat untuk ginjal bisa menekan tekanan darah berlebihan.

Itulah sebabnya, meskipun pengobatan intensif diberikan, tubuh tidak lagi mampu menanggung beban terapi kompleks.

The Lancet Healthy Longevity (2021) mencatat lebih dari 60% lansia di atas 70 tahun memiliki dua penyakit kronis atau lebih.

Sistem Tubuh yang Melambat

Pada usia lanjut, respon tubuh menjadi lamban.
Sistem imun tidak cepat bereaksi terhadap infeksi, dan sistem saraf tidak secepat dulu dalam mengirim sinyal.
Ketika terjadi keadaan darurat medis, seperti serangan jantung mendadak, “waktu emas” (golden time) untuk penyelamatan sangat pendek — terkadang hanya beberapa menit.

Bahkan dengan alat canggih dan dokter terbaik, tidak ada waktu cukup untuk membalikkan kerusakan yang terjadi.

Usia Biologis: Batas Tak Terhindarkan

Studi Nature Communications (2021) menunjukkan bahwa usia biologis manusia memiliki batas alami sekitar 120–125 tahun.
Setelah itu, sistem tubuh kehilangan kemampuan mempertahankan keseimbangan hidup (homeostasis).
Artinya, kematian bukan kegagalan medis, melainkan bagian dari desain biologis alamiah.

Saat Semua Organ Menyerah: Gagal Organ Ganda

Pada titik tertentu, penyakit kronis menyebabkan multiple organ failure — jantung melemah, paru tidak bisa bernapas, ginjal berhenti menyaring racun, dan otak kehilangan kesadaran.
Kondisi ini disebut “fase terminal”, di mana pengobatan tidak lagi menyembuhkan, hanya mempertahankan sementara.
Banyak tokoh dunia berpulang dalam fase ini.

Contoh Tokoh Lansia yang Tidak Tertolong Meski Dalam Perawatan Intensif

1. Presiden Soeharto (1921–2008)

Dirawat intensif di RSPP dengan pengawasan dokter terbaik dan teknologi modern. Namun tubuh beliau mengalami multi-organ failure — gabungan gangguan jantung, ginjal, dan pencernaan.

2. BJ Habibie (1936–2019)

Perawatan intensif dilakukan di RSPAD Gatot Subroto. Namun, ia mengalami gagal jantung nonkoroner akibat kelemahan otot jantung alami.

3. Ratu Elizabeth II (1926–2022)

Dalam pengawasan Royal Medical Household, salah satu tim medis terbaik di dunia.
Namun, meninggal secara damai karena usia tua dan penurunan fungsi tubuh alami.

4. Nelson Mandela (1918–2013)

Dirawat di Pretoria, Afrika Selatan. Namun infeksi paru kronis yang berulang tidak lagi mampu dilawan tubuh lansia.

5. George H. W. Bush (1924–2018)

Presiden Amerika Serikat ke-41 ini dirawat dengan fasilitas terbaik di Houston, namun akhirnya meninggal akibat Parkinsonisme vaskular dan komplikasi paru.

Refleksi: Kematian Bukan Kekalahan Medis

Kematian tokoh-tokoh besar dunia menjadi pengingat bahwa ilmu kedokteran dapat memperpanjang hidup, namun tidak dapat meniadakan ajal.
Tubuh manusia dirancang untuk menua, melemah, lalu berhenti.
Menerima kenyataan itu bukan tanda putus asa, melainkan bentuk kearifan biologis dan spiritual.

“Hidup yang panjang bukan tentang berapa lama kita bernapas,
tetapi seberapa dalam kita memberi makna.”


Artikel Pilihan:



Sumber:  

  1. National Institute on Aging. Biology of Aging: Research Today for a Healthier Tomorrow. U.S. Department of Health & Human Services, 2022.

  2. The Lancet Healthy Longevity. Patterns of Multimorbidity in Older Adults. Vol. 2, Issue 8, 2021.

  3. Nature Communications. Limits to Human Lifespan: Insights from Molecular Aging Studies. Vol. 12, 2021.

  4. Kompas.com. Presiden Soeharto Tutup Usia di RSPP Jakarta. 27 Januari 2008.

  5. DetikHealth. BJ Habibie Meninggal Dunia karena Gagal Jantung Nonkoroner. 12 September 2019.

  6. BBC News. Queen Elizabeth II Dies at 96: Cause of Death Revealed as Old Age. 9 September 2022.

  7. CNN Health. Nelson Mandela Dies After Long Battle with Lung Infection. 6 Desember 2013.

  8. The Guardian. George H. W. Bush Dies Aged 94 after Long Illness. 1 Desember 2018.


 


Sunday, 19 October 2025

Gigi Ompong Bisa Bikin Cepat Pikun? Ini Penjelasan Lengkap untuk Lansia

        Bagi banyak orang lanjut usia, kehilangan gigi sering dianggap hal yang “wajar karena sudah tua.” Namun, tahukah Anda bahwa gigi ompong bukan hanya urusan senyum atau penampilan, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan tubuh, daya ingat, dan kepercayaan diri?

Mari kita pahami bersama bagaimana prosesnya terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan sehari-hari.

Tidak ompong menjadi harapan lansia.
(Sumber: foto rekai) 

Mengapa Gigi Bisa Ompong di Usia Senja?

Seiring bertambahnya usia, tubuh kita mengalami banyak perubahan — begitu pula bagian mulut dan gigi. Gigi tidak hanya tertanam di gusi, tetapi juga ditopang oleh tulang rahang dan jaringan halus yang disebut ligamen periodontal.
Ketika usia menua, peredaran darah di gusi berkurang, tulang rahang menipis, dan jaringan penyangga gigi melemah. Semua itu membuat gigi menjadi longgar dan mudah tanggal.

Faktor lain yang mempercepat gigi ompong antara lain:

  • Penyakit gusi kronis (periodontitis) akibat penumpukan plak dan karang gigi.

  • Kekurangan nutrisi seperti kalsium, vitamin D, dan protein.

  • Kebiasaan merokok dan kebersihan mulut yang kurang baik.

  • Mulut kering (xerostomia) karena berkurangnya air liur, terutama akibat obat-obatan dan penuaan alami.

Jika satu gigi tanggal dan tidak segera diganti, gigi di sekitarnya akan bergeser, dan tulang rahang terus menyusut. Lama-lama, wajah bisa tampak lebih tua dan cekung.

Dampak Gigi Ompong bagi Kehidupan Lansia

1. Sulit Mengunyah dan Menelan

Lansia yang kehilangan gigi tidak bisa mengunyah makanan dengan baik. Akibatnya, makanan sering ditelan dalam potongan besar, membuat lambung bekerja lebih berat dan penyerapan gizi menurun.
Mereka biasanya memilih makanan lunak, sehingga asupan serat, vitamin, dan protein berkurang. Kondisi ini bisa berujung pada kelemahan otot, berat badan menurun, dan daya tahan tubuh melemah.

2. Pengaruh terhadap Daya Ingat dan Otak

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivitas mengunyah membantu merangsang aliran darah ke otak, terutama ke bagian hipokampus, yang berperan penting dalam memori.
Ketika gigi ompong dan aktivitas mengunyah berkurang, stimulasi otak juga menurun. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mempercepat penurunan kognitif bahkan risiko demensia.

Sebuah studi dalam Journal of Alzheimer’s Disease (Gao et al., 2023) menyebutkan bahwa lansia tanpa gigi memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami penurunan fungsi otak dibanding mereka yang masih memiliki gigi lengkap.

3. Gangguan Bicara dan Kepercayaan Diri

Gigi depan berperan besar dalam membentuk suara, seperti huruf “f”, “s”, atau “v”.
Ketika ompong, ucapan jadi tidak jelas. Banyak lansia menjadi malu bicara atau tersenyum, sehingga memilih diam dan menarik diri dari pergaulan.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan rasa sepi, minder, bahkan depresi ringan.

4. Perubahan Bentuk Wajah

Tanpa gigi, tulang rahang tidak mendapat tekanan gigitan yang biasa. Akibatnya tulang mengalami resorpsi (penyusutan).
Wajah tampak lebih cekung, pipi kendur, dan bibir masuk ke dalam.
Inilah sebabnya mengapa seseorang yang kehilangan banyak gigi sering terlihat lebih tua dari usianya — bukan karena umur, melainkan karena struktur wajah berubah.

5. Risiko Kesehatan Umum

Kehilangan gigi sering terkait dengan peradangan kronis di jaringan gusi.
Peradangan jangka panjang ini dapat memengaruhi pembuluh darah dan berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes.

Dengan kata lain, menjaga kesehatan gigi bukan hanya soal estetika, tapi bagian dari menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh.

Menjaga Senyum Sehat di Usia Emas

Berikut beberapa langkah sederhana agar gigi tetap sehat meski usia menua:

  1. Sikat gigi dua kali sehari dengan pasta gigi berfluorida.

  2. Bersihkan sela gigi dengan benang gigi atau sikat interdental.

  3. Perbanyak makanan kaya kalsium, vitamin D, dan protein.

  4. Hindari rokok dan minuman manis berlebih.

  5. Rutin periksa gigi tiap enam bulan.

  6. Bila gigi sudah ompong, gunakan gigi palsu atau implan agar fungsi mengunyah tetap terjaga dan bentuk wajah tidak berubah.









Sumber:

  1. American Dental Association (ADA). (2024). Aging and Oral Health: Maintaining Dental Wellness in Older Adults.

  2. World Health Organization (WHO). (2023). Oral Health in Older Adults. Geneva: WHO Press.

  3. Newman, M. G., Takei, H., Klokkevold, P. R., & Carranza, F. A. (2022). Carranza’s Clinical Periodontology (13th ed.). Elsevier.

  4. Gao, S., et al. (2023). “Tooth Loss, Mastication, and Cognitive Decline in Older Adults.” Journal of Alzheimer’s Disease, 95(2), 421–431.

  5. Petersen, P. E., & Ogawa, H. (2022). “Promoting Oral Health and Quality of Life in Aging Populations.” Gerodontology, 39(1), 15–25.

Thursday, 16 October 2025

Tidak Harus Sempurna untuk Panjang Umur: Cukup Hidup Seimbang

        Banyak orang percaya bahwa semakin ketat kita menjaga kesehatan, semakin panjang umur kita. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa hidup panjang tidak selalu datang dari aturan super ketat, melainkan dari keseimbangan hidup yang bijak.

Lansia sehat karena keseimbangan hidup yang bijak.
(Sumber: foto Yayang.)

Antara "Sehat Standar" dan "Sehat Super Ketat"

Mari kita bandingkan dua tipe lansia yang sering kita temui:

  1. Lansia Biasa
    Hidup sederhana. Makan apa yang ada, asal tidak berlebihan.
    Berjalan pagi kalau cuaca cerah, tidur kadang siang, kadang malam.
    Tidak rutin periksa ke dokter, tapi masih aktif bercengkerama dengan keluarga dan tetangga.
    Mereka menjalani hidup apa adanya — dengan senyum dan rasa syukur.

  2. Lansia dengan Pola Hidup Super Ketat
    Semua serba teratur.
    Makanan ditimbang, gula nol, minyak dihindari, jadwal olahraga dan tidur tepat waktu, semua dicatat.
    Mereka sangat sadar kesehatan — kadang sampai takut melakukan hal yang sedikit “salah”.

Menariknya, usia panjang tidak selalu berpihak pada yang kedua.
Banyak lansia “biasa” yang hidup sampai 80–90 tahun tanpa aturan rumit, sedangkan sebagian yang sangat disiplin justru tidak jauh lebih lama.

Mengapa Bisa Begitu?

Ada beberapa rahasianya:

  1. Ketenangan Batin dan Relasi Sosial
    Studi di Jepang dan Italia menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan hati tenang, punya hubungan sosial yang hangat, dan selalu bersyukur — cenderung hidup lebih lama.

  2. Tekanan Psikologis
    Gaya hidup super ketat kadang menimbulkan stres tersembunyi: takut salah makan, takut lupa olahraga, takut melanggar rutinitas.
    Stres kronis justru dapat mempercepat penuaan sel.

  3. Genetik dan Nasib Biologis
    Sekitar 25% umur panjang ditentukan oleh faktor genetik.
    Jadi meskipun gaya hidup penting, tubuh setiap orang memiliki “batas alami” yang berbeda.

  4. Keseimbangan dan Ikigai
    Mereka yang hidup panjang umumnya memiliki ikigai — alasan untuk bangun setiap pagi.
    Bisa berupa cucu, kebun kecil, kegiatan sosial, atau ibadah.
    Inilah yang membuat hati tenang dan tubuh bertahan lebih lama.

Kunci Umur Panjang: Hidup Seimbang

Tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri.
Kesehatan itu penting, tetapi hidup juga harus dinikmati dengan syukur dan cinta.
Makanlah dengan bijak, bergeraklah dengan senang hati, istirahatlah dengan tenang, dan tetaplah bergaul dengan orang-orang yang membuatmu tertawa.

Karena pada akhirnya, umur panjang bukan hanya tentang jumlah tahun,
tetapi tentang kualitas hari-hari yang dijalani dengan bahagia.









Sumber :

  1. Willcox DC, Willcox BJ, Suzuki M. The Okinawa Program: How the World's Longest-Lived People Achieve Everlasting Health. (2001).

  2. WHO. World Report on Ageing and Health (2015).

  3. Harvard Health Publishing. The secrets of long life may surprise you (2023).

  4. National Geographic. Blue Zones: Lessons for Living Longer From the People Who’ve Lived the Longest (2022).

Tuesday, 14 October 2025

Mengapa Lansia Sering Sulit Berkomunikasi? Ini Penyebab dan Cara Mengatasinya dengan Lembut

        Pernahkah Anda berbicara dengan orang tua, lalu mereka tampak tidak mendengar, salah tangkap, atau hanya diam tersenyum tanpa menjawab?

Banyak keluarga mengira itu tanda mereka tidak mau bicara — padahal sering kali, komunikasi pada lansia terhambat karena faktor fisik dan psikologis.

Seiring bertambah usia lansia sering mengalami miskomunikasi
(Sumber: foto grup P3)

Seiring bertambahnya usia, tubuh dan otak mengalami perubahan. Pendengaran mulai berkurang, daya ingat melambat, dan semangat untuk berinteraksi bisa menurun. Namun kabar baiknya: komunikasi hangat masih bisa terjalin, asalkan kita tahu penyebab dan cara menanganinya dengan hati yang sabar.

    1. Penurunan Fisik dan Sensorik

Penyebab:

  • Pendengaran menurun (presbikusis) membuat lansia sulit menangkap suara pelan.

  • Gangguan penglihatan menyulitkan membaca ekspresi wajah atau gerak bibir.

  • Melemahnya otot mulut dan lidah menyebabkan pelafalan tidak jelas.

Cara Mengatasi:

  • Berbicaralah perlahan, jelas, dan menghadap wajah lansia.

  • Gunakan tempat yang tenang dan pencahayaan cukup.

  • Bila perlu, gunakan alat bantu dengar dan periksa kesehatan telinga secara rutin.

  • Jangan berteriak, karena bisa dianggap marah; gunakan nada hangat dan bersahabat.

   2. Penurunan Fungsi Kognitif

Penyebab:

  • Demensia atau Alzheimer membuat daya ingat dan pemahaman bahasa menurun.

  • Pemrosesan informasi lambat, sehingga lansia butuh waktu lebih lama untuk merespons.

Cara Mengatasi:

  • Gunakan kalimat sederhana dan pendek.

  • Ulangi pesan penting dengan sabar, tanpa nada jengkel.

  • Beri waktu cukup untuk mereka merespons.

  • Gunakan catatan, gambar, atau tulisan bila perlu membantu ingatan.

   3. Faktor Psikologis

Penyebab:

  • Depresi, kesepian, atau rasa tidak dibutuhkan.

  • Takut salah bicara atau merasa tak dihargai oleh anak muda.

Cara Mengatasi:

  • Tunjukkan empati dan penghargaan terhadap cerita mereka.

  • Ajak berbicara tentang hal yang disukai, seperti masa muda, cucu, atau hobi.

  • Beri pujian tulus agar mereka merasa berharga.

  • Ajak ikut kegiatan sosial ringan, seperti arisan lansia atau senam pagi.

   4. Faktor Sosial dan Lingkungan

Penyebab:

  • Kurangnya lawan bicara karena anak sibuk atau tinggal jauh.

  • Lingkungan bising, seperti TV keras atau lalu lintas ramai.

  • Perbedaan bahasa dan gaya komunikasi antar generasi.

Cara Mengatasi:

  • Sediakan waktu khusus untuk berbicara setiap hari, meski hanya 10 menit.

  • Matikan TV atau gawai saat mengobrol agar fokus pada percakapan.

  • Anak muda bisa menyesuaikan bahasa agar mudah dimengerti.

  • Gunakan video call atau telepon rutin untuk menjaga kedekatan emosional.

    5. Kondisi Medis dan Efek Obat

Penyebab:

  • Stroke, Parkinson, atau efek samping obat dapat menghambat bicara dan pemahaman.

Cara Mengatasi:

  • Segera periksa ke dokter spesialis saraf atau THT.

  • Ikuti terapi wicara (speech therapy) untuk melatih kemampuan berbicara.

  • Diskusikan dengan dokter bila obat menyebabkan kantuk atau kebingungan.

Kesimpulan

Komunikasi yang tidak lancar pada lansia bukan berarti mereka tidak ingin bicara, tetapi karena tubuh dan pikirannya mengalami perubahan alami.
Dengan kesabaran, empati, dan sedikit penyesuaian, kita dapat membangun kembali jembatan komunikasi yang hangat antara anak dan orang tua.

Ingatlah:

“Berbicara dengan lembut adalah bentuk kasih sayang yang paling sederhana, tetapi paling diingat oleh hati lansia.” 






 

 Sumber:

  1. Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2012). Human Development. McGraw-Hill Education.

  2. WHO. (2021). World Report on Ageing and Health. Geneva: World Health Organization.

  3. Yuliana, S. (2020). “Gangguan Komunikasi pada Lansia dan Penanganannya.” Jurnal Kesehatan Masyarakat, 12(3), 214–222.

  4. Santrock, J. W. (2019). Life-Span Development. McGraw-Hill Education.

Sunday, 12 October 2025

Sinyal Alarm Otak? Ini Alasan Ilmiah Mengapa Lansia Merasakan Jam Bergerak Jauh Lebih Lambat.

Pendahuluan

Pernahkah Anda merasa satu hari terasa sangat panjang?
Bagi banyak lansia, waktu sering kali terasa berjalan lambat — seolah menit demi menit melangkah pelan.
Fenomena ini bukan sekadar perasaan, melainkan hasil dari perubahan nyata di otak, tubuh, dan jiwa manusia seiring bertambahnya usia.

Lansia merasakan waktu berjalan lambat.
(Sumber: foto grup)

Artikel ini akan menjelaskan secara lembut dan ilmiah mengapa lansia merasakan waktu terasa lambat, disertai penjelasan biologis, psikologis, dan tips agar waktu terasa lebih bermakna.

1. Otak Lansia Memproses Waktu Lebih Pelan

Seiring bertambah usia, kecepatan otak dalam memproses informasi menurun secara alami.
Pada masa muda, otak memproses banyak kejadian dengan cepat — setiap hari terasa penuh dan waktu terasa cepat berlalu.

Namun, pada usia lanjut:

  • Jumlah informasi baru yang masuk berkurang,

  • Aktivitas saraf berjalan lebih lambat,

  • Sistem dopamin (zat pengatur waktu di otak) melemah.

Akibatnya, otak “merekam” lebih sedikit peristiwa dalam satu hari, sehingga waktu terasa berjalan lambat. Bagi lansia, lima belas menit bisa terasa seperti setengah jam.

 2. Rutinitas yang Sama Membuat Waktu Terasa Panjang

Ketika masih muda, hari-hari diisi dengan hal baru: belajar, bekerja, bertemu orang baru, berpetualang.
Semua hal baru ini meninggalkan jejak memori kuat di otak, sehingga waktu terasa padat dan cepat.

Sebaliknya, pada usia lanjut, rutinitas cenderung sama setiap hari.
Karena otak mengukur waktu berdasarkan banyaknya kenangan baru, hari-hari yang berulang terasa panjang dan lambat.

Maka, jika ingin waktu terasa lebih hidup, isi hari dengan aktivitas baru: menulis, belajar bahasa baru, merawat tanaman, atau bercengkerama dengan cucu.

3. Emosi Mempengaruhi Persepsi Waktu

Perasaan dan suasana hati sangat berpengaruh terhadap persepsi waktu.

  • Saat bahagia dan sibuk, waktu terasa cepat.

  • Saat sedih, kesepian, atau menunggu, waktu terasa sangat lambat.

Beberapa lansia mengalami kesepian atau kehilangan pasangan hidup, sehingga waktu seakan berhenti.
Rasa hampa membuat otak fokus pada penantian, bukan pada kegiatan.
Itulah sebabnya hari-hari terasa lebih panjang dari biasanya.

4. Perubahan Biologis dalam Tubuh

Jam biologis manusia diatur oleh bagian otak bernama nukleus suprachiasmaticus (SCN).
SCN berfungsi seperti jam alami tubuh, mengatur kapan kita merasa siang, malam, dan mengantuk.

Pada lansia:

  • Sensitivitas terhadap cahaya berkurang,

  • Tidur malam menjadi lebih singkat,

  • Produksi hormon melatonin menurun.

Perubahan ini membuat ritme siang–malam menjadi kabur, sehingga waktu terasa tidak stabil dan cenderung lambat.

Selain itu, aktivitas fisik yang menurun juga memperlambat detak jantung dan metabolisme.
Tubuh yang bergerak lambat memberi sinyal ke otak bahwa waktu juga berjalan lambat.

5. Waktu yang Lambat, Makna yang Dalam

Namun, waktu yang terasa lambat tidak selalu buruk.
Bagi banyak lansia, perlambatan waktu justru membuka ruang untuk merenung, mengenang, dan menikmati hal-hal kecil: bunyi burung, angin sore, atau senyum cucu.

Dalam fase ini, kualitas waktu lebih penting daripada kecepatannya.
Kesadaran terhadap setiap detik dapat membawa ketenangan dan makna yang lebih dalam terhadap hidup.

Tips Agar Waktu Terasa Lebih Bermakna bagi Lansia

  1. Mulai hari dengan tujuan kecil – misalnya menulis jurnal, menanam bunga, atau membaca Al-Qur’an.

  2. Lakukan kegiatan baru secara berkala agar otak terus terangsang.

  3. Berkumpul dengan orang lain – percakapan hangat membuat waktu terasa cepat berlalu.

  4. Latihan fisik ringan seperti jalan pagi atau senam lansia membantu mempercepat ritme tubuh.

  5. Latih mindfulness atau zikir tenang, agar waktu terasa damai tanpa terasa berat.

Kesimpulan

Perasaan “waktu terasa lambat” pada lansia bukan sekadar pikiran, tetapi hasil gabungan dari:

  • Penurunan kecepatan saraf dan dopamin di otak,

  • Rutinitas yang berulang,

  • Perubahan jam biologis,

  • Serta pengaruh emosi dan suasana hati.

Namun, dengan menjaga aktivitas, emosi positif, dan kesadaran spiritual, lansia dapat menjadikan setiap detik lebih bermakna daripada cepat.

Ceritakan dikolam komentar bila Anda  sering mengalami waktu terasa lambat !








 Sumber:

  1. Wittmann, M., & Lehnhoff, S. (2005). Age effects in perception of time. Acta Psychologica, 120(1), 75–90.

  2. Block, R. A. (2010). Subjective Time: The Psychology of Time Perception. Oxford University Press.

  3. Droit-Volet, S., & Meck, W. H. (2007). How emotions color our perception of time. Trends in Cognitive Sciences, 11(12), 504–513.

  4. Buhusi, C. V., & Meck, W. H. (2005). What makes us tick? Functional and neural mechanisms of interval timing. Nature Reviews Neuroscience, 6(10), 755–765.

  5. Coull, J. T., & Nobre, A. C. (2008). Dissociating explicit timing from temporal expectation with fMRI. Current Opinion in Neurobiology, 18(2), 137–144.

  6. Czeisler, C. A., et al. (1992). Stability, precision, and near-24-hour period of the human circadian pacemaker. Science, 284(5423), 2177–2181.

Thursday, 9 October 2025

BAU HANTU? Bukan! Ini Phantosmia pada Lansia.

        Selain parosmia (bau berubah menjadi bau lain), ada juga gangguan penciuman lain yang cukup sering dialami sebagian lansia, yaitu phantosmia. Kondisi ini membuat seseorang mencium bau tertentu padahal bau tersebut sebenarnya tidak ada di lingkungan sekitarnya.

Keluarga yang memiliki lansia harus memahami phantosmia.
(Sumber: foto grup)

Apa itu Phantosmia?

Phantosmia adalah persepsi penciuman palsu, yaitu munculnya sensasi mencium bau meskipun tidak ada sumber bau yang nyata. Bau yang tercium biasanya bersifat tidak menyenangkan, misalnya:

  • bau asap atau terbakar,

  • bau busuk atau kotoran,

  • bau bahan kimia seperti bensin atau cat.

Namun pada sebagian kecil kasus, bau yang tercium bisa netral atau bahkan menyenangkan.

Mengapa Lansia Rentan Mengalami Phantosmia?

  1. Perubahan Saraf Penciuman Akibat Penuaan
    Indra penciuman pada lansia mengalami penurunan fungsi. Kerusakan reseptor hidung atau jalur saraf ke otak dapat membuat otak “salah membaca” sinyal sehingga menciptakan bau palsu.

  2. Gangguan Neurologis

    • Penyakit Alzheimer dan Parkinson: phantosmia dapat menjadi gejala awal adanya gangguan otak degeneratif.

    • Epilepsi lobus temporal: pada beberapa kasus, serangan epilepsi memunculkan sensasi bau aneh sebelum kejang.

    • Stroke kecil (mikro-stroke) pada otak juga dapat merusak area pengolah penciuman.

  3. Infeksi atau Peradangan Hidung
    Sinusitis kronis, polip hidung, atau infeksi saluran napas dapat memicu aktivitas abnormal pada saraf penciuman yang menimbulkan phantosmia.

  4. Pengaruh Obat-obatan dan Zat Kimia
    Beberapa obat (misalnya antidepresan, antibiotik, atau obat jantung tertentu) dapat menimbulkan efek samping berupa bau palsu. Paparan asap rokok atau zat kimia juga bisa memperburuk kondisi ini.

Dampak Phantosmia pada Lansia

  • Gangguan nafsu makan: bau busuk yang terus tercium membuat makanan terasa tidak enak.

  • Stres psikologis: lansia merasa terganggu, sulit tidur, bahkan khawatir dianggap berhalusinasi.

  • Kualitas hidup menurun: bau yang tidak ada tetapi selalu terasa membuat lansia sulit menikmati aktivitas sehari-hari.

Contoh Kasus Nyata

Pak Budi, seorang pensiunan berusia 75 tahun, sering mengeluhkan mencium bau asap rokok di rumahnya padahal tidak ada seorang pun yang merokok. Bau itu muncul terutama di malam hari dan membuatnya sulit tidur. Keluarga awalnya mengira Pak Budi berhalusinasi. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata ia mengalami phantosmia akibat sinusitis kronis dan gangguan kecil pada saraf penciuman.

Dengan terapi obat sinusitis dan latihan penciuman, gejala phantosmia Pak Budi berangsur membaik, meskipun butuh waktu beberapa bulan.

Cara Mengatasi Phantosmia

  1. Konsultasi ke Dokter THT atau Neurolog
    Penting untuk mencari penyebab utama. Jika phantosmia disebabkan infeksi hidung, maka terapi infeksi dapat membantu. Bila berkaitan dengan saraf, perlu evaluasi lebih lanjut.

  2. Latihan Penciuman (Olfactory Training)
    Sama seperti pada parosmia, latihan mencium aroma tertentu (misalnya lemon, kayu putih, mawar, cengkeh) secara rutin dapat melatih otak mengatur ulang persepsi penciuman.

  3. Manajemen Psikologis

    • Edukasi keluarga agar memahami kondisi ini bukan sekadar “halusinasi”.

    • Dukungan emosional penting agar lansia tidak merasa dikucilkan.

  4. Pengaturan Lingkungan
    Hindari paparan asap, bahan kimia, dan bau menyengat yang bisa memperparah gejala.

Kesimpulan

Phantosmia pada lansia merupakan kondisi ketika seseorang mencium bau yang sebenarnya tidak ada. Penyebabnya beragam, mulai dari penuaan alami, infeksi hidung, efek obat, hingga penyakit saraf seperti Parkinson atau Alzheimer. Walau tidak mengancam jiwa secara langsung, phantosmia dapat menurunkan kualitas hidup lansia jika tidak ditangani dengan baik. Dukungan keluarga, pemeriksaan medis, dan latihan penciuman dapat membantu mengurangi keluhan ini.

Pernahkah Anda mengalami Phantosmia? Ceritakan pengalaman Anda!





 Sumber:

  • Leopold, D. A. (2002). Distortion of olfactory perception: Diagnosis and treatment. Chemical Senses, 27(7), 611–615.

  • Landis, B. N., Frasnelli, J., & Hummel, T. (2005). Disorders of olfaction: The impact on quality of life. Chemical Senses, 30(1), i-73.

  • Doty, R. L. (2017). Olfactory dysfunction in neurodegenerative diseases: Is there a common pathological substrate? The Lancet Neurology, 16(6), 478–488.

  • National Institute on Aging. (2022). Sensory Changes with Aging. NIH.

  • Reden, J., Maroldt, H., Fritz, A., Zahnert, T., & Hummel, T. (2007). A study on the prognostic significance of qualitative olfactory dysfunction. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 264(2), 139–144.