Showing posts with label Kesehatan Mental. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan Mental. Show all posts

Wednesday, 13 November 2024

Topi Bukan Sekedar Gaya! Ini Dia Manfaat Tersembunyi untuk Lansia!

        Topi adalah aksesori atau penutup kepala yang biasa dipakai oleh manusia dengan berbagai fungsi dan tujuan. Secara umum, topi digunakan untuk melindungi kepala dari panas matahari, hujan, atau cuaca dingin. Selain itu, topi juga berfungsi sebagai penunjang gaya fashion atau penampilan, simbol status sosial, atau bagian dari seragam dalam kegiatan tertentu, seperti topi polisi, topi koki, atau topi militer. Ada berbagai jenis topi, seperti topi baseball, topi fedora, topi koboi, hingga topi beanie, yang masing-masing memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda sesuai kebutuhan atau tren.

Topi sangat bermanfaat untuk Senior.
(Sumber: foto Dwipatri)
Beberapa manfaat topi bagi  lansia:
  1. Melindungi dari Paparan Sinar Matahari: Kulit lansia cenderung lebih tipis dan rentan terhadap kerusakan akibat sinar UV. Menggunakan topi, terutama topi bertepi lebar, dapat melindungi wajah dan kepala dari paparan langsung matahari dan mengurangi risiko kanker kulit, kerutan, serta bintik-bintik penuaan.

  2. Mencegah Pusing Akibat Panas: Lansia lebih rentan terhadap serangan panas atau heatstroke. Mengenakan topi saat di luar ruangan membantu menjaga suhu tubuh tetap stabil dengan memberikan naungan pada kepala.

  3. Memberi Kehangatan di Cuaca Dingin: Di cuaca dingin, topi berbahan wol atau rajutan menjaga kepala tetap hangat. Hal ini penting bagi lansia yang cenderung lebih sensitif terhadap suhu dingin.

  4. Menambah Kenyamanan dan Gaya: Topi juga bisa meningkatkan rasa percaya diri bagi lansia yang mengalami penipisan atau kerontokan rambut. Selain itu, topi dapat menjadi bagian dari gaya mereka, menambah kenyamanan serta kepercayaan diri saat bepergian atau beraktivitas di luar rumah.

Dengan demikian, topi tidak hanya berguna untuk melindungi kesehatan fisik, tetapi juga memberi kenyamanan dan penampilan yang menarik bagi lansia.

       Memilih topi untuk lansia perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar nyaman dan fungsional. 

Beberapa kiat dalam memilih topi yang sesuai untuk lansia:

  1. Pilih Bahan yang Nyaman: Pilih topi dengan bahan yang lembut dan breathable, seperti katun atau linen untuk cuaca panas, dan bahan wol atau rajutan untuk cuaca dingin. Hindari bahan yang bisa membuat kulit kepala gatal atau terlalu panas.

  2. Perhatikan Ukuran yang Pas: Pastikan topi memiliki ukuran yang pas agar nyaman dipakai, tidak terlalu ketat atau longgar. Banyak topi hadir dengan ukuran adjustable yang bisa disesuaikan.

  3. Perlindungan dari Sinar Matahari: Untuk lansia yang sering beraktivitas di luar ruangan, pilih topi bertepi lebar seperti topi fedora atau topi bucket. Tepi yang lebar memberikan perlindungan lebih pada wajah, leher, dan telinga dari sinar matahari.

  4. Model yang Mudah Dipakai: Topi yang mudah dipakai dan dilepas akan lebih praktis. Model yang simpel seperti topi baseball atau topi bucket mudah dikenakan dan tetap memberikan perlindungan.

  5. Pertimbangkan Bobot Ringan: Topi yang ringan lebih nyaman untuk digunakan dalam waktu lama. Topi yang terlalu berat bisa membuat kepala terasa pegal atau pusing.

  6. Desain yang Sesuai dengan Preferensi: Sesuaikan dengan selera lansia. Misalnya, memilih warna-warna netral yang mudah dipadukan atau warna dan motif yang disukai untuk menambah kesenangan dan kepercayaan diri saat mengenakannya.

  7. Keseimbangan Antara Fungsi dan Gaya: Pilih topi yang sesuai dengan kebutuhan lansia, baik untuk perlindungan dari cuaca maupun gaya. Topi yang tepat bukan hanya berguna tapi juga bisa menjadi aksesori yang membuat lansia merasa lebih percaya diri.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, topi yang dipilih untuk lansia akan memberikan manfaat maksimal dan kenyamanan yang optimal.

Berikut adalah beberapa bentuk dan model topi yang cocok untuk lansia, yang mengutamakan kenyamanan, perlindungan, dan gaya sederhana:

  1. Topi Bertepi Lebar (Wide-brim Hat)
    Cocok untuk perlindungan maksimal dari sinar matahari, terutama saat beraktivitas di luar ruangan. Topi bertepi lebar, seperti topi floppy atau topi fedora bertepi lebar, menutupi wajah, leher, dan telinga. Ini penting untuk menjaga kulit lansia dari paparan UV yang berlebihan.

  2. Topi Bucket (Bucket Hat)
    Model topi ini nyaman, ringan, dan seringkali mudah dilipat, sehingga praktis untuk dibawa. Bucket hat memberikan perlindungan yang cukup pada bagian wajah dan leher. Pilih yang berbahan lembut dan breathable untuk kenyamanan ekstra.

  3. Topi Baseball dengan Visor Lebar
    Topi baseball mudah dikenakan dan memberikan perlindungan pada wajah dengan visornya. Ada juga pilihan baseball cap dengan penutup tambahan di bagian belakang untuk melindungi leher. Pilih model yang memiliki tali penyesuaian agar lebih nyaman.

  4. Topi Beanie atau Topi Rajut
    Untuk cuaca dingin, topi beanie atau rajutan bisa menjadi pilihan. Beanie yang pas di kepala dan berbahan wol atau bahan rajut lainnya memberikan kehangatan yang nyaman. Model ini juga simpel dan mudah dipadukan dengan berbagai pakaian.

  5. Topi Newsboy atau Flat Cap
    Model ini memiliki bentuk bulat dengan brim pendek yang memberikan tampilan klasik dan elegan. Flat cap atau newsboy cap sering dibuat dari bahan yang hangat, seperti wol, yang sesuai untuk cuaca dingin, namun ada juga versi ringan untuk cuaca lebih hangat.

  6. Topi Panama
    Topi Panama memiliki tampilan klasik dengan bahan anyaman, yang cocok untuk acara santai atau semi-formal. Biasanya ringan dan breathable, topi ini memberikan perlindungan dari sinar matahari dan memberi tampilan yang stylish.

  7. Topi Visor
    Jika lansia lebih suka bagian atas kepala tetap terbuka, topi visor bisa menjadi pilihan. Bagian visornya melindungi wajah dari sinar matahari, sementara bagian atas yang terbuka memungkinkan udara mengalir untuk mendinginkan kepala.

Topi dengan model yang sederhana dan bahan berkualitas adalah pilihan yang baik untuk kenyamanan dan gaya lansia, menjaga mereka tetap terlindungi dan percaya diri dalam beraktivitas.




Sumber:

https://kinlabel.com/blogs/journal/hats-arent-just-fashion-benefits? 

https://www.quora.com/Why-do-seniors-wear-caps-hats-often

https://daydaynews.cc/en/health/415761.html

https://www.agnoulitahats.com/blogs/hat-styles-making-care/discover-iconic-hat-styles-for-the-discerning-senior-man? 


Friday, 6 September 2024

Ancaman Kematian Secara Psikologis: Pendekatan untuk Senior.

        Dari sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pria dan wanita lanjut usia di fasilitas perawatan, mereka dapat melihat bahwa banyak orang lanjut usia tidak terlalu khawatir tentang apa yang terjadi pada jiwa mereka setelah kematian, tetapi lebih kepada apa yang harus mereka lalui untuk mencapai proses tersebut. 

Ancaman kematian pada Senior dapat bersifat Psikologis.
(Sumber: Matematika 84)
Kematian adalah sebuah peristiwa, yaitu berhentinya kehidupan. Kecemasan akan kematian merupakan kekhawatiran yang berpotensi mengganggu tentang kematian dan proses menuju kematian. Literatur psikoterapi lebih berfokus pada kematian daripada kecemasan akan kematian, dan dalam menangani subjek yang terakhir, pendekatan yang diambil relatif dangkal dan naif.

Kecemasan akan kematian berasal dari sumber daya adaptif organisme uniseluler pertama yang diarahkan terhadap predator yang membahayakan kelangsungan hidup. Dengan perkembangan alam dan pikiran, jenis kecemasan ini memobilisasi sumber daya adaptif yang mengarah pada pertarungan atau pelarian, dan pada manusia, yang telah memiliki kemampuan bahasa selama sekitar 200.000 tahun.

Kecemasan ini diaktifkan oleh dan  dimobilisasi sumber daya adaptif sebagai respons terhadap ancaman fisik dan psikologis. Ketika ada ancaman fisik, yang mungkin berasal dari luar atau dalam diri individu, kecemasan ini cenderung disadari, tetapi ketika bahayanya bersifat psikologis, kecemasan ini sering kali beroperasi di luar kesadaran-tanpa disadari.

       Ancaman kematian yang bersifat psikologis pada senior merujuk pada perasaan atau kecemasan terkait kematian yang dialami oleh orang lanjut usia. Faktor ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka, serta menimbulkan perasaan ketakutan, stres, atau depresi. 

Beberapa bentuk ancaman psikologis terkait kematian yang sering dialami oleh senior:

Ketakutan akan Kematian: Seiring bertambahnya usia, banyak senior menjadi lebih sadar akan kematian, yang dapat memicu ketakutan akan akhir hidup dan ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi setelahnya. 

Kesepian dan Isolasi: Perasaan kesepian karena kehilangan pasangan, teman, atau keluarga dapat membuat seseorang lebih cemas terhadap kematian. Rasa isolasi juga dapat memperburuk kecemasan ini.

Perasaan Tidak Berguna: Banyak orang lanjut usia merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki tujuan atau peran penting dalam kehidupan. Hal ini dapat menimbulkan perasaan depresi yang berkaitan dengan kematian, karena mereka merasa hidup mereka telah "berakhir."

Gangguan Kesehatan Mental: Senior yang menghadapi penyakit terminal atau penurunan kondisi fisik mungkin mengalami kecemasan atau depresi, yang memicu ketakutan akan kematian yang menyakitkan atau menderita.

Penurunan Fungsi Kognitif: Kondisi seperti demensia atau Alzheimer dapat memperburuk kecemasan terkait kematian karena hilangnya kemampuan untuk mengendalikan kehidupan dan kesadaran diri.
 
Pengalaman Kehilangan: Kehilangan pasangan, teman dekat, atau anggota keluarga dapat memperkuat kesadaran senior akan kematian dan meningkatkan kekhawatiran terkait akhir hidup mereka sendiri.

       Mengatasi ancaman psikologis terkait kematian pada senior memerlukan pendekatan yang sensitif dan holistik, mencakup dukungan emosional, fisik, dan sosial. 

Beberapa strategi yang bisa digunakan untuk membantu senior menghadapi ketakutan atau kecemasan terkait kematian:

1. Meningkatkan Dukungan Sosial
Interaksi Sosial: Mendorong senior untuk tetap terhubung dengan keluarga, teman, dan komunitas bisa membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi.
Kelompok Pendukung: Bergabung dengan kelompok pendukung yang terdiri dari orang-orang seusia atau yang mengalami pengalaman serupa bisa memberikan ruang untuk berbagi perasaan dan kekhawatiran secara terbuka.
2. Terapi dan Konseling
Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): Ini dapat membantu senior mengidentifikasi dan mengubah pikiran negatif atau berlebihan tentang kematian, serta mengembangkan cara-cara untuk menghadapi ketakutan ini.
Psikoterapi: Berbicara dengan terapis profesional dapat membantu senior memproses perasaan mereka tentang kematian dan hidup dengan lebih bermakna.
Terapi Eksistensial: Terapi ini fokus pada pencarian makna hidup, yang bisa membantu senior mengatasi kecemasan dengan menemukan tujuan baru atau refleksi hidup yang lebih mendalam.
3. Pendampingan Rohani
Bimbingan Agama atau Spiritualitas: Untuk senior yang memiliki keyakinan agama atau spiritual, bimbingan dari pemuka agama atau berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan dapat memberikan kedamaian dan rasa penghiburan terkait kematian.
Refleksi Makna Hidup: Mendorong mereka untuk merenung tentang pencapaian hidup mereka dan bagaimana mereka telah memberi dampak positif pada orang lain bisa memberikan perasaan kepuasan dan penerimaan.
4. Menghadapi Kematian dengan Wajar
Perencanaan Akhir Hidup: Membantu senior membuat rencana terkait akhir hidup, seperti wasiat atau perencanaan pemakaman, dapat mengurangi kecemasan karena memberi mereka kendali atas bagaimana mereka ingin menjalani sisa hidupnya.
Diskusi Terbuka: Mendorong komunikasi terbuka tentang kematian dengan keluarga atau tenaga medis dapat membantu senior merasa lebih siap dan memahami proses yang akan datang.
5. Aktivitas Fisik dan Mental
Latihan Fisik Ringan: Aktivitas fisik seperti berjalan, yoga, atau senam ringan dapat membantu menjaga kesehatan mental dan mengurangi kecemasan.
Latihan Mindfulness atau Meditasi: Teknik meditasi dan latihan pernapasan dalam bisa membantu senior untuk merasa lebih tenang dan mengurangi kecemasan tentang masa depan.
6. Perawatan Kesehatan yang Holistik
Penanganan Kondisi Medis: Mengelola kondisi kesehatan yang mendasari dengan baik bisa mengurangi kekhawatiran senior tentang kematian yang menyakitkan atau berkepanjangan.
Pendekatan Paliatif: Jika sudah mendekati akhir hidup, pendekatan paliatif yang menekankan kenyamanan dan kualitas hidup, bukannya memperpanjang hidup dengan intervensi agresif, bisa memberikan rasa damai.
7. Membangun Rasa Mandiri dan Kendali
Pemberdayaan: Membantu senior merasa mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari, meskipun sederhana, bisa meningkatkan rasa kendali atas hidup mereka, yang pada akhirnya mengurangi ketakutan akan ketidakmampuan.

Dengan kombinasi dukungan emosional, sosial, dan fisik, ancaman psikologis mengenai kematian pada senior bisa dikelola dengan lebih baik, membantu mereka mencapai ketenangan dalam menghadapi akhir hidup.




 Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Death_anxiety#Thanatophobia

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8470864/

https://bmcgeriatr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12877-019-1316-7


Tuesday, 27 August 2024

Ini Langkah Berpikir Positif, Senior Jangan Melalaikan.

        Berpikir positif adalah sikap mental di mana seseorang fokus pada hal-hal yang baik, berharap hasil yang menguntungkan, dan berusaha melihat sisi positif dari situasi yang dihadapi. Dengan berpikir positif, seseorang cenderung melihat peluang dalam tantangan, merasa optimis, dan lebih mudah mengelola stres. Ini juga melibatkan keyakinan bahwa hasil yang baik lebih mungkin terjadi dan menyingkirkan pikiran negatif atau pesimistis. Berpikir positif dapat meningkatkan kesejahteraan mental, emosional, serta fisik.

Senior yang berpikir positif dapat meningkatkan kesejahteraan mental.
(Sumber: foto Mulyani)
Beberapa tanda tidak berpikir positif pada Senior:

Sering mengeluh atau pesimis
Senior yang tidak berpikir positif cenderung fokus pada hal-hal negatif, sering mengeluhkan keadaan atau menganggap masa depan suram. Mereka mungkin selalu merasa bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Mudah merasa cemas atau khawatir
Rasa cemas yang berlebihan tentang hal-hal kecil atau besar adalah tanda kurangnya pikiran positif. Senior yang cenderung berpikir negatif sering kali khawatir tentang kesehatan, keuangan, atau kehidupan sehari-hari tanpa alasan yang jelas.

Menarik diri dari lingkungan sosial
Senior yang tidak berpikir positif mungkin menghindari interaksi sosial karena merasa tidak nyaman, kurang percaya diri, atau takut mengalami penolakan. Mereka mungkin jarang berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau hobi yang biasanya dinikmati.

Sering merasa putus asa atau pesimistis
Ketidakmampuan melihat sisi positif dari suatu situasi dapat menyebabkan perasaan putus asa. Senior yang berpikir negatif mungkin merasa tidak ada jalan keluar dari masalah atau merasa bahwa usaha apa pun tidak akan berhasil.

Kurang semangat atau motivasi
Pikiran negatif dapat membuat senior kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka mungkin merasa malas, lesu, atau tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam hal-hal yang sebelumnya menyenangkan.

Mengalami gangguan tidur
Pikiran negatif yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan tidur seperti insomnia. Senior mungkin mengalami kesulitan tidur atau sering terbangun di malam hari karena kekhawatiran yang terus-menerus.

Mudah marah atau tersinggung
Pikiran negatif sering kali membuat seseorang lebih sensitif terhadap komentar atau situasi. Senior yang tidak berpikir positif bisa mudah marah atau tersinggung, bahkan terhadap hal-hal kecil.

Perubahan fisik atau kesehatan yang menurun
Pikiran negatif juga dapat memengaruhi kondisi fisik. Senior yang tidak berpikir positif mungkin mengalami penurunan kesehatan secara umum, seperti sering merasa lelah, kurang energi, atau lebih mudah jatuh sakit.

Sikap defensif atau tidak terbuka terhadap kritik
Senior yang berpikir negatif mungkin sulit menerima masukan atau kritik dengan baik. Mereka mungkin merasa diserang secara pribadi dan menunjukkan sikap defensif dalam percakapan.

           Jika seorang senior tidak berpikir positif dan lebih cenderung berpikir negatif, hal ini dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. 

Beberapa penyakit atau kondisi yang mungkin muncul akibat pikiran negatif yang berlarut-larut antara lain:

Depresi
Pikiran negatif yang terus-menerus dapat meningkatkan risiko depresi, terutama pada senior. Depresi pada usia lanjut sering kali kurang terdiagnosis karena gejalanya bisa mirip dengan masalah kesehatan lainnya, seperti kelelahan atau kehilangan minat.

Kecemasan
Pikiran negatif bisa memicu atau memperburuk kecemasan, membuat senior merasa cemas berlebihan tentang masa depan, kesehatan, atau hal-hal di sekitar mereka.

Penyakit jantung
Stres kronis dan pikiran negatif dapat meningkatkan tekanan darah dan merusak kesehatan jantung. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang pesimis atau sering stres memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung.

Masalah tidur (insomnia)
Pikiran negatif sering menyebabkan kesulitan tidur. Insomnia atau gangguan tidur lainnya bisa muncul karena pikiran yang penuh kekhawatiran dan stres, yang berdampak pada kesehatan secara keseluruhan.

Gangguan kognitif
Pikiran negatif yang berkepanjangan dapat mempercepat penurunan kognitif atau kemampuan berpikir pada senior. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko demensia atau penyakit Alzheimer.

Sistem kekebalan tubuh yang lemah
Stres dan pikiran negatif dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat senior lebih rentan terhadap infeksi, peradangan, atau penyakit lainnya.

Tekanan darah tinggi (hipertensi)
Pikiran negatif dan stres berkelanjutan dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Jika tidak dikelola, hipertensi bisa mengarah pada risiko stroke dan penyakit jantung.

Nyeri kronis
Pikiran negatif dapat memperburuk persepsi seseorang terhadap rasa sakit, sehingga nyeri kronis, seperti arthritis, mungkin terasa lebih intens. Pikiran negatif bisa memperparah rasa sakit yang sudah ada.

Menjaga pikiran positif bisa membantu senior mengurangi risiko kondisi-kondisi tersebut dan menjaga kualitas hidup yang lebih baik.
       
       Untuk seorang senior, berpikir positif dapat dilakukan dengan beberapa langkah yang sesuai dengan pengalaman dan kebijaksanaan yang dimiliki.

Berikut adalah beberapa cara yang bisa diterapkan:

Bersyukur atas hal-hal kecil
Mengembangkan kebiasaan bersyukur bisa membantu fokus pada hal-hal baik dalam hidup. Dengan menyadari hal-hal kecil yang patut disyukuri setiap hari, pikiran menjadi lebih positif.

Berfokus pada pengalaman hidup yang baik
Senior memiliki banyak pengalaman hidup. Mengingat pencapaian, momen bahagia, atau pelajaran dari masa lalu dapat membantu melihat kehidupan dari perspektif yang positif.

Mengelilingi diri dengan energi positif
Berinteraksi dengan orang-orang yang membawa pengaruh positif, seperti teman atau keluarga yang suportif, bisa membantu menjaga suasana hati tetap optimis.

Terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
Menyibukkan diri dengan hobi atau kegiatan yang disukai dapat mengalihkan pikiran dari hal-hal negatif. Ini bisa berupa berkebun, membaca, atau berolahraga ringan.

Berlatih mindfulness dan meditasi
Latihan mindfulness atau meditasi membantu seseorang untuk lebih fokus pada saat ini dan mengurangi kecemasan. Teknik ini membantu menenangkan pikiran dan menjaga fokus pada hal-hal positif.

Mengendalikan pikiran negatif
Ketika pikiran negatif muncul, seorang senior bisa mencoba untuk menantangnya dengan pertanyaan seperti, "Apakah ini benar?" atau "Apakah ada cara lain untuk melihat situasi ini?" Ini membantu menggantikan pikiran negatif dengan yang lebih realistis dan positif.

Menjaga kesehatan fisik
Kesehatan fisik berhubungan erat dengan kesehatan mental. Berolahraga secara teratur, tidur cukup, dan makan makanan bergizi dapat mendukung perasaan positif dan optimisme.

Belajar terus-menerus
Menjaga pikiran tetap aktif dengan belajar hal baru bisa membantu merangsang pikiran positif. Senior dapat mengikuti kelas, membaca buku, atau mengeksplorasi hobi baru untuk menjaga semangat hidup.

Beberapa Nasehat untuk Senior agar Berpikir Positif :
  • Syukuri hal-hal kecil dalam hidup
"Setiap hari adalah anugerah. Syukuri hal-hal kecil yang masih bisa dinikmati, seperti senyuman keluarga, sinar matahari pagi, atau secangkir teh hangat. Dengan bersyukur, kita akan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana."
  • Fokus pada pengalaman dan kebijaksanaan yang dimiliki
"Pengalaman hidupmu adalah kekayaan terbesar. Lihat kembali perjalanan yang telah dilalui dan kebijaksanaan yang diperoleh dari setiap langkah. Pengalaman ini adalah kekuatan yang membuatmu bijaksana dan tangguh."
  • Terima perubahan sebagai bagian dari hidup
"Perubahan adalah bagian dari hidup, dan kita tidak bisa mengendalikannya. Namun, kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya. Cobalah melihat perubahan sebagai peluang untuk tumbuh dan belajar hal baru."
  • Jaga hubungan sosial yang positif
"Bersandar pada orang-orang yang mencintaimu dan peduli padamu. Mereka adalah sumber kekuatan dan kebahagiaan. Luangkan waktu untuk berbagi cerita, mendengarkan, dan tertawa bersama."
  • Hidup di saat ini
"Masa lalu sudah berlalu, dan masa depan belum tiba. Cobalah untuk menikmati momen saat ini, karena itulah yang benar-benar kita miliki. Fokus pada apa yang ada di depan mata dan rasakan kebahagiaan yang bisa ditemukan sekarang."
  • Jangan terlalu keras pada diri sendiri
"Kita semua pernah membuat kesalahan atau melewati masa sulit. Alih-alih mengkritik diri sendiri, belajarlah untuk menerima dan memaafkan. Tidak ada yang sempurna, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi lebih baik."

  • Tetap aktif secara fisik dan mental
"Gerakkan tubuhmu dan tantang pikiranmu. Berjalan-jalan di pagi hari atau membaca buku yang menarik bisa membuat pikiran lebih segar dan lebih positif. Aktivitas kecil seperti ini dapat membantu menjaga semangat dan optimisme."
  • Ingat bahwa setiap tantangan memiliki pelajaran
"Tantangan adalah bagian dari hidup, dan setiap tantangan datang dengan pelajaran. Alih-alih melihatnya sebagai beban, cobalah melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru atau untuk menguji kekuatan yang sudah kamu miliki."
  • Berlatih bersabar dan berpikir jangka panjang
"Kadang-kadang hal-hal tidak berjalan sesuai harapan, tapi itu tidak berarti segalanya akan terus buruk. Berikan dirimu waktu untuk melihat hasil dari upayamu dan tetap percaya bahwa hal baik akan datang."
  • Tetap bersikap terbuka untuk hal baru
"Tidak ada kata terlambat untuk mencoba hal baru, belajar sesuatu yang berbeda, atau menjelajahi hobi baru. Pikiran yang terbuka untuk perubahan membantu menjaga semangat hidup tetap tinggi."

Dengan mengikuti nasihat ini, senior dapat menjaga keseimbangan mental dan emosional, serta melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih positif.




Sumber:

https://friendshipcenters.org/aging-gracefully-the-power-of-positive-thinking 

https://www.integracare.com/10-ways-keeping-a-positive-outlook-helps-seniors-age-well/

https://wingateliving.com/10-tips-for-positive-aging/

https://www.gycseniorcare.com/positive-aging-how-to-encourage-positive-thinking-in-the-elderly/

https://www.mylifesite.net/blog/post/positive-aging-changing-mindset-growing-older/

Tuesday, 30 July 2024

Menunda-nunda Pekerjaan: Memahami dan Mengatasi Prokrastinasi Lansia

      Biasanya, para lansia menunda tugas-tugas seperti memperbarui surat wasiat, menghadiri janji temu medis, atau mengatur bantuan hidup sehari-hari . Setiap tugas ini sangat penting. Mengabaikannya dapat menyebabkan permasalahan di kemudian hari.

Prokrastinasi pada lansia adalah perilaku menunda-nunda pekerjaan atau tugas yang seharusnya dilakukan oleh individu yang sudah berusia lanjut. Meskipun prokrastinasi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada lansia, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi perilaku ini pada kelompok usia tersebut.
Menunda-nunda pekerjaan  dapat terjadi pada siapa saja.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Penyebab Prokrastinasi pada Lansia:

Penurunan Kognitif: Lansia mungkin mengalami penurunan kognitif yang membuat mereka lebih sulit untuk memfokuskan perhatian, merencanakan, atau menyelesaikan tugas.

Kesehatan Fisik: Masalah kesehatan fisik seperti nyeri kronis, kelelahan, atau penyakit lainnya dapat membuat mereka enggan atau menunda-nunda aktivitas tertentu.

Depresi dan Kecemasan: Lansia yang mengalami depresi atau kecemasan mungkin merasa kurang termotivasi untuk menyelesaikan tugas atau merasa cemas tentang kemampuan mereka untuk melakukannya dengan baik.

Kurangnya Rasa Urgensi: Lansia yang sudah pensiun mungkin merasa bahwa mereka memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas dan kurang merasakan tekanan untuk segera menyelesaikannya.

Ketergantungan pada Orang Lain: Lansia yang bergantung pada bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas sehari-hari mungkin menunda-nunda karena merasa bahwa tugas tersebut akan dilakukan oleh orang lain.

Dampak Prokrastinasi pada Lansia:

Penurunan Kualitas Hidup: Menunda-nunda tugas penting seperti pengobatan, pemeriksaan kesehatan, atau perawatan diri dapat mengurangi kualitas hidup dan memperburuk kondisi kesehatan.

Stres dan Kecemasan: Prokrastinasi dapat menyebabkan stres dan kecemasan karena tugas yang belum selesai terus membayangi pikiran.

Hubungan Sosial: Menunda-nunda tugas atau janji dapat mempengaruhi hubungan dengan keluarga, teman, atau penyedia layanan kesehatan.

Penurunan Produktivitas: Lansia yang sering menunda-nunda mungkin merasa kurang produktif dan tidak puas dengan pencapaian mereka sehari-hari.

Mengatasi Prokrastinasi pada Lansia:

Buat Jadwal Rutin: Membuat jadwal harian atau mingguan dapat membantu lansia mengatur waktu mereka dengan lebih baik.

Tetapkan Tujuan yang Realistis: Membagi tugas besar menjadi tugas-tugas kecil yang lebih mudah dicapai dapat membantu mengurangi rasa kewalahan.

Bantuan dan Dukungan: Mencari bantuan dari keluarga, teman, atau penyedia layanan kesehatan dapat membantu lansia menyelesaikan tugas yang menantang.

Terapi dan Konseling: Jika prokrastinasi terkait dengan masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, terapi atau konseling dapat sangat bermanfaat.

Aktivitas Fisik dan Mental: Mengikuti aktivitas fisik dan mental yang teratur dapat membantu meningkatkan energi dan motivasi.

       Dengan pendekatan yang tepat, lansia dapat mengurangi perilaku prokrastinasi dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Setiap tugas yang diselesaikan merupakan langkah menuju ketenangan pikiran. Ini bukan hanya tentang tugas itu sendiri, tetapi tentang kualitas hidup dan kemandirian. Jadi, ambillah langkah pertama itu. Jangkau, cari bantuan, dan mulailah mengubah penundaan menjadi tindakan.



Sumber:

https://withalittlehelp.com/overcoming-procrastination-for-seniors 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6039828/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10049005/

https://mural.maynoothuniversity.ie/18495 

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13607863.2024.2345781#abstract

Saturday, 13 July 2024

Waspada Komunitas Lansia yang Toksik, Merusak Kesejahteraan Mental.

       Munculnya beberapa komunitas lansia antara lain bertujuan untuk menjalin kebersamaan, kesetaraan, kesejahteraan secara suka dan rela. Namun dibalik kemuliaan yang dimajukan untuk kesejahteraan lansia tersebut. Muncul beberapa orang yang sadar atau tidak, berpikir negatif dan pesimis yang dapat menular pada individu yang lain. Orang yang toksik cenderung mencari kawan dan merasa puas bila ada anggota lain yang tertekan dan dikucilkan. 

Komunitas lansia ini memiliki AD/ART sejak awal sehingga terhindar dari toksik.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Contoh pengesahan AD/ART komunitas lansia yang baik:


Komunitas lansia yang toksik adalah kelompok di mana interaksi sosial di antara anggotanya bersifat negatif dan merugikan, menyebabkan stres dan menurunnya kesejahteraan. 

Beberapa karakteristik dari komunitas lansia yang toksik antara lain:

Gosip dan Fitnah: 
Gosip yang berlebihan dapat menciptakan lingkungan yang penuh ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan. Hal ini bisa membuat anggota komunitas merasa tidak aman dan terganggu​.

Diskriminasi dan Eksklusi: 
Lansia dalam komunitas yang toksik mungkin mengalami diskriminasi atau eksklusi berdasarkan kondisi fisik, kesehatan mental, status ekonomi, atau latar belakang sosial. Ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan perasaan tidak berharga​.

Kontrol dan Manipulasi: 
Beberapa individu mungkin mencoba mengendalikan atau memanipulasi anggota komunitas lainnya untuk keuntungan pribadi, yang dapat merusak dinamika kelompok dan menyebabkan konflik​.

Sikap Negatif dan Pesimis: 
Lingkungan yang dipenuhi dengan sikap negatif dan pesimis dapat menular, membuat anggota komunitas merasa tertekan dan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial​.

Kurangnya Dukungan Emosional:
Di komunitas yang toksik, dukungan emosional mungkin kurang atau tidak ada sama sekali. Anggota komunitas tidak merasa didukung dalam menghadapi tantangan atau kesulitan yang mereka hadapi​.

Komunitas jamur ini bersifat racun.
(Sumber: foto canva.com)
Ada 4 Tanda Komunitas yang Toksik:
1. Ada orang yang merasa berkuasa:
Komunitas yang baik adalah komunitas yang egaliter atau memiliki kesetaraan. Memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kesetaraan membuat anggota nyaman, karena memiliki aturan yang jelas sejak awal pendirian. Namun komunitas menjadi toksik bila dipimpin oleh orang yang merasa berkuasa dan main perintah. Komunitas toksik sebaiknya ditinggalkan saja karena tidak punya nilai dan buang waktu saja.

2. Tidak Memiliki Aturan yang Jelas:
Komunitas yang baik sejak awal memiliki aturan tertentu. Tanpa aturan menjadikan komunitas bertindak semaunya. Aturan dibuat berdasarkan pimpinannya dan kelompok toksik yang ada. Aturan berubah tanpa mekanisme yang jelas.

3. Saling Menikam:
Dalam komunikasi yang toksik, tidak jarang sesama anggota memiliki hubungan yang tidak baik, cemburu dan iri hati. Tanda yang jelas dari komunitas yang toksik, penggunaan bahasa yang kasar dan kotor, tidak membalas salam dari anggota yang lebih awal menyampaikan salam, saling sahut-menyahut sesama anggota toksik. Cenderung tidak peduli dengan pesan dari anggota tertentu. Tertutup dan tidak menerima perbedaan. 

4. Lebih Banyak Kegiatan tidak bermanfaat:
Komunitas sering kali melakukan kegiatan bersama. Mulai dari kegiatan bersenang-senang atau kegiatan lain yang bermanfaat. Bila kegiatan dilakukan tidak bermanfaat, hanya memenuhi ambisi pribadi dan kroninya maka dipastikan komunitas itu tidak baik dan toksik. Biasanya anggota yang penakut hanya tertekan dan tidak berdaya. Hindari komunitas toksik meskipun itu komunitas lansia karena usia tua dan muda tidak ada bedanya mengenai perilaku.

Beberapa Cara Mengatasi Komunitas Lansia yang Toksik:

Mendorong Komunikasi Terbuka: 
Mendorong anggota komunitas untuk berbicara secara terbuka dan jujur tentang perasaan mereka dapat membantu mengatasi masalah sebelum mereka berkembang menjadi lebih serius.

Penyuluhan dan Edukasi:
Mengadakan program penyuluhan tentang pentingnya hubungan yang sehat dan menghormati sesama dapat meningkatkan kesadaran dan mengurangi perilaku toksik.

Membangun Dukungan Sosial:
Mendorong kegiatan kelompok yang positif dan membangun dukungan sosial dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan mendukung.

Mediasi dan Resolusi Konflik: 
Menyediakan mekanisme untuk mediasi dan penyelesaian konflik dapat membantu mengatasi masalah antar anggota dengan cara yang konstruktif.

Pemantauan dan Evaluasi:
Secara teratur memantau dinamika kelompok dan mengevaluasi interaksi sosial dapat membantu mengidentifikasi masalah sejak dini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi.

Dengan mengambil langkah-langkah ini, diharapkan komunitas lansia dapat menjadi tempat yang lebih positif dan mendukung bagi semua anggotanya.





Sumber:

https://www.psychologytoday.com/us/blog/charm-harm/202004/when-elderly-parents-are-abusive

https://www.agingcare.com/articles/setting-boundaries-with-parents-who-are-abusive-142804.htm

https://www.agingcare.com/articles/setting-boundaries-with-parents-who-are-abusive-142804.htm

https://www.webmd.com/mental-health/features/handle-toxic-family

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/abuse-of-older-people

https://www.psychologytoday.com/intl/blog/boomers-30/201901/why-do-younger-people-dislike-older-people






Friday, 28 June 2024

Reminiscence di Usia Senja: Manfaat Emosional dan Tantangan Psikologis

        Reminiscence adalah ingatan aktif atau pasif dari masa lalu. Hal ini telah diteliti dan dibahas sejak pertengahan tahun 1900-an dan digambarkan sebagai proses perkembangan alami. Efek menguntungkan dari penggunaan reminiscence sebagai pengobatan terapeutik mendukung pentingnya hal ini bagi kesejahteraan di akhir kehidupan. 

Meskipun ini merupakan proses alami dan dapat digunakan dalam pengobatan dan perbaikan tekanan pada orang lanjut usia, tidaklah bijaksana untuk berasumsi bahwa mengenang adalah proses sederhana atau perilaku yang sangat sehat. Bentuk kenangan yang disfungsional dapat berkontribusi pada pengalaman suasana hati yang tertekan di usia lanjut. Misalnya, kecenderungan untuk merenung adalah salah satu mekanisme yang dapat mengganggu proses ingatan alami ini dan menyebabkan hasil yang maladaptif. 

Reminiscence adalah  menjaga identitas dan harga diri lansia.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Reminiscence atau nostalgia pada lansia merujuk pada proses mengingat kembali pengalaman dan kenangan masa lalu. Ini adalah aktivitas mental di mana individu menghidupkan kembali peristiwa, situasi, dan emosi yang pernah dialami. 

Reminiscence pada lansia memiliki beberapa tujuan dan manfaat, antara lain:

Menjaga Identitas dan  Harga Diri: Mengingat kembali masa lalu membantu lansia mempertahankan  harga diri dan identitas mereka. Hal ini penting dalam menjaga integritas psikologis dan perasaan kontinuitas diri.

Kesejahteraan Emosional: Aktivitas ini dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dengan menghadirkan kembali kenangan yang menyenangkan, mengurangi perasaan kesepian, dan memberikan rasa pencapaian dan makna hidup.

Stimulasi Kognitif: Reminiscence dapat merangsang fungsi kognitif seperti memori, perhatian, dan kemampuan verbal, yang dapat membantu memperlambat penurunan kognitif terkait usia.

Penyelesaian Konflik Internal: Proses ini memungkinkan lansia untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atau perasaan yang belum terselesaikan dari masa lalu, yang dapat mengurangi stres dan kecemasan.

Interaksi Sosial: Berbagi cerita dan kenangan dengan orang lain, baik dengan keluarga, teman, atau kelompok pendukung, dapat memperkuat ikatan sosial dan meningkatkan rasa keterhubungan.

       Dalam praktik terapeutik, reminiscence sering digunakan sebagai bagian dari terapi reminiscence, di mana terapis mendorong klien lansia untuk menceritakan dan mengeksplorasi pengalaman masa lalu mereka. Terapi ini dapat dilakukan secara individual maupun dalam kelompok, dan sering kali melibatkan penggunaan foto, musik, atau objek lain yang memicu kenangan tertentu.

Secara keseluruhan, reminiscence pada lansia bukan hanya sekadar mengingat masa lalu, tetapi juga merupakan alat yang berharga untuk meningkatkan kesejahteraan mental, emosional, dan sosial mereka.

       Meskipun reminiscence atau nostalgia pada lansia memiliki banyak manfaat, ada beberapa efek negatif yang mungkin timbul. Efek negatif ini biasanya terkait dengan bagaimana individu memproses dan menginterpretasikan kenangan mereka. 

Beberapa efek negatif yang mungkin terjadi antara lain:

Menghidupkan Kenangan Buruk: Bagi beberapa lansia, mengingat kembali masa lalu bisa memicu kenangan yang traumatis atau menyedihkan. Ini dapat menyebabkan stres emosional, kecemasan, dan depresi.

Rasa Penyesalan dan Kesedihan: Mengingat kesempatan yang terlewatkan, keputusan yang salah, atau kegagalan masa lalu dapat menimbulkan perasaan penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Hal ini dapat mengganggu kesejahteraan emosional dan psikologis.

Mengurangi Kepuasan Hidup Saat Ini: Terlalu banyak fokus pada masa lalu bisa membuat lansia kurang menghargai dan menikmati kehidupan mereka saat ini. Mereka mungkin merasa bahwa masa lalu lebih baik dibandingkan dengan keadaan mereka sekarang, yang bisa mengurangi kepuasan hidup.

Perasaan Kehilangan dan Nostalgia yang Berlebihan: Reminiscence dapat memperkuat perasaan kehilangan, terutama jika lansia mengingat orang-orang tercinta yang telah meninggal atau masa-masa yang tidak dapat diulang. Perasaan nostalgia yang berlebihan bisa menyebabkan melankolia dan perasaan keterasingan dari masa kini.

Keterasingan Sosial: Jika lansia terlalu terfokus pada kenangan masa lalu dan tidak terlibat dalam aktivitas sosial saat ini, mereka mungkin menjadi terisolasi secara sosial. Keterasingan sosial dapat memperburuk masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Distorsi Memori: Ada kemungkinan bahwa kenangan yang diingat tidak sepenuhnya akurat dan mungkin terdistorsi oleh persepsi dan interpretasi saat ini. Hal ini dapat menyebabkan pandangan yang tidak realistis atau idealisasi masa lalu, yang bisa mengganggu penyesuaian diri dengan kenyataan saat ini.

Untuk mengurangi efek negatif ini, penting bagi individu dan penyedia layanan kesehatan untuk mengelola proses reminiscence dengan hati-hati. Pendekatan yang seimbang, yang menggabungkan kenangan positif dan strategi untuk mengatasi kenangan negatif, dapat membantu lansia mendapatkan manfaat maksimal dari aktivitas ini tanpa mengalami efek samping yang merugikan.

Reminiscence pada lansia dapat berakibat baik atau buruk.
(Sumber: foto LPC-lansia)

       Untuk memanfaatkan reminiscence agar memberikan dampak positif bagi lansia, penting untuk menggunakan pendekatan yang terstruktur dan terarah. 

Beberapa strategi yang dapat diterapkan:

1. Terapi Reminiscence Terstruktur
  • Kelompok Terapi: Membentuk kelompok kecil lansia yang dapat berbagi cerita dan pengalaman mereka di bawah bimbingan seorang fasilitator. Ini menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk berbagi kenangan.
  • Individual Therapy: Terapi reminiscence satu-satu dengan seorang terapis, memungkinkan pendekatan yang lebih personal dan fokus pada kebutuhan individu.
2. Menggunakan Stimuli yang Memicu Kenangan Positif
  • Foto dan Album Keluarga: Melihat foto-foto lama dapat membantu memicu kenangan positif dan cerita menarik dari masa lalu.
  • Musik: Musik dari era tertentu sering kali membawa kembali kenangan yang kuat dan bisa digunakan sebagai alat untuk memicu reminiscence.
  • Objek-Objek Nostalgia: Barang-barang lama seperti pakaian, buku, atau mainan bisa memicu kenangan masa kecil dan memberikan rasa nyaman.
3. Fokus pada Kenangan Positif dan Pencapaian
  • Cerita Sukses: Mengajak lansia untuk menceritakan kisah sukses dan pencapaian mereka. Hal ini dapat meningkatkan rasa harga diri dan kepuasan hidup.
  • Kenangan Bahagia: Memfokuskan pada kenangan yang menyenangkan seperti liburan, perayaan, dan momen spesial dalam hidup mereka.
4. Membuat Buku Kenangan atau Memoar
  • Penulisan Memoar: Mendorong lansia untuk menulis kenangan mereka dalam bentuk buku atau memoar. Ini tidak hanya membantu mereka mengingat masa lalu tetapi juga memberikan sesuatu yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
  • Album Kenangan: Membuat album atau scrapbook yang berisi foto dan cerita dari berbagai tahap kehidupan mereka.
5. Melibatkan Keluarga dan Teman
  • Sesi Reminiscence Keluarga: Mengadakan sesi berbagi kenangan bersama keluarga. Ini tidak hanya memperkuat hubungan keluarga tetapi juga memberikan dukungan emosional.
  • Kunjungan dan Percakapan: Mendorong keluarga dan teman untuk sering mengunjungi dan berbicara tentang masa lalu bersama lansia.
6. Integrasi dalam Kegiatan Sehari-Hari
  • Aktivitas Harian: Mengintegrasikan reminiscence dalam aktivitas sehari-hari, seperti memasak makanan favorit dari masa lalu atau menonton film klasik.
  • Program di Pusat Lansia: Mengadakan program reminiscence di pusat kegiatan lansia atau panti jompo sebagai bagian dari rutinitas mereka.
7. Pendekatan yang Sensitif dan Empatik
  • Pendekatan Empatik: Menggunakan pendekatan yang penuh empati dan mendengarkan dengan seksama ketika lansia berbagi kenangan mereka.
  • Menghindari Kenangan Traumatis: Dengan hati-hati menghindari topik yang mungkin memicu kenangan traumatis atau menyedihkan. Fokuskan pada kenangan positif dan memberikan dukungan emosional bila diperlukan.
Dengan pendekatan yang terstruktur dan sensitif, reminiscence dapat menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan emosional, sosial, dan kognitif lansia, serta membantu mereka merasa lebih terhubung dengan masa lalu mereka dan orang-orang di sekitar mereka.

        Reminiscence, atau terapi reminiscence, tidak selalu menyembuhkan penyakit mental secara langsung, tetapi bisa menjadi alat yang efektif dalam manajemen dan perawatan berbagai kondisi kesehatan mental, terutama pada lansia. 

Beberapa kondisi mental di mana terapi reminiscence dapat memberikan manfaat yang signifikan:

1. Depresi
  • Mengurangi Gejala Depresi: Mengingat kembali kenangan positif dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi gejala depresi pada lansia. Berbagi cerita masa lalu yang menyenangkan dapat memberikan perasaan pencapaian dan kebahagiaan.
  • Meningkatkan Harga Diri: Mengingat pencapaian dan pengalaman positif dapat meningkatkan rasa harga diri dan nilai diri.
2. Kecemasan
  • Mengurangi Kecemasan: Berbicara tentang masa lalu dalam lingkungan yang aman dapat membantu mengurangi kecemasan dengan memberikan rasa kenyamanan dan stabilitas.
  • Teknik Relaksasi: Reminiscence dapat berfungsi sebagai teknik relaksasi, membantu individu merasa lebih tenang dan terpusat.
3. Demensia dan Alzheimer
  • Meningkatkan Fungsi Kognitif: Terapi reminiscence dapat membantu merangsang ingatan dan memperlambat penurunan kognitif pada penderita demensia dan Alzheimer. Aktivitas ini membantu menjaga kemampuan verbal dan memori jangka panjang.
  • Mengurangi Agitasi dan Perilaku Bermasalah: Berfokus pada kenangan positif dapat mengurangi perilaku agresif atau agitasi yang sering terjadi pada pasien demensia.
4. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
  • Proses Terapi yang Aman: Dalam beberapa kasus, reminiscence dapat digunakan sebagai bagian dari terapi untuk PTSD, membantu individu mengingat kembali peristiwa masa lalu dalam lingkungan yang terkontrol dan mendukung. Namun, ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari pemicu trauma.
  • Menciptakan Narasi yang Positif: Membantu individu menciptakan narasi yang lebih positif dan koheren tentang masa lalu mereka, yang dapat mengurangi dampak trauma.
5. Kesepian dan Isolasi Sosial
  • Meningkatkan Interaksi Sosial: Berbagi kenangan dengan orang lain dapat mengurangi perasaan kesepian dan isolasi sosial. Ini juga memperkuat ikatan dengan keluarga, teman, dan kelompok sebaya.
  • Memperkuat Hubungan: Menghidupkan kembali kenangan bersama orang lain dapat memperkuat hubungan sosial dan memberikan rasa keterhubungan.
6. Gangguan Stres dan Trauma
  • Mengatasi Perasaan Tertekan: Mengingat dan membicarakan peristiwa masa lalu dalam setting terapeutik dapat membantu mengurangi perasaan tertekan dan memperbaiki kesejahteraan emosional.
  • Penyelesaian Konflik Emosional: Membantu individu menyelesaikan konflik emosional yang belum terselesaikan dari masa lalu mereka.
Pendekatan Terapeutik
Untuk memaksimalkan manfaat reminiscence dalam pengobatan berbagai kondisi mental, penting untuk dilakukan dengan pendekatan yang tepat:
  • Pendampingan Profesional: Terapis atau profesional kesehatan mental dapat memandu proses ini untuk memastikan bahwa reminiscence dilakukan dengan cara yang aman dan mendukung.
  • Lingkungan yang Aman dan Mendukung: Melakukan reminiscence dalam lingkungan yang mendukung dan empatik untuk mendorong berbagi yang jujur dan terbuka.
  • Fokus pada Kenangan Positif: Meskipun penting untuk mengakui seluruh spektrum pengalaman hidup, fokus utama harus pada kenangan positif untuk meningkatkan kesejahteraan emosional.
Secara keseluruhan, meskipun terapi reminiscence mungkin tidak menyembuhkan penyakit mental, namun dapat menjadi bagian penting dari pendekatan holistik untuk meningkatkan kesejahteraan emosional, kognitif, dan sosial pada lansia.





Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5549128/

https://bethesdahealth.org/blog/2021/10/20/benefits-of-nostalgia-and-reminiscing-for-seniors 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4359728/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10332080/

https://bmcgeriatr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12877-023-03967-2


Monday, 24 June 2024

Menemukan Kedamaian di Masa Tua: Mengelola Ruminasi dan Stres

          Pikiran berulang telah didefinisikan sebagai “proses berpikir dengan penuh perhatian, berulang-ulang atau sering tentang diri sendiri dan dunianya”. Sifat konstruktifnya dibahas dalam kaitannya dengan peningkatan persiapan adaptif, perencanaan antisipatif, dan lain-lain. Di antara pemikiran yang berulang-ulang, gaya merenung yang bercirikan isi depresi (depressive rumination) dipandang sangat tidak konstruktif dan maladaptif.

Ruminasi adalah proses berpikir yang berulang dan tidak produktif tentang peristiwa negatif, kesalahan, atau kekhawatiran. Pada lansia, ruminasi dapat menjadi masalah serius karena sering kali terkait dengan perasaan penyesalan, kesedihan, dan kecemasan mengenai masa lalu atau masa depan. 

Ruminasi pada lansia dapat menganggu kesehatan mental.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Ruminasi merupakan faktor risiko terjadinya depresi baik pada populasi umum maupun pada orang dewasa yang lebih tua. Hal ini terkait dengan mengalami keadaan suasana hati negatif yang lebih sering, lebih intens, dan lebih lama. Selain itu, ruminasi lebih mungkin terjadi dalam konteks masalah medis dan kognitif.

Pengertian Ruminasi pada Lansia

Proses Berpikir Berulang: Lansia yang mengalami ruminasi cenderung terus-menerus memikirkan hal-hal negatif atau stres yang telah terjadi, tanpa menemukan solusi atau penyelesaian. Pikiran ini berputar-putar dalam benak mereka dan sulit untuk dihilangkan.

Fokus pada Masa Lalu: Ruminasi pada lansia sering kali berkaitan dengan refleksi masa lalu, termasuk penyesalan atas keputusan-keputusan yang diambil, kesempatan yang terlewatkan, atau kesalahan yang dibuat.

Dampak Emosional: Proses berpikir yang berulang ini dapat memperburuk kondisi emosional, menyebabkan perasaan sedih, putus asa, dan tidak berdaya. Ini juga dapat memperparah gejala depresi dan kecemasan.

Pengaruh terhadap Kesehatan Mental: Ruminasi yang berlebihan dapat mengganggu fungsi kognitif, tidur, dan kesejahteraan umum. Lansia yang terus-menerus merenungkan hal-hal negatif mungkin mengalami penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.

Faktor Penyebab Ruminasi pada Lansia

Perubahan Hidup: Peristiwa besar seperti pensiun, kehilangan pasangan, atau perubahan kesehatan dapat memicu ruminasi.

Kesepian dan Isolasi: Lansia yang merasa kesepian atau terisolasi mungkin lebih cenderung merenungkan hal-hal negatif.

Depresi dan Kecemasan: Kondisi kesehatan mental ini seringkali terkait dengan ruminasi.
Kehilangan dan Duka: Mengalami kehilangan orang yang dicintai atau teman dekat dapat menyebabkan ruminasi yang mendalam tentang masa lalu dan perasaan bersalah.

Beberapa Ciri Ruminasi pada Lansia:

Berpikir Berulang-ulang: Lansia yang mengalami ruminasi cenderung merenungkan peristiwa masa lalu secara berulang-ulang, sering kali tanpa hasil yang positif.

Fokus pada Negatif: Pikiran-pikiran ini biasanya negatif, seperti penyesalan, kesalahan, atau kekhawatiran yang tidak terselesaikan.

Kesulitan Mengalihkan Pikiran: Mereka mungkin merasa sulit untuk mengalihkan perhatian dari pikiran-pikiran ini dan terus-menerus kembali kepada mereka.

Pengaruh Emosional: Ruminasi dapat menyebabkan perasaan sedih, cemas, atau marah yang mendalam dan berkepanjangan.

Penurunan Kualitas Hidup: Terus-menerus merenungkan pikiran negatif dapat mengganggu tidur, menurunkan energi, dan mengurangi keterlibatan dalam aktivitas yang menyenangkan.

Dampak Ruminasi pada Lansia:

Depresi: Ruminasi dapat memperburuk gejala depresi atau bahkan menjadi faktor yang memicu depresi pada lansia.

Kecemasan: Lansia yang sering meruminasi mungkin mengalami peningkatan tingkat kecemasan, terutama jika mereka terus-menerus memikirkan skenario buruk atau kekhawatiran masa depan.

Penurunan Kesehatan Fisik: Stres emosional yang dihasilkan dari ruminasi dapat mempengaruhi kesehatan fisik, seperti meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

Isolasi Sosial: Lansia yang terlalu fokus pada pikiran negatif mungkin menarik diri dari interaksi sosial, yang dapat menyebabkan isolasi sosial dan memperburuk kondisi mental mereka.

Beberapa Penanganan Ruminasi pada Lansia:

Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): CBT adalah pendekatan efektif yang membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif, menggantinya dengan pola pikir yang lebih positif dan konstruktif.

Terapi Berbasis Penerimaan dan Komitmen (ACT): ACT membantu individu menerima pikiran dan perasaan mereka tanpa berusaha mengubahnya, dan kemudian berkomitmen pada tindakan yang selaras dengan nilai-nilai mereka.

Mindfulness dan Meditasi: Teknik mindfulness membantu lansia menjadi lebih sadar akan pikiran mereka tanpa terpaku pada mereka, yang dapat mengurangi ruminasi.

Aktivitas Fisik: Olahraga dan aktivitas fisik dapat membantu mengalihkan perhatian dari pikiran negatif dan meningkatkan suasana hati.

Aktivitas fisik dan olahraga dapat mengeliminasi ruminasi.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Dukungan Sosial: Mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu mengurangi perasaan isolasi dan memberikan perspektif yang berbeda.

Hobi dan Kegiatan Positif: Mengikuti hobi atau kegiatan yang menyenangkan dapat membantu mengalihkan perhatian dari pikiran negatif dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Dengan pendekatan yang tepat, lansia dapat belajar mengelola ruminasi mereka, mengurangi dampak negatifnya, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.






Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5549128/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3303571/

https://academic.oup.com/innovateage/article/5/4/igab034/6363823

https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-981-287-082-7_255

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/psyg.12965


Friday, 31 May 2024

Menjelajahi Dekade: Perbedaan Signifikan di Usia 60, 70, 80, dan 90

       Beberapa orang berhasil mencapai usia 90 tahun tanpa mengalami penurunan kognitif yang serius.  Sementara sekitar sepertiga orang berusia 85 tahun ke atas mungkin terkena penyakit Alzheimer atau bentuk demensia lainnya. Beberapa obat atau kondisi kesehatan lainnya juga dapat memengaruhi cara  berpikir.

Perbedaan antara orang yang berusia 60, 70, 80, dan 90 tahun dapat bervariasi secara signifikan tergantung pada faktor individu seperti kesehatan fisik, mental, genetik, gaya hidup, dan lingkungan. Namun, secara umum, ada beberapa perbedaan yang bermakna dalam hal kesehatan, kemampuan fisik, kognitif, dan sosial pada kelompok usia tersebut:

Lansia memiliki perbedaan yang bermakna.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
Usia 60-an:

Kesehatan Fisik: 
Banyak orang di usia ini masih cukup aktif dan sehat. Namun, mulai muncul masalah kesehatan seperti hipertensi, diabetes, atau arthritis.

Kemampuan Kognitif: 
Biasanya masih baik, meskipun mungkin mulai ada penurunan kecil dalam memori atau kecepatan pemrosesan informasi.

Sosial: 
Banyak yang masih bekerja atau baru saja pensiun. Kehidupan sosial sering tetap aktif dengan kegiatan komunitas dan keluarga.

Usia 70-an:

Kesehatan Fisik:
Risiko penyakit kronis meningkat, dan mobilitas mungkin mulai menurun. Beberapa mungkin memerlukan bantuan untuk aktivitas sehari-hari.

Kemampuan Kognitif: 
Penurunan kognitif mungkin lebih nyata, terutama dalam hal memori jangka pendek dan multitasking.

Sosial: 
Kehidupan sosial dapat mulai menyempit karena pensiun, kehilangan teman sebaya, atau keterbatasan mobilitas.

Gaya hidup lansia dapat berpengaruh terhadap kesehatan.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Usia 80-an:

Kesehatan Fisik:
Banyak yang mengalami keterbatasan fisik yang signifikan dan mungkin memerlukan perawatan jangka panjang atau bantuan rutin.

Kemampuan Kognitif: 
Penurunan kognitif bisa lebih jelas, dengan peningkatan risiko demensia atau gangguan kognitif ringan.

Sosial:
Jaringan sosial cenderung lebih kecil. Kehilangan pasangan atau teman sebaya dapat menyebabkan kesepian, tetapi keluarga sering menjadi sumber dukungan utama.

Usia 90-an:

Kesehatan Fisik: 
Kesehatan fisik biasanya sangat rapuh, dengan kemungkinan besar mengalami berbagai kondisi kronis dan penurunan mobilitas yang signifikan.

Kemampuan Kognitif: 
Risiko demensia sangat meningkat. Banyak yang mengalami penurunan signifikan dalam kemampuan kognitif.

Sosial:
Kehidupan sosial sangat terbatas, sering kali terbatas pada interaksi dengan keluarga dekat atau pengasuh. Kesepian bisa menjadi masalah besar, tetapi ada juga yang masih menikmati kegiatan sosial yang sesuai dengan kondisi mereka.

Perbedaan ini bersifat umum dan tidak berlaku untuk semua orang. Banyak faktor, termasuk genetik, gaya hidup (seperti diet dan olahraga), akses ke layanan kesehatan, dan dukungan sosial, dapat sangat mempengaruhi bagaimana seseorang menua dan menghadapi perubahan yang datang dengan bertambahnya usia.

       Menghadapi perbedaan yang signifikan pada usia 60, 70, 80, dan 90 tahun memerlukan pendekatan yang adaptif dan penuh empati.

Berberapa strategi yang dapat membantu dalam menghadapi perubahan fisik, kognitif, dan sosial yang datang dengan bertambahnya usia:

Usia 60-an
  • Menjaga Kesehatan Fisik: Rutin berolahraga, menjaga pola makan seimbang, dan melakukan pemeriksaan kesehatan berkala.
  • Aktivitas Sosial dan Mental: Tetap aktif dalam komunitas, mengejar hobi baru, dan terus belajar untuk menjaga kesehatan kognitif.
  • Perencanaan Keuangan: Mulai mempersiapkan perencanaan pensiun dan mengelola keuangan untuk masa depan.
  • Pemeriksaan Medis Rutin: Pemeriksaan rutin untuk mendeteksi dini masalah kesehatan.

Usia 70-an
  • Menjaga Mobilitas dan Kesehatan: Terus berolahraga sesuai kemampuan dan fokus pada latihan yang meningkatkan keseimbangan dan fleksibilitas.
  • Kesehatan Mental: Aktif terlibat dalam kegiatan sosial, mengikuti kelas atau kelompok yang merangsang pikiran.
  • Dukungan Sosial: Memperkuat jaringan dukungan sosial dengan teman dan keluarga.
  • Adaptasi Rumah: Menyesuaikan rumah untuk memastikan keamanan dan kemudahan akses, seperti menambahkan pegangan tangan di kamar mandi.

Usia 80-an
  • Perawatan Kesehatan yang Lebih Intensif: Fokus pada pengelolaan kondisi kronis dan menjaga rutinitas medis yang lebih intensif.
  • Bantuan Sehari-hari: Mempertimbangkan bantuan dari pengasuh atau anggota keluarga untuk kegiatan sehari-hari.
  • Kesehatan Emosional: Mengatasi perasaan kesepian dan menjaga koneksi sosial dengan keluarga dan teman.
  • Kegiatan Terstruktur: Terlibat dalam kegiatan yang terstruktur seperti kelas seni, musik, atau kelompok dukungan.

Usia 90-an
  • Perawatan Kesehatan yang Holistik: Fokus pada perawatan yang holistik, termasuk perawatan paliatif jika diperlukan.
  • Keamanan dan Kenyamanan: Memastikan lingkungan yang aman dan nyaman, serta mudah diakses.
  • Dukungan Emosional: Memberikan dukungan emosional yang kuat, baik dari keluarga maupun profesional.
  • Merayakan Kehidupan: Mencari cara untuk merayakan pencapaian dan kenangan hidup, serta mempertahankan kualitas hidup yang baik.

Beberapa kiat Umum untuk Semua Usia
  • Pendidikan dan Informasi: Terus belajar tentang penuaan sehat dan cara-cara untuk menghadapi perubahan yang datang.
  • Komunikasi Terbuka: Menjaga komunikasi terbuka dengan keluarga dan tenaga medis mengenai kebutuhan dan keinginan.
  • Gaya Hidup Sehat: Menjaga gaya hidup sehat dengan diet seimbang, olahraga teratur, dan tidur yang cukup.
  • Adaptasi Psikologis: Menerima perubahan yang datang dengan penuaan dan mencari dukungan profesional jika diperlukan.
Setiap individu berbeda, jadi penting untuk menyesuaikan pendekatan berdasarkan kebutuhan dan kondisi pribadi. Fleksibilitas, pemahaman, dan dukungan dari keluarga serta komunitas sangat penting dalam menghadapi perubahan ini.

Dekade Spesifik

Usia 60-an: Fokus pada deteksi dini penyakit kronis dan pencegahan. Banyak orang mulai mengalami perubahan ringan dalam mobilitas dan kognisi.

Usia 70-an: Peningkatan risiko penyakit kronis dan kondisi geriatri seperti osteoporosis, artritis, dan hipertensi. Penurunan kognitif ringan mungkin mulai muncul.

Usia 80-an: Penurunan fungsional dan kognitif lebih jelas. Meningkatnya kebutuhan akan bantuan dalam aktivitas sehari-hari dan peningkatan prevalensi sindrom geriatri.

Usia 90-an: Frailty (kelemahan) dan penurunan fungsional yang signifikan. Tingginya prevalensi demensia dan penurunan kesehatan secara umum. Fokus pada perawatan paliatif dan kualitas hidup.




Sumber:






Tuesday, 28 May 2024

Ini Ciri- ciri Lansia Mengalami Pikiran Mengembara

      "Pikiran mengembara" atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai "mind-wandering" merujuk pada kondisi di mana perhatian seseorang teralihkan dari tugas atau aktivitas yang sedang dikerjakan, dan berpindah ke pikiran lain yang tidak terkait. Ini bisa termasuk memikirkan masa lalu, merencanakan masa depan, atau bahkan berimajinasi tentang hal-hal yang tidak nyata atau tidak relevan dengan situasi saat ini.

Pikiran Mengembara sering terjadi pada lansia.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
Pada lansia, pikiran mengembara bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk perubahan kognitif yang alami seiring bertambahnya usia. 

Beberapa penyebab dan faktor yang berhubungan dengan pikiran mengembara pada lansia meliputi:

Penurunan Kognitif: 
Seiring bertambahnya usia, kemampuan kognitif seperti memori dan konsentrasi bisa menurun. Ini dapat membuat lansia lebih rentan terhadap pikiran mengembara.

Stres dan Kecemasan: 
Lansia yang mengalami stres atau kecemasan, baik karena kondisi kesehatan, kehilangan orang yang dicintai, atau perubahan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin lebih sering mengalami pikiran mengembara.

Kebosanan atau Kurangnya Stimulasi: 
Kurangnya aktivitas atau stimulasi mental bisa menyebabkan pikiran mengembara sebagai bentuk kompensasi untuk mencari hal-hal yang menarik atau memuaskan secara mental.

Kondisi Medis:
Beberapa kondisi medis, seperti depresi, gangguan tidur, atau penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer, bisa berkontribusi pada peningkatan frekuensi pikiran mengembara.

Efek Obat: 
Beberapa obat yang sering dikonsumsi oleh lansia untuk mengatasi berbagai kondisi kesehatan bisa memiliki efek samping yang mempengaruhi konsentrasi dan perhatian.

Lansia yang sedang mengalami pikiran mengembara kehilangan fokus.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
        Berikut adalah beberapa ciri yang dapat menunjukkan bahwa seorang lansia sedang mengalami pikiran mengembara:

Kehilangan Fokus pada Tugas: 
Lansia mungkin sering terlihat kehilangan konsentrasi atau perhatian terhadap tugas atau percakapan yang sedang berlangsung. Mereka mungkin tampak melamun atau tidak menyimak.

Respons Lambat atau Tidak Tepat: 
Ketika diajak bicara atau diminta melakukan sesuatu, respons mereka mungkin lambat atau tidak relevan dengan topik atau tugas yang dimaksud.

Mengulangi Pertanyaan atau Pernyataan: 
Karena pikiran mereka mengembara, mereka mungkin lupa bahwa mereka sudah menanyakan sesuatu atau sudah diberitahu tentang sesuatu, dan cenderung mengulanginya.

Sering Melamun: 
Mereka mungkin sering terlihat melamun atau menatap kosong tanpa fokus pada sesuatu yang spesifik.

Kesulitan Mengikuti Instruksi:
Lansia mungkin mengalami kesulitan dalam mengikuti instruksi atau menyelesaikan tugas yang membutuhkan beberapa langkah, karena perhatian mereka sering teralihkan.

Mengubah Topik Pembicaraan Tiba-tiba:
Dalam percakapan, mereka mungkin sering mengalihkan topik pembicaraan secara tiba-tiba ke hal-hal yang tidak relevan dengan diskusi saat ini.

Mengabaikan Lingkungan Sekitar: 
Mereka mungkin tidak menyadari atau memperhatikan apa yang terjadi di sekitar mereka, seperti suara atau kejadian yang biasanya menarik perhatian.

Keluhan Lupa atau Bingung: 
Lansia mungkin sering mengeluh tentang lupa atau merasa bingung, yang bisa jadi akibat dari perhatian yang teralihkan atau pikiran yang mengembara.

Menyimpang dari Rutinitas:
Mereka mungkin mengalami kesulitan untuk mempertahankan rutinitas harian atau cenderung melakukan kesalahan dalam kegiatan yang biasanya mereka lakukan dengan baik.

Kehilangan Rasa Waktu: 
Mereka mungkin kehilangan persepsi tentang berapa lama mereka telah menghabiskan waktu dalam suatu kegiatan, terutama jika pikiran mereka mengembara ke tempat lain.

       Mengatasi pikiran mengembara pada lansia memerlukan pendekatan holistik yang mencakup aspek fisik, mental, dan emosional. 

Beberapa strategi yang dapat membantu:

1. Stimulasi Mental
Aktivitas Kognitif: Terlibat dalam aktivitas yang menstimulasi otak seperti teka-teki silang, sudoku, membaca, atau permainan papan.
Belajar Hal Baru: Mendorong lansia untuk belajar keterampilan baru atau mengikuti kursus yang menarik minat mereka.

2. Kesehatan Fisik
Olahraga Teratur: Aktivitas fisik seperti berjalan, berenang, atau yoga dapat membantu meningkatkan fokus dan konsentrasi.
Nutrisi yang Baik: Pola makan seimbang dengan cukup vitamin, mineral, dan antioksidan membantu menjaga kesehatan otak.

3. Manajemen Stres dan Emosi
Teknik Relaksasi: Latihan pernapasan, meditasi, atau yoga dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan fokus.
Konseling atau Terapi: Berbicara dengan seorang konselor atau terapis bisa membantu mengelola stres, kecemasan, atau depresi.

4. Rutinitas Harian
Jadwal yang Terstruktur: Memiliki rutinitas harian yang teratur dapat membantu mengurangi kebingungan dan meningkatkan fokus.
Istirahat yang Cukup: Tidur yang cukup dan berkualitas penting untuk fungsi kognitif yang baik.

5. Lingkungan yang Mendukung
Lingkungan Bebas Gangguan: Mengurangi kebisingan dan gangguan di sekitar dapat membantu lansia lebih fokus pada tugas yang ada.
Penanda Visual: Menggunakan catatan atau penanda visual dapat membantu mengingatkan lansia tentang tugas-tugas penting atau kegiatan yang harus dilakukan.

6. Interaksi Sosial
Kegiatan Sosial: Berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau bergabung dengan kelompok-kelompok komunitas dapat memberikan stimulasi mental dan emosional.
Dukungan Keluarga dan Teman: Mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat memberikan rasa aman dan membantu mengurangi pikiran mengembara.

7. Pengelolaan Kondisi Medis
Konsultasi Medis: Berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi medis yang mendasari yang menyebabkan pikiran mengembara, seperti gangguan tidur, depresi, atau demensia.
Pengaturan Obat: Memastikan bahwa obat yang dikonsumsi tidak memiliki efek samping yang mempengaruhi konsentrasi atau perhatian.

8. Aktivitas Mindfulness
Latihan Mindfulness: Praktik mindfulness seperti perhatian penuh pada pernapasan atau meditasi mindfulness dapat membantu lansia belajar untuk mengarahkan dan mengendalikan pikiran mereka.

Implementasi strategi-strategi ini secara konsisten dapat membantu mengurangi frekuensi pikiran mengembara dan meningkatkan kualitas hidup lansia. Selalu penting untuk menyesuaikan pendekatan berdasarkan kebutuhan dan preferensi individu lansia.

       Pikiran mengembara bisa menjadi masalah jika terjadi terlalu sering dan mengganggu aktivitas sehari-hari atau kualitas hidup.  Dalam beberapa kasus, ini juga bisa memberikan manfaat. Pikiran mengembara dapat memungkinkan seseorang untuk mengatasi masalah, merencanakan masa depan, atau bahkan memberikan momen kreativitas.




Sumber:




 







Wednesday, 1 May 2024

lansia Tersesat dalam Pikiran Sendiri, Melamun Mal-adaptif.

        Terkadang Anda tersesat dalam pikiran adalah hal yang biasa. Para ahli memperkirakan kita menghabiskan sekitar 47% waktu bangun kita dalam lamunan, sejenak teralihkan dari dunia di sekitar kita sembari membiarkan pikiran kita mengembara. Namun, jika lamunan Anda terlalu intens hingga mengganggu kehidupan sehari-hari, Anda mungkin termasuk orang yang melamun mal-adaptif.

Perkiraan para ahli 47% waktu terjaga digunakan untuk melamun.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Tersesat dalam pikiran sendiri pada melamun mal-adaptif mengacu pada kondisi di mana seseorang, dalam hal ini lansia, terperangkap dalam pemikiran yang tidak produktif, tidak realistis, atau tidak sehat secara emosional. Mereka mungkin terbenam dalam khayalan atau fantasi yang tidak sesuai dengan realitas, dan hal ini bisa mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks melamun mal-adaptif pada lansia, mereka mungkin terjebak dalam pemikiran yang mengarah pada kesedihan, kecemasan, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Mereka mungkin terus-menerus memikirkan hal-hal yang tidak dapat mereka ubah atau memikirkan masa lalu dengan penuh penyesalan, atau terjebak dalam kecemasan yang tidak rasional tentang masa depan.

Melamun mal-adaptif pada lansia adalah kondisi di mana seorang lansia cenderung terlalu sering atau terlalu lama terbenam dalam pemikiran atau fantasi yang tidak produktif atau tidak realistis. Ini bisa mencakup memikirkan masa lalu dengan penuh penyesalan atau kekhawatiran yang berlebihan, memikirkan masa depan dengan ketakutan yang tidak rasional, atau bahkan terjebak dalam khayalan yang tidak realistis atau tidak sehat.

Melamun mal-adaptif pada lansia dapat mengganggu fungsi sehari-hari mereka, mengganggu kualitas hidup, dan bahkan berkontribusi pada masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan. Hal ini juga dapat menghambat kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan dalam kehidupan mereka atau untuk menjalani hubungan sosial yang sehat.

Penting untuk membedakan antara melamun yang sesekali dan produktif dengan melamun yang mal-adaptif. Dalam kasus melamun maladaptif, intervensi mungkin diperlukan, seperti terapi psikologis atau konseling, untuk membantu lansia menghadapi dan mengatasi pola pikir yang tidak sehat atau tidak produktif tersebut.

Beberapa ciri melamun mal-adaptif pada lansia dapat bervariasi, termasuk:

Kehilangan Kontak dengan Realitas: 
Lansia yang mengalami melamun mal-adaptif cenderung kehilangan kontak dengan realitas. Mereka mungkin terbenam dalam dunia khayalan atau fantasi yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Kehadiran Emosional yang Mendalam:
Melamun mal-adaptif pada lansia sering kali disertai dengan kehadiran emosi yang kuat, seperti kesedihan, kegelisahan, atau ketakutan yang tidak rasional.
Melamun mal-adaptif sering disertai kesedihan yang mendalam.
(Sumber: foto canva.com)
Kesulitan Mengatasi Tugas Harian:
Lansia yang terjebak dalam melamun mal-adaptif mungkin kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari atau menjaga fokus pada kegiatan yang perlu dilakukan.

Ketidakmampuan untuk Menikmati Aktivitas: 
Mereka mungkin kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati, karena terlalu terfokus pada pemikiran yang negatif atau melamun.

Perubahan Pola Tidur: 
Melamun mal-adaptif dapat menyebabkan gangguan tidur, seperti kesulitan tidur atau tidur yang terlalu banyak, karena pikiran yang terus menerus terjebak dalam pemikiran yang tidak produktif.

Perasaan Putus Asa atau Kehilangan Harapan: 
Lansia dengan melamun mal-adaptif mungkin merasa putus asa atau kehilangan harapan tentang masa depan, karena terlalu terfokus pada pemikiran negatif atau khayalan yang tidak realistis.

Isolasi Sosial: 
Mereka mungkin cenderung menarik diri dari interaksi sosial dengan keluarga, teman, atau masyarakat karena terlalu terfokus pada pemikiran internal mereka sendiri.

Kehilangan Fungsi Sosial atau Pekerjaan:
Melamun mal-adaptif pada lansia dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menjalankan fungsi sosial atau pekerjaan dengan baik, yang dapat berdampak negatif pada kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

Pemikiran Obsesif atau Berulang: 
Pemikiran negatif atau obsesif seringkali muncul secara berulang dalam melamun mal-adaptif, sulit untuk dihentikan atau dikendalikan.

Mengidentifikasi ciri-ciri melamun mal-adaptif pada lansia penting untuk memberikan bantuan dan dukungan yang sesuai. 

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan melamun mal-adaptif pada lansia, antara lain :

Perubahan Hidup yang Signifikan: 
Perubahan besar dalam hidup, seperti pensiun, kematian pasangan hidup, kehilangan teman atau anggota keluarga lainnya, atau masalah kesehatan serius, dapat memicu melamun mal-adaptif pada lansia.

Kesehatan Mental: 
Gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan penyesuaian dapat menyebabkan melamun mal-adaptif pada lansia. Kondisi-kondisi ini sering kali menyebabkan pemikiran negatif dan obsesif yang sulit untuk dihentikan.

Ketidakamanan atau Kehilangan Rasa Kontrol: 
Lansia yang merasa tidak aman atau kehilangan rasa kontrol atas hidup mereka mungkin cenderung melamun sebagai cara untuk menghindari atau mengatasi perasaan-perasaan tersebut.

Lansia yang merasa tidak aman cenderung melamun sebagai cara menghindar.
(Sumber: foto canva.com)
Kurangnya Kegiatan Sosial atau Keterlibatan:
Kurangnya interaksi sosial atau keterlibatan dalam kegiatan yang membangun secara mental dan emosional dapat meningkatkan risiko melamun mal-adaptif pada lansia.

Pengalaman Traumatik di Masa Lalu: 
Pengalaman traumatis di masa lalu, seperti kehilangan yang signifikan atau pengalaman yang menghancurkan, dapat menyisakan jejak emosional yang berdampak pada cara lansia memproses pikiran dan perasaan mereka.

Kondisi Kesehatan Fisik yang Buruk:
Masalah kesehatan fisik yang kronis atau membatasi dapat memicu perasaan frustrasi, putus asa, atau kehilangan harapan, yang kemudian dapat memperkuat pola pikir mal-adaptif.

Keterbatasan Kognitif: 
Lansia dengan keterbatasan kognitif atau penyakit neuro degeneratif seperti demensia mungkin memiliki kesulitan dalam memproses informasi secara efektif, yang dapat meningkatkan risiko melamun mal-adaptif.

Memahami faktor-faktor penyebab melamun mal-adaptif pada lansia penting untuk memberikan intervensi yang sesuai dan membantu mereka mengatasi pola pikir yang tidak sehat tersebut. 

        Mencegah melamun mal-adaptif pada lansia melibatkan langkah-langkah yang mempromosikan kesehatan mental, interaksi sosial, dan keterlibatan dalam aktivitas yang positif. 

Beberapa cara mencegah melamun mal-adaptif pada lansia:

Aktivitas Fisik: 
Mendorong lansia untuk tetap aktif fisik dengan melakukan olahraga ringan atau berjalan-jalan dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, dan mengurangi risiko melamun mal-adaptif.

Keterlibatan Sosial:
Mendukung keterlibatan sosial aktif dengan keluarga, teman, atau kelompok sosial dapat membantu mengurangi isolasi sosial dan memberikan dukungan emosional yang penting.

Mengembangkan Hobi dan Minat:
Mendorong lansia untuk mengeksplorasi hobi baru atau mempertahankan minat yang sudah ada dapat memberikan kesempatan untuk merasa terlibat dan merasa bermakna.

Kegiatan Mental:
Merangsang otak dengan melakukan aktivitas mental yang merangsang, seperti membaca, menulis, atau menyelesaikan teka-teki, dapat membantu menjaga kognisi dan mengurangi risiko melamun mal-adaptif.

Terapi Psikologis Preventif: 
Terapi kognitif-perilaku (CBT) atau terapi dukungan dapat digunakan secara preventif untuk membantu lansia mengembangkan keterampilan penanganan stres yang sehat dan mengatasi perasaan negatif sebelum menjadi melamun mal-adaptif.

Pentingnya Rutinitas: 
Membantu lansia untuk menjaga rutinitas harian yang stabil dan terstruktur dapat membantu mengurangi kecenderungan untuk melamun atau merasa kewalahan oleh perubahan.

Edukasi tentang Kesehatan Mental:
Memberikan edukasi tentang pentingnya kesehatan mental, penanganan stres, dan pentingnya mencari bantuan jika diperlukan dapat membantu lansia mengidentifikasi gejala awal melamun mal-adaptif dan mencari bantuan sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih serius.

Peran Keluarga dan Komunitas: 
Keluarga dan anggota masyarakat dapat memainkan peran penting dalam mencegah melamun mal-adaptif dengan memberikan dukungan emosional, mempromosikan interaksi sosial, dan mengajak lansia untuk terlibat dalam kegiatan positif.

Mencegah melamun mal-adaptif pada lansia membutuhkan pendekatan holistik yang memperhatikan aspek-aspek fisik, mental, dan sosial kesehatan mereka. 

       Mengobati melamun mal-adaptif pada lansia melibatkan berbagai strategi terapeutik dan intervensi yang dapat membantu mengubah pola pikir dan merangsang partisipasi aktif dalam kehidupan sehari-hari. 

Beberapa pendekatan yang dapat membantu mengobati melamun mal-adaptif pada lansia:

Terapi Kognitif-Perilaku (CBT):
Terapi CBT dapat membantu lansia mengidentifikasi pola pikir negatif atau tidak sehat yang memicu melamun mal-adaptif dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih positif dan adaptif.

Terapi Dukungan: 
Terapi dukungan atau konseling dapat memberikan wadah bagi lansia untuk mengekspresikan perasaan mereka, mengatasi trauma atau kehilangan masa lalu, dan merasa didengar dan dipahami.

Teknik Relaksasi:
Teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau relaksasi otot progresif dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan yang sering kali memicu melamun mal-adaptif.

Terapi Aktivitas: 
Terapi aktivitas, seperti seni terapi atau musik terapi, dapat membantu lansia mengekspresikan diri secara kreatif dan menemukan kegembiraan dalam kegiatan yang positif.

Terapi Kelompok: 
Terapi kelompok dapat memberikan dukungan sosial dari individu lain yang mengalami situasi serupa, serta memberikan kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan strategi coping orang lain.

Pengembangan Keterampilan Penanganan Stres:
Lansia dapat diajari teknik-teknik penanganan stres yang praktis dan efektif untuk membantu mereka mengatasi situasi yang menantang tanpa membiarkan diri mereka terperangkap dalam melamun mal-adaptif.

Edukasi dan Informasi: 
Memberikan edukasi tentang pentingnya hidup yang sehat, menjaga keseimbangan emosional, dan menangani stres dapat membantu lansia memahami pentingnya menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang positif.

Pendekatan Holistik: 
Menggabungkan beberapa pendekatan di atas dan mendekati pengobatan secara holistik dapat memberikan hasil terbaik dalam mengatasi melamun mal-adaptif pada lansia.

Selain itu, penting untuk memahami bahwa setiap individu memiliki kebutuhan yang unik, dan pendekatan yang efektif dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. Konsultasi dengan profesional kesehatan mental atau terapis yang berpengalaman dalam merawat lansia dapat membantu menentukan rencana perawatan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik seseorang.
        

Sumber:

https://www.sleepfoundation.org/mental-health/maladaptive-daydreaming 

https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12888-022-04156-y 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7532859/

https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/23336-maladaptive-daydreaming 

https://www.health.harvard.edu/mind-and-mood/maladaptive-daydreaming-what-it-is-and-how-to-stop-it