Thursday, 11 January 2024

Sindrom Charles Bonnet pada Lansia

            Sindrom Charles Bonnet adalah kondisi di mana seseorang mengalami halusinasi visual ketika mereka memiliki kerusakan pada penglihatan mereka, tetapi mereka masih mempertahankan kemampuan kognitif mereka yang utuh. Ini biasanya terjadi pada orang yang mengalami kehilangan penglihatan karena penyakit mata seperti degenerasi makula, katarak, atau glaukoma.

Sindrom Charles Bonnet sering terjadi pada lansia karena proses penuaan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Pada lansia, sindrom Charles Bonnet dapat menjadi lebih umum terjadi karena proses penuaan yang mempengaruhi mata dan sistem saraf. Orang dengan sindrom ini dapat melihat gambar atau objek yang sebenarnya tidak ada, seperti pola warna, wajah, atau bentuk geometris. Penting untuk dicatat bahwa halusinasi ini bukanlah tanda gangguan mental atau kegilaan; sebaliknya, sindrom ini disebabkan oleh disorientasi visual yang dihasilkan dari kerusakan mata.

Seseorang dengan sindrom Charles Bonnet mungkin menyadari bahwa apa yang mereka lihat adalah halusinasi dan tidak nyata. Meskipun ini bisa menjadi pengalaman yang menakutkan atau mengganggu, 

        Ciri-ciri Sindrom Charles Bonnet pada lansia melibatkan pengalaman halusinasi visual yang terjadi sebagai akibat dari kerusakan mata atau gangguan penglihatan. 

Beberapa ciri umum yang dapat muncul:

Halusinasi Visual: 

Orang yang mengalami Sindrom Charles Bonnet akan melihat gambar-gambar, objek, atau pola visual yang sebenarnya tidak ada di lingkungan mereka. Halusinasi ini dapat mencakup wajah-wajah, bentuk-bentuk geometris, atau warna-warna yang tidak nyata.

Halusinasi mencakup wajah-wajah yang tidak nyata.
(Sumber: foto canva.com)

Kesadaran Bahwa Halusinasi Tidak Nyata: 

Biasanya, individu yang terkena sindrom ini menyadari bahwa halusinasi yang mereka alami tidak nyata. Ini berbeda dari beberapa gangguan mental atau psikotik di mana seseorang mungkin tidak menyadari bahwa persepsi mereka tidak sesuai dengan kenyataan.

Hubungan dengan Kerusakan Mata: 

Sindrom Charles Bonnet terkait erat dengan gangguan penglihatan. Orang yang mengalami kondisi ini seringkali memiliki masalah penglihatan seperti degenerasi makula, katarak, atau glaukoma. Halusinasi muncul sebagai respons otak terhadap ketidaksesuaian informasi visual yang diterimanya.

Tidak Disertai Gangguan Kognitif: 

Ciri khas dari sindrom ini adalah bahwa meskipun ada gangguan penglihatan, fungsi kognitif atau kecerdasan tetap utuh. Penderita sindrom ini tetap dapat memahami dan memproses informasi dengan baik di luar pengalaman halusinasinya.

       Faktor utama yang menyebabkan Sindrom Charles Bonnet pada lansia adalah kerusakan mata atau gangguan penglihatan. Sindrom ini terjadi sebagai respons otak terhadap kurangnya stimulus visual yang benar-benar hadir dalam lingkungan, menyebabkan otak "mengisi" kekosongan tersebut dengan gambar-gambar atau pola visual yang tidak nyata. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi pada sindrom ini melibatkan kondisi mata atau proses penuaan:

Degenerasi Makula:

Degenerasi makula adalah suatu kondisi di mana pusat retina (makula) mengalami kerusakan, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan pusat. Sindrom Charles Bonnet dapat muncul sebagai respons terhadap kehilangan penglihatan ini.

Katarak: 

Katarak adalah kondisi di mana lensa mata menjadi kabur atau buram. Ini dapat menyebabkan distorsi penglihatan dan menyebabkan Sindrom Charles Bonnet pada beberapa individu.

Glaukoma: 

Glaukoma adalah kondisi di mana tekanan mata tinggi dapat merusak saraf optik. Gangguan ini dapat menyebabkan hilangnya bidang penglihatan tertentu dan memicu sindrom ini.

Retinitis Pigmentosa: 

Ini adalah kelompok penyakit mata genetik yang menyebabkan kerusakan progresif pada sel-sel batang dan kerucut di retina. Penderita retinitis pigmentosa dapat mengalami gangguan penglihatan dan mungkin mengalami Sindrom Charles Bonnet.

Kehilangan Penglihatan Akibat Penuaan: 

Proses penuaan alami dapat menyebabkan berbagai masalah penglihatan pada lansia, termasuk penurunan ketajaman visual dan gangguan lainnya yang dapat memicu sindrom ini.

Penurunan ketajaman visual memicu sindrom Charles Bonnet.
(Sumber: foto canva.com)

💬Sindrom Charles Bonnet bukanlah tanda gangguan mental atau kegilaan. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam pemrosesan visual otak akibat ketidaksesuaian informasi yang diterima dari mata yang mengalami kerusakan. 

       Saat ini belum ada metode pencegahan khusus untuk Sindrom Charles Bonnet, karena kondisi ini terkait dengan gangguan penglihatan yang sudah ada. Sindrom ini muncul sebagai respons otak terhadap kekurangan stimulus visual yang benar-benar hadir di lingkungan sekitar. Meskipun demikian, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko atau mengelola gejala jika seseorang sudah mengalami gangguan penglihatan. 

Beberapa saran umum mencegah Sindrom Charkes Bonnet:

Lakukan Pemeriksaan Mata Rutin: 

Melakukan pemeriksaan mata secara teratur dengan dokter mata dapat membantu mendeteksi dan mengelola dini kondisi mata seperti degenerasi makula, katarak, atau glaukoma, yang dapat menjadi pemicu Sindrom Charles Bonnet.

Pertahankan Kesehatan Mata: 

Mengadopsi gaya hidup sehat dapat membantu menjaga kesehatan mata. Ini melibatkan kebiasaan seperti tidak merokok, menjaga kadar gula darah dan tekanan darah, serta menghindari paparan berlebihan terhadap sinar matahari.

Gunakan Alat Bantu Penglihatan: 

Jika seseorang sudah mengalami gangguan penglihatan, penggunaan alat bantu penglihatan seperti kacamata khusus atau perangkat pembesaran dapat membantu mengoptimalkan sisa penglihatan yang ada.

Terlibat dalam Rehabilitasi Penglihatan: 

Program rehabilitasi penglihatan dapat membantu individu mengatasi tantangan yang muncul akibat hilangnya penglihatan. Ini melibatkan pembelajaran keterampilan dan strategi untuk memaksimalkan sisa penglihatan yang ada.

Komunikasi dengan Tenaga Kesehatan: 

Jika seseorang mengalami gejala Sindrom Charles Bonnet atau memiliki masalah penglihatan, penting untuk berkomunikasi secara teratur dengan tenaga kesehatan, terutama dokter mata. Diskusi terbuka tentang gejala dan perubahan penglihatan dapat membantu dalam merencanakan pengelolaan yang tepat.

Berkomunikasi dengan dokter mata bila mengalami gangguan penglihatan.
(Sumber: foto canva.com)

       💬Tidak ada pengobatan khusus yang dapat menyembuhkan Sindrom Charles Bonnet. Sindrom ini terkait dengan gangguan penglihatan yang sudah ada, dan gejalanya muncul sebagai respons otak terhadap ketidaksesuaian informasi visual yang diterimanya. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengelola gejala dan membantu individu yang mengalami sindrom ini:

Pemeriksaan Kesehatan Mata: 

Pertama-tama, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan kesehatan mata secara teratur dengan dokter mata. Dokter mata dapat membantu mengidentifikasi dan mengelola kondisi mata yang mendasari, seperti degenerasi makula, katarak, atau glaukoma.

Koreksi Gangguan Penglihatan: 

Jika ada masalah penglihatan yang dapat dikoreksi, seperti dengan kacamata atau lensa kontak, penting untuk menggunakan koreksi tersebut. Ini dapat membantu memperbaiki atau memperbaiki masalah penglihatan yang mungkin menyebabkan Sindrom Charles Bonnet.

Penggunaan Alat Bantu Penglihatan: 

Beberapa individu mungkin mendapat manfaat dari penggunaan alat bantu penglihatan, seperti kacamata pembesar, perangkat pembaca teks, atau teknologi bantu lainnya. Ini dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dengan mengoptimalkan sisa penglihatan yang ada.

Pengelolaan Stres dan Kecemasan: 

Mengatasi stres dan kecemasan dapat membantu mengurangi frekuensi dan intensitas gejala Sindrom Charles Bonnet. Teknik relaksasi, meditasi, atau dukungan psikologis dapat memberikan manfaat.

Partisipasi dalam Program Rehabilitasi Penglihatan: 

Program rehabilitasi penglihatan dapat membantu individu mengembangkan keterampilan dan strategi untuk mengatasi tantangan sehari-hari yang muncul akibat hilangnya penglihatan. Ini melibatkan dukungan dan bimbingan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Berkonsultasi dengan dokter mata atau profesional kesehatan yang berkualifikasi untuk merencanakan manajemen yang tepat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu. Meskipun tidak ada obat khusus untuk Sindrom Charles Bonnet, pendekatan yang komprehensif dan berfokus pada kesehatan mata dan kesejahteraan umum dapat membantu mengurangi dampak gejalanya.



Sumber:

https://www.nhs.uk/conditions/charles-bonnet-syndrome/

https://www.aao.org/eye-health/diseases/what-is-charles-bonnet-syndrome

https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/24403-charles-bonnet-syndrome

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK585133/

https://www.rnib.org.uk/your-eyes/eye-conditions-az/charles-bonnet-syndrome/

https://www.rnib.org.uk/your-eyes/eye-conditions-az/charles-bonnet-syndrome/#what-is-charles-bonnet-syndrome

Wednesday, 10 January 2024

Peradangan Membuat Lansia Meradang.

         Peradangan adalah suatu respons normal tubuh terhadap cedera, infeksi, atau iritasi. Ini merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang dirancang untuk melindungi tubuh dari bahaya dan memulai proses penyembuhan. Peradangan dapat terjadi di berbagai bagian tubuh dan dapat bersifat akut atau kronis.

Peradangan dapat terjadi diberbagai bagian tubuh lansia.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Proses peradangan melibatkan respons kompleks dari sel-sel kekebalan, pembuluh darah, dan molekul-molekul kimiawi. Secara umum, tujuan peradangan adalah untuk menghilangkan agen penyebab cedera atau infeksi, membersihkan area yang terkena, dan memulai proses penyembuhan.

Istilah medis umum untuk peradangan adalah "inflamasi." Jadi, ketika seseorang mengalami peradangan, dapat dikatakan bahwa mereka mengalami inflamasi. Istilah ini sering digunakan dalam konteks medis untuk menggambarkan respons tubuh terhadap cedera, infeksi, atau iritasi. Inflamasi dapat terjadi di berbagai bagian tubuh dan dapat bersifat akut atau kronis, tergantung pada penyebab dan durasinya. 

Peradangan pada lansia dapat memiliki ciri-ciri yang berbeda dibandingkan dengan peradangan pada orang yang lebih muda. Beberapa ciri khas peradangan pada lansia melibatkan perubahan dalam respon sistem kekebalan tubuh, penurunan fungsi organ-organ tertentu, dan gejala yang mungkin tidak selalu klasik. 

Berikut adalah beberapa ciri umum peradangan pada lansia:

Pembengkakan dan Kemerahan:

Meskipun lansia mungkin tidak selalu mengalami pembengkakan dan kemerahan secara mencolok seperti yang mungkin terjadi pada orang yang lebih muda, pembengkakan dapat terjadi di dalam tubuh.

Nyeri:

Nyeri pada peradangan lansia mungkin kurang terlokalisasi atau terasa secara khas, dan sering kali dapat dikaitkan dengan penurunan fungsi organ atau kerusakan jaringan.

Rasa nyeri pada bagian yang meradang.
(Sumber: foto canva.com)

Fungsi Tubuh yang Menurun:

Peradangan pada lansia dapat berkontribusi pada penurunan fungsi organ, seperti penurunan fungsi ginjal atau hati.

Kelelahan:

Lansia dengan peradangan sering mengalami kelelahan yang berlebihan, bahkan dengan aktivitas ringan.

Respons Sistem Kekebalan yang Tidak Efisien:

Sistem kekebalan pada lansia mungkin tidak bekerja dengan efisiensi maksimal, yang dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengatasi infeksi atau cedera.

Penurunan Kesehatan Umum:

Peradangan pada lansia dapat dikaitkan dengan penurunan kesehatan umum dan peningkatan risiko penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes, atau penyakit neurodegeneratif.

       Beberapa faktor penyebab peradangan pada lansia melibatkan kombinasi dari perubahan fisik, respons sistem kekebalan tubuh, dan faktor-faktor lingkungan. 

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peradangan pada lansia:

Penuaan dan Perubahan Sel:

Proses penuaan sendiri dapat menyebabkan perubahan pada sel dan jaringan tubuh, termasuk perubahan pada respons peradangan. Sistem kekebalan tubuh lansia mungkin tidak merespons dengan seefisien pada peradangan seperti pada usia muda.

Penurunan Fungsi Organ:

Penurunan fungsi organ, seperti ginjal, hati, atau jantung, yang sering terjadi dengan bertambahnya usia, dapat menyebabkan penumpukan zat-zat berbahaya atau pembengkakan, memicu peradangan.

Kehilangan Sel Kekebalan:

Lansia mungkin mengalami penurunan jumlah dan fungsi sel kekebalan, yang dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan mengatur peradangan.

Penumpukan Radikal Bebas:

Akumulasi radikal bebas dari paparan lingkungan dan proses metabolik dalam tubuh dapat menyebabkan stres oksidatif, yang dapat memicu peradangan.

Obesitas:

Obesitas dapat menjadi faktor risiko untuk peradangan pada lansia. Lemak yang berlebihan, terutama di daerah perut, dapat melepaskan zat-zat pro-inflamasi.

Penurunan Hormon:

Perubahan kadar hormon, seperti estrogen pada wanita dan testosteron pada pria, yang terjadi selama penuaan, dapat memengaruhi respons peradangan.

Penyakit Kronis:

Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, arthritis, atau penyakit neurodegeneratif dapat menjadi penyebab peradangan kronis pada lansia.

Infeksi Kronis:

Infeksi yang berlangsung lama atau menjadi kronis dapat menyebabkan peradangan yang berkepanjangan.

Polusi dan Paparan Lingkungan:

Paparan terhadap polusi udara atau bahan kimia tertentu dalam lingkungan dapat memicu respons peradangan pada lansia.

Kurang Aktivitas Fisik:

Kurangnya aktivitas fisik atau gaya hidup yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko peradangan pada lansia.

Kurang aktivitas fisik meningkatkan risiko peradangan.
(Sumber: foto canva.com)

       Mencegah peradangan pada lansia melibatkan pengelolaan gaya hidup sehat dan upaya-upaya untuk mengurangi faktor risiko yang dapat memicu peradangan. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu mencegah peradangan pada lansia:

Menerapkan Pola Makan Sehat:

Konsumsi diet seimbang yang kaya akan buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, ikan berlemak, dan nutrisi esensial lainnya dapat membantu mengurangi risiko peradangan.

Menjaga Berat Badan yang Sehat:

Mempertahankan berat badan yang sehat atau mengurangi berat badan jika diperlukan dapat membantu mengurangi peradangan, terutama pada kasus obesitas.

Berolahraga secara Teratur:

Aktivitas fisik teratur dapat membantu menjaga fungsi sistem kekebalan tubuh, meningkatkan sirkulasi darah, dan mengurangi peradangan.

Mengelola Stres:

Mengelola stres dengan cara seperti meditasi, yoga, atau aktivitas relaksasi lainnya dapat membantu mengurangi respon peradangan.

Tidak Merokok:

Merokok dapat menyebabkan stres oksidatif dan peradangan dalam tubuh. Berhenti merokok dapat membantu mengurangi risiko peradangan.

Batas Konsumsi Alkohol:

Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan risiko peradangan. Menjaga batas konsumsi alkohol yang aman adalah langkah penting.

Hindari Paparan Lingkungan yang Berbahaya:

Menghindari paparan terhadap polusi udara, bahan kimia berbahaya, atau paparan lingkungan lainnya dapat membantu mengurangi faktor risiko peradangan.

Perawatan Penyakit Kronis:

Manajemen penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung dengan baik dapat membantu mengurangi risiko peradangan.

Penuhi Kebutuhan Nutrisi:

Memastikan asupan nutrisi yang mencukupi, termasuk vitamin dan mineral, dapat mendukung kesehatan tubuh dan mengurangi risiko peradangan.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan:

Berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan dapat membantu dalam mendeteksi dan mengelola penyakit atau kondisi medis yang dapat menyebabkan peradangan.

       Pengobatan peradangan pada lansia dapat melibatkan pendekatan yang berbeda tergantung pada penyebab peradangan dan kondisi kesehatan spesifik individu. Sebelum memulai pengobatan, sangat penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan rencana pengobatan yang sesuai. 

Beberapa pendekatan umum yang dapat digunakan untuk mengobati peradangan pada lansia:

Obat Anti inflamasi:

Dokter dapat meresepkan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) seperti ibuprofen atau naproxen untuk mengurangi peradangan dan meredakan nyeri. Pemilihan obat harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan riwayat medis individu.

Dokter dapat meresepkan obat anti inflamasi.
(Sumber: foto canva.com)

Obat Pengontrol Peradangan:

Pada kasus peradangan kronis atau penyakit autoimun, dokter mungkin meresepkan obat pengontrol peradangan seperti kortikosteroid atau obat imunosupresan.

Fisioterapi dan Latihan Terapi:

Fisioterapi atau latihan terapi dapat membantu meningkatkan fleksibilitas, kekuatan otot, dan fungsi sendi, yang dapat mengurangi gejala peradangan terkait kondisi muskuloskeletal.

Manajemen Penyakit Kronis:

Jika peradangan terkait dengan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung, penting untuk mengelola kondisi tersebut dengan baik melalui pengobatan dan perubahan gaya hidup.

Diet Anti inflamasi:

Mengadopsi diet anti inflamasi, seperti diet Mediterania yang kaya akan buah-buahan, sayuran, ikan, dan minyak zaitun, dapat membantu mengurangi peradangan dalam tubuh.

Suplemen Nutrisi:

Beberapa suplemen nutrisi, seperti omega-3 asam lemak, vitamin D, dan antioksidan tertentu, dapat memiliki efek anti inflamasi. Namun, penggunaan suplemen harus dibicarakan dengan dokter untuk memastikan keamanan dan dosis yang tepat.

Manajemen Stres:

Mengelola stres melalui teknik relaksasi, meditasi, atau aktivitas yang menyenangkan dapat membantu mengurangi peradangan.

Pengobatan Alternatif:

Beberapa orang mencari pendekatan pengobatan alternatif seperti akupunktur, pijat, atau herbal tertentu untuk meredakan peradangan. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter sebelum mencoba metode ini.

Pemantauan Rutin dan Perubahan Dosis:

Lansia yang menerima pengobatan harus menjalani pemantauan rutin oleh dokter untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan dan, jika diperlukan, menyesuaikan dosis atau jenis pengobatan.

Setiap rencana pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan individu dan dipantau secara ketat oleh profesional kesehatan. Mengkomunikasikan semua gejala dan perubahan kesehatan kepada dokter adalah langkah penting dalam pengelolaan peradangan pada lansia.




Sumber:

https://www.webmd.com/healthy-aging/how-to-reduce-inflammation-as-you-age 

https://immunityageing.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12979-023-00352-w

https://newsroom.uvahealth.com/2023/07/24/inflammation-discovery-could-slow-aging-prevent-age-related-diseases/

https://carehop.ca/blog/how-chronic-inflammation-affects-older-adults/

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0749069018301423

Tuesday, 9 January 2024

Jantung Berdebar pada Lansia, Efek Obat-obatan dan Makanan

        Jantung berdebar, atau yang disebut juga dengan palpitations dalam istilah medis, merujuk pada sensasi detak jantung yang terasa kuat, cepat, atau tidak teratur. Sensasi ini bisa dirasakan di dada, leher, atau kepala. Jantung berdebar bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk situasi stres, kecemasan, aktivitas fisik intens, konsumsi kafein atau stimulan lainnya, gangguan irama jantung, atau kondisi medis lainnya.

Obat yang dikonsumsi oleh lansia dapat meningkatkan jantung berdebar.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Beberapa obat-obatan umum yang sering dikonsumsi oleh lansia dapat memiliki efek samping yang mencakup peningkatan detak jantung atau menyebabkan sensasi jantung berdebar. 

Beberapa kelas obat yang dapat berkontribusi terhadap gejala ini meliputi:

Obat Penyakit Jantung: 

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit jantung, seperti beta-blocker dan calcium channel blocker, dapat memengaruhi detak jantung. Meskipun sebagian besar dari mereka dirancang untuk mengatur detak jantung, dalam beberapa kasus, mereka dapat menyebabkan efek samping seperti perubahan pada irama jantung.

Obat Anti hipertensi: 

Beberapa obat anti hipertensi, seperti ACE inhibitor dan diuretik, dapat memengaruhi detak jantung.

Obat Penguat Jantung: 

Digoxin, obat yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung, dapat menyebabkan perubahan pada irama jantung dan memicu gejala jantung berdebar pada beberapa orang.

Obat-obatan Sistem Saraf Pusat: 

Beberapa obat yang memengaruhi sistem saraf pusat, termasuk stimulan atau obat-obatan untuk masalah tidur, dapat menyebabkan peningkatan detak jantung.

Antibiotik:

Azitromisin (Zithromax) adalah antibiotik yang dapat mempercepat detak jantung Anda. Antibiotik lain, seperti levofloxacin, amoksisilin, dan ciprofloxacin, juga dapat mengubah detak jantung Anda. Ini lebih mungkin terjadi jika Anda menderita penyakit jantung.

Beberapa antibiotik mengubah detak jantung.
(Sumber: foto canva.com)

Obat Batuk, Pilek, dan Alergi:

Banyak dekongestan yang dijual bebas mengandung pseudoefedrin atau fenilefrin. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan jantung berdebar-debar atau meningkatkan tekanan darah Anda .

Obat Asma:

Banyak di antaranya yang dapat menyebabkan detak jantung cepat, termasuk kortikosteroid inhalasi, albuterol, agonis beta-2 kerja panjang yang dihirup, pengubah leukotrien, dan metilxantin oral.

Suplemen:

Beberapa suplemen dapat memicu detak jantung yang cepat atau tidak teratur. Contohnya termasuk jeruk pahit, valerian, hawthorn, ginseng, dan ephedra.

Obat-obatan untuk Tiroid:

Pemakaian obat-obatan untuk mengatur fungsi tiroid dapat memengaruhi detak jantung, terutama jika dosis tidak sesuai.

Antidepresan:

Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk mengobati depresi dapat meningkatkan detak jantung Anda. Mereka termasuk inhibitor reuptake serotonin dan norepinefrin (SNRI) seperti desvenlafaxine, duloxetine, dan venlafaxine, dan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline, clomipramine, desipramine, dan lain-lain.

💬Respons terhadap obat-obatan dapat bervariasi antar individu, dan efek samping dapat tergantung pada kondisi kesehatan masing-masing orang. Jika seseorang mengalami jantung berdebar atau gejala lain yang mencurigakan setelah mengonsumsi obat-obatan tertentu, disarankan untuk segera berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan. 

       Beberapa jenis makanan atau minuman tertentu dapat memicu jantung berdebar pada beberapa orang, termasuk lansia. Reaksi terhadap makanan dapat bervariasi antar individu, dan tidak semua orang akan mengalami efek yang sama.

Beberapa makanan dan minuman yang dapat memengaruhi detak jantung meliputi:

Kafein: 

Makanan atau minuman yang mengandung kafein, seperti kopi, teh, cola, dan cokelat, dapat menyebabkan peningkatan detak jantung pada beberapa orang.

Beberapa lansia terjadi peningkatan detak jantung bila minum mengandung kafein.
(Sumber: foto canva.com)

Minuman Berenergi: 

Minuman berenergi mengandung kafein, taurin, dan bahan-bahan stimulan lainnya yang dapat mempengaruhi detak jantung.

Alkohol: 

Konsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan dapat memengaruhi detak jantung dan menyebabkan palpitations pada beberapa individu.

Makanan Pedas: 

Makanan pedas dapat memicu reaksi tubuh, termasuk peningkatan denyut jantung, pada beberapa orang.

Makanan yang Mengandung MSG (Monosodium Glutamat): 

Beberapa orang mungkin mengalami reaksi terhadap MSG, yang dapat ditemukan dalam makanan olahan atau makanan cepat saji.

Cokelat: 

Cokelat mengandung teobromin, yang dapat memiliki efek stimulan pada sistem saraf dan memengaruhi detak jantung.

Aspartam: 

Sebagian kecil orang dapat mengalami reaksi terhadap aspartam, pemanis buatan yang digunakan dalam banyak produk makanan diet.

       Pencegahan jantung berdebar pada lansia melibatkan upaya untuk menjaga gaya hidup sehat dan mengelola faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan jantung. 

Beberapa langkah pencegahan yang dapat membantu mengurangi risiko jantung berdebar pada lansia:

Pola Makan Sehat:

  • Konsumsi makanan seimbang yang kaya akan serat, vitamin, dan mineral.
  • Batasi asupan garam, kolesterol, dan lemak jenuh.
  • Pertahankan berat badan yang sehat.

Pengelolaan Stress:

  • Terapkan teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam untuk mengurangi tingkat stres.
  • Identifikasi dan tangani stres secara efektif, misalnya dengan mengambil istirahat yang cukup dan mengembangkan hobi yang menyenangkan.

Olahraga Teratur:

  • Lakukan aktivitas fisik secara teratur, sesuai dengan kondisi kesehatan dan rekomendasi dokter.
  • Pilih jenis olahraga yang sesuai dan dapat dinikmati, seperti berjalan kaki, berenang, atau bersepeda.

Berolahraga secara teratur memperkuat jantung lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Hindari Konsumsi Stimulan Berlebihan:

  • Batasi konsumsi kafein dan hindari minuman berenergi.
  • Hentikan atau kurangi konsumsi alkohol jika dianjurkan oleh dokter.

Pantau Kadar Gula Darah dan Tekanan Darah:

  • Kendalikan diabetes dengan menjaga kadar gula darah dalam batas normal.
  • Pantau tekanan darah secara teratur dan ikuti rekomendasi dokter untuk menjaga tekanan darah pada tingkat yang sehat.

Pantau Konsumsi Obat-obatan:

  • Minum obat-obatan sesuai petunjuk dokter dan lakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
  • Diskusikan dengan dokter mengenai efek samping obat yang mungkin terkait dengan jantung berdebar.

Hindari Merokok:

Hindari atau berhenti merokok, karena rokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

Periksakan Kesehatan Secara Berkala:

Rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan mengikuti saran dokter.

💬Jika mengalami gejala jantung berdebar atau masalah kesehatan jantung lainnya, segera konsultasikan dengan dokter.

Setiap orang memiliki kondisi kesehatan yang unik, dan rekomendasi pencegahan dapat bervariasi. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk mendapatkan saran yang sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing.



Sumber:

https://www.msdmanuals.com/home/heart-and-blood-vessel-disorders/symptoms-of-heart-and-blood-vessel-disorders/palpitations

https://www.webmd.com/heart-disease/atrial-fibrillation/medicines-raise-heart-rate

https://www.heart.org/en/health-topics/consumer-healthcare/what-is-cardiovascular-disease/illegal-drugs-and-heart-disease

https://www.nhs.uk/mental-health/talking-therapies-medicine-treatments/medicines-and-psychiatry/antidepressants/side-effects/

https://www.healthline.com/health/heart-palpitations

https://www.medicalnewstoday.com/articles/do-antibiotics-hurt-your-heart