Banyak orang mungkin menganggap suara-suara tertentu mengganggu mereka, namun ada perbedaan antara sekadar merasa terganggu dan menjadi marah atau panik ketika mendengar suara-suara tertentu. Jika Anda sangat sensitif terhadap suara tertentu (seperti seseorang yang sedang mendengarkan, detak jantung, atau mendengarkan lampu neon), Anda mungkin mengalami kelainan dalam pemrosesan suara yang disebut misophonia.
Lansia sensitif mendengar suara orang mengunyah.
(Sumber: foto LPC- Lansia)
Misophonia adalah kondisi di mana seseorang merasakan rasa marah, jengkel, atau ketidaknyamanan yang sangat intens ketika terpapar dengan suara-suara tertentu. Biasanya, suara-suara ini adalah suara yang dianggap remeh atau biasa oleh orang lain. Orang yang mengalami misophonia dapat merespons secara emosional yang kuat terhadap suara-suara seperti makan, bernapas, mengunyah, atau suara-suara lainnya yang biasanya dianggap sebagai suara sehari-hari.
Reaksi terhadap pemicu suara berkisar dari rasa jengkel hingga kemarahan, dengan kemungkinan pengaktifan respons melawan-atau-lari . Respons misophonia tampaknya tidak ditimbulkan oleh kerasnya suara, melainkan oleh pola atau makna spesifiknya bagi pendengarnya. Pemicu umumnya merupakan rangsangan berulang dan ini yang paling utama, namun tidak eksklusif, berhubungan dengan tubuh manusia, seperti mengunyah, makan, memukul bibir, menyeruput, batuk, membersihkan tenggorokan, mengendus, dan menelan.
Reaksi lansia marah mendengar suara orang mengunyah.
(Sumber: foto canva.com)
Gejala misophonia melibatkan reaksi emosional yang sangat negatif, yang dapat mencakup kemarahan, kecemasan, stres, atau bahkan keinginan untuk menghindari situasi atau orang yang memicu suara-suara tersebut. Kondisi ini dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan hubungan sosial seseorang.
Meskipun misophonia telah diidentifikasi sebagai suatu fenomena, masih ada diskusi di kalangan profesional kesehatan mental tentang sejauh mana misophonia harus dianggap sebagai gangguan kesehatan mental yang terpisah atau sebagai bagian dari spektrum gangguan kecemasan atau gangguan sensorik lainnya. Kondisi ini dapat mempengaruhi individu dari berbagai kelompok usia.
Orang yang terkena misophonia dapat menunjukkan sejumlah ciri atau gejala, yang melibatkan reaksi emosional yang sangat kuat terhadap suara-suara tertentu.
Beberapa ciri terkena misophonia meliputi:
Reaksi Emosional yang Kuat:
Terkena misophonia menyebabkan reaksi emosional yang sangat negatif, seperti kemarahan, jengkel, atau kecemasan, ketika terpapar dengan suara-suara tertentu.
Respon Cepat:
Reaksi emosional dapat muncul dengan cepat begitu seseorang mendengar suara pemicu. Respons ini mungkin tidak proporsional terhadap kebiasaan secara objektif.
Reaksi emosional muncul mendengar suara pemicu. (Suara: foto canva.com) |
Ketidakmampuan Mengabaikan Suara:
Orang dengan misophonia sering kali tidak dapat mengabaikan atau "menghapus" suara-suara yang memicu reaksi mereka, bahkan jika suara tersebut dianggap remeh oleh orang lain.
Perubahan Perilaku:
Seseorang dengan misophonia dapat mengubah perilaku atau rutinitas sehari-hari untuk menghindari suara-suara yang memicu reaksi negatif, seperti menghindari makan bersama keluarga atau teman.
Stres dan Kecemasan:
Kondisi ini dapat menyebabkan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, terutama jika terpapar dengan pemicu suara-suara secara rutin.
Gejala Fisik:
Reaksi emosional terhadap misophonia dapat disertai dengan gejala fisik seperti peningkatan detak jantung, ketegangan otot, atau gejala kecemasan lainnya.
Pertahanan terhadap Suara Pemicu:
Seseorang mungkin merasa perlu untuk “membela diri” terhadap suara pemicu dengan merespons secara verbal atau dengan perilaku yang dapat dianggap sebagai upaya untuk mengatasi stres.
💬 Pengalaman misophonia dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya.
Faktor pemicu misophonia pada lansia dapat bervariasi antar individu, dan setiap orang dengan misophonia mungkin memiliki suara-suara yang memicu reaksi negatif yang berbeda-beda. Beberapa suara yang umumnya dianggap sebagai pemicu misophonia yang melibatkan aktivitas sehari-hari, seperti makan, bernapas, atau suara-suara berulang lainnya.
Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi reaksi misophonia pada lansia meliputi:
Suara Makan atau Mengunyah:
Suara makan, mengunyah, atau bernapas dapat menjadi pemicu misophonia pada beberapa individu. Lansia mungkin merasa terganggu oleh suara-suara ini selama waktu makan atau saat berada di lingkungan yang tenang.
Suara-suara Repetitif :
Suara-suara yang berulang-ulang, seperti ketukan jari di meja, menggosok-gosok kertas, atau suara-suara yang terus-menerus, dapat menyebabkan reaksi misophonia pada lansia.
Suara-suara di Lingkungan Tenang:
Lingkungan yang tenang atau situasi di mana suara-suara kecil atau rutin menjadi lebih terdengar dapat meningkatkan sensitivitas terhadap suara dan memicu misophonia.
Suara tetesan air menjadi lebih terdengar di lingkungan tenang. (Sumber: foto canva.com) |
Suara Tertentu yang Terkait dengan Pengalaman Emosional:
Beberapa suara mungkin menjadi pemicu misophonia karena hubungannya dengan pengalaman emosional masa lalu atau situasi traumatis tertentu.
Suara-suara Sosial:
Suara-suara yang terkait dengan interaksi sosial, seperti suara ketawa, bicara, atau suara-suara yang mengganggu saat berada di kelompok, juga dapat menjadi pemicu.
Stimulus dengan Intensitas Tinggi:
Stimulus atau suara dengan intensitas tinggi, bahkan jika sebenarnya tidak menganggu, mungkin lebih mungkin memicu reaksi misophonia pada lansia.
Pencegahan misophonia pada lansia dapat melibatkan beberapa pendekatan dan strategi untuk mengelola sensitivitas terhadap suara yang memicu reaksi negatif. Meskipun tidak mungkin sepenuhnya mencegah kondisi ini.
Beberapa langkah yang membantu mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup:
Pendidikan dan Kesadaran:
Pendidikan diri dan kesadaran tentang kondisi ini dapat membantu individu dan keluarga memahami gejala serta menentukan strategi untuk mengelolanya.
Teknik Relaksasi:
Latihan relaksasi, seperti teknik pernapasan dalam dan meditasi, dapat membantu mengurangi tingkat kecemasan dan stres yang dapat meningkatkan reaksi misophonia.
Pengelolaan Stres Secara Umum:
Penerapan strategi pengelolaan stres umum, seperti olahraga teratur, tidur yang cukup, dan menjaga kehidupan sosial yang sehat, dapat membantu mengurangi gejala misophonia.
Pencipta Lingkungan yang Mendukung:
Menciptakan lingkungan yang mendukung dengan meminimalkan suara-suara yang memicu reaksi, menggunakan bantalan suara (white noise), atau memutar musik yang menenangkan dapat membantu mengurangi ketidaknyamanan.
Berkonsultasi dengan Profesional Kesehatan Mental:
Jika gejala misophonia mengganggu keseharian, berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental dapat membantu mengidentifikasi strategi dan teknik kognitif perilaku yang dapat membantu mengelola reaksi emosional.
Teknik Desensitisasi:
Terapis dapat membantu dengan teknik desensitisasi yang melibatkan pemaparan bertahap terhadap suara pemicu untuk mengurangi reaksi emosional.
Dukungan Keluarga dan Sosial:
Dukungan dari keluarga dan teman dapat memberikan pemahaman dan kenyamanan, membantu lansia mengelola gejala dengan lebih baik.
Penggunakan Alat Bantu:
Penggunaan alat bantuan bantu, seperti penutup telinga atau perangkat dengar, dapat membantu mengurangi eksposur terhadap suara-suara yang memicu reaksi.
Terapi Konseling atau Psikoterapi:
Terapi konseling atau psikoterapi dapat membantu individu untuk mengidentifikasi dan mengelola pemikiran dan emosi terkait dengan misophonia.
Pengobatan misophonia pada lansia dapat melibatkan berbagai pendekatan, namun perlu dicatat bahwa tidak ada obat yang secara spesifik dirancang untuk mengatasi misophonia. Pengelolaan misophonia lebih fokus pada manajemen gejala dan peningkatan kualitas hidup.
Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan:
Pendidikan dan Konseling:
Pendidikan diri dan konseling dapat membantu lansia memahami kondisi mereka dan mengembangkan strategi untuk mengelola reaksi emosional terhadap suara-suara pemicu.
Terapi Kognitif-Perilaku:
Terapis kognitif-perilaku dapat membantu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku yang dapat memperburuk reaksi misophonia. Terapi ini dapat mencakup teknik relaksasi, desensitisasi, dan restrukturisasi kognitif.
Terapi Desensitisasi:
Terapi desensitisasi melibatkan pemaparan bertahap terhadap suara-suara pemicu untuk mengurangi reaksi emosional. Ini dapat dilakukan dengan bimbingan terapis.
Pemaparan bertahap terhadap suara pemicu oleh terapis. (Sumber: foto canva.com) |
Penggunaan Alat Bantu:
Penggunaan alat bantu seperti penutup telinga atau perangkat bantuan dengar yang memiliki fitur pemutaran suara ambient dapat membantu mengurangi eksposur langsung terhadap suara-suara yang memicu misophonia.
Terapi EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing):
Terapi EMDR, yang awalnya dikembangkan untuk mengobati trauma, telah dicoba untuk mengatasi misophonia dengan membantu individu memproses kenangan dan emosi terkait dengan suara-suara pemicu.
Obat-obatan:
Meskipun tidak ada obat yang secara khusus diresepkan untuk misophonia, dalam beberapa kasus, dokter dapat meresepkan obat anti-ansietas atau obat penenang untuk membantu mengelola tingkat kecemasan yang mungkin meningkat akibat misophonia.
Manajemen Stres dan Relaksasi:
Teknik manajemen stres, seperti meditasi, yoga, atau latihan pernapasan, dapat membantu lansia mengatasi reaksi emosional yang muncul akibat suara-suara pemicu.
Dukungan Sosial:
Dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu lansia merasa didukung dan membagikan pengalaman dengan orang lain yang mungkin mengalami kondisi serupa.
Pilihan pengobatan akan bervariasi tergantung pada tingkat keparahan gejala dan preferensi individu. Penting untuk berbicara dengan profesional kesehatan yang berpengalaman untuk mendapatkan evaluasi dan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik.
Sumber:
https://www.forbes.com/health/mind/misophonia/
https://www.webmd.com/mental-health/what-is-misophonia
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/24460-misophonia
https://en.wikipedia.org/wiki/Misophonia
https://www.health.harvard.edu/blog/misophonia-sounds-really-make-crazy-2017042111534
No comments:
Post a Comment