Showing posts with label Lingkungan Lansia. Show all posts
Showing posts with label Lingkungan Lansia. Show all posts

Saturday 4 May 2024

Butir-butir Pertanyaan Ini, Mampu Menilai Kerapuhan Lansia.

        TFI (Tilburg Frailty Indicator) adalah kuesioner laporan mandiri yang mudah digunakan, yang bertujuan untuk menilai kelemahan fisik, psikologis, dan sosial. Bahkan prediksi angka kematian dapat digunakan  dengan (TFI). Saat ini, TFI telah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa. 

TFI mudah digunakan untuk menilai kelemahan fisik.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

TFI adalah alat penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kerapuhan pada orang dewasa yang rentan secara fisik, psikologis, dan sosial. Alat ini awalnya dikembangkan oleh para peneliti di Universitas Tilburg di Belanda. 

TFI terdiri dari dua belas pertanyaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti kesehatan fisik, kognitif, keuangan, dukungan sosial, dan perasaan terkait kesepian. Skor yang diberikan pada setiap pertanyaan kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan skor keseluruhan, yang dapat membantu dokter atau tenaga kesehatan dalam menilai tingkat kerapuhan seseorang dan merencanakan intervensi yang sesuai. 

Dua belas butir pertanyaan TFI dapat digunakan untuk menilai kerapuhan.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
TFI telah digunakan secara luas dalam penelitian dan praktik klinis untuk membantu dalam pengelolaan kesehatan dan perawatan orang dewasa yang rentan. TFI terdiri dari dua belas butir pertanyaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang terkait dengan kerapuhan. 

Berikut adalah contoh beberapa butir pertanyaan yang mungkin termasuk dalam TFI:

Apakah Anda merasa lemah fisik?
Apakah Anda merasa lelah dengan cepat?
Apakah Anda sering merasa sakit atau tidak nyaman?
Apakah Anda memiliki masalah kesehatan yang membatasi aktivitas fisik Anda?
Apakah Anda merasa kesepian?
Apakah Anda memiliki dukungan sosial yang cukup?
Apakah Anda memiliki masalah dalam berkomunikasi dengan orang lain?
Apakah Anda memiliki masalah dengan kebiasaan makan Anda?
Apakah Anda merasa khawatir tentang keadaan keuangan Anda?
Apakah Anda memiliki masalah dalam mengingat hal-hal yang baru saja terjadi?
Apakah Anda merasa sulit melakukan aktivitas sehari-hari seperti berpakaian atau mandi?
Apakah Anda merasa depresi atau sedih secara terus-menerus?

Pertanyaan-pertanyaan ini dirancang untuk mencakup berbagai aspek kerapuhan yang mungkin dialami oleh seseorang, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

Skor TFI diperoleh dengan menjumlahkan nilai yang diberikan untuk setiap butir pertanyaan. Setiap butir pertanyaan memiliki opsi jawaban yang diberi nilai, biasanya mulai dari 0 hingga 1 atau 0 hingga 2, tergantung pada versi TFI yang digunakan. Skor total kemudian dapat digunakan untuk menilai tingkat kerapuhan seseorang. 

Kriteria skor umumnya dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Skor TFI di bawah 5: Individu dianggap tidak rapuh.
Skor TFI antara 5 hingga 7: Individu mungkin memiliki tingkat kerapuhan ringan hingga sedang.
Skor TFI di atas 7: Individu cenderung mengalami tingkat kerapuhan yang lebih tinggi.

Penting untuk diingat bahwa interpretasi skor TFI dapat bervariasi tergantung pada penelitian atau praktik klinis tertentu yang menggunakan alat tersebut. Sebagai tambahan, beberapa versi TFI mungkin memiliki kriteria skor yang sedikit berbeda tergantung pada penyesuaian dan validasi yang dilakukan oleh para peneliti di berbagai konteks. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan pedoman interpretasi yang disertakan dengan versi TFI yang digunakan.

Sebuah contoh versi TFI dengan skornya adalah sebagai berikut:

Apakah Anda merasa lemah fisik?
Tidak (Skor 0)
Kadang-kadang (Skor 1)
Ya (Skor 2)

Apakah Anda merasa lelah dengan cepat?
Tidak (Skor 0)
Kadang-kadang (Skor 1)
Ya (Skor 2)

Apakah Anda sering merasa sakit atau tidak nyaman?
Tidak (Skor 0)
Kadang-kadang (Skor 1)
Ya (Skor 2)
... dan seterusnya untuk setiap butir pertanyaan.

Setelah menjawab semua pertanyaan, Anda akan menjumlahkan nilai-nilai yang diberikan untuk setiap butir pertanyaan untuk mendapatkan skor total. Misalnya, jika seseorang menjawab "Kadang-kadang" untuk setiap pertanyaan, maka total skornya akan menjadi 12 (jumlah skor untuk setiap butir pertanyaan).

Kemudian, interpretasi skor TFI dapat dilakukan sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya, seperti:

Skor TFI di bawah 5: Individu dianggap tidak rapuh.
Skor TFI antara 5 hingga 7: Individu mungkin memiliki tingkat kerapuhan ringan hingga sedang.
Skor TFI di atas 7: Individu cenderung mengalami tingkat kerapuhan yang lebih tinggi.

        Dalam banyak kasus, lansia dapat mengisi Tilburg Frailty Indicator (TFI) sendiri. Namun, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan:

TFI dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas pada lansia.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Kemampuan Kognitif: 
Jika seseorang memiliki gangguan kognitif yang signifikan, seperti demensia, maka kemampuannya untuk mengisi kuesioner ini dengan benar mungkin terbatas. Dalam hal ini, bantuan dari keluarga, penjaga, atau petugas kesehatan mungkin diperlukan.

Kemampuan Fisik: 
Beberapa lansia mungkin memiliki kesulitan fisik dalam menulis atau menjawab pertanyaan. Dalam situasi ini, ada pilihan untuk memberikan kuesioner secara lisan dan mencatat jawaban mereka.

Pemahaman Pertanyaan: 
Pertanyaan dalam TFI harus dipahami dengan baik oleh responden. Jika ada kebingungan atau kesulitan dalam memahami pertanyaan, bantuan untuk menjelaskan pertanyaan dapat diberikan.

Kemampuan Pengambilan Keputusan: 
 Seseorang harus mampu membuat keputusan secara independen untuk menjawab pertanyaan dengan jujur dan akurat.

Jadi, sementara lansia secara umum dapat mengisi TFI sendiri, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor di atas untuk memastikan bahwa hasilnya akurat dan relevan dengan kondisi mereka. Dalam beberapa situasi, bantuan dari orang lain atau penggunaan metode alternatif mungkin diperlukan.

Tilburg Frailty Indicator (TFI) memiliki beberapa manfaat yang signifikan untuk lansia:

Mendeteksi Kerapuhan: 
TFI membantu dalam mengidentifikasi orang yang rentan atau mengalami kerapuhan. Dengan melakukan evaluasi secara teratur menggunakan TFI, lansia yang berisiko tinggi dapat diidentifikasi lebih awal, memungkinkan intervensi yang tepat waktu untuk mengurangi risiko komplikasi kesehatan dan penurunan fungsi fisik.

Perencanaan Perawatan: 
Hasil dari TFI dapat membantu profesional kesehatan dalam merencanakan perawatan yang sesuai dan terpadu untuk lansia. Ini mencakup mengidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatan, dukungan sosial, dan intervensi rehabilitasi yang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko kejadian yang tidak diinginkan.

Mengukur Respons Terhadap Intervensi: 
TFI dapat digunakan sebagai alat evaluasi untuk mengukur respons seseorang terhadap intervensi atau perawatan yang telah diberikan. Dengan membandingkan skor sebelum dan sesudah intervensi, profesional kesehatan dapat menilai efektivitas tindakan yang diambil dan menyesuaikan rencana perawatan sesuai kebutuhan.

Memberikan Kesadaran dan Pendidikan:
Penggunaan TFI dapat meningkatkan kesadaran tentang kerapuhan pada lansia, baik bagi lansia itu sendiri maupun bagi keluarga, penjaga, atau anggota tim perawatan kesehatan mereka. Ini dapat membuka pintu untuk diskusi tentang perawatan kesehatan yang lebih holistik dan pencegahan penyakit.

Menyediakan Dasar untuk Penelitian: 
TFI telah digunakan dalam banyak studi penelitian untuk memahami prevalensi kerapuhan, faktor risiko, dan dampaknya terhadap kesehatan lansia. Data yang diperoleh dari TFI dapat memberikan wawasan yang berharga bagi peneliti untuk mengembangkan strategi intervensi yang lebih efektif dan program kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.

Dengan demikian, TFI bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga merupakan alat yang berharga dalam merencanakan perawatan yang sesuai, meningkatkan kualitas hidup, dan memperpanjang masa hidup yang sehat bagi lansia.




Sumber:

https://research.tilburguniversity.edu/en/publications/prediction-of-mortality-by-the-tilburg-frailty-indicator-tfi/fingerprints/

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1525861020306587

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6691441/

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32385008/

https://www.dovepress.com/assessing-frailty-with-the-tilburg-frailty-indicator-tfi-a-review-of-r-peer-reviewed-fulltext-article-CIA

https://www.mdpi.com/2227-9032/11/16/2309



Tuesday 16 April 2024

Lansia Memakan dalam Jumlah Terbatas, atau Tidak Memakannya Sama Sekali.

         Penekanan nutrisi lansia biasanya pada makanan untuk menambah dan mendorong asupan. Namun, ada makanan yang harus dihindari oleh lansia karena potensi risiko penyakitnya, terutama terkait dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh seiring bertambahnya usia. Kecukupan nutrisi untuk lansia merupakan fokus nutrisi yang penting, begitu juga dengan mengetahui makanan apa yang harus dihindari oleh lansia. 

Kecukupan nutrisi penting untuk lansia namun ada makanan yang harus dihindari.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Beberapa makanan yang direkomendasikan untuk dimakan dalam jumlah terbatas, atau tidak dimakan sama sekali, untuk praktik nutrisi terbaik bagi lansia.

Telur Mentah

Telur mentah dapat membawa risiko kesehatan bagi lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Makan telur mentah atau setengah matang dapat membawa risiko kesehatan, terutama bagi lansia, karena alasan-alasan berikut:

Kontaminasi Bakteri: 
Telur mentah atau setengah matang dapat terkontaminasi oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella. Lansia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan mentah atau setengah matang.

Kandungan Nutrisi: 
Meskipun telur mengandung banyak nutrisi penting seperti protein dan vitamin, mengonsumsinya dalam bentuk mentah dapat mengurangi ketersediaan nutrisi tersebut bagi tubuh. Proses memasak telur secara menyeluruh membantu meningkatkan ketersediaan nutrisi dan mengurangi risiko infeksi.

Risiko Toksoplasmosis: 
Telur mentah atau setengah matang juga dapat menyebabkan risiko infeksi parasit toksoplasma, yang dapat berbahaya bagi lansia dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Masalah pencernaan: 
Konsumsi telur mentah atau setengah matang juga dapat menyebabkan masalah pencernaan seperti diare, kram perut, dan mual, terutama bagi orang yang memiliki sensitivitas pencernaan.

Meskipun resep kue keping coklat yang terkenal itu mungkin meyakinkan sebelum adonan dimasukkan ke dalam oven, penting untuk melawan godaan untuk mengurangi risiko kontaminasi salmonella. Membatasi telur mentah merupakan catatan penting yang harus diperhatikan oleh para lansia untuk menurunkan risiko penyakit bawaan makanan.

Produk lain yang mengandung telur mentah yang sebaiknya dihindari termasuk mayones buatan sendiri, eggnog, dan saus hollandaise. Pilih produk yang dibuat secara komersial, karena produk tersebut akan dipasteurisasi untuk membunuh bakteri dari telur mentah.

Daging Kurang Matang
Makan daging kurang matang atau mentah dapat membawa risiko kesehatan yang lebih tinggi, terutama bagi lansia, karena mereka cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah dan rentan terhadap infeksi. 

Daging setengah matang atau mentah membawa risiko kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa alasan mengapa makan daging kurang matang atau mentah tidak baik untuk lansia:

Kontaminasi Bakteri: 
Daging yang tidak dimasak sepenuhnya dapat terkontaminasi oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella, E. coli, dan Campylobacter. Lansia cenderung lebih rentan terhadap infeksi bakteri, dan konsumsi daging yang tidak matang dapat meningkatkan risiko infeksi makanan yang serius.

Risiko Toksoplasmosis: 
Daging mentah atau kurang matang juga dapat menyebabkan risiko infeksi parasit toksoplasma. Infeksi toksoplasmosis dapat menyebabkan gejala ringan hingga parah terutama pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah, seperti lansia.

Salmonellosis: 
Bakteri Salmonella, yang sering ditemukan dalam daging yang tidak dimasak sepenuhnya, dapat menyebabkan penyakit yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis meliputi diare, mual, muntah, demam, dan sakit perut, yang dapat menjadi lebih berat dan berpotensi fatal pada lansia.

Campylobacteriosis: 
Bakteri Campylobacter, yang juga umumnya ditemukan dalam daging yang tidak dimasak sepenuhnya, dapat menyebabkan campylobacteriosis. Infeksi ini menyebabkan gejala seperti diare, sakit perut, demam, dan mual, yang dapat berisiko lebih tinggi bagi lansia.

Sistem Kekebalan Tubuh yang Melemah:
Lansia umumnya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, yang membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Oleh karena itu, konsumsi daging yang tidak matang dapat meningkatkan risiko komplikasi kesehatan pada lansia.

Untuk mengurangi risiko infeksi makanan dan masalah kesehatan terkait, sangat penting bagi lansia untuk memastikan bahwa daging dimasak dengan benar, yaitu sampai mencapai suhu dalam yang aman untuk mematikan bakteri yang mungkin ada. Selain itu, memilih daging yang segar dan berkualitas tinggi juga penting untuk meminimalkan risiko kontaminasi.

Seperti kekhawatiran terhadap telur mentah, daging yang kurang matang juga menimbulkan risiko penyakit bawaan makanan, terutama pada sistem kekebalan tubuh yang lemah. Batasi atau hindari asupan steak, makanan laut mentah, sate dan daging setengah matang lainnya. Sebagai gantinya, masak atau pesan daging yang sudah matang atau matang seluruhnya hingga tidak lagi berwarna merah muda.
Saat menyiapkan hidangan daging dan unggas, ikuti panduan suhu daging yang aman ini untuk memastikan keamanan pangan yang lebih baik.

Daging Deli
Daging deli, yang juga dikenal sebagai daging olahan, adalah daging yang telah diproses, diawetkan, atau diolah lebih lanjut sebelum dijual kepada konsumen. Proses ini dapat mencakup penggilingan, pemotongan tipis, pemberian bumbu, pengasapan, atau pemberian bahan tambahan untuk meningkatkan rasa atau memperpanjang masa simpan 

Daging Deli atau daging olahan bukan pilihan terbaik untuk lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Daging deli sering kali tidak dianggap sebagai pilihan yang optimal untuk lansia karena beberapa alasan, termasuk:

Kandungan Garam Tinggi: 
Daging deli sering diawetkan dengan garam untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan rasa. Konsumsi garam berlebihan dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, yang merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada lansia.

Kandungan Lemak dan Kolesterol Tinggi: 
Beberapa jenis daging deli, seperti bacon dan sosis, mengandung tinggi lemak jenuh dan kolesterol. Konsumsi lemak jenuh dan kolesterol berlebih dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, yang dapat menjadi lebih serius bagi lansia.

Risiko Kontaminasi Bakteri:
Daging deli, terutama jika tidak disimpan dengan benar atau jika disajikan mentah atau setengah matang, dapat menjadi sumber potensial kontaminasi bakteri seperti Salmonella dan Listeria. Lansia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga lebih rentan terhadap infeksi makanan yang disebabkan oleh bakteri.

Bahan Tambahan:
Beberapa produk daging deli dapat mengandung bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, dan pengental yang tidak diinginkan. Konsumsi bahan tambahan tertentu dapat berisiko bagi kesehatan, terutama bagi lansia yang mungkin memiliki sensitivitas terhadap beberapa bahan tambahan.

Meskipun demikian, bukan berarti lansia harus sepenuhnya menghindari daging deli. Jika ingin mengonsumsinya, disarankan untuk memilih pilihan yang lebih sehat, seperti daging deli rendah lemak, rendah garam, dan bebas bahan tambahan yang berbahaya. 

Selain itu, pastikan untuk menyimpan daging deli dengan benar dalam lemari es dan memastikan bahwa daging deli dimasak sepenuhnya sebelum dikonsumsi untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri. Tetap mengonsumsi dalam batas yang wajar dan seimbang dengan pola makan yang sehat juga penting bagi kesehatan lansia.

Faktanya, konsumsi daging olahan (seperti daging asap, sosis, dan ham) telah dikaitkan dengan tingginya insiden kanker kolorektal, menurut American Institute for Cancer Research .

Tuna kalengan, salmon, atau salad telur bisa menjadi alternatif yang lebih sehat dibandingkan daging deli untuk sandwich. Pertimbangkan untuk mencampurkannya dengan yogurt tanpa rasa untuk mendapatkan protein lebih tinggi dan peningkatan nutrisi pembentuk tulang!

Ikan Mentah
Ikan mentah atau setengah matang, seperti yang ditemukan dalam sushi atau sashimi, dapat membawa risiko kesehatan tertentu bagi lansia. 

Ikan mentah membawa risiko tertentu untuk lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa alasan mengapa ikan mentah sebaiknya dihindari oleh lansia:

Kontaminasi Bakteri dan Parasit: 
Ikan mentah rentan terhadap kontaminasi oleh bakteri seperti Salmonella, Listeria, dan E. coli, serta parasit seperti cacing pita dan anisakis. Lansia memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan parasit. Konsumsi ikan mentah meningkatkan risiko infeksi makanan yang serius pada lansia.

Risiko Toksikologi: 
Beberapa jenis ikan, terutama ikan besar seperti tuna, hiu, dan mackerel king, dapat mengandung tingkat merkuri yang tinggi. Merkuri adalah logam berat yang dapat berbahaya bagi kesehatan, terutama bagi sistem saraf. Lansia mungkin lebih rentan terhadap efek negatif merkuri karena metabolisme yang lambat dan akumulasi toksin dalam tubuh seiring waktu.

Keseimbangan Nutrisi yang Tidak Seimbang:
Mengonsumsi ikan mentah secara berlebihan dapat mengakibatkan keseimbangan nutrisi yang tidak seimbang dalam diet. Meskipun ikan adalah sumber protein dan asam lemak omega-3 yang sehat, mengonsumsinya dalam jumlah besar, terutama dalam bentuk mentah, dapat menyebabkan konsumsi lemak jenuh yang tinggi dan rendahnya asupan nutrisi lainnya.

Potensi Interaksi Obat:
Lansia sering mengonsumsi berbagai jenis obat, dan beberapa jenis ikan mentah atau setengah matang dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu. Misalnya, ikan mentah dapat mengandung tingkat histamin yang tinggi, yang dapat memperburuk kondisi seperti migrain atau alergi.

Disarankan bagi lansia untuk mengonsumsi ikan yang telah dimasak sepenuhnya untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri dan parasit, serta membatasi konsumsi ikan yang mengandung tingkat merkuri yang tinggi. Jika ingin menikmati ikan mentah, pastikan untuk memilih ikan segar dan berkualitas tinggi dari sumber yang tepercaya, dan konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi untuk saran yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan individu. 

Meskipun ikan terus didorong untuk dikonsumsi karena kandungan lemaknya yang sehat dan pasokan protein yang cukup, mengonsumsinya mentah adalah hal yang berbeda (ikan). Seperti telur dan daging setengah matang, tiram mentah, udang, kepiting, dan bentuk mentah lainnya harus dihindari untuk mengurangi risiko penyakit bawaan makanan, untuk mendapatkan manfaat makan ikan, masak dan konsumsilah ikan yang sudah matang sempurna.  

Sushi:
Sushi adalah hidangan khas Jepang yang terdiri dari nasi yang digabungkan dengan bahan lain, seperti ikan mentah, makanan laut, sayuran, dan telur. Sushi sering disajikan dengan saus kedelai, jahe, dan wasabi sebagai pelengkap.

Berbicara tentang ikan mentah,sushi juga harus makan dengan hati-hati. Meskipun beberapa hidangan sushi dimasak secara internal, asupannya tetap harus diperhatikan dengan hati-hati. 
Selain kekhawatiran terhadap bahan mentahnya, sushi juga mengandung natrium tinggi dan menyebabkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Hal ini menambah alasan lain mengapa makanan ini harus dihindari oleh para lansia.  

Susu dan Jus yang Tidak Dipasteurisasi:
Pasteurisasi adalah pemanasan makanan atau minuman hingga suhu yang cukup tinggi untuk membunuh mikroorganisme berbahaya, tetapi tidak cukup tinggi untuk merusak nutrisi atau mengubah tekstur produk secara signifikan. Suhu dan waktu pemanasan yang diperlukan bervariasi tergantung pada jenis makanan atau minuman yang diproses. Biasanya, proses pasteurisasi dilakukan pada suhu antara 60°C hingga 85°C, tergantung pada produk dan persyaratan sanitasi.

Susu pemasok kalsium dan produk susu lainnya sangat dianjurkan untuk kesehatan tulang. Namun, para lansia harus menghindari susu yang tidak dipasteurisasi karena risiko penyakit bawaan makanan yang lebih tinggi.

Demikian pula, jus dan keju lunak yang tidak dipasteurisasi, termasuk brie dan camembert, juga harus dihindari karena potensinya menampung bakteri berbahaya.  Untuk memasak keju lunak, pilih keju yang lebih keras daripada keju lunak dan juga pastikan untuk memilih jus yang dipasteurisasi .

Soda:
Soda adalah minuman berkarbonasi yang biasanya mengandung air, pemanis, rasa buatan, dan gas karbon dioksida yang memberikan gelembung dan rasa segar. Minuman soda dapat dikonsumsi secara langsung atau digunakan sebagai campuran dalam koktail atau minuman lainnya.

Minuman soda dapat beragam rasa, mulai dari rasa cola klasik hingga rasa buah-buahan seperti jeruk, lemon-lime, ceri, dan banyak lagi. Beberapa minuman soda juga tersedia dalam versi diet atau tanpa kalori, yang menggunakan pemanis buatan sebagai pengganti gula.

Soda sering dikonsumsi sebagai minuman ringan atau penyegar, terutama di negara-negara Barat. Namun, konsumsi soda secara berlebihan telah dikaitkan dengan sejumlah masalah kesehatan, termasuk obesitas, diabetes tipe 2, gangguan pencernaan, dan masalah kesehatan gigi.

Produk dengan kandungan gula yang tinggi dapat mempercepat proses demineralisasi gigi dan tulang, hal ini terutama mengkhawatirkan bagi lansia yang sudah hampir membutuhkan gigi palsu dan meningkatkan risiko osteoporosis. 

Soda diet juga tidak dianjurkan karena banyak masalah kesehatan, daripada minum soda, fokuslah pada minum air yang dimaniskan dengan sedikit jus atau irisan jeruk, lemon, mentimun, atau buah beri untuk menambah rasa alami.

Alkohol:
Alkohol adalah senyawa kimia organik yang terbentuk dari proses fermentasi gula oleh ragi, bakteri, atau mikroorganisme lainnya. Senyawa ini memiliki efek psikoaktif pada sistem saraf manusia dan dapat menyebabkan perubahan perilaku dan suasana hati. Alkohol yang paling umum dikonsumsi oleh manusia adalah etanol, yang juga dikenal sebagai alkohol etil.

Alkohol sering kali dikonsumsi dalam bentuk minuman beralkohol seperti bir, anggur, sake, vodka, whiskey, dan banyak lagi. Kadar alkohol dalam minuman tersebut dapat bervariasi, mulai dari kadar alkohol yang rendah (misalnya, bir) hingga kadar alkohol yang tinggi (misalnya, minuman keras).

Konsumsi alkohol dapat memberikan efek yang beragam pada tubuh manusia, tergantung pada jumlah yang dikonsumsi dan sensitivitas individu.
Beberapa efek alkohol yang umum meliputi:

Efek Depresan: 
Alkohol adalah zat depresan, yang berarti bahwa dapat menekan aktivitas sistem saraf pusat. Ini dapat menyebabkan perasaan rileks, penurunan inhibisi, dan pengurangan koordinasi motorik.

Efek Psikoaktif: 
Alkohol juga memiliki efek psikoaktif, yang dapat menyebabkan perubahan suasana hati, seperti euforia atau depresi, serta perubahan persepsi, pemikiran, dan perilaku.

Efek Fisik: 
Konsumsi alkohol dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan efek fisik yang tidak diinginkan, termasuk mual, muntah, sakit kepala, penglihatan kabur, kelelahan, dan bahkan kehilangan kesadaran. Pada dosis yang sangat tinggi, alkohol dapat menyebabkan keracunan alkohol, yang dapat mengancam jiwa.

Ketergantungan: 
Penggunaan alkohol yang berkepanjangan dan berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis, yang dapat mengakibatkan penarikan alkohol yang berat dan masalah kesehatan jangka panjang.

Ketika dikonsumsi dengan bijaksana dan dalam jumlah yang moderat, alkohol dapat dinikmati sebagai bagian dari pengalaman sosial atau sebagai cara untuk bersantai. Namun, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat berisiko dan dapat menyebabkan masalah kesehatan dan sosial yang serius. Oleh karena itu, penting untuk mengonsumsi alkohol dengan bertanggung jawab dan memperhatikan batas aman yang direkomendasikan.

Meskipun alkohol boleh dikonsumsi dalam jumlah sedang, sangat penting untuk berhati-hati terhadap konsumsi alkohol pada populasi lanjut usia. Mencampur alkohol dengan obat yang diresepkan dapat mengurangi efektivitasnya atau menyebabkan efek samping yang serius. 

Alkohol juga dapat menurunkan tekanan darah dan gula, sehingga meningkatkan masalah kesehatan utama pada lansia. Demi keamanan maksimal, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan panduan individu jika ingin mengonsumsi alkohol.

Makanan Keras:
Makanan keras atau alot dapat menjadi sulit untuk dikonsumsi oleh lansia karena beberapa alasan, termasuk:

Resiko Tersedak: Lansia mungkin memiliki kesulitan menelan atau mengunyah makanan yang keras atau alot. Potongan makanan yang besar atau keras dapat meningkatkan risiko tersedak, yang merupakan masalah serius yang dapat menyebabkan sumbatan saluran napas dan bahkan kematian.

Masalah Kesehatan Gigi dan Mulut: Lansia sering mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, seperti gigi yang rapuh, kerusakan gigi, atau nyeri gusi. Makan makanan keras atau alot dapat menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang meningkat pada gigi dan gusi yang sensitif.

Pencernaan yang Lambat: Fungsi pencernaan cenderung melambat seiring bertambahnya usia. Makanan keras atau alot dapat sulit dicerna oleh sistem pencernaan yang lambat, yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti perut kembung, gas, atau konstipasi.

Resiko Cedera: Lansia mungkin mengalami penurunan kekuatan fisik atau koordinasi, yang dapat meningkatkan risiko cedera saat mencoba mengunyah makanan yang keras atau alot. Potensi risiko termasuk patah gigi, cedera pada mulut atau tenggorokan, atau bahkan cedera pada rahang.

Disarankan bagi lansia untuk memilih makanan yang lembut, mudah dikunyah, dan mudah dicerna. Ini termasuk makanan seperti bubur, sup, sayuran lembut, buah-buahan yang matang, daging yang dimasak dengan lembut, dan makanan yang dipotong menjadi potongan kecil. Penting juga untuk memastikan bahwa makanan yang disajikan tidak terlalu panas, karena lansia mungkin lebih rentan terhadap luka bakar pada mulut dan tenggorokan.

Makanan keras umumnya memiliki tekstur yang padat dan memerlukan usaha ekstra untuk mengunyah dan mencerna. 
Berikut adalah beberapa contoh makanan keras:

Kacang: Contohnya termasuk kacang tanah, kacang almond, kacang mete, dan kacang lainnya yang biasanya memiliki tekstur yang keras dan renyah.

Biji-bijian: Biji-bijian seperti biji bunga matahari, biji labu, dan biji wijen juga termasuk dalam kategori makanan keras.

Kerupuk: Kerupuk, seperti kerupuk udang, kerupuk ikan, atau kerupuk lainnya, memiliki tekstur yang keras dan seringkali renyah.

Kue Kering: Beberapa jenis kue kering, terutama yang renyah dan keras, seperti biskuit gandum atau kue bawang, juga dapat dianggap sebagai makanan keras.

Roti Kering: Roti yang telah mengeras atau roti kering memiliki tekstur yang keras dan dapat sulit untuk dikunyah.

Buah Kering: Beberapa buah kering, seperti kurma atau aprikot kering, memiliki tekstur yang keras dan lengket.

Keripik: Keripik kentang, keripik jagung, atau keripik lainnya yang diproses dengan cara digoreng atau dipanggang hingga renyah dapat termasuk dalam kategori makanan keras.

Permen Keras: Permen keras, seperti permen karet atau permen berisi, juga dapat diklasifikasikan sebagai makanan keras karena mereka membutuhkan usaha ekstra untuk mengunyah.

Makanan keras ini umumnya dapat menjadi pilihan yang kurang sesuai untuk lansia atau individu dengan masalah kesehatan tertentu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengunyah dan mencerna makanan dengan baik. Oleh karena itu, disarankan untuk menghindari makanan ini atau memilih alternatif yang lebih lembut dan mudah dicerna.

Jeruk Bali
Grapefruit adalah jenis buah sitrus yang berasal dari keluarga Rutaceae dan merupakan salah satu jenis jeruk. Buah ini dikenal karena rasa asamnya yang khas dengan sentuhan manis, serta aroma yang segar. Grapefruit memiliki warna kulit yang bervariasi dari kuning muda hingga merah muda, tergantung pada varietasnya.

Buah grapefruit umumnya berukuran sedang hingga besar, dengan daging buah yang berwarna kuning atau merah muda tergantung pada jenisnya. Rasa grapefruit bisa sangat asam atau sedikit manis, tergantung pada varietasnya dan tingkat kematangannya.

Grapefruit sering dikonsumsi sebagai buah segar, baik langsung dimakan atau dijadikan sebagai bahan dalam salad buah, minuman jus, atau makanan penutup. Selain itu, beberapa varietas grapefruit juga digunakan dalam pembuatan minuman ringan, selai, atau bahan masakan lainnya.

Selain rasanya yang segar dan manfaat gizinya, grapefruit juga terkenal karena kandungan nutrisinya yang kaya akan vitamin C, serat, dan antioksidan. Grapefruit juga diketahui mengandung senyawa-senyawa yang disebut flavonoid, yang memiliki potensi manfaat kesehatan seperti perlindungan terhadap penyakit jantung dan anti-inflamasi.

Grapefruit dapat berinteraksi dengan beberapa obat.
(Sumber: foto canva.com)
Grapefruit dapat berinteraksi dengan beberapa obat-obatan, termasuk obat kardiovaskular, antidepresan, dan obat penurun kolesterol. Interaksi ini dapat memengaruhi cara tubuh memetabolisme obat tersebut dan meningkatkan risiko efek samping yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, bagi mereka yang mengonsumsi obat-obatan, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi sebelum mengonsumsi grapefruit secara teratur.

Grapefruit memiliki banyak manfaat nutrisi, namun sayangnya, jeruk bali dapat mengganggu banyak pengobatan yang mungkin dikonsumsi oleh lansia. Jangan berasumsi Anda bisa meminumnya pada waktu yang berbeda dalam sehari, meskipun meminum obat dan produk jeruk bali pada waktu yang berbeda tidak menghentikan interaksi yang berpotensi membahayakan. Grapefruit dapat menyebabkan obat bertahan lebih lama atau lebih pendek di sistem tubuh sehingga dapat memengaruhi efektivitasnya.

Demikian makanan yang sebaiknya dibatasi atau dihindari oleh lansia karena memiliki risiko yang buruk pada kesehatan lansia. Konsultasi kepada medis, dokter  atau ahli kesehatan bila akan memakannya.



Sumber:



Friday 12 April 2024

Penyebab Lansia sering kali Kaget

        Pengertian "kaget" pada lansia adalah reaksi fisik atau emosional yang timbul sebagai respons terhadap rangsangan atau situasi yang tidak terduga, tidak diharapkan, atau mengganggu. Pada lansia, respons kaget ini bisa meliputi perasaan terkejut, peningkatan detak jantung, peningkatan tekanan darah, pernapasan yang cepat, gemetar, kebingungan, atau perasaan tidak nyaman.

Kaget reaksi fisik atau emosional yang timbul sebagai respons.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Istilah medis untuk "kaget pada lansia" adalah "hiperrefleksia". Hiperrefleksia mengacu pada peningkatan respons refleks tubuh terhadap rangsangan eksternal atau internal. Pada lansia, hiperrefleksia dapat terjadi sebagai respons terhadap situasi yang mengejutkan atau tidak terduga, dan ini bisa merupakan bagian dari spektrum respons fisiologis yang melibatkan sistem saraf otonom dan pusat reaksi tubuh terhadap stres.

Meskipun kata "kaget" dan "terkejut" sering digunakan secara bergantian dalam percakapan sehari-hari, ada perbedaan halus antara keduanya dalam konteks reaksi seseorang terhadap situasi atau peristiwa tertentu:

Kaget: 
"Kaget" mengacu pada reaksi tiba-tiba dan mendadak terhadap stimulus yang tidak diharapkan atau tidak terduga. Ini adalah respons fisiologis alami yang melibatkan peningkatan detak jantung, pernapasan yang cepat, atau gerakan tubuh refleks yang cepat. Ketika seseorang kaget, mereka mungkin merasa tidak siap atau tidak memiliki antisipasi terhadap stimulus yang menyebabkan reaksi tersebut.

Kaget adalah reaksi tiba-tiba dan mendadak.
(Sumber: foto canva.com)
Terkejut: 
"Terkejut" lebih mengacu pada respons emosional yang muncul karena peristiwa atau informasi yang mengejutkan. Ini adalah perasaan tidak terduga atau tidak siap terhadap sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Terkejut dapat melibatkan emosi seperti kebingungan, ketidakpercayaan, atau kejutan, tetapi mungkin tidak selalu menyertai respons fisik yang mendadak seperti pada reaksi kaget.

Lansia sering kali mengalami ciri-ciri kaget yang dapat melibatkan respons fisik dan emosional.

Beberapa ciri khasnya meliputi:

Perubahan Ekspresi Wajah: 
Lansia yang kaget mungkin menunjukkan perubahan ekspresi wajah yang mencerminkan perasaan terkejut atau kebingungan.

Peningkatan Detak Jantung: 
Respons fisiologis umum terhadap kaget termasuk peningkatan detak jantung. Lansia yang mengalami kaget mungkin merasakan detak jantung yang lebih cepat dari biasanya.

Peningkatan Pernapasan: 
Peningkatan pernapasan yang cepat atau dangkal adalah salah satu ciri reaksi stres dan kejutan pada lansia.

Gemetar atau Ketegangan: 
Lansia yang kaget dapat mengalami gemetar atau ketegangan otot, terutama pada tangan atau kaki.

Kesulitan Berkonsentrasi: 
Kejutan atau situasi yang mengejutkan dapat membuat lansia kesulitan berkonsentrasi atau merasa bingung.

Ketidaknyamanan atau Kegelisahan: 
Lansia yang kaget mungkin merasa tidak nyaman atau gelisah akibat rangsangan atau situasi yang tidak diharapkan.

Lansia yang kaget mungkin merasa tidak nyaman.
(Sumber: foto canva.com)
Reaksi Responsif Otomatis: 
Lansia dapat menunjukkan respons refleks otomatis seperti melompat, menarik nafas, atau meraih sesuatu sebagai tanggapan terhadap stimulus yang mengejutkan.

Gangguan Tidur: 
Kejutan atau stres yang berkepanjangan dapat mempengaruhi pola tidur lansia, menyebabkan gangguan tidur atau kesulitan untuk tidur.

💬 Reaksi kaget dapat bervariasi antar individu dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kesehatan umum, keadaan kognitif, dan faktor lingkungan. 

Lansia sering kali mengalami gejala kaget atau kebingungan karena beberapa alasan, termasuk:

Gangguan Sensorik: 
Gangguan pendengaran atau penglihatan yang umum terjadi pada lansia dapat membuat mereka lebih rentan terhadap kejutan atau situasi yang mengejutkan.

Penurunan Kemampuan Kognitif: 
Penurunan kemampuan kognitif, seperti penyusutan memori atau penurunan konsentrasi, yang terjadi secara alami seiring bertambahnya usia, dapat membuat lansia lebih sulit untuk memproses informasi atau memahami situasi dengan cepat. Hal ini dapat membuat mereka merasa kaget atau kebingungan dalam situasi yang kompleks atau tidak terduga.

Gangguan Kesehatan Mental: 
Lansia juga lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, yang dapat meningkatkan reaksi terhadap situasi yang mengejutkan.

Perubahan Lingkungan: 
Perubahan dalam lingkungan sekitar, seperti suara yang tiba-tiba atau cahaya yang terang, dapat memicu respons kaget pada lansia, terutama jika mereka memiliki sensitivitas sensorik yang meningkat.

Penyakit Terkait Usia: 
Beberapa penyakit terkait usia, seperti penyakit Alzheimer atau penyakit Parkinson, dapat mempengaruhi respons terhadap rangsangan eksternal dan menyebabkan reaksi kaget atau kebingungan.

Stres atau Kekhawatiran:
Lansia mungkin lebih rentan terhadap stres atau kekhawatiran yang berkaitan dengan perubahan kehidupan, kesehatan, atau keadaan sosial, yang dapat meningkatkan respons terhadap situasi yang mengejutkan.

Lansia lebih rentan terhadap khawatir atau stres.
(Sumber: foto canva.com)
💬 Kaget atau kebingungan pada lansia tidak selalu merupakan hal yang abnormal, dan dapat menjadi bagian dari proses penuaan yang alami. 

       Mencegah lansia agar tidak sering kaget melibatkan pendekatan holistik yang mencakup aspek fisik, mental, dan lingkungan. 

Beberapa langkah untuk membantu mencegah lansia agar tidak sering kaget:

Perawatan Kesehatan Teratur: 
Penting untuk menjaga perawatan kesehatan yang teratur dengan dokter atau profesional kesehatan. Pemeriksaan kesehatan rutin dapat membantu mendeteksi dan mengelola kondisi kesehatan yang mungkin memengaruhi respons terhadap rangsangan eksternal.

Pengelolaan Kesehatan Mental: 
Upaya untuk menjaga kesehatan mental yang baik sangat penting. Ini termasuk mengelola stres, berlatih teknik relaksasi seperti meditasi atau yoga, serta mencari bantuan jika diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi.

Pengaturan Lingkungan yang Aman: 
Ciptakan lingkungan sekitar lansia yang aman dan terstruktur. Hindari perubahan yang tiba-tiba atau mendadak dalam lingkungan mereka, dan pastikan bahwa rumah atau fasilitas tempat tinggal mereka meminimalkan potensi risiko atau stimuli yang tidak diinginkan.

Penyuluhan dan Pendidikan: 
Memberikan informasi dan pendidikan kepada lansia dan keluarga mereka tentang situasi yang mungkin mengejutkan dan cara menghadapinya dapat membantu mengurangi reaksi kaget.

Latihan Mental: 
Latihan kognitif seperti permainan teka-teki, membaca, atau belajar hal-hal baru dapat membantu menjaga keterampilan kognitif yang baik, yang dapat membantu lansia merasa lebih siap dan mampu mengatasi situasi yang mengejutkan.

Pertahankan Komunikasi yang Terbuka: 
Mempertahankan komunikasi yang terbuka antara lansia dan keluarga atau anggota tim perawatan kesehatan mereka dapat membantu mengidentifikasi penyebab respons kaget dan mencari solusi yang sesuai.

Pendekatan Terapi Fisik: 
Terapi fisik seperti latihan keseimbangan dan koordinasi gerakan dapat membantu lansia dalam mengatasi situasi yang mengejutkan dengan lebih baik.

Stimulasi Sensorik yang Tepat: 
Membantu lansia untuk mengelola rangsangan sensorik, seperti suara yang keras atau cahaya yang terang, dapat membantu mengurangi reaksi kaget.

💬Mencegah lansia agar tidak sering kaget melibatkan upaya yang berkelanjutan dan kolaboratif antara lansia, keluarga, dan profesional kesehatan. 

       Pengobatan kaget pada lansia tergantung pada penyebab spesifiknya. Jika kaget disebabkan oleh masalah kesehatan tertentu atau kondisi medis, penanganan penyakit tersebut akan menjadi fokus utama perawatan. 

Beberapa langkah umum yang dapat diambil untuk mengatasi kaget pada lansia:

Evaluasi Medis: 
Pertama-tama, lakukan evaluasi medis menyeluruh oleh profesional kesehatan. Ini dapat mencakup pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, atau tes lainnya untuk menilai kesehatan umum dan mendeteksi masalah kesehatan yang mungkin menyebabkan reaksi kaget.

Manajemen Kesehatan Mental: 
Jika kaget terkait dengan masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi, perawatan kesehatan mental dapat membantu mengelola gejala dan meningkatkan kesejahteraan emosional lansia. Ini dapat mencakup konseling, terapi perilaku kognitif, atau penggunaan obat-obatan jika diperlukan.

Pengelolaan Lingkungan: 
Buatlah lingkungan sekitar lansia menjadi lebih terstruktur dan aman. Hindari perubahan yang tiba-tiba atau mendadak, dan pastikan bahwa rumah atau fasilitas tempat tinggal mereka meminimalkan potensi risiko atau stimuli yang tidak diinginkan.

Pendekatan Terapi Fisik: 
Terapi fisik dapat membantu lansia meningkatkan keseimbangan, koordinasi gerakan, dan kekuatan otot. Ini bisa membantu mengurangi risiko cedera dan meningkatkan respons tubuh terhadap situasi yang mengejutkan.

Teknik Relaksasi dan Latihan Pernapasan: Mengajarkan teknik-teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu lansia mengatasi stres dan meningkatkan kontrol atas respons fisiologis mereka terhadap rangsangan eksternal.

Pendekatan Pendidikan dan Penyuluhan: 
Memberikan informasi dan pendidikan kepada lansia dan keluarganya tentang situasi yang mungkin mengejutkan dan memberikan strategi untuk menghadapinya dapat membantu mengurangi reaksi kaget.

Pengelolaan Obat-obatan: 
Beberapa obat-obatan yang digunakan oleh lansia mungkin memiliki efek samping seperti keterkejutan atau kebingungan. Evaluasi ulang oleh dokter atau profesional kesehatan dapat membantu menilai apakah perlu penyesuaian dosis atau penggantian obat.

Dukungan Sosial: 
Memberikan dukungan sosial dan ketersediaan teman atau keluarga untuk berbicara dan berbagi perasaan dapat membantu mengurangi stres dan reaksi kaget.

Berdiskusi dengan profesional kesehatan untuk menentukan pendekatan terbaik berdasarkan kondisi spesifik lansia tersebut. Perawatan yang tepat akan sangat bervariasi tergantung pada penyebab dan karakteristik individu.


Sumber:






Friday 5 April 2024

Jangan Mengucapkan ini pada Lansia

          Tidak ada orang dewasa yang mungkin tidak mengingat orang tua mereka memberikan pisang kepada mereka saat mereka masih kecil dan remaja. Orang tua cenderung mengungkit masa lalu kita selama masa tersebut. Namun, seiring bertambahnya usia orang tua, peran dan hubungan kita dengan mereka dapat berubah, terutama dalam kasus-kasus di mana orang tua mulai mengalami gangguan kognitif seperti demensia atau Alzheimer.

Beberapa lansia mungkin lupa nama anggota keluarga.
(Sumber: foto canva.com)

Ketika kita menyaksikan orang tua mengalami kehilangan ingatan dan kemandulan, ini dapat menjadi tantangan yang sulit bagi semua pihak terlibat. Meskipun situasinya mungkin terlihat sepele, sangat penting untuk menjaga kepekaan terhadap bahasa dan interaksi kita dengan mereka.

Beberapa kiat untuk menyadari hal-hal yang sebaiknya tidak diucapkan kepada  lansia :

 1. “Ini mudah —mengapa kamu kesulitan melakukannya?”

Usia seseorang tidak mengurangi keinginan mereka untuk dihormati dan diakui kemampuannya dalam menjalankan tugas-tugas sehari-hari dengan standar yang dianggap normal. Banyak individu pada tahap lanjut usia menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang mungkin dianggap sederhana selama masa ini. Oleh karena itu, menyampaikan pernyataan yang merendahkan atau membuat mereka merasa tidak mampu hanya akan memperdalam perasaan penolakan dan frustrasi mereka. 

Kata-kata yang kasar sering kali mengecewakan lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan mengamalkan kesabaran dan menggunakan berbagai cara untuk menjelaskan informasi atau memberikan instruksi untuk tugas-tugas yang mungkin terlupakan oleh mereka. Penggunaan kata-kata yang menunjukkan pengertian dan kesabaran dalam interaksi dengan lansia sangatlah bermanfaat dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan menghormati mereka.
 
2.“Kamu sudah memberitahuku hal itu.” atau “Kita sudah melalui ini.”

Secara alami, individu lanjut usia sering mengalami gangguan daya ingat. Ketika mereka mengalami penurunan kognitif yang didiagnosis, sering kali terjadi pengulangan informasi yang sama secara berulang. Meskipun pengulangan ini dapat menimbulkan rasa frustrasi, penting untuk diingat bahwa individu tersebut mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah menyampaikan informasi yang sama kepada Anda sebelumnya. 

Bagi mereka, setiap pengulangan tampak seperti penyampaian informasi baru. Anggota keluarga dari individu yang menderita demensia sering kali merasakan kekuatan kenangan dan merasa senang untuk berbagi cerita dengan orang-orang terdekat mereka. Bagi mereka, berbagi kenangan adalah bagian dari proses terapeutik. Oleh karena itu, bersikaplah dengan baik dan tunjukkan senyum saat mendengarkan cerita-cerita itu, meskipun sudah didengar sebelumnya. Temukan humor dalam situasi ini, karena hal ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

3. “Bagaimana bisa kamu tidak ingat nama anggota keluargamu sendiri?”

Terkadang, kesulitan mengingat nama bisa menjadi pengalaman umum bagi sebagian individu, dan situasi ini dapat menjadi lebih menantang bagi orang tua, terutama jika mereka mengalami kondisi seperti demensia atau Alzheimer. Ketika kesulitan mengingat nama, termasuk nama anggota keluarga, terjadi, hal ini dapat menimbulkan stres yang signifikan. 

Lansia mungkin lupa dengan nama anaknya sendiri.
(Sumber: foto canva.com)
Bahkan, individu mungkin mengalami kesulitan dalam mengingat nama anaknya sendiri. Dalam situasi ini, penting untuk menjaga sensitivitas dan tidak mengoreksi atau menunjukkan kekurangan dengan nada yang sarkastik. Sebagai gantinya, penting untuk mengingatkan mereka dengan lembut tentang identitas orang yang dimaksud dan melanjutkan kehidupan sehari-hari dengan penuh pengertian dan dukungan.

4. “Apa hubungannya dengan hal ini?-- tidak nyambung”

Apabila orang tua mengemukakan cerita-cerita yang tidak berkaitan dengan konteks percakapan saat ini, penting untuk diingat bahwa mereka mungkin memiliki alasan tertentu meskipun kita tidak selalu mengetahui motifnya secara langsung. Dalam situasi ini, pendekatan yang disarankan adalah dengan mengajukan pertanyaan yang dapat membantu memahami pemikiran mereka.

Dengan kesabaran dan kelembutan, Anda dapat menanyakan apa yang memicu ingatan mereka terkait cerita atau kenangan yang diungkapkan. Proses bertanya seperti ini mungkin memungkinkan mereka untuk menjelaskan atau menguraikan alur pikiran mereka, yang pada gilirannya dapat membantu memahami konteks cerita yang dibagikan.

5. “Aku ingin warisan saat kamu meninggal.”

Mengungkapkan wasiat atau kemungkinan warisan dengan mengatakan kalimat seperti itu bukanlah pendekatan yang tepat. Seiring bertambahnya usia orang tua, anak-anak yang telah dewasa mungkin mulai merenungkan tentang harta atau harta warisan yang mereka peroleh jika orang tua mereka meninggal. Meskipun wajar untuk membahas topik ini, penting untuk melakukannya dengan penuh sensitivitas dan kebijaksanaan. 

Tidak ada yang ingin merasa bahwa keberadaannya hanya dihubungkan dengan aset atau harta warisan orang lain. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan akal sehat dalam menghadapi situasi ini dan menghindari ungkapan yang menimbulkan kesan tidak sensitif atau tidak hormat terhadap nilai-nilai keluarga dan hubungan yang lebih dalam.

6. "Itu tidak sesuai dengan usia."

"Apakah artinya itu?" merupakan pertanyaan yang mengundang refleksi dalam konteks sosial. Jika seseorang yang berusia enam puluhan ingin mengenakan rok mini dan merasa nyaman melakukannya, pertanyaannya adalah mengapa hal tersebut menjadi penting bagi orang lain? Di mana aturan tertulis yang menyatakan bahwa orang lanjut usia tidak boleh mengekspresikan diri mereka dengan cara yang mereka sukai, seperti menari di depan umum, mengendarai mobil sport, atau keluar rumah lewat tengah malam? 

Lansia boleh menari di depan umum dan sebagainya.
(Sumber: foto canva.com)
Menikmati kehidupan dan bersenang-senang bukanlah hak eksklusif kaum muda; orang tua juga berhak untuk menikmati hal-hal yang membuat mereka bahagia dan puas. Dengan demikian, mereka akan sangat menghargai jika kita, sebagai generasi lebih muda, tidak hanya memperhatikan kebutuhan dan keinginan kita sendiri, tetapi juga memberikan ruang dan dukungan untuk mereka mengekspresikan diri tanpa batasan usia yang kaku.

7. "Kakek menggemaskan."

Anak anjing, bayi, dan anak kucing yang dilengkapi dengan mainan dianggap menggemaskan. Namun, penggunaan istilah "menggemaskan" untuk menggambarkan individu yang lebih tua, seperti halnya "imut" untuk  bayi, dapat dianggap merendahkan dan kurang menghormati. Oleh karena itu, disarankan untuk menghindari penggunaan istilah-istilah tersebut ketika berbicara tentang seseorang yang layak untuk dihormati. Diharapkan bahwa kalimat ini mempertegas pentingnya menggunakan bahasa yang penuh penghargaan dan sensitivitas dalam berkomunikasi.

Jangan menggunaan kata-kata yang tidak pantas saat berkomunikasi dengan lansia, pertama, penting untuk menggunakan bahasa yang penuh penghargaan dan menghormati. Hindari menggunakan kata-kata yang merendahkan atau melecehkan, dan pertimbangkan kebutuhan serta preferensi individu.

Hindari stereotip dan generalisasi negatif tentang lansia, dan gunakan bahasa yang jelas serta terbuka. Berbicara dengan lembut dan sabar juga penting, dan hindari mengingatkan tentang keterbatasan fisik atau mental mereka. Fokuslah pada kemampuan dan keberhasilan mereka. 



Sumber:






Sunday 31 March 2024

Baik dan Buruk Kosmetik untuk Lansia.

        Sebagian besar pemain di industri kosmetik, baik kelompok besar maupun perusahaan kecil, semakin tertarik dengan konsep “penuaan dengan baik”. Perusahaan sedang mengembangkan produk yang memenuhi kebutuhan biologis kulit yang menua. Misalnya, Serum Biru Chanel mengklaim memulihkan mekanisme penting untuk umur panjang kulit, yaitu energi sel, metabolisme sel, adaptasi terhadap stres sel, dan komunikasi antar sel.

Lansia harus memilih produk kosmetik yang sesuai kondisi kulitnya.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Produk 'anti-penuaan' dijual dengan memperkuat mitos bahwa penuaan adalah periode penurunan yang dapat diatasi dengan membeli produk yang tepat, dan ini adalah bagian dari narasi yang lebih luas dalam iklan tentang kehidupan di kemudian hari yang digambarkan secara negatif.

Ada tanda-tanda bahwa merek kecantikan mulai menyadari pentingnya menggunakan bahasa yang secara akurat mencerminkan beragam pengalaman penuaan masyarakat, meskipun hal ini masih merupakan pengecualian. Misalnya, Dove menganjurkan agar perempuan dapat “menua dengan indah sesuai keinginan mereka”

Sebuah penelitian di Taiwan menemukan bahwa program kecantikan meningkatkan persepsi diri terhadap penuaan dan mengurangi depresi pada orang lanjut usia.

Lansia memerlukan perawatan penampilan dan penampilan fisik.
(Sumber: foto canva.com) 

Kosmetik pada lansia adalah produk-produk yang digunakan untuk perawatan dan perbaikan penampilan fisik pada orang dewasa yang berusia lanjut. Penggunaan kosmetik pada lansia sering kali memiliki tujuan untuk menjaga kelembaban dan elastisitas kulit, mengurangi tanda-tanda penuaan seperti keriput dan bercak, serta meningkatkan rasa percaya diri.

Namun, penggunaan kosmetik pada lansia perlu dilakukan dengan hati-hati karena kulit pada usia tersebut cenderung lebih tipis, kering, dan rentan terhadap iritasi. Produk kosmetik yang digunakan haruslah sesuai dengan kondisi kulit mereka, dan penggunaan bahan-bahan yang terlalu keras atau berpotensi menyebabkan alergi atau iritasi harus dihindari.

Selain itu, kosmetik pada lansia juga dapat berperan dalam melindungi kulit dari paparan sinar matahari yang berlebihan, mengurangi risiko kanker kulit dan kerusakan akibat sinar UV. Penting untuk konsultasi dengan ahli dermatologi atau ahli perawatan kulit sebelum memilih dan menggunakan produk kosmetik pada lansia guna memastikan kesesuaian dengan kondisi kulit dan kesehatan secara keseluruhan.

       Memilih kosmetik yang baik untuk lansia memerlukan pertimbangan khusus untuk memastikan produk tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kulit yang berubah seiring bertambahnya usia. 

Bebeberapa kiat dalam memilih kosmetik yang baik untuk lansia:

Pilih produk dengan kandungan yang lembut dan tidak menyebabkan iritasi: 
Pilih produk yang dirancang khusus untuk kulit sensitif atau kulit dewasa yang cenderung lebih kering dan tipis. Hindari produk yang mengandung bahan-bahan keras seperti alkohol atau parfum yang dapat menyebabkan iritasi.

Pilih produk yang dirancang khusus untuk kulit sensitif atau kulit dewasa.
(Sumber: foto canva.com)
Cari produk dengan kandungan pelembap yang tinggi:
Lansia cenderung memiliki kulit yang lebih kering, oleh karena itu pilihlah produk kosmetik yang mengandung pelembap yang tinggi untuk menjaga kelembaban kulit dan mencegah dehidrasi.

Perhatikan label 'anti-aging': 
Pilih produk yang mengklaim memiliki efek anti-penuaan seperti mengurangi kerutan, meningkatkan kekenyalan, dan mencerahkan kulit. Namun, pastikan bahwa produk tersebut juga cocok dengan jenis kulit dan tidak mengandung bahan-bahan yang terlalu keras.

Pilih produk dengan perlindungan sinar matahari: 
Lansia rentan terhadap kerusakan kulit akibat paparan sinar UV. Pilihlah produk kosmetik yang mengandung SPF (Sun Protection Factor) untuk melindungi kulit dari sinar matahari dan mengurangi risiko kanker kulit serta penuaan dini.

Konsultasikan dengan ahli dermatologi: 
Jika memungkinkan, konsultasikan dengan ahli dermatologi atau ahli perawatan kulit untuk mendapatkan rekomendasi produk yang sesuai dengan kondisi kulit dan kebutuhan individual.

Uji coba produk terlebih dahulu: 
Sebelum menggunakan secara rutin, uji coba produk terlebih dahulu di area kecil kulit untuk memastikan tidak ada reaksi alergi atau iritasi.

Perhatikan tanggal kedaluwarsa:
Pastikan untuk memeriksa tanggal kedaluwarsa produk kosmetik sebelum membeli dan memastikan produk masih dalam kondisi baik untuk digunakan.

       Meskipun penggunaan kosmetik pada lansia bisa memberikan manfaat estetika dan merawat kulit, namun ada risiko yang dapat terjadi. 

Beberapa risiko yang perlu diperhatikan:

Iritasi Kulit: 
Kulit lansia cenderung lebih tipis dan sensitif, sehingga lebih rentan terhadap iritasi akibat bahan-bahan kimia yang terdapat dalam beberapa produk kosmetik. Iritasi kulit dapat menyebabkan kemerahan, gatal-gatal, dan bahkan ruam.

Reaksi Alergi: 
Lansia juga bisa mengalami reaksi alergi terhadap bahan-bahan tertentu yang ada dalam kosmetik. Reaksi alergi dapat berupa ruam, bengkak, atau bahkan sesak napas dalam kasus yang parah.

Perburuk Kondisi Kulit: 
Penggunaan kosmetik yang tidak cocok atau terlalu keras bisa memperburuk kondisi kulit lansia, terutama bagi mereka yang memiliki masalah kulit tertentu seperti rosacea atau dermatitis.

Kulit dapat menjadi buruk karena kosmetik yang tidak sesuai.
(Sumber: foto canva.com)
Kontaminasi Bakteri: 
Produk kosmetik yang tidak dijaga kebersihan dan disimpan dengan baik bisa menjadi tempat berkembang biaknya bakteri dan jamur. Penggunaan produk yang terkontaminasi dapat menyebabkan infeksi kulit.

Kandungan Berbahaya:
Beberapa kosmetik mengandung bahan-bahan yang tidak aman atau berpotensi merusak kesehatan, seperti merkuri, hidrokuinon, atau paraben. Penggunaan jangka panjang dari kosmetik dengan kandungan berbahaya tersebut bisa meningkatkan risiko masalah kesehatan.

Paparan Sinar UV:
Beberapa produk kosmetik tidak memiliki perlindungan terhadap sinar matahari. Hal ini bisa meningkatkan risiko kerusakan kulit akibat paparan sinar UV, termasuk kanker kulit dan penuaan dini.

Beberapa penyakit atau masalah kesehatan yang dapat terjadi pada lansia akibat penggunaan kosmetik yang tidak tepat antara lain:

Iritasi Kulit: 
Produk kosmetik yang mengandung bahan-bahan yang keras atau alergenik dapat menyebabkan iritasi kulit pada lansia. Gejala iritasi kulit meliputi kemerahan, gatal-gatal, peradangan, atau bahkan lepuh dan ruam.

Dermatitis Kontak: 
Dermatitis kontak adalah reaksi kulit yang disebabkan oleh kontak langsung dengan bahan-bahan tertentu dalam kosmetik. Ini dapat menghasilkan gejala seperti kulit kering, kemerahan, gatal, dan bahkan pembengkakan.

Alergi Kulit: 
Beberapa bahan dalam kosmetik, seperti pewarna sintetis atau pewangi, dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit lansia. Alergi kulit ditandai dengan gatal-gatal, kemerahan, bengkak, dan kadang-kadang pembentukan ruam atau lepuh.

Infeksi Kulit:
Penggunaan kosmetik yang terkontaminasi dapat menyebabkan infeksi kulit pada lansia. Bakteri dan jamur dapat tumbuh di dalam produk kosmetik yang tidak disimpan dengan baik, dan ketika produk tersebut digunakan di kulit, dapat menyebabkan infeksi seperti jerawat, folikulitis, atau infeksi jamur.

Kerusakan Kulit Akibat Paparan Sinar UV:
Beberapa produk kosmetik mungkin tidak menyediakan perlindungan yang memadai terhadap sinar UV. Lansia yang menggunakan produk-produk tersebut tanpa tambahan pelindung sinar matahari dapat mengalami kerusakan kulit yang disebabkan oleh paparan sinar UV, seperti penuaan dini, keriput, atau bahkan kanker kulit.

Untuk mengurangi risiko penyakit atau masalah kesehatan akibat penggunaan kosmetik pada lansia, sangat penting untuk memilih produk yang cocok dengan jenis kulit dan kebutuhan individu, serta memperhatikan kandungan bahan dalam produk tersebut. 

Jaga kebersihan produk kosmetik, hindari berbagi produk dengan orang lain, dan hentikan penggunaan produk yang menyebabkan iritasi atau reaksi negatif pada kulit. Jika Anda mengalami masalah kulit yang serius atau persisten, segera konsultasikan dengan dokter atau ahli dermatologi untuk evaluasi dan perawatan yang tepat.






Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9900263/

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844023004371

https://www.alcimed.com/en/insights/happy-ageing-a-new-concept-in-the-cosmetics-industry-to-further-penetrate-the-elderly-care-market/

https://ageing-better.org.uk/blogs/beauty-industrys-obsession-anti-ageing-beginning-end

https://ageing-better.org.uk/blogs/beauty-industrys-obsession-anti-ageing-beginning-end


Monday 26 February 2024

5 Tahapan Penuaan Lansia, Apakah Anda dapat Melalui.

        Penuaan adalah proses yang panjang dan rumit, dan kebutuhan seseorang yang menua dapat berubah kapan saja. Dalam beberapa kasus, lansia relatif stabil dalam kesehatan fisik dan kognitif selama bertahun-tahun. Namun, di lain waktu, kesehatan mereka mungkin menurun drastis.

Theory of Gerotranscendence yang disusun oleh Tornstam adalah teori yang menggambarkan perjalanan psikologis yang mungkin dialami oleh sebagian lansia selama proses penuaan. Proses menuju gerotranscendence melibatkan perkembangan di mana individu secara bertahap mengubah konsepsi dasar mereka, sehingga mengakibatkan pergeseran definisi mereka tentang realitas dari pandangan dunia yang materialistis dan rasional ke pandangan yang lebih kosmis dan transendental, yang biasanya disertai dengan peningkatan kepuasan hidup.

Penuaan adalah proses panjang dan rumit, Tornstam membagi 5 tahapan.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Istilah gerotranscendence dipilih oleh Tornstam karena banyak perubahan terkait, krisis atau karakteristik perkembangan yang dijelaskan oleh ilmuwan dan ahli teori lain melibatkan berbagai cara di mana orang lanjut usia menerobos batas-batas atau melampaui krisis perkembangan ketika berpindah ke tahap baru dalam kehidupan. Dengan demikian, istilah gerotranscendence digunakan dalam pengertian sederhana ini, bukan dalam pengertian religius atau metafisik ( Tornstam, 2005 ). Istilah gerotranscendence digunakan untuk menggambarkan proses perkembangan dan tahap perkembangan akhir.

Tornstam (1997) mengusulkan gerotranscendence sebagai sebuah langkah perkembangan, di mana seseorang mengubah “perspektif mereka dari pandangan dunia yang materialistis dan pragmatis ke pandangan yang lebih transenden, biasanya disertai dengan peningkatan kepuasan hidup.

Berikut penjelasan singkat mengenai setiap tahapan:

Swasembada (Self-Sufficiency): 
Pada tahap ini, individu cenderung lebih fokus pada kebutuhan dan kegiatan pribadi mereka sendiri. Mereka berusaha untuk mempertahankan otonomi dan independensi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ini sering kali terjadi pada awal penuaan ketika kesehatan fisik masih relatif baik dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sendiri masih ada. Mereka hidup mandiri dan dapat menyelesaikan aktivitas sehari-hari dengan mudah, seperti  membersihkan rumah, dan mandi tidak menimbulkan kesulitan atau masalah keamanan yang serius.

Saling Ketergantungan (Interdependence):
Pada tahap ini, individu mulai memperhatikan pentingnya keterhubungan dengan orang lain dalam kehidupan mereka. Mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat mencapai segala sesuatu sendiri dan mulai mengandalkan dukungan dari orang lain, baik itu anggota keluarga, teman, atau masyarakat. Mereka membutuhkan perhatian dari keluarga atau teman. 

Lansia saling ketergantungan dengan keluarga, teman dan masyarakat.
(Sumber: foto canva.com)

Ketergantungan (Dependency):
Pada tahap ini, individu mengalami peningkatan ketergantungan pada orang lain dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Ini bisa disebabkan oleh penurunan kesehatan fisik atau mental yang signifikan yang membatasi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan eksternal. 
Lansia sudah tidak bisa lagi hidup sendiri dengan aman. Penurunan kognitif, masalah kesehatan fisik, atau kombinasi keduanya menimbulkan risiko keselamatan langsung atau menghalangi mereka menyelesaikan aktivitas sehari-hari.

Manajemen Krisis (Crisis Management): 
Pada tahap ini, individu menghadapi krisis atau tantangan besar yang terkait dengan penuaan, seperti masalah kesehatan yang serius, kehilangan orang yang dicintai, atau masalah keuangan. Mereka perlu mengatasi krisis ini dengan mengandalkan sumber daya internal dan eksternal untuk mencapai penyesuaian yang diperlukan. Tahap ini membutuhkan dukungan medis segera. Lansia harus tinggal di fasilitas perawatan terampil atau menerima perawatan profesional ekstensif di rumah. Terkadang, perawatan ini diperlukan karena penyakit fisik. Di lain waktu, lansia memerlukan perawatan memori karena Alzheimer atau demensia.

Akhir Kehidupan (End of Life):
Tahap ini adalah tahap akhir dari kehidupan, di mana individu menghadapi kematian. Pada tahap ini, fokus individu mungkin bergeser pada refleksi terhadap hidup yang telah mereka jalani, menerima kematian sebagai bagian alami dari siklus kehidupan, dan mencari makna dalam akhir kehidupan mereka. Beberapa lansia memilih untuk berhenti menerima perawatan medis dan memasuki perawatan rumah sakit, dan yang lainnya ingin terus menerima layanan yang sama. Namun secara keseluruhan, tujuan tahap ini adalah agar lansia merasa senyaman mungkin. Menerima akhir kehidupan bisa jadi sangat sulit bagi individu dan keluarga mereka. Hal ini sering kali merupakan pengalaman spiritual, namun sikap setiap orang terhadap proses tersebut berbeda-beda. 

Lansia refleksi terhadap hidup, menerima kematian bagian alami dari siklus kehidupan.
(Sumber: foto canva.com)

Beberapa lansia mungkin mengalami tahapan-tahapan ini secara bertahap seiring waktu, sementara yang lain mungkin mengalami sebagian atau bahkan tidak mengalami sama sekali. Faktor-faktor seperti kepribadian, pengalaman hidup, kesehatan fisik dan mental, dukungan sosial, dan lingkungan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons proses penuaan.

Beberapa ciri yang mungkin dimiliki oleh lansia yang mengalami tahapan-tahapan tersebut:

Peningkatan refleksi dan introspeksi: 
Lansia yang mengalami tahapan Gerotranscendence mungkin menunjukkan peningkatan dalam refleksi diri dan introspeksi. Mereka mungkin lebih sering memikirkan makna hidup, tujuan mereka, dan arti eksistensial.

Peningkatan rasa keterhubungan:
Mereka mungkin merasa lebih terhubung dengan alam semesta dan sesama manusia secara keseluruhan. Mereka dapat merasa bahwa ada kesadaran kolektif yang lebih besar di luar diri mereka sendiri.

Transendensi waktu dan ruang: 
Lansia pada tahap ini mungkin mengalami perasaan yang lebih besar akan kedekatan dengan masa lalu dan mungkin juga melihat masa depan dengan perspektif yang lebih luas. Mereka mungkin tidak lagi terlalu terikat pada keterbatasan waktu dan ruang yang konvensional.

Perubahan nilai dan prioritas: 
Mereka mungkin mengalami perubahan dalam nilai-nilai dan prioritas mereka, dengan mengutamakan hubungan yang bermakna, pertumbuhan pribadi, dan pencarian makna hidup daripada pencapaian material atau prestasi.

Penerimaan akan kematian: 
Lansia yang mengalami tahapan Gerotranscendence mungkin lebih mampu menerima dan menghadapi kenyataan kematian dengan damai. Mereka mungkin melihat kematian sebagai bagian alami dari siklus kehidupan dan mengalami kedamaian dalam mempersiapkan diri untuk tahap akhir kehidupan mereka.

Lansia lebih mampu menerima tahapan akhir kehidupan.
(Sumber: foto canva.com)

Meskipun Theory of Gerotranscendence menyajikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami perubahan psikologis yang mungkin terjadi pada sebagian lansia, tidak semua individu akan mengalami setiap tahapannya dengan cara yang sama atau bahkan tidak  mengalami tahapan tersebut sama sekali, karena langsung pada tahap akhir kehidupan (End of Life).




Sumber: