Secara umum, hampir semua orang yang mengalami depresi mempunyai perasaan sedih terus-menerus, dan mungkin merasa tidak berdaya, putus asa, dan mudah tersinggung. Tanpa pengobatan, gejalanya bisa bertahan bertahun-tahun.
Gangguan depresi persisten (sebelumnya gangguan distimik) ditandai dengan depresi kronis tingkat rendah yang tidak separah, namun mungkin berlangsung lebih lama dibandingkan gangguan depresi berat.
Depresi gangguan mental yang dapat disembuhkan bukan proses penuaan. (Sumber: foto paguyuban pengawas purna) |
"Gangguan depresi persisten" adalah istilah yang agak baru. Ini digunakan untuk menggabungkan apa yang disebut distimia dan gangguan depresi mayor kronis di masa lalu.
Depresi persisten pada lansia mengacu pada kondisi depresi yang berlangsung secara kronis atau berkepanjangan pada orang lanjut usia. Depresi dapat memiliki gejala yang terus-menerus selama periode waktu yang lama.
Depresi persisten pada lansia bisa lebih sulit didiagnosis dan diobati karena mungkin tidak segera terlihat atau diidentifikasi. Gejala depresi persisten pada lansia mirip dengan gejala depresi pada kelompok usia lainnya, tetapi dapat muncul dengan intensitas yang berbeda.
Beberapa gejala depresi persisten pada lansia meliputi:
Perasaan Sedih atau Putus Asa:
Lansia dengan depresi mungkin merasa sedih atau putus asa secara terus-menerus, tanpa adanya perbaikan yang berarti.
Kehilangan Minat dan Kegembiraan:
Mereka mungkin kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya dinikmati dan merasa sulit untuk merasa gembira atau bersemangat.
Depresi membuat kehilangan minat dan kegembiraan. (Sumber: foto canva.com) |
Perubahan Berat Badan atau Nafsu Makan:
Perubahan dalam berat badan (peningkatan atau penurunan) dan perubahan nafsu makan bisa terjadi.
Gangguan Tidur:
Lansia dengan depresi bisa mengalami gangguan tidur, baik itu kesulitan tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia).
Kelelahan atau Energi yang Menurun:
Rasa kelelahan yang konstan atau penurunan energi dapat menjadi gejala depresi persisten pada lansia.
Perasaan Bersalah atau Tidak Berharga:
Orang dengan depresi persisten mungkin merasa bersalah atau tidak berharga tanpa alasan yang jelas.
Kesulitan Berkonsentrasi:
Lansia dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, membuat keputusan, atau menjalankan tugas sehari-hari.
Gangguan Fisik Tanpa Penyebab Medis yang Jelas:
Beberapa lansia dengan depresi dapat mengalami keluhan fisik seperti nyeri tubuh atau gangguan pencernaan tanpa ada penyebab medis yang jelas.
Pemikiran tentang Kematian atau Bunuh Diri:
Beberapa individu mungkin memiliki pemikiran tentang kematian atau bunuh diri. Jika ada indikasi atau kekhawatiran terkait hal ini, segera cari bantuan profesional.
Beberapa faktor penyebab depresi persisten pada lansia meliputi:
Perubahan Fisik dan Kesehatan:
Lansia sering menghadapi perubahan fisik, termasuk masalah kesehatan kronis, penurunan fungsi fisik, dan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Perubahan ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kehilangan independensi, yang berkontribusi pada munculnya depresi.
Kehilangan Orang yang Dicintai:
Kematian pasangan hidup, teman dekat, atau kerabat dapat menjadi pemicu depresi pada lansia. Kehilangan sosial ini dapat meningkatkan rasa kesepian dan isolasi.
Isolasi Sosial:
Lansia yang mengalami isolasi sosial, baik karena pensiun, kehilangan teman, atau kurangnya dukungan sosial, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi.
Lansia mengalami isolasi sosial karena pensiun. (Sumber: foto canva.com) |
Gangguan Kognitif:
Gangguan kognitif, seperti penyakit Alzheimer atau gangguan kognitif ringan, dapat menjadi faktor risiko untuk depresi pada lansia. Kesulitan dalam mengatasi perubahan kognitif dan fungsi otak dapat menyebabkan stres emosional.
Masalah Keuangan:
Kesulitan keuangan, seperti pensiun yang terbatas atau masalah keuangan lainnya, dapat menyebabkan stres yang signifikan dan meningkatkan risiko depresi pada lansia.
Perubahan Hormonal:
Perubahan hormonal yang terkait dengan proses penuaan, seperti penurunan kadar hormon serotonin, dapat mempengaruhi suasana hati dan berkontribusi pada depresi.
Histori Keluarga dan Genetika:
Jika ada riwayat keluarga dengan gangguan mood atau depresi, individu tersebut mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi persisten pada masa lanjut usia.
Gangguan Kesehatan Mental Sebelumnya:
Riwayat depresi atau gangguan kejiwaan sebelumnya dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi pada masa lanjut usia.
Kurangnya Aktivitas Fisik:
Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan mental. Olahraga teratur dapat membantu mengurangi risiko depresi pada lansia.
Efek Samping Obat:
Beberapa obat yang sering digunakan pada lansia untuk mengatasi kondisi kesehatan tertentu dapat memiliki efek samping yang memengaruhi suasana hati dan memicu depresi.
Mencegah depresi persisten pada lansia melibatkan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan kesehatan fisik.
Beberapa strategi yang dapat membantu mencegah depresi pada lansia:
Aktivitas Fisik Teratur:
Olahraga teratur memiliki manfaat besar bagi kesehatan fisik dan mental. Aktivitas fisik dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, dan memperbaiki tidur. Pilih kegiatan yang sesuai dengan tingkat kebugaran dan kondisi kesehatan.
Olahraga teratur bermanfaat untuk ketahanan fisik dan mental. (Sumber: foto canva.com) |
Mempertahankan Koneksi Sosial:
Interaksi sosial yang positif dapat membantu mencegah isolasi sosial dan depresi. Lansia sebaiknya tetap terlibat dalam kegiatan sosial, termasuk pertemuan dengan teman, kegiatan kelompok, atau bergabung dengan klub atau organisasi.
Mengatasi Kehilangan dengan Dukungan Emosional:
Bila mengalami kehilangan orang yang dicintai atau perubahan signifikan dalam hidup, penting untuk mencari dukungan emosional. Berbicara dengan teman, keluarga, atau seorang profesional kesehatan mental dapat membantu mengelola perasaan dan stres yang terkait dengan perubahan tersebut.
Pertahankan Kesehatan Fisik dan Perawatan Medis:
Menerapkan gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan yang seimbang, tidur yang cukup, dan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dapat mendukung kesehatan fisik dan mental.
Kegiatan Kreatif dan Hobi:
Menjaga minat dan keterlibatan dalam kegiatan kreatif atau hobi dapat memberikan rasa pencapaian dan kepuasan. Ini dapat menjadi sumber kegembiraan dan meningkatkan kualitas hidup.
Manajemen Stres:
Belajar teknik manajemen stres, seperti meditasi, relaksasi, atau yoga, dapat membantu mengurangi tekanan emosional dan meningkatkan ketahanan terhadap stres.
Rutin Sosial dan Kegiatan Rutin:
Menciptakan rutinitas harian dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang rutin dapat memberikan struktur pada hidup dan memberikan sesuatu yang dinanti-nanti setiap hari.
Berkonsultasi dengan Profesional Kesehatan Mental:
Bila ada gejala depresi atau kesulitan emosional lainnya, segera mencari bantuan dari profesional kesehatan mental. Konseling atau terapi dapat membantu individu mengatasi masalah dan menemukan strategi untuk meningkatkan kesejahteraan mental.
Mengobati depresi persisten pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup intervensi medis, terapi psikososial, dan dukungan sosial.
Beberapa strategi umum yang dapat digunakan dalam pengobatan depresi persisten pada lansia:
Terapi Kognitif Perilaku (CBT):
Terapi ini dapat membantu lansia mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang berkontribusi pada depresi. CBT terbukti efektif dalam mengelola depresi pada berbagai kelompok usia.
Terapi Interpersonal (IPT):
Terapi ini fokus pada memahami dan meningkatkan hubungan interpersonal. IPT dapat membantu lansia mengatasi konflik interpersonal, kehilangan orang yang dicintai, atau perubahan dalam hubungan sosial.
Obat-Obatan:
Dokter dapat meresepkan obat antidepresan untuk membantu mengatasi gejala depresi. Pemilihan obat dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu, dan sering kali memerlukan waktu beberapa minggu agar efeknya terlihat.
Terapi Elektrokonvulsif (ECT):
Terapi ini mungkin direkomendasikan dalam kasus depresi yang sangat parah atau ketika respons terhadap obat dan terapi lainnya terbatas. ECT melibatkan pemberian arus listrik pada otak untuk menyebabkan aktivitas listrik yang terkontrol.
Pemantauan Kesehatan Fisik:
Penting untuk memantau kesehatan fisik, termasuk memeriksa apakah ada penyakit fisik yang mendasari atau memperburuk gejala depresi. Pemantauan ini melibatkan kerjasama antara dokter umum dan profesional kesehatan mental.
Dukungan Keluarga dan Sosial:
Dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan sosial dapat memberikan rasa keterlibatan dan memotivasi lansia untuk mengatasi depresi. Terlibat dalam kegiatan sosial juga dapat membantu mengurangi isolasi.
Pemeliharaan Kesehatan Fisik dan Gaya Hidup Sehat:
Memastikan pola makan seimbang, cukup tidur, dan rutin berolahraga dapat membantu meningkatkan kesehatan fisik dan membantu mengelola gejala depresi.
Konseling Spiritual atau Religius:
Bagi beberapa individu, dukungan spiritual atau keberadaan dalam lingkungan keagamaan dapat menjadi sumber kenyamanan dan dukungan.
Setiap individu merespons pengobatan dengan cara yang berbeda. Proses pengobatan mungkin memerlukan waktu, dan penyesuaian mungkin diperlukan dalam perjalanan perawatan. Konsultasikan dengan tim perawatan kesehatan, termasuk dokter dan profesional kesehatan mental, untuk menilai kondisi spesifik dan merancang rencana perawatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.
Sumber:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541052/
https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/dysthymia
https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/persistent-depressive-disorder-dysthymic-disorder