Thursday, 26 June 2025

Mengapa Larangan Dokter Sering Dilanggar Lansia?

        Setiap keluarga pasti pernah mengalami situasi ini: seorang anggota keluarga lansia mendapat larangan makan dari dokter – misalnya untuk menghindari makanan manis, asin, atau berlemak – tetapi tak lama kemudian, larangan itu dilanggar. Bahkan dengan alasan sederhana seperti,

“Dari dulu saya makan ini, tidak ada masalah.”
Atau,
“Saya sudah tua, biar saja makan enak.”

Fenomena ini bukanlah hal sepele. Banyak kasus penyakit kronis pada lansia, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, atau kolesterol tinggi, menjadi sulit dikendalikan karena pola makan yang tidak sesuai anjuran medis. Namun, menyalahkan lansia sebagai "bandel" justru kontraproduktif. Dibutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa larangan dokter sering diabaikan.


1. Kebiasaan yang Telah Mengakar

Kebiasaan makan adalah hasil dari proses panjang yang terbentuk selama puluhan tahun. Banyak lansia memiliki pola konsumsi tertentu yang sudah menjadi bagian dari identitas mereka. Misalnya, makan gorengan sebagai camilan sore, nasi dengan lauk asin, atau teh manis setiap pagi.

Mengubah kebiasaan ini pada usia lanjut bukan perkara mudah. Bahkan, bagi sebagian lansia, perubahan pola makan terasa seperti "kehilangan bagian dari diri sendiri". Di sinilah pentingnya pendekatan bertahap dan persuasif, bukan sekadar larangan mendadak.

2. Penurunan Daya Ingat dan Fungsi Kognitif

Tidak sedikit lansia yang mengalami gangguan memori ringan atau gejala awal demensia. Mereka mungkin lupa dengan larangan yang telah disampaikan dokter, atau tidak mengingat bahwa makanan tertentu bisa memperburuk kondisi kesehatannya.

Kadang, mereka memang masih terlihat sehat dan aktif secara fisik, tetapi kemampuan mereka dalam memahami dan mengingat informasi medis bisa mulai menurun. Oleh karena itu, pengawasan dan pengulangan informasi oleh keluarga menjadi sangat penting.

3. Kebutuhan Emosional dan Rasa Ingin Merdeka

Saat usia bertambah, banyak hal dalam hidup lansia mulai dibatasi: aktivitas fisik berkurang, penglihatan menurun, pendengaran melemah, dan tubuh tidak lagi sekuat dulu. Dalam kondisi seperti ini, makanan bisa menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan yang masih bisa mereka nikmati sepenuhnya.

Sebagian lansia menganggap pembatasan makan sebagai bentuk kehilangan kendali atas hidupnya. Maka ketika dilarang, muncul perasaan tidak nyaman, bahkan bisa menjadi bentuk perlawanan pasif. Kalimat seperti "Saya sudah tua, saya ingin menikmati hidup" sering kali bukan sekadar alasan, tapi ungkapan batin yang membutuhkan empati.

4. Kurangnya Pendampingan dan Pengawasan

Tidak semua lansia tinggal bersama keluarga. Banyak yang hidup sendiri, atau hanya ditemani pengasuh yang belum tentu memahami kebutuhan gizinya. Dalam kondisi seperti ini, lansia akan lebih cenderung memilih makanan yang mudah diolah, murah, dan familiar – walaupun tidak sehat.

Bahkan, dalam keluarga pun, jika tidak ada anggota yang secara aktif mendampingi dan memahami kondisi kesehatannya, maka risiko pelanggaran larangan makan tetap tinggi.

5. Budaya, Lingkungan Sosial, dan Tekanan Moral

Dalam budaya masyarakat kita, makanan punya peran sosial yang sangat kuat. Berkumpul tanpa makanan serasa tidak lengkap. Makanan juga menjadi bentuk kasih sayang, penghormatan, dan ungkapan syukur.

Banyak lansia merasa sungkan menolak makanan yang disuguhkan keluarga atau tetangga, meskipun mereka tahu itu tidak baik untuk kesehatannya. Menolak dianggap tidak sopan, bahkan bisa memicu konflik kecil. Maka, demi menjaga suasana, mereka memilih diam dan memakan apa yang tersedia.

6. Takut Merepotkan atau Merasa Tidak Enak Hati

Lansia sering kali memiliki keinginan untuk tidak merepotkan anak atau cucu. Mereka khawatir jika terlalu banyak meminta makanan khusus, maka akan dianggap rewel atau menyusahkan. Maka walau makanan yang dihidangkan tidak sesuai dengan anjuran dokter, mereka tetap memakannya demi menjaga keharmonisan dan tidak menjadi beban keluarga.

Pendekatan yang Lebih Manusiawi dan Efektif

Menghadapi situasi ini, larangan dokter saja tidak cukup. Perlu pendekatan yang lebih manusiawi, empatik, dan melibatkan keluarga secara aktif. Berikut beberapa saran praktis:

  1. Jelaskan dengan bahasa sederhana. Hindari istilah medis yang rumit. Gunakan contoh konkret, seperti: “Kalau makan ini terlalu sering, nanti kaki jadi makin susah jalan karena bengkak.”

  2. Sediakan alternatif yang menarik. Ganti makanan yang dilarang dengan versi yang lebih sehat tapi tetap lezat. Misalnya, kukus atau panggang sebagai ganti gorengan.

  3. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan. Ajak berdiskusi dan dengarkan keinginan mereka. Berikan mereka pilihan, bukan hanya perintah.

  4. Berikan kelonggaran yang terukur. Tidak semua larangan harus kaku. Jika dokter mengizinkan, beri “hari istimewa” di mana lansia bisa menikmati makanan favorit dalam porsi kecil.

  5. Libatkan lingkungan sekitar. Edukasi juga perlu diberikan pada pengasuh, tetangga, dan komunitas tempat lansia biasa berkumpul agar mereka tidak ikut “menggoda” lansia melanggar aturan.

Penutup: Antara Kesehatan dan Kualitas Hidup

Menjaga pola makan lansia bukan sekadar soal gizi dan larangan. Ini tentang menjaga kualitas hidup mereka secara menyeluruh – fisik, emosional, dan sosial. Larangan dokter memang penting, tapi lebih penting lagi adalah cara kita menyampaikannya, mendampingi, dan menciptakan suasana yang membuat lansia merasa dihargai dan tetap bahagia.

Kesehatan bukan hanya angka di hasil laboratorium, tapi juga rasa damai dalam hati. Maka mari kita bantu lansia menjalani hari tuanya dengan sehat, bermakna, dan penuh cinta.


Sumber:

https://www.who.int/publications/i/item/924120916X

https://www.nia.nih.gov/health/healthy-eating-nutrition-and-diet

https://www.alz.org/alzheimers-dementia/what-is-dementia/related_conditions/mild-cognitive-impairment