Showing posts with label kesehatan lansia. Show all posts
Showing posts with label kesehatan lansia. Show all posts

Wednesday, 13 November 2024

Topi Bukan Sekedar Gaya! Ini Dia Manfaat Tersembunyi untuk Lansia!

        Topi adalah aksesori atau penutup kepala yang biasa dipakai oleh manusia dengan berbagai fungsi dan tujuan. Secara umum, topi digunakan untuk melindungi kepala dari panas matahari, hujan, atau cuaca dingin. Selain itu, topi juga berfungsi sebagai penunjang gaya fashion atau penampilan, simbol status sosial, atau bagian dari seragam dalam kegiatan tertentu, seperti topi polisi, topi koki, atau topi militer. Ada berbagai jenis topi, seperti topi baseball, topi fedora, topi koboi, hingga topi beanie, yang masing-masing memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda sesuai kebutuhan atau tren.

Topi sangat bermanfaat untuk Senior.
(Sumber: foto Dwipatri)
Beberapa manfaat topi bagi  lansia:
  1. Melindungi dari Paparan Sinar Matahari: Kulit lansia cenderung lebih tipis dan rentan terhadap kerusakan akibat sinar UV. Menggunakan topi, terutama topi bertepi lebar, dapat melindungi wajah dan kepala dari paparan langsung matahari dan mengurangi risiko kanker kulit, kerutan, serta bintik-bintik penuaan.

  2. Mencegah Pusing Akibat Panas: Lansia lebih rentan terhadap serangan panas atau heatstroke. Mengenakan topi saat di luar ruangan membantu menjaga suhu tubuh tetap stabil dengan memberikan naungan pada kepala.

  3. Memberi Kehangatan di Cuaca Dingin: Di cuaca dingin, topi berbahan wol atau rajutan menjaga kepala tetap hangat. Hal ini penting bagi lansia yang cenderung lebih sensitif terhadap suhu dingin.

  4. Menambah Kenyamanan dan Gaya: Topi juga bisa meningkatkan rasa percaya diri bagi lansia yang mengalami penipisan atau kerontokan rambut. Selain itu, topi dapat menjadi bagian dari gaya mereka, menambah kenyamanan serta kepercayaan diri saat bepergian atau beraktivitas di luar rumah.

Dengan demikian, topi tidak hanya berguna untuk melindungi kesehatan fisik, tetapi juga memberi kenyamanan dan penampilan yang menarik bagi lansia.

       Memilih topi untuk lansia perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar nyaman dan fungsional. 

Beberapa kiat dalam memilih topi yang sesuai untuk lansia:

  1. Pilih Bahan yang Nyaman: Pilih topi dengan bahan yang lembut dan breathable, seperti katun atau linen untuk cuaca panas, dan bahan wol atau rajutan untuk cuaca dingin. Hindari bahan yang bisa membuat kulit kepala gatal atau terlalu panas.

  2. Perhatikan Ukuran yang Pas: Pastikan topi memiliki ukuran yang pas agar nyaman dipakai, tidak terlalu ketat atau longgar. Banyak topi hadir dengan ukuran adjustable yang bisa disesuaikan.

  3. Perlindungan dari Sinar Matahari: Untuk lansia yang sering beraktivitas di luar ruangan, pilih topi bertepi lebar seperti topi fedora atau topi bucket. Tepi yang lebar memberikan perlindungan lebih pada wajah, leher, dan telinga dari sinar matahari.

  4. Model yang Mudah Dipakai: Topi yang mudah dipakai dan dilepas akan lebih praktis. Model yang simpel seperti topi baseball atau topi bucket mudah dikenakan dan tetap memberikan perlindungan.

  5. Pertimbangkan Bobot Ringan: Topi yang ringan lebih nyaman untuk digunakan dalam waktu lama. Topi yang terlalu berat bisa membuat kepala terasa pegal atau pusing.

  6. Desain yang Sesuai dengan Preferensi: Sesuaikan dengan selera lansia. Misalnya, memilih warna-warna netral yang mudah dipadukan atau warna dan motif yang disukai untuk menambah kesenangan dan kepercayaan diri saat mengenakannya.

  7. Keseimbangan Antara Fungsi dan Gaya: Pilih topi yang sesuai dengan kebutuhan lansia, baik untuk perlindungan dari cuaca maupun gaya. Topi yang tepat bukan hanya berguna tapi juga bisa menjadi aksesori yang membuat lansia merasa lebih percaya diri.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, topi yang dipilih untuk lansia akan memberikan manfaat maksimal dan kenyamanan yang optimal.

Berikut adalah beberapa bentuk dan model topi yang cocok untuk lansia, yang mengutamakan kenyamanan, perlindungan, dan gaya sederhana:

  1. Topi Bertepi Lebar (Wide-brim Hat)
    Cocok untuk perlindungan maksimal dari sinar matahari, terutama saat beraktivitas di luar ruangan. Topi bertepi lebar, seperti topi floppy atau topi fedora bertepi lebar, menutupi wajah, leher, dan telinga. Ini penting untuk menjaga kulit lansia dari paparan UV yang berlebihan.

  2. Topi Bucket (Bucket Hat)
    Model topi ini nyaman, ringan, dan seringkali mudah dilipat, sehingga praktis untuk dibawa. Bucket hat memberikan perlindungan yang cukup pada bagian wajah dan leher. Pilih yang berbahan lembut dan breathable untuk kenyamanan ekstra.

  3. Topi Baseball dengan Visor Lebar
    Topi baseball mudah dikenakan dan memberikan perlindungan pada wajah dengan visornya. Ada juga pilihan baseball cap dengan penutup tambahan di bagian belakang untuk melindungi leher. Pilih model yang memiliki tali penyesuaian agar lebih nyaman.

  4. Topi Beanie atau Topi Rajut
    Untuk cuaca dingin, topi beanie atau rajutan bisa menjadi pilihan. Beanie yang pas di kepala dan berbahan wol atau bahan rajut lainnya memberikan kehangatan yang nyaman. Model ini juga simpel dan mudah dipadukan dengan berbagai pakaian.

  5. Topi Newsboy atau Flat Cap
    Model ini memiliki bentuk bulat dengan brim pendek yang memberikan tampilan klasik dan elegan. Flat cap atau newsboy cap sering dibuat dari bahan yang hangat, seperti wol, yang sesuai untuk cuaca dingin, namun ada juga versi ringan untuk cuaca lebih hangat.

  6. Topi Panama
    Topi Panama memiliki tampilan klasik dengan bahan anyaman, yang cocok untuk acara santai atau semi-formal. Biasanya ringan dan breathable, topi ini memberikan perlindungan dari sinar matahari dan memberi tampilan yang stylish.

  7. Topi Visor
    Jika lansia lebih suka bagian atas kepala tetap terbuka, topi visor bisa menjadi pilihan. Bagian visornya melindungi wajah dari sinar matahari, sementara bagian atas yang terbuka memungkinkan udara mengalir untuk mendinginkan kepala.

Topi dengan model yang sederhana dan bahan berkualitas adalah pilihan yang baik untuk kenyamanan dan gaya lansia, menjaga mereka tetap terlindungi dan percaya diri dalam beraktivitas.




Sumber:

https://kinlabel.com/blogs/journal/hats-arent-just-fashion-benefits? 

https://www.quora.com/Why-do-seniors-wear-caps-hats-often

https://daydaynews.cc/en/health/415761.html

https://www.agnoulitahats.com/blogs/hat-styles-making-care/discover-iconic-hat-styles-for-the-discerning-senior-man? 


Sunday, 10 November 2024

Wow! Ternyata Fashionable Bisa Buat Lansia Tetap Sehat & Bahagia!

        Fashion adalah gaya atau tren dalam berpakaian, aksesori, alas kaki, atau bahkan cara seseorang berdandan dan menata rambut yang dianggap menarik atau sesuai dengan selera yang berkembang dalam masyarakat pada waktu tertentu. Fashion sering dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan tren global yang berubah seiring waktu, serta merupakan bagian dari ekspresi diri dan identitas seseorang.

Senior yang fashionabel bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental.
(Sumber: foto Bodreker)
Menjadi fashionable bagi lansia membawa berbagai manfaat yang berdampak positif pada kesejahteraan fisik dan emosional mereka. 

Beberapa manfaat menjadi fashionable bagi lansia:
  1. Meningkatkan Kepercayaan Diri: Mengenakan pakaian yang modis dan sesuai dengan selera membantu lansia merasa lebih percaya diri. Ini dapat memberi mereka perasaan nyaman dalam lingkungan sosial, sehingga mereka lebih terbuka untuk berinteraksi dengan orang lain.

  2. Meningkatkan Kesejahteraan Emosional: Fashion yang sesuai dapat membuat lansia merasa lebih positif dan menghargai diri sendiri. Penampilan yang rapi dan menarik sering kali berhubungan dengan perasaan bahagia, puas, dan nyaman.

  3. Mempertahankan Identitas dan Ekspresi Diri: Seiring bertambahnya usia, penting bagi lansia untuk merasa bahwa mereka tetap memiliki jati diri. Fashion adalah cara untuk mengekspresikan kepribadian dan menjaga identitas diri, yang dapat membantu mereka merasa tetap dihargai sebagai individu.

  4. Mendukung Aktivitas Sosial: Lansia yang fashionable biasanya lebih nyaman untuk bergabung dalam acara sosial, baik bersama teman sebaya, keluarga, maupun di komunitas. Penampilan yang menarik bisa membuat mereka lebih percaya diri dalam bersosialisasi dan merasa lebih terhubung dengan lingkungan mereka.

  5. Menjaga Kesehatan Fisik: Memilih fashion yang tepat—seperti pakaian yang nyaman, hangat, dan mudah dipakai—juga bisa membantu menjaga kesehatan fisik. Sepatu yang nyaman dan pakaian yang tepat membantu menghindari ketidaknyamanan dan cedera, seperti tersandung atau terjatuh.

  6. Mengurangi Stres dan Depresi: Tampil menarik bisa memberikan dorongan psikologis yang positif. Proses memilih pakaian yang sesuai dan menjaga penampilan dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan dan membantu meringankan perasaan kesepian atau sedih.

  7. Meningkatkan Kualitas Hidup: Fashion bisa memberi lansia dorongan untuk tetap aktif, baik secara fisik maupun mental. Melalui fashion, mereka bisa terlibat dalam kegiatan seperti berbelanja, memilih pakaian, atau berdiskusi dengan teman dan keluarga tentang gaya. Hal ini membantu menjaga kualitas hidup yang lebih baik.

  8. Membangun Hubungan Antar-Generasi: Lansia yang fashionable cenderung lebih mudah berinteraksi dengan generasi muda karena mereka lebih "berbicara bahasa" yang relevan bagi semua usia. Gaya berpakaian mereka bisa menjadi topik pembicaraan menarik dan menyenangkan yang mempererat hubungan dengan anak, cucu, atau komunitas.

  9. Meningkatkan Rasa Hormat dari Lingkungan: Penampilan yang modis membuat lansia lebih mudah dihargai oleh lingkungan sekitar. Masyarakat biasanya lebih menghormati dan memperlakukan mereka dengan baik karena penampilan yang menarik dan berkelas menunjukkan usaha untuk menjaga diri.

Menjadi fashionable bukan hanya soal penampilan luar bagi lansia, tetapi juga soal menjaga rasa harga diri, kesehatan, dan kebahagiaan. Fashion yang baik dapat menjadi bentuk cinta dan perhatian terhadap diri sendiri.

       Fashion untuk lansia memiliki beberapa syarat khusus untuk memastikan pakaian yang dikenakan nyaman, aman, dan tetap bergaya. 

Beberapa syarat utama fashion bagi lansia:

  1. Kenyamanan: Bahan yang dipilih harus lembut, ringan, dan tidak menyebabkan iritasi. Pakaian dari bahan alami seperti katun atau linen biasanya lebih nyaman karena menyerap keringat dan baik untuk kulit yang mungkin lebih sensitif.

  2. Kemudahan Penggunaan: Pakaian untuk lansia sebaiknya mudah dipakai dan dilepas, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas. Fitur seperti resleting di bagian depan, kancing besar, dan tali elastis bisa memudahkan lansia dalam berpakaian.

  3. Mobilitas dan Fleksibilitas: Pakaian yang longgar atau memiliki potongan yang memungkinkan gerakan lebih bebas sangat penting. Ini membantu lansia agar tidak merasa terbatas atau kesulitan dalam bergerak.

  4. Keamanan: Pemilihan pakaian sebaiknya mempertimbangkan keamanan, seperti pakaian yang tidak terlalu panjang untuk menghindari risiko tersandung. Sepatu juga sebaiknya memiliki sol yang anti-selip untuk mengurangi risiko jatuh.

  5. Kesehatan: Lansia mungkin memerlukan pakaian yang membantu menjaga suhu tubuh. Misalnya, bahan yang hangat tetapi ringan bisa membantu menjaga tubuh tetap hangat tanpa merasa terbebani.

  6. Estetika yang Sederhana namun Elegan: Lansia tetap bisa mengikuti tren fashion dengan gaya yang simpel dan elegan, sesuai dengan selera dan kepribadian mereka. Warna-warna netral atau motif yang sederhana sering kali lebih disukai, tetapi warna-warna cerah yang disukai juga bisa memberi kesan segar.

  7. Fungsi Tambahan: Beberapa lansia memerlukan pakaian dengan fitur khusus, seperti kantong tambahan untuk membawa barang penting, atau akses untuk alat kesehatan seperti pompa insulin atau alat bantu pendengaran.

  8. Perawatan Mudah: Pakaian untuk lansia sebaiknya mudah dicuci dan dirawat. Bahan yang tidak mudah kusut atau membutuhkan sedikit perawatan bisa membantu, terutama bagi mereka yang tinggal sendiri atau memiliki keterbatasan dalam merawat pakaian.

Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, fashion untuk lansia dapat menjadi sarana bagi mereka untuk tetap tampil menarik dan merasa nyaman dalam berbagai aktivitas sehari-hari.

        Lansia yang fashionable memiliki ciri-ciri yang mencerminkan kepribadian mereka sekaligus menunjukkan selera fashion yang baik. 

Beberapa ciri lansia yang fashionable:
  1. Memilih Pakaian dengan Gaya yang Sesuai dan Berkelas: Lansia yang fashionable cenderung memilih pakaian yang cocok dengan bentuk tubuh dan kepribadian mereka. Mereka sering memilih gaya klasik atau elegan yang tidak lekang oleh waktu, tetapi juga berani mengeksplorasi tren terbaru yang sesuai dengan usia.

  2. Memperhatikan Kualitas dan Bahan Pakaian: Lansia yang fashionable sering mengutamakan kualitas dan kenyamanan. Mereka memilih bahan yang nyaman seperti katun, linen, atau wol halus yang tampak rapi dan terasa enak dipakai.

  3. Berani Bermain Warna dan Motif: Meskipun banyak lansia cenderung memilih warna netral, lansia yang fashionable tidak takut menggunakan warna yang berani atau motif yang menarik. Mereka memilih warna-warna yang memberi kesan ceria dan segar, seperti merah bata, biru tua, hijau zamrud, atau kuning mustard, tetapi tetap terlihat cocok dengan usia mereka.

  4. Menggunakan Aksesori yang Tepat: Aksesori yang elegan dan sederhana, seperti syal, kalung, jam tangan, atau bros, dapat memperkaya penampilan mereka. Lansia yang fashionable biasanya pandai memilih aksesori yang tidak berlebihan tetapi memberikan sentuhan keanggunan.

  5. Rapi dan Terawat: Lansia yang fashionable selalu tampak rapi, dengan pakaian yang disetrika dan terawat. Mereka memperhatikan detail seperti kebersihan sepatu, kecocokan warna, dan kesesuaian antara pakaian dan aksesori.

  6. Menjaga Penampilan Rambut dan Perawatan Kulit: Mereka juga memperhatikan penampilan rambut dan mungkin menjaga perawatan kulit yang sehat. Misalnya, memilih potongan rambut yang sesuai dengan gaya mereka dan menggunakan produk perawatan kulit agar kulit tetap lembap dan tampak sehat.

  7. Mengutamakan Kenyamanan Tanpa Mengorbankan Gaya: Mereka mengutamakan kenyamanan, tetapi tetap memilih pakaian yang bergaya. Ini bisa terlihat dari pemilihan sepatu yang nyaman namun tetap modis atau pakaian yang memiliki desain simpel tapi menarik.

  8. Memiliki Kepercayaan Diri dalam Berbusana: Lansia yang fashionable tampil dengan percaya diri dan nyaman dengan pilihan fashion mereka. Mereka tidak takut menjadi diri sendiri, dan rasa percaya diri ini membuat mereka terlihat lebih menarik dan berkelas.

  9. Pandai Menyesuaikan Gaya dengan Kesempatan: Lansia fashionable tahu bagaimana menyesuaikan gaya mereka dengan acara atau situasi tertentu. Misalnya, mereka tahu kapan harus memakai pakaian formal, kasual, atau semi-formal agar tetap pantas di segala suasana.

Lansia yang fashionable tidak hanya terlihat menarik tetapi juga menunjukkan semangat hidup dan kebahagiaan yang memancar melalui pilihan gaya mereka.




Sumber:

https://caregiversofamerica.com/fashion-is-important-for-older-adults 

https://serenityhomecare.ca/2023/10/24/the-benefits-of-adaptive-clothing-for-seniors/

https://12oaks.net/fashion-for-seniors/

https://www.keiro.org/features/fashion-and-aging

https://www.lighthouseseniorliving.com/news/the-best-clothing-options-for-seniors-aging-in-style/

https://www.terrabellaseniorliving.com/senior-living-blog/benefits-of-a-minimalist-wardrobe-for-seniors-and-how-to-start-it/


Friday, 8 November 2024

Siap-Siap Aktif Lagi! Latihan Terbaik untuk Mengatasi Masalah Kesehatan Senior

        Terdapat beberapa gangguan pada  Senior yang dapat dilatih atau diperbaiki melalui gerak fisik. Latihan fisik yang tepat dapat membantu mengurangi dampak penuaan, meningkatkan kekuatan, mobilitas, dan fleksibilitas. 
Beberapa masalah kesehatan Senior dapat dicegah dengan aktivitas.
(Sumber: foto Janjang Hanaris)
Beberapa gangguan yang dapat dilatih dengan gerak fisik beserta latihan yang sesuai:

1. Kelemahan Otot (Sarkopenia)

  • Gangguan: Hilangnya massa dan kekuatan otot seiring bertambahnya usia.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Kekuatan: Menggunakan beban ringan atau resistance bands untuk melatih kelompok otot besar, seperti squat, angkat beban tangan (dumbbell), atau push-up dinding.
    • Latihan Fungsional: Latihan seperti bangun dari kursi tanpa menggunakan tangan atau mengangkat barang dari lantai dapat meningkatkan kekuatan otot dan mempermudah aktivitas sehari-hari.

2. Gangguan Mobilitas Sendi

  • Gangguan: Kekakuan sendi akibat osteoarthritis atau penuaan yang menyebabkan keterbatasan gerakan.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Peregangan: Peregangan lembut untuk meningkatkan fleksibilitas, seperti peregangan hamstring, quadriceps, dan bahu.
    • Latihan Range of Motion: Latihan yang melibatkan gerakan sendi melalui rentang geraknya, seperti mengayunkan lengan, memutar pergelangan kaki, atau memutar leher.

3. Keseimbangan dan Koordinasi (Pencegahan Jatuh)

  • Gangguan: Keseimbangan yang buruk meningkatkan risiko jatuh pada lansia.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Berdiri Satu Kaki: Latihan ini, seperti yang disebutkan, dapat membantu melatih keseimbangan.
    • Latihan Berjalan di Garis Lurus: Berjalan dengan satu kaki di depan kaki yang lain (heel-to-toe) dapat melatih stabilitas dan koordinasi.
    • Tai Chi: Latihan ini melibatkan gerakan lambat dan terkontrol yang efektif untuk meningkatkan keseimbangan dan fleksibilitas.

4. Kesehatan Kardiovaskular (Penurunan Stamina dan Daya Tahan)

  • Gangguan: Lansia sering mengalami penurunan stamina, sesak napas, dan kelelahan cepat akibat penurunan fungsi jantung dan paru-paru.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Aerobik Ringan: Jalan cepat, bersepeda ringan, atau berenang dapat membantu meningkatkan daya tahan kardiovaskular tanpa memberikan tekanan berlebih pada sendi.
    • Latihan Intervals: Kombinasi antara aktivitas fisik yang lebih cepat dengan gerakan yang lebih lambat untuk meningkatkan stamina secara bertahap.

5. Gangguan Postur (Kifosis)

  • Gangguan: Kifosis (punggung bungkuk) atau postur tubuh yang buruk sering terjadi akibat melemahnya otot-otot postural dan tulang belakang yang melengkung.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Postur: Latihan seperti "plank" di dinding atau latihan postural sederhana yang melibatkan tarikan bahu ke belakang dan mengangkat kepala dapat membantu memperbaiki postur tubuh.
    • Latihan Penguatan Punggung: Latihan seperti rowing (menggunakan resistance band) atau peregangan punggung bagian atas bisa membantu menguatkan otot-otot punggung.

6. Nyeri Lutut dan Pinggul (Osteoarthritis)

  • Gangguan: Nyeri lutut dan pinggul akibat osteoarthritis dapat membatasi pergerakan dan meningkatkan risiko jatuh.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Penguatan Otot Kaki: Squat ringan, latihan leg raises, atau berjalan di tempat untuk memperkuat otot di sekitar lutut dan pinggul.
    • Latihan Air (Hidroterapi): Berenang atau latihan di dalam air dapat mengurangi tekanan pada sendi sambil tetap memperkuat otot.

7. Penurunan Fleksibilitas

  • Gangguan: Penurunan fleksibilitas membuat gerakan terbatas dan lebih rentan terhadap cedera.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Yoga Ringan atau Peregangan Terpandu: Yoga dapat meningkatkan fleksibilitas dan juga membantu memperbaiki postur tubuh serta keseimbangan.
    • Latihan Peregangan Rutin: Peregangan pada seluruh tubuh secara teratur dapat membantu mempertahankan fleksibilitas otot dan sendi.

8. Masalah Pernapasan (COPD, Asma Lansia)

  • Gangguan: Penyakit paru obstruktif kronik (COPD) atau asma dapat membatasi kapasitas paru-paru dan stamina.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Pernapasan Dalam (Deep Breathing): Latihan ini bisa membantu memperbaiki fungsi paru-paru dan meningkatkan oksigenasi.
    • Latihan Kardio Ringan: Aktivitas seperti berjalan lambat atau latihan dengan sepeda statis ringan dapat membantu meningkatkan fungsi paru-paru tanpa terlalu melelahkan.

9. Gangguan Saraf (Neuropati Perifer)

  • Gangguan: Nyeri, kesemutan, atau mati rasa di kaki dan tangan akibat kerusakan saraf.
  • Latihan yang Disarankan:
    • Latihan Koordinasi: Melakukan gerakan yang melibatkan tangan dan kaki secara bersamaan, seperti bermain bola atau memegang benda kecil, bisa membantu meningkatkan koordinasi saraf.
    • Latihan Kaki dan Tangan: Melatih otot kecil di tangan dan kaki melalui gerakan sederhana seperti menggulung bola atau menjepit benda.

Latihan fisik yang disesuaikan dengan kondisi individu dapat membantu  Senior mengatasi berbagai gangguan fisik dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Namun, penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau fisioterapis sebelum memulai latihan untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.




Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4623318/

https://www.binasss.sa.cr/dic23/50.pdf

https://www.mdpi.com/1422-0067/25/8/4300

https://www.nuffieldhealth.com/article/7-exercises-for-the-over-70s-while-self-isolating

https://siortho.com/blog/arthritis/low-impact-joint-pain-exercises-for-arthritis/

https://www.healthline.com/health/exercise-fitness/balance-exercises-for-seniors

https://www.careinsurance.com/blog/health-insurance-articles/best-heart-exercises-for-seniors-to-stay-heart-healthy

https://aspenseniorcenter.org/five-easy-exercises-to-help-seniors-improve-their-posture/

https://www.medicalnewstoday.com/articles/325029#safety

Monday, 28 October 2024

Deteksi Pikun Hanya dalam 5 Menit: Tes Sederhana untuk Lansia

        Pikun pada lansia, atau dikenal juga sebagai demensia, adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif, seperti ingatan, berpikir, dan penalaran, yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Pikun tidak dianggap sebagai bagian normal dari penuaan, melainkan gejala dari gangguan tertentu yang memengaruhi otak. Penyebab paling umum dari pikun adalah Alzheimer, namun ada juga penyebab lain seperti demensia vaskular, demensia frontotemporal, dan demensia karena penyakit Parkinson.

Beberapa metode pengukuran yang mudah dan sederhana untuk mengetahui apakah seorang lansia mengalami pikun (demensia). Tes-tes ini biasanya dilakukan oleh tenaga medis, tetapi beberapa di antaranya cukup sederhana sehingga dapat dilakukan oleh keluarga atau pengasuh untuk deteksi awal

Tes sederhana untuk mengetahui pikun pada Lansia.
(Sumber: foto Karningsih)

Beberapa Metode Pengukuran yang Mudah:

1. Mini-Cog Test

Ini adalah tes singkat dan mudah yang sering digunakan untuk mendeteksi demensia. Mini-Cog mengombinasikan tes ingatan jangka pendek dan kemampuan visual-spasial. Tes ini dapat dilakukan dalam beberapa menit dan memiliki dua komponen:

  • Tes Ingatan: Orang diminta untuk mengingat tiga kata sederhana (misalnya, apel, meja, dan koin).
  • Clock Drawing Test (CDT): Setelah itu, orang diminta menggambar jam dan menunjukkan waktu tertentu (misalnya, jam 11:10).
  • Setelah tes menggambar selesai, orang diminta mengulang tiga kata yang disebutkan sebelumnya.

Interpretasi:

  • Jika mereka kesulitan mengingat kata-kata atau membuat jam yang benar, ini bisa menjadi indikasi adanya masalah kognitif.

2. Clock Drawing Test (CDT)

Tes ini dapat dilakukan secara mandiri dan berfungsi untuk mengukur fungsi visual-spasial dan kemampuan perencanaan seseorang. Prosesnya adalah sebagai berikut:

  • Orang diminta untuk menggambar lingkaran (sebagai jam), menempatkan angka-angka dengan benar di posisi yang tepat, dan kemudian menggambar jarum jam yang menunjukkan waktu tertentu (misalnya, jam 10:15).

Interpretasi:

  • Kesalahan dalam menggambar jam, seperti menempatkan angka di tempat yang salah atau tidak bisa menempatkan jarum dengan tepat, dapat menunjukkan masalah kognitif.

3. Geriatric Depression Scale (GDS) - Skala Depresi Geriatri

Depresi bisa memengaruhi kemampuan kognitif, dan tes ini digunakan untuk menilai apakah depresi berperan dalam penurunan memori atau kognisi. Meskipun bukan tes demensia, ini berguna karena depresi sering salah didiagnosis sebagai demensia pada lansia.

  • Tes terdiri dari serangkaian pertanyaan yang dapat dijawab dengan "ya" atau "tidak", dan hasilnya membantu mengevaluasi apakah seseorang mungkin mengalami depresi yang mempengaruhi fungsi otak mereka.

4. Memory Impairment Screen (MIS)

Tes ini sangat sederhana dan bisa dilakukan dalam beberapa menit. Orang diminta untuk mengingat empat kata dan kemudian diinstruksikan untuk mengategorikan masing-masing kata (misalnya, apel sebagai buah). Setelah beberapa menit, orang diminta mengingat kembali kata-kata tersebut.

Interpretasi:

  • Kesulitan dalam mengingat kata-kata setelah gangguan sementara bisa menjadi indikasi awal adanya masalah memori.

5. Six-Item Screener (SIS)

Ini adalah tes singkat yang menilai fungsi kognitif seseorang dalam enam pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup ingatan dan orientasi waktu. Contoh pertanyaan:

  • Hari apa ini?
  • Bulan apa ini?
  • Ulangi tiga kata ini setelah saya: apel, kunci, dan mobil. (Kemudian diminta untuk mengulang kata-kata tersebut setelah beberapa waktu.)

Interpretasi:

  • Skor rendah pada tes ini dapat menunjukkan adanya penurunan kognitif.

6. Informant Questionnaire on Cognitive Decline in the Elderly (IQCODE)

Kuesioner ini diisi oleh keluarga atau pengasuh yang dekat dengan lansia. Kuesioner ini menilai perubahan perilaku dan kemampuan sehari-hari yang terkait dengan penurunan kognitif. Ini sangat membantu dalam mengevaluasi apakah penurunan fungsi terjadi secara bertahap.

7. 10-Word Recall Test

Ini adalah tes sederhana di mana seseorang diminta untuk mengingat 10 kata yang dibacakan dengan interval singkat. Setelah itu, orang diminta untuk mengulang kata-kata tersebut. Tes ini berfokus pada kemampuan memori jangka pendek.

Rekomendasi Penggunaan

Tes-tes ini efektif sebagai deteksi awal dan bisa memberikan indikasi apakah lansia mengalami penurunan kognitif. Namun, hasil dari tes ini tidak bisa dijadikan diagnosis pasti. Jika hasilnya menunjukkan potensi masalah, langkah selanjutnya adalah konsultasi dengan dokter atau ahli saraf untuk evaluasi lebih lanjut dan diagnosa yang lebih akurat.

Kapan Tes Ini Diperlukan?

Jika lansia mulai menunjukkan gejala seperti:

  • Lupa janji atau peristiwa baru-baru ini.
  • Kebingungan tentang waktu atau tempat.
  • Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas sederhana.
  • Perubahan kepribadian atau suasana hati.

Maka tes-tes ini bisa digunakan sebagai langkah awal untuk memahami apakah penurunan kognitif tersebut memerlukan penanganan lebih lanjut.

Apakah Tes Sederhana untuk Pikun dapat Dikerjakan Sendiri oleh Lansia ?

Tes sederhana untuk mendeteksi pikun (demensia) dapat dilakukan oleh lansia sendiri, tetapi lebih disarankan dilakukan bersama dengan anggota keluarga atau pengasuh. Hal ini karena beberapa tes mungkin membutuhkan penilaian objektif atau instruksi yang harus diikuti dengan benar. Selain itu, melakukan tes bersama orang lain dapat membantu memastikan hasil yang lebih akurat dan membantu mendeteksi masalah yang mungkin terlewat.

Namun, ada beberapa tes yang cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh lansia sendiri. Contoh-contoh tes tersebut adalah:

Tes yang Dapat Dilakukan Sendiri oleh Lansia:

  1. Clock Drawing Test (CDT)

    • Lansia bisa mencoba menggambar jam dengan waktu tertentu (misalnya, jam 10:15). Ini adalah tes sederhana untuk mengukur kemampuan visual-spasial dan fungsi eksekutif.
    • Interpretasi: Jika hasilnya tidak sesuai (misalnya, salah menempatkan angka atau waktu), hal ini bisa menjadi tanda awal penurunan kognitif.
  2. 10-Word Recall Test

    • Lansia mendengarkan atau mencatat 10 kata sederhana dan mencoba mengingatnya setelah beberapa menit.
    • Interpretasi: Jika sulit mengingat sebagian besar kata, ini bisa mengindikasikan masalah memori.
  3. Mini-Cog (Bagian Tes Mengingat Kata)

    • Tes ini termasuk mengingat 3 kata (seperti apel, meja, koin), kemudian setelah beberapa menit diminta untuk mengulang kata-kata tersebut.
    • Interpretasi: Jika kesulitan mengingat ketiga kata setelah gangguan singkat, bisa menjadi indikasi masalah kognitif.

Mengapa Lebih Baik Dilakukan Bersama Orang Lain? 

  1. Kesalahan Interpretasi: Beberapa tes memerlukan penilaian, seperti Clock Drawing Test, di mana lansia mungkin merasa gambarnya benar padahal tidak. Keterlibatan orang lain membantu dalam menilai hasil secara lebih objektif.

  2. Memastikan Instruksi Dilaksanakan dengan Benar: Beberapa tes, seperti Mini-Cog atau MMSE, memerlukan instruksi yang tepat. Orang lain bisa memastikan bahwa lansia mengikuti instruksi dengan benar dan membantu mencatat hasilnya.

  3. Deteksi Perubahan Perilaku: Orang yang mengenal lansia dengan baik, seperti anggota keluarga atau pengasuh, sering kali lebih baik dalam melihat perubahan perilaku atau kebingungan yang mungkin tidak disadari oleh lansia sendiri.

Lansia dapat melakukan beberapa tes sederhana sendiri untuk mendeteksi pikun, terutama yang melibatkan tugas-tugas ingatan atau menggambar. Namun, untuk hasil yang lebih akurat, lebih baik dilakukan dengan bantuan orang lain, baik itu keluarga atau tenaga medis, yang dapat membantu memberikan instruksi, mengamati perilaku, dan menilai hasil secara objektif.




Sumber:

https://mini-cog.com/

https://www.cgakit.com/m-1-clock-test

https://geriatrictoolkit.missouri.edu/cog/GDS_SHORT_FORM.PDF

https://www.alz.org/media/documents/memory-impairment-screening-mis.pdf

https://sites.cscc.unc.edu/hchs/system/files/forms/SIB_QXQ.pdf

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34278561/

https://en.wikipedia.org/wiki/Recall_test

https://www.alz.org/alzheimers-dementia/what-is-dementia#:~:text=Dementia%20is%20a%20general%20term,Diagnosis

Sunday, 20 October 2024

Di Balik Keputusan Akhir: Lansia Bunuh Diri Meski Umur Sudah Tidak Lama

        Dalam ilmu sosial, bunuh diri didefinisikan sebagai tindakan individu yang secara sengaja mengakhiri hidupnya sendiri. Pengertian ini melibatkan faktor-faktor sosial, psikologis, dan budaya yang mempengaruhi individu untuk memilih bunuh diri sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dirasakan.

Menurut sosiolog Émile Durkheim, yang pertama kali meneliti bunuh diri dari perspektif sosial, bunuh diri adalah fenomena sosial yang dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan masyarakat. Ia mengidentifikasi empat tipe bunuh diri berdasarkan tingkat integrasi sosial dan regulasi sosial, yaitu:

  1. Bunuh diri egoistik: Terjadi ketika seseorang merasa terisolasi dari masyarakat, kurangnya dukungan sosial atau perasaan kesepian yang mendalam.
  2. Bunuh diri altruistik: Terjadi ketika seseorang terlalu terikat pada kelompok atau tujuan sosial sehingga mengorbankan hidupnya demi kelompok tersebut, seperti dalam kasus bunuh diri martir.
  3. Bunuh diri anomik: Terjadi saat ada kekacauan sosial atau norma sosial yang tidak jelas, seperti saat mengalami krisis ekonomi atau perubahan besar dalam hidup.
  4. Bunuh diri fatalistik: Terjadi dalam situasi di mana seseorang merasa terperangkap dalam kondisi yang sangat menindas atau membatasi, seperti perbudakan atau penjara.

Faktor-faktor sosial lain yang berpengaruh termasuk stigma, tekanan sosial, ekspektasi budaya, ketidakadilan ekonomi, dan peran gender. Banyak teori sosial juga menunjukkan bahwa isolasi sosial, kurangnya dukungan emosional, atau stres dari lingkungan sosial yang tidak sehat dapat memperparah risiko bunuh diri​

Kesepian dan isolasi membuat lansia ingin bunuh diri.
(Sumber ilustrasi: foto canva.com)

        Bunuh diri pada lansia, meskipun usia mereka mendekati akhir secara alami, dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosial, psikologis, dan fisik yang memengaruhi kualitas hidup mereka. 

Beberapa faktor utama yang menyebabkan lansia berisiko tinggi untuk bunuh diri:
  1. Kesepian dan isolasi sosial: Lansia sering kali kehilangan pasangan hidup, teman-teman, dan jaringan sosial, yang membuat mereka merasa terisolasi dan kesepian. Kesepian dapat memperburuk kondisi mental mereka dan mendorong pikiran untuk mengakhiri hidup​.

  2. Depresi dan masalah kesehatan mental: Depresi pada lansia sering kali tidak terdiagnosis atau tidak ditangani dengan baik. Kondisi ini diperburuk oleh penurunan kemampuan fisik, kehilangan peran sosial, dan kesulitan finansial. Depresi menjadi faktor utama dalam keputusan mereka untuk bunuh diri​.

  3. Penyakit kronis atau rasa sakit yang tidak tertahankan: Penyakit-penyakit seperti kanker, penyakit jantung, atau nyeri kronis yang tidak tertahankan dapat menyebabkan penderitaan fisik dan emosional yang berat. Banyak lansia merasa tidak ada jalan keluar dari rasa sakit ini, yang mendorong mereka untuk memilih bunuh diri sebagai solusi.

  4. Perasaan menjadi beban: Beberapa lansia merasa bahwa mereka menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat, baik secara emosional, finansial, maupun fisik. Perasaan tidak berharga dan merasa tidak berguna ini dapat meningkatkan risiko bunuh diri.

  5. Kurangnya dukungan dan perhatian keluarga: Banyak lansia merasa diabaikan atau kurang mendapatkan dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Hubungan yang renggang dengan anak-anak atau keluarga lainnya dapat memperburuk perasaan kesepian dan keputusasaan​.

  6. Perubahan hidup yang drastis: Kehilangan pekerjaan, pensiun, atau berpindah ke panti jompo adalah perubahan besar yang dapat mengguncang identitas dan rasa kontrol lansia atas hidup mereka. Perubahan ini sering kali disertai dengan perasaan kehilangan tujuan hidup, yang bisa memicu bunuh diri.

Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa meskipun lansia berada di akhir kehidupan, tantangan emosional, sosial, dan fisik yang mereka alami tetap menjadi pendorong utama dalam keputusan untuk mengakhiri hidup.

       Lansia yang mungkin mempertimbangkan bunuh diri sering menunjukkan sejumlah tanda atau perubahan perilaku yang mencerminkan keputusasaan atau perasaan tertekan. Ciri-ciri ini dapat meliputi perubahan fisik, emosional, dan sosial yang harus diperhatikan oleh keluarga atau orang di sekitarnya. 

Bebeberapa ciri utama lansia ingin bunuh diri:

  1. Perubahan mood yang mendadak: Lansia yang tampak tertekan mungkin tiba-tiba menjadi tenang atau tampak lebih bahagia. Perubahan ini bisa menjadi tanda bahwa mereka telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dan merasa lega setelah membuat keputusan tersebut.

  2. Berbicara tentang kematian atau bunuh diri: Ini termasuk pernyataan eksplisit seperti "Saya ingin mati" atau "Tidak ada gunanya hidup lagi." Mereka mungkin juga berbicara tentang menjadi beban bagi orang lain, atau merasa tidak punya alasan untuk hidup.

  3. Menarik diri dari interaksi sosial: Mereka mungkin mulai menghindari keluarga, teman-teman, atau aktivitas yang dulu mereka nikmati. Isolasi ini bisa menjadi tanda depresi atau keputusasaan yang dalam.

  4. Pemberian barang-barang pribadi: Tindakan seperti memberikan barang-barang berharga atau sentimental kepada orang lain tanpa alasan yang jelas bisa menjadi sinyal bahwa mereka sedang mempersiapkan diri untuk bunuh diri.

  5. Perubahan pola tidur dan makan: Lansia yang sedang dalam krisis mental mungkin mengalami gangguan tidur (insomnia atau tidur berlebihan) dan perubahan nafsu makan yang signifikan, baik makan terlalu banyak atau terlalu sedikit.

  6. Penurunan perawatan diri: Tanda seperti mengabaikan kebersihan pribadi, rumah yang tidak terawat, atau tidak meminum obat yang diresepkan bisa menjadi sinyal bahwa mereka kehilangan minat dalam hidup dan kesejahteraan mereka sendiri.

  7. Membuat rencana atau meneliti cara bunuh diri: Ini mungkin termasuk mencari informasi tentang metode bunuh diri atau menyimpan bahan yang bisa digunakan untuk mengakhiri hidup.

  8. Penurunan kesehatan fisik yang cepat: Kadang-kadang, lansia dengan kondisi fisik yang memburuk mungkin mulai menyuarakan rasa putus asa terkait kesehatan mereka, dan hal ini bisa mendorong mereka ke arah tindakan bunuh diri.

Jika ada tanda-tanda ini, intervensi cepat dengan memberikan dukungan emosional dan bantuan profesional sangat penting untuk mencegah kemungkinan bunuh diri.

       Mencegah kasus bunuh diri pada lansia membutuhkan pendekatan yang komprehensif, termasuk dukungan sosial, psikologis, dan medis. 

Beberapa langkah efektif untuk mencegah bunuh diri pada lansia:

1. Dukungan Sosial dan Keluarga

  • Menjaga Koneksi Sosial: Isolasi sosial merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi pada keinginan bunuh diri pada lansia. Keluarga dan teman perlu menjaga hubungan yang erat dengan lansia, mengunjungi mereka secara rutin, serta melibatkan mereka dalam aktivitas sosial.
  • Meningkatkan Rasa Berharga: Membantu lansia merasa bahwa mereka masih memiliki peran penting dalam keluarga atau masyarakat bisa mengurangi perasaan tidak berharga. Ini bisa dilakukan dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, atau aktivitas yang mereka nikmati.

2. Perawatan Kesehatan Mental

  • Deteksi dan Pengobatan Depresi: Depresi sering kali tidak terdiagnosis pada lansia. Sangat penting bagi tenaga kesehatan dan keluarga untuk mengenali gejala depresi dan memberikan akses ke layanan kesehatan mental yang tepat. Terapi dan obat antidepresan dapat membantu mengurangi gejala depresi yang berhubungan dengan pikiran bunuh diri​.
  • Konseling dan Terapi Psikologis: Terapi perilaku kognitif (CBT) dan konseling bisa membantu lansia mengatasi perasaan putus asa, depresi, dan isolasi. Pendekatan psikologis ini membantu mereka untuk memproses pengalaman dan emosi yang menyakitkan dengan cara yang sehat.

3. Dukungan Medis dan Manajemen Nyeri

  • Penanganan Kondisi Kesehatan Fisik: Penyakit kronis dan rasa sakit yang tidak tertahankan dapat menjadi alasan utama bagi lansia untuk memilih bunuh diri. Manajemen nyeri yang efektif dan perawatan medis yang baik dapat membantu mengurangi beban fisik yang mereka rasakan.
  • Perawatan Paliatif: Bagi lansia dengan penyakit terminal, layanan perawatan paliatif dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan, serta memberikan dukungan emosional.

4. Pendekatan Komunitas dan Dukungan Profesional

  • Program Komunitas untuk Lansia: Menciptakan atau memperkuat program-program yang memungkinkan lansia untuk tetap aktif secara sosial dan terlibat dalam kegiatan komunitas dapat membantu mengurangi perasaan kesepian dan keterasingan.
  • Pelatihan bagi Keluarga dan Pengasuh: Pengasuh dan anggota keluarga harus mendapatkan pelatihan untuk mengenali tanda-tanda depresi atau perilaku yang menunjukkan risiko bunuh diri pada lansia, sehingga mereka dapat memberikan bantuan yang diperlukan.

5. Akses Layanan Dukungan Krisis

  • Hotline atau Layanan Krisis: Memastikan bahwa lansia memiliki akses ke layanan dukungan krisis seperti hotline bunuh diri, di mana mereka dapat berbicara dengan konselor atau profesional kesehatan mental saat mereka merasa tertekan.
  • Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Kampanye publik yang meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan mental pada lansia, termasuk stigma yang sering dihadapi oleh lansia dalam mencari bantuan, sangat penting untuk pencegahan.

Dengan menggabungkan langkah-langkah di atas, keluarga, komunitas, dan profesional kesehatan dapat secara efektif membantu lansia yang berisiko bunuh diri, memberikan dukungan yang mereka butuhkan untuk menghadapi masa-masa sulit dan mengembalikan kualitas hidup mereka.



Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/%C3%89mile_Durkheim

https://lib.litbang.kemendagri.go.id/index.php?p=show_detail&id=1134

https://www.britannica.com/biography/Emile-Durkheim

https://www.ncoa.org/article/suicide-and-older-adults-what-you-should-know/

https://www.healthaffairs.org/content/forefront/suicide-rates-high-and-rising-among-older-adults-us

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3503915/

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3503915/

Wednesday, 16 October 2024

Tetap Kuat di Usia Senja: Program Latihan Kekuatan untuk Lansia

        Hilangnya massa dan kekuatan otot pada populasi lanjut usia (khususnya setelah usia 65-70 tahun) merupakan masalah kesehatan masyarakat. Karena tingginya prevalensi kelemahan pada orang lanjut usia, latihan kardiovaskular atau latihan intensitas rendah dilaksanakan sebagai pilihan pertama. Meskipun bermanfaat, skema pelatihan ini tidak seefektif pelatihan ketahanan berbasis kekuatan untuk meningkatkan kekuatan otot dan hipertrofi

Usia 65-70 tahun timbul masalah kelemahan dan kekuatan
(Sumber: foto Sunaryo)

Faktanya, bila dilakukan secara progresif dan di bawah pengawasan profesional, pelatihan berbasis kekuatan telah diusulkan sebagai metode yang penting dan valid untuk mengurangi masalah terkait sarkopenia.

Latihan kekuatan pada lansia adalah aktivitas fisik yang dirancang untuk memperkuat otot-otot tubuh. Kegiatan ini bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki keseimbangan, dan mencegah kehilangan massa otot yang terkait dengan penuaan. 

       Sarcopenia adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan massa otot, kekuatan otot, dan fungsi fisik pada lansia. 

Beberapa ciri fenotip dari lansia yang terkena sarcopenia:

  1. Penurunan Massa Otot: Salah satu tanda utama sarcopenia adalah hilangnya massa otot, terutama otot rangka. Ini bisa dilihat dari pengecilan ukuran otot di lengan, kaki, dan area tubuh lainnya.

  2. Kekuatan Otot yang Berkurang: Lansia dengan sarcopenia sering kali mengalami kelemahan otot, terutama di tangan dan kaki, sehingga sulit melakukan aktivitas seperti mengangkat benda, berjalan, atau naik tangga.

  3. Penurunan Fungsi Fisik: Sarcopenia menyebabkan penurunan kemampuan motorik, seperti berkurangnya keseimbangan, kecepatan berjalan, dan kemampuan berdiri dari posisi duduk tanpa bantuan.

  4. Kelelahan: Lansia dengan sarcopenia sering merasa cepat lelah karena otot mereka lebih lemah dan kurang efisien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

  5. Perubahan Postur Tubuh: Dalam beberapa kasus, lansia dengan sarcopenia dapat mengalami perubahan postur, seperti punggung yang bungkuk atau penurunan kemampuan menjaga keseimbangan tubuh.

  6. Penurunan Berat Badan: Kehilangan massa otot dapat menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan, terutama jika disertai dengan hilangnya jaringan lemak.

  7. Mobilitas Terbatas: Karena otot yang melemah, lansia dengan sarcopenia sering kali mengalami keterbatasan dalam bergerak, seperti kesulitan berjalan atau berdiri dalam waktu lama.

       Pada wajah lansia yang terkena sarcopenia, perubahan tertentu dapat tampak akibat hilangnya massa otot dan jaringan lunak. 

Beberapa ciri yang bisa terlihat pada wajah lansia yang diakibatkan Sarcopenia:

  1. Pipi yang Tampak Cekung: Kehilangan massa otot di area pipi dapat menyebabkan wajah terlihat lebih cekung atau kurus, dengan kontur tulang pipi lebih terlihat jelas.

  2. Kulit Kendur: Penurunan otot wajah dapat menyebabkan kulit wajah kehilangan dukungan dan elastisitas, yang membuatnya tampak lebih kendur atau bergelambir, terutama di sekitar rahang dan bawah dagu.

  3. Tulang Wajah yang Lebih Terlihat: Dengan hilangnya otot di sekitar wajah, struktur tulang wajah seperti rahang, dagu, dan tulang pipi bisa menjadi lebih terlihat jelas, membuat wajah tampak lebih tirus atau cekung.

  4. Garis dan Kerutan yang Lebih Menonjol: Kehilangan massa otot bisa membuat kulit wajah tampak lebih tipis dan kering, sehingga garis-garis halus dan kerutan menjadi lebih menonjol, terutama di sekitar mata, mulut, dan dahi.

  5. Perubahan pada Bibir: Bibir bisa tampak lebih tipis dan kurang penuh karena hilangnya jaringan otot di sekitar area mulut.

Meskipun perubahan ini lebih dipengaruhi oleh penuaan secara umum, sarcopenia dapat mempercepat atau memperparah kondisi tersebut karena hilangnya massa otot wajah yang berperan dalam menjaga kekencangan kulit dan bentuk wajah.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan latihan kekuatan pada lansia:

Manfaat Latihan Kekuatan untuk Lansia:

Mencegah Penurunan Massa Otot: Penuaan sering kali disertai dengan penurunan massa otot (sarkopenia). Latihan kekuatan dapat membantu mempertahankan atau bahkan meningkatkan massa otot, yang penting untuk mempertahankan kemandirian dan kualitas hidup.

Meningkatkan Keseimbangan dan Koordinasi: Latihan kekuatan yang tepat dapat membantu meningkatkan keseimbangan dan koordinasi tubuh, yang dapat membantu mencegah jatuh dan cedera.

Mengurangi Risiko Osteoporosis: Latihan kekuatan dapat membantu memperkuat tulang dan mengurangi risiko osteoporosis.

Meningkatkan Kesehatan Jantung: Beberapa latihan kekuatan juga dapat memberikan manfaat kesehatan jantung dengan meningkatkan metabolisme dan pembakaran kalori.

Meningkatkan Kualitas Hidup: Memiliki otot yang kuat dapat membuat aktivitas sehari-hari menjadi lebih mudah dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Tips untuk Latihan Kekuatan yang Aman bagi Lansia:

Mulailah dengan Ringan: Jika Anda baru memulai program latihan kekuatan, mulailah dengan beban ringan atau tanpa beban sama sekali untuk membangun kekuatan dan memperkenalkan tubuh pada latihan.

Gunakan Teknik yang Benar: Pastikan untuk menggunakan teknik yang benar saat melakukan latihan. Ini membantu mencegah cedera dan memastikan bahwa otot yang tepat yang terlibat.

Pilih Berat yang Sesuai: Pilih beban yang sesuai dengan kemampuan Anda. Berat yang terlalu ringan tidak akan memberikan stimulus yang cukup untuk memperkuat otot, sementara berat yang terlalu berat dapat menyebabkan cedera.

Istirahat yang Cukup: Berikan otot Anda waktu untuk pulih dengan memberikan istirahat yang cukup antara sesi latihan.

Konsultasikan dengan Profesional Kesehatan: Jika Anda memiliki masalah kesehatan atau cedera sebelumnya, konsultasikan dengan dokter atau fisioterapis sebelum memulai program latihan kekuatan.

Variasi Latihan: Latihan berbagai kelompok otot untuk memastikan keseimbangan dalam kekuatan tubuh Anda. Ini juga membantu mencegah kebosanan dan menjaga motivasi.

Contoh Latihan Kekuatan untuk Lansia:

Squat: 
Duduk turun seperti akan duduk di kursi, lalu kembali berdiri. Latihan ini memperkuat otot paha dan gluteus.

Push-Up Modifikasi: 
Lakukan push-up dengan lutut di lantai atau dengan menggunakan dinding untuk dukungan. Ini memperkuat otot dada, bahu, dan lengan.


Lunges: 
Langkah maju dengan salah satu kaki dan tekuk kedua lutut hingga membentuk sudut 90 derajat. Kembali ke posisi berdiri dan ulangi dengan kaki yang lain. Latihan ini memperkuat otot paha dan panggul.

Latihan Kekuatan Tangan:
Gunakan dumbbell atau resistance band untuk melakukan latihan seperti bicep curl, tricep extension, atau shoulder press.

Plank: 
Bertumpu pada lengan dan kaki, tahan tubuh lurus selama beberapa detik hingga beberapa menit. Ini memperkuat otot inti, lengan, dan bahu.
 
Latihan kekuatan adalah bagian penting dari program kebugaran lansia untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirian. Dengan memilih latihan yang sesuai, menggunakan teknik yang benar, dan memperhatikan batasan fisik, lansia dapat memperoleh manfaat yang signifikan dari latihan kekuatan dengan aman.







Sumber:






Monday, 14 October 2024

Penyakit Silent Killer yang Diam-Diam Mengintai Senior: Waspadai Sebelum Terlambat!

        Silent killer adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada penyakit atau kondisi kesehatan yang berkembang secara perlahan tanpa gejala yang jelas atau terlihat pada tahap awal. Karena tidak menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali, orang yang menderita penyakit tersebut mungkin tidak menyadari bahwa mereka mengalami masalah kesehatan yang serius hingga penyakitnya mencapai tahap lanjut atau menyebabkan komplikasi yang berbahaya.

Senior harus waspada dengan penyakit silent killer
(Sumber: foto Budi Indrayati)
Beberapa penyakit yang sering disebut sebagai "silent killer" pada senior adalah kondisi yang berkembang secara perlahan tanpa gejala yang jelas, sehingga sulit untuk dideteksi pada tahap awal. Akibatnya, penyakit ini bisa menjadi sangat serius atau fatal sebelum terdiagnosis atau diobati. Berikut adalah beberapa di antaranya:

1. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

  • Mengapa disebut silent killer?: Hipertensi sering kali tidak menunjukkan gejala yang jelas, tetapi bisa menyebabkan kerusakan serius pada organ-organ vital seperti jantung, ginjal, dan otak jika tidak diobati. Hipertensi dapat meningkatkan risiko stroke, serangan jantung, dan gagal jantung.
  • Komplikasi: Penyakit jantung koroner, stroke, gagal ginjal.

2. Diabetes Tipe 2

  • Mengapa disebut silent killer?: Diabetes tipe 2 sering berkembang perlahan dan tanpa gejala yang jelas pada tahap awal. Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka menderita diabetes sampai mereka mengalami komplikasi seperti kerusakan saraf, gangguan penglihatan, atau masalah ginjal.
  • Komplikasi: Penyakit jantung, gagal ginjal, neuropati (kerusakan saraf), amputasi anggota tubuh, kebutaan.

3. Penyakit Jantung Koroner

  • Mengapa disebut silent killer?: Penyakit jantung koroner bisa berkembang tanpa gejala yang terlihat, terutama pada wanita dan lansia. Plak lemak yang menumpuk di arteri jantung dapat menyebabkan serangan jantung tiba-tiba atau angina (nyeri dada).
  • Komplikasi: Serangan jantung, gagal jantung, aritmia.

4. Kanker

  • Mengapa disebut silent killer?: Beberapa jenis kanker, seperti kanker pankreas, kanker usus besar, atau kanker paru-paru, sering kali tidak menunjukkan gejala sampai tahap lanjut ketika pengobatan menjadi lebih sulit.
  • Komplikasi: Penyebaran sel kanker (metastasis) ke organ lain, kerusakan organ vital, kematian.

5. Penyakit Ginjal Kronis

  • Mengapa disebut silent killer?: Kerusakan ginjal dapat terjadi perlahan tanpa gejala sampai ginjal hampir berhenti berfungsi. Penyakit ini sering kali hanya terdeteksi pada tahap lanjut.
  • Komplikasi: Gagal ginjal, penyakit jantung, anemia, kerusakan tulang.

6. Osteoporosis

  • Mengapa disebut silent killer?: Osteoporosis melemahkan tulang secara perlahan tanpa gejala yang jelas. Orang sering kali baru menyadari mereka memiliki osteoporosis setelah mengalami patah tulang, yang bisa berbahaya pada lansia.
  • Komplikasi: Patah tulang, terutama pinggul dan tulang belakang, yang bisa menyebabkan kecacatan serius.

7. Sleep Apnea

  • Mengapa disebut silent killer?: Sleep apnea adalah gangguan tidur di mana pernapasan berhenti sebentar-sebentar selama tidur. Kondisi ini sering kali tidak terdiagnosis tetapi dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan kematian mendadak.
  • Komplikasi: Hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetes tipe 2.

8. Aterosklerosis (Penyumbatan Arteri)

  • Mengapa disebut silent killer?: Aterosklerosis terjadi ketika plak lemak menumpuk di dinding arteri dan menyumbat aliran darah. Proses ini sering terjadi tanpa gejala sampai aliran darah terhambat secara signifikan, yang bisa menyebabkan serangan jantung atau stroke.
  • Komplikasi: Penyakit jantung koroner, serangan jantung, stroke.

9. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

  • Mengapa disebut silent killer?: PPOK, termasuk bronkitis kronis dan emfisema, berkembang secara perlahan dengan gejala yang sering diabaikan, seperti batuk ringan atau sesak napas. Namun, saat penyakit semakin parah, dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang serius dan berakibat fatal.
  • Komplikasi: Gagal napas, penyakit jantung, infeksi paru-paru.

Mengelola dan mendeteksi penyakit ini lebih awal melalui pemeriksaan kesehatan rutin sangat penting, terutama bagi lansia. Penanganan dini dapat mengurangi risiko komplikasi yang serius dan membantu meningkatkan kualitas hidup.

       Menghindari penyakit silent killer pada senior memerlukan pendekatan proaktif yang melibatkan gaya hidup sehat, pemeriksaan kesehatan rutin, dan pengelolaan faktor risiko. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah atau mengelola penyakit silent killer pada lansia:

1. Pemeriksaan Kesehatan Rutin

  • Deteksi dini: Banyak penyakit silent killer, seperti hipertensi, diabetes, dan kanker, dapat terdeteksi lebih awal melalui pemeriksaan medis rutin. Melakukan tes tekanan darah, pemeriksaan kadar gula darah, kolesterol, dan skrining kanker secara berkala sangat penting untuk mendeteksi potensi masalah sebelum berkembang menjadi serius.
  • Tes tambahan: Pastikan senior mendapatkan pemeriksaan tambahan sesuai usia dan faktor risiko, seperti mammogram, kolonoskopi, atau pemeriksaan osteoporosis.

2. Kendalikan Tekanan Darah

  • Mengukur tekanan darah secara teratur: Hipertensi adalah salah satu silent killer yang paling umum dan sering tanpa gejala. Mengukur tekanan darah secara rutin dan mengelola hasilnya dengan bantuan dokter sangat penting.
  • Gaya hidup sehat: Mengurangi konsumsi garam, menjaga berat badan ideal, dan berolahraga dapat membantu menurunkan tekanan darah.

3. Jaga Kadar Gula Darah

  • Pantau gula darah: Lansia yang berisiko atau sudah menderita diabetes harus memantau kadar gula darah mereka secara teratur. Ini penting untuk mengelola diabetes tipe 2, yang sering kali berkembang tanpa gejala pada tahap awal.
  • Diet sehat: Konsumsi makanan yang rendah gula, tinggi serat, dan rendah lemak jenuh. Ini penting untuk menjaga kadar gula darah tetap stabil.

4. Pertahankan Kesehatan Jantung

  • Diet seimbang: Makan makanan sehat yang kaya sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan protein sehat (seperti ikan dan kacang-kacangan) dapat membantu menjaga kesehatan jantung.
  • Berolahraga secara teratur: Aktivitas fisik ringan hingga sedang, seperti berjalan kaki, berenang, atau bersepeda, dapat memperkuat jantung dan menjaga fungsi kardiovaskular.
  • Hindari merokok: Merokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan banyak penyakit lainnya. Menghentikan kebiasaan ini dapat secara signifikan mengurangi risiko.

5. Kendalikan Kolesterol

  • Makan makanan yang sehat untuk jantung: Batasi asupan lemak jenuh dan lemak trans, yang dapat meningkatkan kadar kolesterol jahat. Sebaliknya, tingkatkan konsumsi lemak sehat seperti lemak tak jenuh yang terdapat pada ikan dan kacang-kacangan.
  • Pemeriksaan kolesterol: Pemeriksaan rutin untuk mengetahui kadar kolesterol bisa membantu mengelola risiko penyakit jantung dan stroke.

6. Cegah Kanker dengan Skrining dan Gaya Hidup Sehat

  • Skrining kanker: Lansia harus menjalani pemeriksaan rutin untuk jenis kanker tertentu seperti kanker payudara, kanker usus besar, atau kanker prostat. Deteksi dini sangat penting dalam pengobatan yang lebih efektif.
  • Hindari paparan karsinogen: Mengurangi paparan bahan kimia berbahaya, sinar UV yang berlebihan, serta berhenti merokok dapat mengurangi risiko kanker.

7. Pertahankan Berat Badan yang Sehat

  • Kontrol berat badan: Kelebihan berat badan atau obesitas dapat meningkatkan risiko banyak silent killer seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan hipertensi. Mengelola berat badan melalui pola makan sehat dan aktivitas fisik sangat penting.

8. Kesehatan Tulang dan Pencegahan Osteoporosis

  • Konsumsi kalsium dan vitamin D: Untuk mencegah osteoporosis, pastikan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup melalui makanan atau suplemen.
  • Olahraga beban: Aktivitas fisik yang melibatkan beban, seperti berjalan kaki atau latihan kekuatan, dapat membantu memperkuat tulang dan mencegah osteoporosis.

9. Perhatikan Kesehatan Paru-Paru

  • Hindari merokok dan polusi udara: Penyakit paru-paru seperti PPOK dapat dicegah dengan menghindari paparan asap rokok dan polusi udara.
  • Olahraga pernapasan: Olahraga yang melibatkan pernapasan dalam, seperti yoga atau latihan pernapasan, dapat meningkatkan kapasitas paru-paru.

10. Perhatikan Kualitas Tidur

  • Deteksi sleep apnea: Jika lansia mendengkur keras atau mengalami gangguan tidur, penting untuk memeriksakan diri ke dokter. Sleep apnea adalah kondisi yang sering diabaikan tetapi bisa berbahaya.
  • Rutin tidur cukup: Tidur yang cukup dan berkualitas baik sangat penting untuk menjaga kesehatan umum.

11. Kelola Stres

  • Praktik relaksasi: Mengelola stres melalui teknik relaksasi, meditasi, atau hobi dapat membantu menjaga keseimbangan mental dan fisik.
  • Sosialisasi: Interaksi sosial yang aktif juga bisa menjaga kesehatan mental dan fisik yang baik, serta mencegah kondisi seperti depresi.

12. Patuhi Pengobatan yang Diresepkan

  • Konsultasi dengan dokter: Jika ada diagnosis penyakit seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit jantung, sangat penting bagi lansia untuk mengikuti instruksi dokter dan meminum obat secara teratur.
  • Pengelolaan penyakit kronis: Lansia harus terus memantau kondisi kesehatan mereka, dan bekerja sama dengan dokter untuk mengelola kondisi mereka agar tidak semakin parah.

Menghindari silent killer pada senior sangat tergantung pada pencegahan dini, gaya hidup sehat, serta pemeriksaan dan perawatan medis yang konsisten. Dukungan dari keluarga juga sangat membantu dalam memastikan bahwa lansia menjalani gaya hidup yang sehat dan mengikuti anjuran medis.


Sumber:

https://scitechdaily.com/silent-killer-unmasked-28-of-healthy-seniors-have-undiagnosed-heart-valve-disease/

https://www.fau.edu/newsdesk/articles/old-silent-killer

https://www.piedmont.org/living-real-change/4-silent-killers-of-men

https://health.ucdavis.edu/news/headlines/hypertension-the-silent-killer/2024/05

https://www.sjph.org/health-education-blog/seniors-and-the-silent-killer-by-mary-ellen-pratt-fache-ceo/

https://www.nia.nih.gov/health/high-blood-pressure/high-blood-pressure-and-older-adults

Friday, 11 October 2024

Misteri Kondisi Prima Senior Terungkap! Ini Rahasianya!

        Kesehatan senior dapat dianalisis, tetapi menentukan kapan mereka berada dalam kondisi prima bergantung pada beberapa faktor, seperti kesehatan fisik, mental, dan kondisi medis yang ada. Analisis kesehatan senior sering dilakukan melalui pemeriksaan menyeluruh yang mencakup beberapa aspek:
  1. Pemeriksaan fisik rutin: Ini termasuk memeriksa tekanan darah, denyut jantung, tingkat gula darah, dan berat badan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan tubuh berfungsi dengan baik.

  2. Tes laboratorium: Tes darah dan urin dapat memberikan informasi tentang fungsi organ seperti ginjal, hati, serta status kolesterol dan gula darah, yang semuanya memengaruhi kesehatan umum.

  3. Kesehatan mental: Evaluasi kognitif dan pemeriksaan kesehatan mental untuk mendeteksi tanda-tanda depresi, kecemasan, atau penyakit neurodegeneratif seperti demensia atau Alzheimer.

  4. Kesehatan tulang dan otot: Karena usia tua sering disertai dengan penurunan massa otot dan kekuatan tulang, analisis melalui tes kepadatan tulang (osteoporosis) dan evaluasi kekuatan fisik adalah hal yang penting.

  5. Kondisi kronis: Senior sering memiliki kondisi kronis seperti diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung. Memantau dan mengelola kondisi ini sangat penting untuk memastikan mereka tetap berada dalam kondisi optimal.

  6. Fungsi kognitif dan neurologis: Pemeriksaan terhadap memori, fungsi eksekutif, dan kemampuan motorik penting dilakukan untuk memastikan bahwa otak dan sistem saraf senior tetap sehat.

Kondisi prima Senior sangat relatif.
(Sumber: foto Nenden)

Tidak ada satu waktu yang bisa disebut "kondisi prima" secara universal untuk senior, karena "prima" tergantung pada standar yang berbeda dari kesehatan orang dewasa muda. Dengan mengelola faktor-faktor tersebut secara optimal dan mencegah komplikasi, kesehatan senior bisa tetap baik dan stabil.

       Kondisi prima pada senior sulit ditentukan dengan satu ukuran waktu, karena setiap individu memiliki kondisi kesehatan yang unik. Namun, secara umum, kondisi prima pada senior bisa dianggap sebagai saat di mana:

  1. Kesehatan fisik stabil: Mereka tidak memiliki keluhan besar terkait penyakit kronis atau kondisi yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Penyakit seperti hipertensi, diabetes, atau radang sendi terkontrol dengan baik.

  2. Fungsi tubuh optimal: Meskipun mungkin ada penurunan kekuatan atau stamina dibanding saat lebih muda, senior yang berada dalam kondisi prima masih mampu melakukan aktivitas fisik yang sesuai dengan usianya, seperti berjalan kaki, olahraga ringan, atau melakukan kegiatan rumah tangga tanpa kelelahan berlebihan.

  3. Kesehatan mental baik: Kondisi prima juga mencakup kesehatan mental yang stabil, seperti tidak adanya tanda-tanda depresi, kecemasan, atau masalah kognitif yang signifikan (seperti demensia).

  4. Kemandirian dalam aktivitas sehari-hari: Senior yang prima dapat mengurus diri sendiri dan tetap mandiri, seperti dalam hal makan, mandi, berpakaian, dan berinteraksi sosial tanpa banyak bantuan.

  5. Kualitas tidur dan nafsu makan baik: Senior yang berada dalam kondisi prima cenderung memiliki pola tidur yang teratur dan nafsu makan yang sehat.

Pada umumnya, kondisi prima senior tidak berarti mereka harus sekuat atau seaktif saat muda, tetapi lebih pada bagaimana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas, merasa bugar, dan tidak memiliki gangguan kesehatan yang signifikan. Kondisi ini juga sering terjadi ketika mereka secara teratur menjalani pemeriksaan kesehatan, menjaga pola hidup sehat, dan tetap aktif secara fisik dan mental.

       Kegembiraan yang dapat membuat senior merasa berada dalam kondisi prima sering berkaitan dengan keseimbangan antara kesehatan fisik, emosional, dan sosial. 

Beberapa hal yang umumnya memberikan kegembiraan dan membantu senior merasa prima adalah:

  1. Keterlibatan Sosial: Interaksi dengan keluarga, teman, atau komunitas sangat penting bagi kesejahteraan emosional senior. Bertemu cucu, menghadiri acara keluarga, atau berpartisipasi dalam kelompok sosial bisa memberi mereka perasaan dihargai dan dicintai.

  2. Aktivitas Fisik yang Sesuai: Olahraga ringan seperti berjalan kaki, berenang, atau yoga untuk lansia dapat memberikan rasa bugar dan energi. Senior merasa senang ketika mereka mampu melakukan aktivitas fisik tanpa merasa lelah atau sakit.

  3. Rutinitas Harian yang Bermanfaat: Kegiatan sehari-hari yang sederhana seperti berkebun, merawat hewan peliharaan, atau memasak bisa memberi mereka rasa pencapaian dan kegembiraan, terutama ketika mereka merasa mandiri.

  4. Pengembangan Diri dan Belajar Hal Baru: Keterlibatan dalam hobi, belajar keterampilan baru, seperti membaca, belajar musik, seni, atau bahkan teknologi, dapat memberi senior perasaan bahwa mereka masih berkembang dan memiliki makna dalam hidup.

  5. Penerimaan dan Keseimbangan Emosi: Senior yang dapat menerima usia mereka dengan tenang, tanpa terlalu khawatir tentang penurunan fisik, biasanya merasa lebih puas dan bahagia. Dukungan emosional dari orang terdekat juga penting dalam hal ini.

  6. Kesehatan yang Stabil: Senior yang merasa sehat secara fisik, bebas dari rasa sakit, atau memiliki kondisi medis yang terkelola dengan baik, sering merasa lebih bahagia dan energik. Merasa mampu menjaga kesehatannya adalah salah satu aspek kegembiraan yang besar.

  7. Pengalaman Spiritual atau Religius: Bagi banyak senior, keterlibatan dalam kegiatan spiritual atau agama memberi kedamaian batin, tujuan hidup, dan perasaan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar.

  8. Bertualang atau Mengunjungi Tempat Baru: Meskipun mungkin tidak seaktif dulu, banyak senior yang menikmati perjalanan atau mengunjungi tempat-tempat yang menarik, baik itu wisata lokal, jalan-jalan, atau sekadar menikmati alam.

Kegembiraan ini membantu mereka merasa prima karena memberikan kepuasan batin, menjaga kebugaran fisik, dan membangun rasa koneksi dengan orang lain, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan rasa positif dan optimisme.


Sumber:

https://www.everydayhealth.com/news/most-common-health-concerns-seniors/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7508736/

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ageing-and-health

https://www.apa.org/pi/aging/resources/guides/older

https://www.nia.nih.gov/health/caregiving/healthy-aging-tips-older-adults-your-life


Saturday, 5 October 2024

Ketika Realitas Terkaburkan: Penyakit yang Membuat Senior Melihat Dunia yang Tak Ada!

        Secara ilmiah, halusinasi adalah persepsi sensorik yang terjadi tanpa adanya rangsangan eksternal yang sebenarnya. Dalam kata lain, seseorang yang mengalami halusinasi akan merasakan, mendengar, melihat, atau mencium sesuatu yang tampak nyata bagi mereka, padahal sebenarnya tidak ada.

Beberapa penyakit menimbulkan halusinasi pada senior.
(Sumber: foto Ariew)
Halusinasi dapat melibatkan berbagai indra, termasuk:
  1. Halusinasi visual: Melihat sesuatu yang tidak ada, seperti bayangan, objek, atau orang.
  2. Halusinasi auditori: Mendengar suara, seperti bisikan, musik, atau percakapan, tanpa adanya sumber suara eksternal.
  3. Halusinasi olfaktori: Mencium bau yang tidak ada sumbernya.
  4. Halusinasi gustatori: Merasakan rasa di lidah tanpa adanya makanan atau minuman.
  5. Halusinasi taktil: Merasakan sensasi fisik seperti sentuhan, gigitan, atau rangsangan lain pada tubuh, tanpa adanya penyebab fisik.

Halusinasi sering kali terkait dengan gangguan mental seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau delirium, tetapi juga bisa disebabkan oleh kondisi lain seperti penggunaan zat psikoaktif, gangguan neurologis, atau kurang tidur ekstrem. Hal ini terjadi karena gangguan pada otak, khususnya area yang bertanggung jawab untuk pemrosesan persepsi sensorik.

        Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan halusinasi pada lansia (senior) meliputi:
  1. Demensia:

    • Kondisi seperti Alzheimer atau Demensia Lewy Body sering menyebabkan halusinasi, terutama halusinasi visual. Pada demensia Lewy body, halusinasi visual yang kompleks, seperti melihat orang atau binatang, sering terjadi.
  2. Parkinson:

    • Penyakit Parkinson dapat menyebabkan halusinasi, terutama karena perubahan di otak dan efek samping pengobatan. Halusinasi visual adalah yang paling umum pada kondisi ini.
  3. Delirium:

    • Delirium adalah kondisi kebingungan mendadak yang bisa menyebabkan halusinasi. Ini sering terjadi pada lansia yang dirawat di rumah sakit atau mengalami infeksi, dehidrasi, atau masalah metabolisme.
  4. Gangguan Penglihatan atau Pendengaran:

    • Ketika indra seperti penglihatan atau pendengaran memburuk pada lansia, otak kadang-kadang "mengisi kekosongan" dengan halusinasi, terutama pada kondisi yang dikenal sebagai sindrom Charles Bonnet, di mana individu yang mengalami kehilangan penglihatan memiliki halusinasi visual.
  5. Depresi dengan Psikosis:

    • Pada lansia, depresi berat kadang-kadang dapat berkembang menjadi depresi dengan gejala psikosis, termasuk halusinasi atau delusi. Kondisi ini disebut depresi psikotik.
  6. Infeksi atau Ketidakseimbangan Metabolik:

    • Infeksi seperti infeksi saluran kemih (ISK) atau pneumonia dapat menyebabkan halusinasi pada lansia, terutama jika mereka mengalami delirium. Gangguan keseimbangan elektrolit, seperti hiponatremia (kadar natrium rendah), juga dapat memicu halusinasi.
  7. Penggunaan Obat-obatan:

    • Beberapa obat yang sering digunakan oleh lansia, seperti obat penenang, opioid, atau obat tidur, dapat menyebabkan halusinasi sebagai efek samping. Selain itu, interaksi obat atau overdosis obat juga bisa memicu halusinasi.

Lansia lebih rentan terhadap halusinasi karena penurunan fungsi otak yang terjadi seiring bertambahnya usia dan peningkatan risiko gangguan kesehatan yang mempengaruhi sistem saraf. Jika halusinasi terjadi, penting untuk mencari penyebab yang mendasarinya untuk penanganan yang tepat.

           Gangguan ginjal dapat menyebabkan halusinasi karena ginjal yang tidak berfungsi dengan baik dapat mempengaruhi berbagai sistem tubuh, termasuk otak.

Beberapa alasan mengapa gangguan ginjal dapat menimbulkan halusinasi:
  1. Penumpukan Racun dalam Darah (Uremia):
    Ginjal berfungsi untuk membuang limbah dan racun dari darah. Jika ginjal mengalami kerusakan atau gagal berfungsi (gagal ginjal), zat-zat beracun, seperti urea, kreatinin, dan produk metabolisme lainnya, akan menumpuk dalam darah, suatu kondisi yang disebut uremia.
    Ketika racun ini mencapai tingkat yang tinggi dalam tubuh, mereka dapat mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat, menyebabkan ensefalopati uremik. Gejala ensefalopati uremik termasuk kebingungan, delirium, dan halusinasi, baik secara visual maupun auditori.

  2. Ketidakseimbangan Elektrolit:
    Ginjal berperan penting dalam menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh, seperti natrium, kalium, kalsium, dan fosfat. Jika ginjal tidak berfungsi dengan baik, kadar elektrolit ini bisa menjadi tidak seimbang, yang dapat mempengaruhi fungsi otak.
    Misalnya, hiponatremia (kadar natrium rendah dalam darah) atau hiperkalemia (kadar kalium tinggi) dapat menyebabkan gangguan neurologis, termasuk kebingungan, delirium, dan halusinasi.

  3. Asidosis Metabolik:
    Ginjal juga membantu mengatur keseimbangan asam-basa tubuh. Pada gagal ginjal, kemampuan ginjal untuk membuang kelebihan asam berkurang, yang menyebabkan asidosis metabolik (peningkatan kadar asam dalam darah). Kondisi ini dapat memengaruhi fungsi otak dan menyebabkan gejala seperti kelelahan, kebingungan, dan halusinasi.

  4. Tekanan Darah Tinggi:
    Penyakit ginjal sering dikaitkan dengan hipertensi (tekanan darah tinggi). Jika hipertensi tidak terkontrol, hal ini dapat merusak pembuluh darah di otak, yang menyebabkan stroke kecil atau gangguan aliran darah di otak. Kondisi ini dapat memicu gejala neurologis seperti halusinasi.

  5. Penggunaan Obat-obatan untuk Gagal Ginjal:
    Orang dengan gangguan ginjal sering kali mengonsumsi berbagai obat untuk mengendalikan gejala atau komplikasi penyakit mereka. Beberapa obat ini, terutama dalam dosis tinggi atau karena akumulasi obat yang tidak dikeluarkan oleh ginjal, dapat memiliki efek samping berupa halusinasi atau kebingungan.
    Obat penghilang rasa sakit, diuretik, atau bahkan obat penenang yang digunakan oleh pasien gagal ginjal dapat menyebabkan efek samping pada otak, terutama jika metabolisme obat terhambat oleh gangguan fungsi ginjal.

  6. Anemia:
    Ginjal berfungsi untuk menghasilkan hormon eritropoietin, yang merangsang produksi sel darah merah. Pada penyakit ginjal, produksi hormon ini menurun, menyebabkan anemia (kekurangan sel darah merah). Kurangnya oksigen yang dibawa oleh darah ke otak akibat anemia berat dapat menyebabkan kebingungan, pusing, dan, dalam beberapa kasus, halusinasi.

  7. Gangguan Tidur dan Stres Mental:
    Gagal ginjal sering menyebabkan masalah tidur, termasuk insomnia atau sindrom kaki gelisah, yang dapat menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, atau kebingungan. Kurang tidur yang parah dapat menyebabkan halusinasi karena otak menjadi kurang mampu membedakan antara realitas dan imajinasi.

Secara keseluruhan, halusinasi pada pasien dengan gangguan ginjal terjadi karena kombinasi dari efek langsung penumpukan racun, ketidakseimbangan kimia tubuh, serta komplikasi lain yang memengaruhi fungsi otak dan sistem saraf pusat. Penanganan yang tepat terhadap kondisi ginjal dan pemantauan keseimbangan tubuh sangat penting untuk mencegah atau mengurangi halusinasi.

       Selain gangguan ginjal, ada beberapa penyakit fisik lain yang bisa menyebabkan halusinasi. 

Beberapa di antaranya:

1. Gangguan Hati (Ensefalopati Hepatik)

Ketika hati tidak berfungsi dengan baik (misalnya, pada gagal hati atau sirosis hati), racun seperti amonia tidak bisa dikeluarkan dengan baik dari tubuh dan menumpuk di darah, lalu mencapai otak. Kondisi ini dikenal sebagai ensefalopati hepatik, yang dapat menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, perubahan kepribadian, delirium, dan halusinasi.

2. Infeksi Otak (Ensefalitis atau Meningitis)

Infeksi yang menyerang otak seperti ensefalitis atau meningitis dapat menyebabkan peradangan pada jaringan otak, yang mempengaruhi fungsi saraf. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan, kejang, demam, dan halusinasi. Infeksi virus, bakteri, atau jamur dapat menjadi penyebab utama kondisi ini.

3. Gangguan Pernapasan (Hipoksia)

Ketika tubuh atau otak kekurangan oksigen (hipoksia), akibat gangguan pernapasan seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asma berat, atau hipoventilasi, otak tidak mendapatkan cukup oksigen untuk berfungsi dengan baik. Hipoksia berat dapat menyebabkan kebingungan, delirium, dan halusinasi, terutama halusinasi visual.

4. Tumor Otak

Tumor yang tumbuh di otak, terutama di area yang berhubungan dengan persepsi sensorik (misalnya, lobus temporal atau lobus parietal), dapat menekan jaringan otak dan menyebabkan halusinasi. Tumor ini dapat memengaruhi area otak yang mengontrol penglihatan, pendengaran, atau indra lain, menyebabkan halusinasi visual, auditori, atau taktil.

5. Epilepsi

Pada kasus epilepsi, terutama epilepsi lobus temporal, kejang bisa memicu halusinasi. Sebelum atau selama kejang, beberapa pasien mungkin mengalami halusinasi visual atau auditori, seperti mendengar suara yang tidak ada atau melihat pola cahaya yang tidak nyata.

6. Migrain dengan Aura

Pada migrain yang disertai dengan aura, penderita bisa mengalami halusinasi visual, seperti melihat kilatan cahaya, pola berwarna, atau bayangan yang tidak ada. Hal ini disebabkan oleh perubahan sementara dalam aktivitas listrik di otak sebelum serangan migrain terjadi.

7. Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson sering kali menyebabkan halusinasi, terutama pada tahap lanjut. Halusinasi ini biasanya bersifat visual dan dapat disebabkan oleh kombinasi dari perubahan kimia di otak, khususnya terkait dopamin, serta efek samping obat yang digunakan untuk mengelola gejala Parkinson.

8. Stroke

Stroke yang memengaruhi area otak tertentu, terutama yang berhubungan dengan persepsi sensorik, dapat menyebabkan halusinasi. Jika aliran darah ke otak terganggu, jaringan otak bisa mengalami kerusakan, dan ini dapat mempengaruhi fungsi persepsi, menyebabkan halusinasi auditori atau visual.

9. Hipoglikemia (Gula Darah Rendah)

Pada pasien dengan diabetes, hipoglikemia (kadar gula darah yang sangat rendah) dapat menyebabkan berbagai gejala neurologis, termasuk kebingungan, disorientasi, dan dalam kasus yang parah, halusinasi. Otak sangat bergantung pada glukosa untuk energi, jadi ketika kadar gula turun drastis, fungsi otak bisa terganggu.

10. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

Lupus, penyakit autoimun yang dapat menyerang berbagai organ, termasuk otak, dapat menyebabkan kondisi yang disebut lupus cerebritis atau lupus neuropsikiatrik. Hal ini dapat memengaruhi fungsi saraf pusat, yang menyebabkan gejala seperti kejang, kebingungan, delirium, atau halusinasi.

11. Penyakit Huntington

Penyakit neurodegeneratif ini menyebabkan kerusakan bertahap pada otak, yang mempengaruhi gerakan, emosi, dan fungsi kognitif. Pada tahap lanjut, pasien sering mengalami halusinasi, delusi, dan perubahan perilaku karena kerusakan di area otak tertentu.

12. Kekurangan Vitamin B12

Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf, termasuk otak. Dalam kasus yang parah, ini dapat menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, masalah memori, depresi, dan halusinasi.

Secara umum, penyakit fisik yang menimbulkan halusinasi sering kali mempengaruhi otak secara langsung atau melalui gangguan metabolisme, infeksi, kekurangan oksigen, atau penumpukan racun. Penting untuk segera mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat jika halusinasi terjadi, terutama jika berhubungan dengan kondisi medis yang mendasarinya.



Sumber:

https://www.alzheimers.org.uk/about-dementia/symptoms-and-diagnosis/hallucinations 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC437154/

https://www.nautilusshc.com/blog/hallucinations-in-the-elderly

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7707075/

https://www.delcorazonhospice.com/article/what-causes-hallucinations-in-seniors/

https://my.clevelandclinic.org/health/symptoms/23350-hallucinations