Showing posts with label Interaksi Sosial. Show all posts
Showing posts with label Interaksi Sosial. Show all posts

Thursday, 13 February 2025

Rahasia Bahagia Kakek-Nenek dan Cucunya: Pelajaran Berharga tentang Hidup

          Hubungan antara lansia (kakek-nenek) dan cucu bisa menghadapi berbagai tantangan, terutama karena perbedaan generasi, pengalaman, dan cara pandang. 

Bahagia lansia bila dapat berkumpul dengan cucu-cucunya.
(Sumber: foto Dewkom)

Berikut beberapa tantangan yang sering muncul:

  1. Perbedaan Generasi dan Pola Pikir
    Lansia cenderung memiliki nilai-nilai tradisional, sementara cucu lebih mengikuti perkembangan zaman. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman atau kesulitan dalam komunikasi.

  2. Kesenjangan Teknologi
    Anak-anak dan remaja saat ini lebih akrab dengan teknologi, sedangkan lansia mungkin merasa tertinggal atau kurang memahami dunia digital. Jika cucu lebih sibuk dengan gadgetnya, interaksi langsung bisa berkurang.

  3. Keterbatasan Fisik Lansia
    Lansia mungkin tidak bisa mengikuti aktivitas cucu yang lebih energik, seperti bermain di luar rumah atau melakukan kegiatan fisik yang berat. Masalah kesehatan juga dapat membatasi waktu dan kualitas interaksi.

  4. Perbedaan Pola Asuh
    Kakek-nenek terkadang memiliki cara mendidik yang berbeda dengan orang tua cucu. Jika mereka terlalu ikut campur dalam pola asuh, konflik dengan orang tua bisa terjadi.

  5. Kurangnya Waktu Bersama
    Kesibukan cucu di sekolah atau aktivitas lainnya membuat waktu bersama dengan kakek-nenek berkurang. Jika tinggal berjauhan, interaksi bisa semakin terbatas.

  6. Kurangnya Topik Pembicaraan yang Menarik
    Lansia mungkin lebih suka membahas masa lalu atau hal-hal serius, sementara cucu lebih tertarik pada hal-hal modern. Jika tidak ada topik yang relevan bagi kedua belah pihak, hubungan bisa terasa hambar.

Cara Membangun Hubungan yang Harmonis dan Bermakna

Meski ada tantangan, hubungan antara kakek-nenek dan cucu bisa menjadi sangat berharga jika dibangun dengan cara yang baik. Berikut beberapa langkah untuk menjaga hubungan yang harmonis:

  1. Bangun Komunikasi yang Hangat

    • Seringlah berbicara dengan cucu, baik secara langsung maupun melalui telepon atau video call jika berjauhan.

    • Dengarkan cerita dan pendapat cucu dengan penuh perhatian.

    • Gunakan bahasa yang mudah dipahami tanpa menggurui.

  2. Habiskan Waktu Bersama

    • Bermain bersama, baik permainan tradisional maupun modern yang sesuai usia.

    • Membacakan cerita atau dongeng sebelum tidur.

    • Berjalan-jalan santai atau berkebun bersama.

  3. Ajarkan Nilai dan Tradisi

    • Bagikan pengalaman hidup dan nilai-nilai keluarga.

    • Perkenalkan budaya dan tradisi keluarga, seperti makanan khas atau adat istiadat tertentu.

    • Ceritakan kisah-kisah inspiratif dari masa lalu.

  4. Beradaptasi dengan Perkembangan Zaman

    • Pelajari sedikit tentang dunia cucu, seperti teknologi dan tren yang sedang populer.

    • Tidak perlu menolak perubahan, tetapi berusaha memahami dunia mereka.

  5. Menjadi Pendukung dan Motivator

    • Beri semangat dan motivasi dalam pendidikan serta kehidupan cucu.

    • Hindari terlalu banyak kritik atau membanding-bandingkan dengan orang lain.

    • Tunjukkan kasih sayang dengan cara yang positif.

  6. Hormati Batasan Orang Tua

    • Hindari terlalu ikut campur dalam pola asuh yang diterapkan orang tua cucu.

    • Beri masukan dengan bijak tanpa membuat orang tua merasa tersinggung.

Dengan cara-cara ini, hubungan antara lansia dan cucu bisa menjadi lebih erat, menyenangkan, dan saling bermanfaat.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8834749 

https://foreverfamilies.byu.edu/importance-of-grandparents-to-their-grandchildren

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953622000922

https://seniorsbluebook.com/articles/the-impact-grandchildren-can-have-in-senior-care

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17379680/

Monday, 10 February 2025

Kenapa Banyak Lansia Merasa Ditinggalkan Setelah Anaknya Berkeluarga?

       Seiring berjalannya waktu, anak-anak yang dulu bergantung sepenuhnya pada orang tua akhirnya tumbuh dewasa dan membangun kehidupan mereka sendiri. Bagi lansia, perubahan ini sering kali menghadirkan berbagai tantangan, baik secara emosional, sosial, maupun finansial. Namun, dengan pemahaman yang bijak, hubungan yang harmonis tetap bisa terjaga.

Tantangan yang Dihadapi Lansia

1. Perubahan Peran dalam Keluarga

Dulu, orang tua adalah pusat kehidupan anak. Namun, setelah anak menikah dan berkeluarga, prioritas mereka berubah. Lansia sering kali merasa kehilangan peran pentingnya dalam keluarga dan tidak lagi dibutuhkan seperti dulu. Perasaan ini bisa menimbulkan kesepian dan rasa kurang dihargai.

Peran orang tua berubah setelah anaknya berkeluarga.
(Sumber: foto file)

2. Kesepian dan Kurangnya Perhatian

Anak yang sibuk dengan kehidupan baru mereka—pasangan, pekerjaan, dan anak-anak—kadang-kadang membuat lansia merasa ditinggalkan. Apalagi jika anak tinggal jauh, komunikasi bisa menjadi semakin jarang. Ketidakhadiran mereka dapat menimbulkan rasa kesepian yang mendalam bagi orang tua.

3. Hubungan dengan Menantu

Tidak semua orang tua memiliki hubungan yang harmonis dengan menantu mereka. Perbedaan pola pikir dan gaya hidup dapat menyebabkan gesekan. Selain itu, beberapa menantu mungkin merasa tidak nyaman jika orang tua terlalu sering ikut campur dalam rumah tangga mereka, yang bisa menimbulkan jarak emosional antara lansia dan anak.

4. Masalah Finansial dan Ketergantungan Ekonomi

Tidak semua lansia memiliki tabungan atau pensiun yang cukup. Beberapa di antaranya bergantung pada anak untuk biaya hidup mereka. Namun, tidak semua anak mampu atau mau menanggung kebutuhan finansial orang tua, yang bisa menjadi sumber konflik dan kekhawatiran.

5. Kesehatan dan Kemandirian yang Menurun

Seiring bertambahnya usia, lansia lebih rentan terhadap penyakit kronis dan membutuhkan lebih banyak perawatan. Beberapa juga mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, sementara anak-anak mereka mungkin tidak selalu bisa merawat mereka secara langsung. Topik seperti perawatan lansia dan kemungkinan tinggal di panti jompo pun sering menjadi hal yang sensitif untuk dibicarakan.

Cara Mengatasi Tantangan Ini

1. Menerima Perubahan dengan Bijak

Lansia perlu memahami bahwa anak kini memiliki kehidupan dan tanggung jawab sendiri. Bukan berarti mereka melupakan orang tua, tetapi prioritas mereka berubah. Oleh karena itu, penting untuk bersikap fleksibel dan tidak terlalu menuntut perhatian dari anak.

2. Menjaga Komunikasi yang Sehat

Orang tua bisa tetap berkomunikasi dengan anak tanpa terkesan mengatur atau menuntut. Menggunakan teknologi seperti telepon atau video call bisa membantu menjaga kedekatan meskipun tinggal berjauhan. Selain itu, menjadi pendengar yang baik bagi anak akan memperkuat hubungan tanpa membuat mereka merasa tertekan.

3. Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental

Tetap aktif dalam berbagai kegiatan bisa membantu lansia menjalani hari-hari mereka dengan lebih bermakna. Bergabung dengan komunitas lansia, berkebun, atau melakukan olahraga ringan dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan emosional.

4. Menjalin Hubungan Harmonis dengan Keluarga Anak

Alih-alih mengkritik atau mengatur kehidupan anak dan menantu, lebih baik membangun hubungan yang suportif. Menjadi kakek atau nenek yang menyenangkan bagi cucu juga bisa memberikan kebahagiaan tersendiri dan mempererat ikatan keluarga.

5. Menemukan Makna Baru dalam Hidup

Menjalani hidup dengan ikigai—konsep Jepang tentang menemukan tujuan hidup—dapat membantu lansia tetap merasa bermanfaat dan berharga. Ikigai bisa berupa menyalurkan pengalaman kepada generasi muda, membantu komunitas, atau sekadar menikmati hobi yang selama ini tertunda.

        Tantangan yang dihadapi lansia dalam menghadapi anak yang sudah berkeluarga memang kompleks, tetapi dapat dikelola dengan sikap yang bijak. Dengan memahami perubahan peran, menjaga komunikasi, dan tetap aktif secara sosial serta finansial, lansia dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan harmonis. 

Kehidupan terus berubah, dan yang terpenting adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dengan hati yang lapang dan pikiran yang positif.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8611109/

https://www.elderly.gov.hk/english/healthy_ageing/healthy_living/adultchildrennchildren.html

https://www.agingcare.com/articles/parents-living-with-adult-children-152285.htm

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13229400.2024.2363785

https://arborcounselingcenter.com/aging-parents-and-adult-children-the-challenge-of-changing-roles/



Sunday, 2 February 2025

Terima Realitas, Temukan Harmoni: Seni Berpikir Netral di Usia Lanjut

              Kekuatan berpikir netral untuk lansia adalah kemampuan untuk menghadapi situasi hidup secara seimbang, dengan fokus pada fakta dan realitas tanpa terlalu terbawa oleh emosi negatif seperti pesimisme, atau terlalu bergantung pada ekspektasi yang berlebihan. Berpikir netral membantu lansia untuk menerima perubahan dalam hidup, seperti kondisi fisik yang menurun, kehilangan orang terkasih, atau tantangan sosial, dengan cara yang objektif, bijaksana, dan tenang.

Berpikir netral sangat baik untuk kesehatan lansia.
(Sumber: foto Kissumi Dwi)

Elemen Utama dari Kekuatan Berpikir Netral untuk Lansia:

  1. Penerimaan Realitas Hidup
    Lansia sering menghadapi perubahan besar, seperti pensiun, kondisi kesehatan yang menurun, atau perubahan dinamika keluarga. Kekuatan netral membantu mereka menerima kenyataan tersebut tanpa terlalu merasa kecewa atau berharap berlebihan.

    Contoh:
    "Saya tidak sekuat dulu, tapi saya masih bisa menikmati kegiatan yang sesuai dengan kemampuan saya."

  2. Pengendalian Emosi
    Kekuatan netral memungkinkan lansia untuk tidak mudah terbawa oleh perasaan cemas, sedih, atau marah. Ini membantu mereka menjaga ketenangan dalam menghadapi tantangan.

    Contoh:
    "Anak-anak saya sibuk bekerja. Mungkin mereka tidak sering datang, tapi itu bukan karena mereka tidak peduli."

  3. Fokus pada Logika dan Fakta
    Dengan berpikir netral, lansia dapat membuat keputusan yang lebih rasional dan tidak dipengaruhi oleh asumsi negatif atau terlalu optimis.

    Contoh:
    "Saya tidak bisa memaksakan semua orang untuk selalu hadir, tetapi saya bisa mencari komunitas baru untuk bersosialisasi."

Manfaat Kekuatan Berpikir Netral bagi Lansia:

  1. Kesehatan Mental yang Lebih Baik
    Lansia yang berpikir netral cenderung lebih mampu mengelola stres dan terhindar dari perasaan putus asa atau kecemasan yang berlebihan.

  2. Hubungan Sosial yang Seimbang
    Kekuatan netral membantu lansia mengurangi konflik dengan orang-orang di sekitar mereka, karena pola pikir ini mengurangi ekspektasi berlebihan atau prasangka negatif.

  3. Kemandirian dan Kepuasan Hidup
    Lansia dapat tetap merasa bahagia dan produktif karena mereka fokus pada apa yang dapat mereka lakukan daripada apa yang tidak bisa mereka kendalikan.

  4. Kemampuan Beradaptasi
    Lansia yang memiliki kekuatan netral lebih mudah menerima perubahan dalam hidup, seperti keterbatasan fisik atau kehilangan orang terdekat.

Contoh Penerapan Kekuatan Berpik Netral:

  • Ketika Anak Jarang Berkunjung:
    "Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaan dan keluarga mereka sendiri. Saya bisa tetap terhubung melalui telepon atau video call."

  • Menghadapi Kondisi Kesehatan:
    "Saya tidak bisa mengubah kondisi saya, tapi saya bisa menjaga diri dengan makan sehat dan olahraga ringan."

Kekuatan berpikir netral adalah pendekatan yang ideal untuk membantu lansia menjalani masa tua dengan damai dan penuh makna. Dengan pola pikir ini, mereka dapat menerima kenyataan hidup tanpa terbebani oleh ekspektasi atau kekhawatiran, sehingga mereka bisa tetap bahagia dan menikmati momen-momen yang ada.




Sumber:





Sunday, 26 May 2024

Ciri- ciri Ucapan Lansia karena Bias Keyakinan.

             Bias keyakinan (belief bias) pada lansia adalah kecenderungan untuk menilai kekuatan argumen berdasarkan seberapa masuk akalnya kesimpulan tersebut daripada berdasarkan pada validitas logis argumen itu sendiri. Pada lansia, bias ini dapat lebih menonjol karena berbagai faktor terkait penuaan, termasuk penurunan fungsi kognitif, preferensi untuk informasi yang sudah dikenal, dan peningkatan kepercayaan pada pengetahuan dan pengalaman pribadi mereka. 

Pada lansia bias keyakinan lebih menonjol karena faktor penuaan.
(Sumber: foto pens 49 ceria)
Secara lebih spesifik, pada lansia, bias keyakinan dapat muncul dalam bentuk:

Penurunan Fungsi Kognitif: Lansia mungkin mengalami penurunan dalam kemampuan pemrosesan informasi dan logika analitis, membuat mereka lebih rentan terhadap bias keyakinan.

Pengalaman dan Pengetahuan Pribadi: Dengan bertambahnya usia, orang cenderung memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan yang mereka anggap benar. Ini dapat membuat mereka lebih cenderung menerima argumen yang sejalan dengan pengalaman atau keyakinan mereka sebelumnya, meskipun argumen tersebut tidak valid secara logis.

Kenyamanan dengan Informasi yang Dikenal: Lansia mungkin merasa lebih nyaman dan cenderung percaya pada informasi yang sudah mereka kenal atau yang konsisten dengan keyakinan mereka yang telah lama dipegang, daripada mengevaluasi argumen baru secara kritis.

Pengaruh Emosional: Lansia mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor emosional dalam penilaian argumen, yang dapat memperkuat bias keyakinan.

Beberapa ciri ucapan lansia yang menunjukkan adanya bias keyakinan dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:

Mengabaikan Argumen yang Logis:

"Saya tidak peduli apa yang mereka katakan, saya tahu ini benar karena saya telah mengalami sendiri."
"Logika tidak selalu benar; pengalaman saya yang berbicara."

Mengandalkan Pengalaman Pribadi:

"Saya sudah melakukan ini sepanjang hidup saya, jadi saya tahu ini benar."
"Selama bertahun-tahun, ini selalu berhasil untuk saya."

Preferensi untuk Informasi yang Dikenal:

"Saya hanya percaya pada apa yang saya pelajari dulu."
"Informasi baru ini tidak masuk akal; lebih baik kembali ke yang lama."

Bahasa yang digunakan berdasarkan preferensi yang dikenal.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Penolakan terhadap Informasi Baru yang Bertentangan dengan Keyakinan Lama:

"Dokter itu mungkin pintar, tapi saya lebih percaya pada pengobatan tradisional yang sudah terbukti."
"Penelitian baru ini hanya omong kosong, saya tahu yang sebenarnya."

Menggunakan Kepercayaan Emosional:

"Saya merasa ini benar, jadi pasti benar."
"Keyakinan saya selama ini tidak mungkin salah."

Mengabaikan Bukti yang Tidak Sesuai dengan Keyakinan:

"Bukti itu hanya kebetulan, saya tetap percaya pada apa yang saya yakini."
"Data itu mungkin salah, saya tahu dari pengalaman saya sendiri."

Keyakinan yang Kuat pada Pengetahuan dan Pengalaman Sendiri:

"Saya sudah hidup lebih lama, jadi saya tahu lebih banyak."
"Pengalaman hidup saya memberi saya lebih banyak pengetahuan daripada buku atau penelitian."

Menggunakan Argumen yang Tidak Logis atau Tidak Relevan:

"Itu mungkin terdengar benar secara logis, tapi saya tahu itu salah."
"Tidak peduli apa kata statistik, saya tahu yang sebenarnya."

Ucapan-ucapan ini mencerminkan kecenderungan untuk menilai kebenaran berdasarkan keyakinan pribadi atau pengalaman subjektif, daripada berdasarkan analisis logis atau bukti objektif. Lansia dengan bias keyakinan sering kali sulit menerima informasi atau argumen yang bertentangan dengan keyakinan mereka yang telah lama dipegang, meskipun argumen tersebut didukung oleh bukti yang kuat.

       Bias keyakinan pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kognisi, emosi, dan sosial.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan bias keyakinan pada lansia meliputi:

Penurunan Fungsi Kognitif:
  • Penurunan Memori Kerja: Kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi sementara menurun seiring bertambahnya usia, yang dapat mengurangi kemampuan untuk mengevaluasi argumen secara kritis.
  • Penurunan Kemampuan Pemrosesan Informasi: Lansia mungkin memproses informasi lebih lambat dan kurang efisien, sehingga lebih sulit untuk menganalisis argumen yang kompleks atau baru.
Preferensi untuk Pengalaman dan Pengetahuan yang Telah Dikenal:
  • Efek Familiaritas: Lansia cenderung lebih nyaman dengan informasi yang sudah dikenal dan memiliki kesulitan dalam menerima atau menyesuaikan diri dengan informasi baru.
  • Pengaruh Pengetahuan Sebelumnya: Keyakinan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun dapat menjadi lebih kuat dan lebih sulit diubah.
Pengaruh Emosional:
  • Stabilitas Emosional: Lansia mungkin lebih menghargai stabilitas emosional dan cenderung menghindari konflik atau informasi yang menyebabkan stres.
  • Kenyamanan Psikologis: Keyakinan yang sudah ada memberikan rasa aman dan nyaman, dan meragukan keyakinan tersebut dapat menyebabkan ketidaknyamanan emosional.
Kepuasan dengan Status Quo:
  • Resistensi terhadap Perubahan: Lansia mungkin lebih cenderung mempertahankan keyakinan yang ada karena perubahan bisa dianggap mengancam atau membingungkan.
  • Pengalaman Hidup: Keyakinan yang telah terbentuk dari pengalaman hidup panjang dan berbagai kejadian membuat lansia merasa memiliki dasar yang kuat untuk keyakinan mereka.
Sosial dan Lingkungan:
  • Lingkungan Sosial yang Homogen: Lansia yang berada dalam lingkungan sosial dengan pandangan yang serupa mungkin lebih jarang terpapar pandangan atau argumen yang berbeda.
  • Kurangnya Paparan terhadap Informasi Baru: Lansia mungkin memiliki akses yang lebih terbatas terhadap informasi baru atau inovatif, terutama jika mereka tidak aktif mencari informasi atau menggunakan teknologi baru.
Efek Positivitas:
  • Preferensi untuk Informasi Positif: Lansia cenderung lebih fokus pada informasi positif dan mengabaikan informasi negatif, yang bisa memperkuat keyakinan yang ada.
Penurunan Keterlibatan Kognitif:
  • Kebiasaan Mental yang Terbentuk: Dengan bertambahnya usia, lansia mungkin lebih cenderung menggunakan aturan cepat (heuristik) dan pengalaman masa lalu daripada melakukan analisis mendalam terhadap informasi baru.
       Bias keyakinan pada lansia dapat memiliki berbagai akibat yang berdampak pada kualitas hidup, pengambilan keputusan, dan interaksi sosial mereka.

Beberapa akibat utama bias keyakinan pada lansia:

Pengambilan Keputusan yang Tidak Optimal:
  • Keputusan Kesehatan: Lansia mungkin mengabaikan saran medis atau memilih pengobatan yang kurang efektif berdasarkan keyakinan pribadi atau pengalaman masa lalu, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan.
  • Keuangan: Bias keyakinan dapat menyebabkan lansia membuat keputusan keuangan yang buruk, seperti investasi yang tidak rasional atau pengeluaran yang tidak perlu berdasarkan informasi yang salah.

Resistensi terhadap Informasi Baru:
  • Kehilangan Peluang untuk Belajar: Lansia mungkin mengabaikan atau menolak informasi dan pengetahuan baru yang bisa bermanfaat, menghambat pembelajaran dan pertumbuhan pribadi.
  • Ketidakmampuan Beradaptasi dengan Teknologi: Penolakan terhadap teknologi baru atau metode modern dapat membuat lansia tertinggal dalam penggunaan alat dan sumber daya yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Isolasi Sosial:
  • Konflik Interpersonal: Bias keyakinan dapat menyebabkan ketegangan atau konflik dengan keluarga, teman, atau penyedia layanan yang memiliki pandangan berbeda.
  • Menghindari Interaksi Sosial: Lansia mungkin menarik diri dari diskusi atau situasi sosial yang menantang keyakinan mereka, yang dapat mengarah pada isolasi sosial.
Penurunan Kesehatan Mental:
  • Kecemasan dan Stres: Penolakan terhadap informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan mereka dapat menyebabkan kecemasan dan stres, terutama jika informasi tersebut penting untuk kesejahteraan mereka.
  • Penurunan Kepuasan Hidup: Kegagalan untuk beradaptasi dengan perubahan atau informasi baru dapat mengurangi rasa pencapaian dan kepuasan hidup.
Keterbatasan Akses ke Layanan dan Sumber Daya:
  • Mengabaikan Layanan yang Bermanfaat: Lansia mungkin tidak memanfaatkan layanan kesehatan, sosial, atau keuangan yang tersedia karena keyakinan yang tidak akurat atau bias terhadap informasi tentang layanan tersebut.
  • Ketergantungan pada Praktik Lama: Mengandalkan praktik lama yang mungkin tidak lagi relevan atau efektif dapat membatasi manfaat dari kemajuan modern.
Menghambat Komunikasi dan Pemahaman:
  • Misinterpretasi Informasi: Bias keyakinan dapat menyebabkan lansia salah menafsirkan informasi baru atau kompleks, yang dapat mengakibatkan keputusan yang tidak tepat.
  • Kurangnya Keterbukaan: Kesulitan dalam menerima pandangan atau informasi yang berbeda dapat menghalangi komunikasi yang efektif dengan orang lain.

Memahami dan mengatasi bias keyakinan pada lansia penting untuk membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik, menjaga kesehatan mental dan fisik, serta meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Dukungan dari keluarga, profesional kesehatan, dan komunitas dapat membantu lansia untuk lebih terbuka terhadap informasi baru dan mengambil keputusan yang lebih rasional.





Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6990430/

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32038362/

https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2019.02940/full

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10691898.2009.11889501



Thursday, 23 May 2024

Bias Kognitif pada lansia

        Bias kognitif adalah pola penyimpangan sistematis dari pemikiran logis atau rasional yang mempengaruhi cara individu memproses informasi dan membuat keputusan. Bias kognitif terjadi karena otak kita menggunakan heuristik atau jalan pintas mental yang bisa menyebabkan penilaian yang tidak akurat.
       Bias kognitif pada lansia dapat dipengaruhi oleh perubahan dalam fungsi kognitif yang terjadi seiring penuaan. Beberapa jenis bias kognitif mungkin lebih menonjol atau lebih sering terjadi pada lansia karena faktor-faktor seperti penurunan memori, perubahan dalam kecepatan pemrosesan informasi, dan pengalaman hidup yang panjang. 

Pendidikan tentang bias kognitif mempengaruhi pengambilan keputusan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
Beberapa bias kognitif yang mungkin sering terjadi pada lansia:

Bias Kognitif Umum pada Lansia

Bias Konfirmasi (Confirmation Bias):
Lansia mungkin lebih cenderung mencari dan mengingat informasi yang mendukung keyakinan dan pengalaman hidup mereka, sambil mengabaikan informasi yang bertentangan. Ini bisa terjadi karena keyakinan yang telah lama terbentuk menjadi lebih sulit diubah.

Bias Keterjangkauan (Availability Heuristic):
Pengalaman hidup yang lebih panjang dapat membuat beberapa peristiwa atau informasi lebih mudah diingat dan dianggap lebih penting atau lebih sering terjadi daripada yang sebenarnya. Misalnya, pengalaman negatif di masa lalu mungkin lebih mudah diingat dan dianggap lebih umum.

Bias Negativitas (Negativity Bias):
Lansia mungkin lebih cenderung mengingat dan memberikan bobot lebih pada pengalaman negatif daripada pengalaman positif, terutama jika mereka telah mengalami banyak kehilangan atau kesulitan selama hidup mereka.

Bias Atribusi (Attribution Bias):
Lansia mungkin lebih cenderung mengaitkan perilaku orang lain dengan sifat atau karakteristik pribadi daripada situasi eksternal. Misalnya, mereka mungkin lebih cepat menyalahkan perilaku buruk pada kepribadian seseorang daripada mempertimbangkan faktor situasional.

Bias Status Quo (Status Quo Bias):
Lansia mungkin lebih cenderung memilih untuk mempertahankan keadaan saat ini dan menghindari perubahan. Ini bisa disebabkan oleh keinginan untuk menghindari risiko dan kenyamanan dalam rutinitas yang sudah dikenal.

Efek Dunning-Kruger (Dunning-Kruger Effect):
Beberapa lansia mungkin melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam beberapa bidang karena kurangnya kesadaran akan penurunan kemampuan kognitif yang mungkin terjadi seiring bertambahnya usia.

Bias Kepastian (Certainty Bias):
Lansia mungkin lebih cenderung mencari kepastian dan menghindari ambiguitas, karena ketidakpastian dapat menyebabkan kecemasan yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang lebih muda.

Beberapa Faktor untuk Mengurangi Bias Kognitif pada Lansia

Stimulasi Kognitif: 
Keterlibatan dalam aktivitas yang merangsang secara mental seperti membaca, belajar hal baru, bermain permainan strategi, atau teka-teki silang dapat membantu mengurangi dampak bias kognitif dengan mempertahankan fungsi kognitif yang sehat.

Belajar hal baru mengurangi bias kognitif.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Interaksi Sosial: 
Aktivitas sosial yang bermakna dan hubungan interpersonal dapat membantu mengurangi bias kognitif dengan memperluas perspektif dan memberikan kesempatan untuk diskusi dan refleksi.

Kesehatan Mental dan Emosional:
Lansia yang menjaga kesehatan mental mereka melalui aktivitas fisik, diet seimbang, meditasi, atau terapi mungkin memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengatasi bias kognitif.

Kesadaran dan Pendidikan: 
Kesadaran akan bias kognitif dan pendidikan tentang cara kerjanya dapat membantu lansia mengidentifikasi dan mengurangi dampak bias ini dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, meskipun lansia mungkin lebih rentan terhadap bias kognitif tertentu, banyak faktor yang dapat membantu mengurangi dampaknya dan mendukung pengambilan keputusan yang lebih rasional dan objektif.

       Mengurangi bias kognitif pada lansia dapat dicapai melalui berbagai strategi yang melibatkan peningkatan kesadaran, stimulasi kognitif, dan interaksi sosial. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi bias kognitif pada lansia:

Stimulasi Kognitif
  • Aktivitas Mental: Mengikutsertakan lansia dalam aktivitas yang merangsang mental seperti teka-teki silang, sudoku, permainan strategi, atau pembelajaran bahasa baru dapat membantu menjaga ketajaman kognitif.
  • Pembelajaran Berkelanjutan: Mendorong lansia untuk terus belajar hal-hal baru melalui kursus online, seminar, atau hobi baru dapat membantu memperluas pengetahuan dan perspektif mereka.

Interaksi Sosial
  • Aktivitas Sosial: Mendorong partisipasi dalam kelompok sosial, klub, atau kegiatan komunitas dapat membantu lansia tetap terlibat dan menerima berbagai perspektif.
  • Relasi Antar Generasi: Mempromosikan interaksi dengan anggota keluarga yang lebih muda atau program inter generasi dapat membantu memperluas pandangan dan mengurangi stereotip serta prasangka.

3. Kesadaran dan Pendidikan
  • Pendidikan tentang Bias Kognitif: Mengedukasi lansia tentang apa itu bias kognitif dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi pemikiran dan keputusan mereka. Menyediakan materi edukatif yang mudah dipahami mengenai berbagai jenis bias kognitif dan contoh-contohnya.
  • Latihan Refleksi: Mendorong lansia untuk merefleksikan pemikiran dan keputusan mereka, serta mempertimbangkan alternatif atau perspektif lain. Teknik ini dapat membantu mengurangi dampak bias kognitif.
Kesehatan Mental dan Emosional
  • Terapi dan Konseling: Menyediakan akses ke terapi psikologis atau konseling untuk membantu lansia mengatasi masalah emosional dan meningkatkan kesejahteraan mental mereka.
  • Latihan Mindfulness dan Meditasi: Mengajarkan teknik mindfulness dan meditasi dapat membantu meningkatkan kesadaran diri dan pengendalian emosi, yang pada gilirannya dapat mengurangi bias kognitif.
Kesehatan Fisik
  • Olahraga Teratur: Aktivitas fisik yang teratur seperti berjalan, yoga, atau senam lansia dapat meningkatkan kesehatan fisik dan kognitif, serta memperbaiki mood dan energi.
  • Nutrisi yang Seimbang: Pola makan yang sehat dan seimbang, kaya akan nutrisi yang mendukung kesehatan otak seperti omega-3, antioksidan, dan vitamin B dapat membantu menjaga fungsi kognitif.
Teknologi dan Alat Bantu
  • Aplikasi dan Program Pelatihan Kognitif: Menggunakan aplikasi atau program komputer yang dirancang untuk melatih fungsi kognitif dan mengurangi bias melalui latihan-latihan yang terstruktur.
  • Penggunaan Teknologi untuk Sosialisasi: Mendorong penggunaan teknologi seperti video call atau media sosial untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman, yang dapat membantu mengurangi isolasi sosial.
Lingkungan yang Mendukung
  • Menciptakan Lingkungan yang Stimulatif: Lingkungan yang penuh dengan rangsangan kognitif seperti buku, permainan, dan diskusi intelektual dapat membantu lansia tetap aktif secara mental.
  • Dukungan dari Keluarga dan Pengasuh: Memberikan dukungan dan dorongan dari keluarga dan pengasuh untuk terus terlibat dalam aktivitas yang merangsang dan interaktif.
 
Mengurangi bias kognitif pada lansia memerlukan pendekatan yang komprehensif yang mencakup stimulasi kognitif, interaksi sosial, edukasi tentang bias kognitif, serta dukungan kesehatan fisik dan mental. Dengan mengadopsi strategi-strategi ini, lansia dapat meningkatkan ketajaman kognitif mereka, membuat keputusan yang lebih baik, dan menjaga kualitas hidup yang lebih tinggi.




Sumber:




 


Wednesday, 22 May 2024

Kesenjangan Empati pada lansia

      Dalam konteks klinis, penilaian terhadap empati biasanya dilakukan sebagai bagian dari evaluasi psikologis atau psikiatris yang lebih luas, dan bisa melibatkan berbagai alat ukur dan tes diagnostik untuk memahami sejauh mana seseorang mengalami defisit empati dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.

Kesenjangan empati pada lansia dapat mempengaruhi hidup.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Meskipun tidak ada istilah medis yang sangat spesifik yang secara eksklusif merujuk pada "kesenjangan empati," istilah-istilah seperti "Empathy Deficit Disorder," "alexithymia," dan berbagai gangguan kepribadian yang terkait dengan kurangnya empati dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi ini dalam konteks medis dan psikologis.

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dari sudut pandang mereka. 

Ini melibatkan dua komponen utama:

Komponen Kognitif:
Ini adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan serta pikiran orang lain. Seseorang dengan empati kognitif dapat melihat situasi dari perspektif orang lain dan memahami apa yang mungkin mereka rasakan atau pikirkan.

Komponen Emosional: 
Ini adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Seseorang dengan empati emosional secara emosional merasakan perasaan orang lain, seolah-olah mereka merasakannya sendiri.

       Empati pada penuaan adalah kapasitas kunci karena mempengaruhi kualitas hubungan orang dewasa yang lebih tua dan berkurangnya tingkat rasa kesepian dikaitkan dengan semakin besarnya rasa kesepian. Banyak orang lanjut usia juga mendapati diri mereka berperan sebagai pengasuh bagi orang yang dicintai, dan dengan demikian empati sangat penting bagi keberhasilan hubungan pengasuh-pasien. 

Empati memainkan peran penting dalam hubungan sosial dan interaksi sehari-hari karena membantu menciptakan rasa koneksi dan pemahaman antar individu. 

Beberapa poin penting mengenai empati adalah:

Membangun Hubungan:
Empati membantu memperkuat hubungan interpersonal dengan memungkinkan orang untuk merespons secara lebih efektif terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.

Empati memperkuat hubungan interpersonal.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Mengurangi Konflik: 
Dengan memahami perspektif orang lain, empati dapat membantu mengurangi konflik dan meningkatkan kerja sama.

Mendorong Tindakan Pro sosial: 
Orang yang memiliki tingkat empati tinggi cenderung lebih berkeinginan untuk membantu orang lain dan terlibat dalam perilaku pro sosial.

Empati bukan hanya tentang memahami kesedihan atau penderitaan orang lain, tetapi juga tentang merayakan kebahagiaan dan kesuksesan mereka. Ini adalah keterampilan penting yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan kesadaran diri.

       Kesenjangan empati merujuk pada fenomena di mana terdapat perbedaan atau ketidaksesuaian dalam kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memahami dan merasakan perasaan atau perspektif orang lain. Kesenjangan ini dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk perbedaan sosial, budaya, ekonomi, atau pengalaman pribadi. Kesenjangan empati pada lansia bisa terjadi, tetapi tidak selalu demikian untuk setiap individu. 

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesenjangan empati pada lansia meliputi:

Perubahan Kognitif: 
Penurunan fungsi kognitif, seperti dalam kasus demensia atau penyakit Alzheimer, dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain.

Pengalaman Hidup:
Lansia mungkin memiliki pengalaman hidup yang berbeda dibandingkan dengan generasi yang lebih muda, yang bisa mempengaruhi perspektif mereka dan kemampuan untuk berempati.

Isolasi Sosial: 
Lansia yang mengalami isolasi sosial mungkin mengalami penurunan kemampuan untuk berempati karena kurangnya interaksi sosial yang berarti.

Beberapa Faktor untuk Mengurangi Kesenjangan Empati pada Lansia

Aktivitas Sosial dan Interaksi:

Partisipasi dalam Kelompok Sosial:
Lansia yang terlibat dalam kegiatan sosial, komunitas, atau klub dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan empati mereka.

Relasi Antar Generasi: 
Interaksi dengan anggota keluarga yang lebih muda atau program inter generasi dapat membantu menjaga keterampilan empati tetap tajam.

Stimulasi Kognitif:

Aktivitas Mental: 
Melakukan aktivitas yang merangsang kognitif seperti membaca, teka-teki silang, atau bermain permainan strategi dapat membantu mempertahankan fungsi otak.

Pendidikan Berkelanjutan:
Mengikuti kursus atau kelas untuk mempelajari hal-hal baru dapat membantu menjaga keterampilan kognitif dan empati tetap aktif.

Kesehatan Mental dan Emosional:

Terapi dan Konseling: 
Mengikuti terapi psikologis atau konseling dapat membantu lansia mengatasi masalah emosional dan meningkatkan kemampuan empati.

Latihan Mindfulness dan Meditasi: 
Teknik-teknik ini dapat membantu meningkatkan kesadaran diri dan empati dengan melatih fokus dan pengendalian emosi.

Kesehatan Fisik:

Olahraga Teratur: 
Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, yang pada gilirannya dapat mendukung fungsi kognitif dan emosional.

Nutrisi yang Baik: 
Pola makan yang seimbang dan bergizi dapat membantu menjaga kesehatan otak dan fungsi kognitif.

Secara keseluruhan, kesenjangan empati dapat menghambat hubungan interpersonal dan kerja sama sosial, karena kemampuan untuk memahami dan merespons perasaan orang lain adalah kunci dalam membangun hubungan yang sehat dan efektif.


Sumber: