Monday, 18 March 2024

Agitasi terminal, Kejadian Menjelang Akhir Kehidupan pada Lansia.

        Ketika saatnya tiba, berharap orang yang Anda cintai meninggal dengan damai. Sayangnya, prosesnya tidak selalu berjalan mulus dan bertahap. Pada hari-hari atau minggu-minggu terakhir, komplikasi dapat muncul yang mengganggu kesejahteraan orang yang Anda kasihi, membuat mereka gelisah, mengigau, atau bahkan bermusuhan. 

Agitasi adalah istilah yang menggambarkan perilaku cemas, gelisah, dan tidak tenang. Hal ini dapat dikaitkan dengan tekanan emosional, fisik atau spiritual. Agitasi terminal berarti agitasi yang terjadi pada beberapa hari terakhir kehidupan.

Akhir kehidupan akan menimpa semua mahluk hidup.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Agitasi terminal adalah agitasi yang terjadi pada pasien-pasien yang menderita penyakit terminal atau dalam tahap akhir penyakit yang parah. Agitasi terminal sering kali memiliki karakteristik yang lebih intens dan kompleks, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk fisik, psikologis, dan sosial, yang terkait dengan kondisi penyakit yang berat dan mendekati kematian.

Kegelisahan terminal, sering disebut agitasi terminal atau delirium terminal, terjadi pada hari-hari menjelang kematian . Orang mungkin merasa cemas , gelisah, atau menunjukkan tanda-tanda penurunan kognitif.  Pada umumnya terjadi pada beberapa hari terakhir kehidupan. Sekitar 42 persen pasien rumah sakit mengalami kegelisahan selama 48 jam terakhir. Namun lebih banyak lagi gejala yang muncul sebelum itu, yang mungkin tidak mereda hingga kematian

Agitasi bisa menjadi pertanda bahwa seseorang berada di hari-hari terakhir kehidupannya, namun bisa juga terjadi pada tahap awal penyakitnya. Agitasi terminal terjadi pada orang-orang yang penyakitnya sudah stadium lanjut. Agitasi dapat disebabkan oleh pengobatan yang dikonsumsi pasien, kondisinya, atau faktor psikologis. 

Beberapa tanda agitasi terminal pada pasien lansia meliputi:

Gelisah yang meningkat: 
Pasien mungkin menunjukkan tingkat kegelisahan yang tidak biasa atau meningkat secara signifikan.

Peningkatan gelisah pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Perubahan perilaku: 
Mereka dapat menjadi sulit diatur, lebih mudah marah, atau menunjukkan ketidakmampuan untuk tenang.

Gangguan tidur: 
Pasien mungkin mengalami kesulitan tidur atau pola tidur yang terganggu.

Kebingungan atau disorientasi:
Kesulitan dalam mengenali waktu, tempat, atau orang-orang di sekitar mereka.

Ekspresi emosi yang tidak terkendali: 
Reaksi emosional yang tidak proporsional, seperti menangis atau tertawa secara berlebihan.

Rasa sakit yang tidak terkontrol: 
Menunjukkan ketidaknyamanan atau kesulitan dalam mengatasi rasa sakit.

Kesulitan berkomunikasi: 
Mereka mungkin memiliki kesulitan dalam berbicara atau mengungkapkan kebutuhan mereka dengan jelas.

Gerakan yang tidak terkoordinasi: 
Perilaku hiperaktif atau gerakan yang tidak terarah.

Halusinasi atau delusi: 
Menunjukkan tanda-tanda persepsi palsu atau keyakinan yang salah.

Muncul persepsi atau keyakinan yang salah.
(Sumber: foto canva.com)
Penurunan nafsu makan: 
Pasien mungkin kehilangan minat pada makanan atau minuman.

Perilaku repetitif: 
Melakukan gerakan atau tindakan secara berulang-ulang, seperti memetik pakaian atau seprai.

Kesulitan mengekspresikan kebutuhan: 
Mengalami kesulitan dalam menyampaikan apa yang mereka inginkan atau butuhkan.

Pasif atau menghindari kontak mata: 
Menunjukkan penarikan diri atau kurangnya interaksi sosial.

Perubahan tanda-tanda vital: 
Mungkin terjadi peningkatan denyut jantung atau pernapasan yang tidak teratur.

Menurunnya kemampuan fungsional: 
Kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau menunjukkan penurunan kekuatan fisik.

๐Ÿ’ฌAgitasi terminal pada pasien lansia sering merupakan gejala kompleks yang memerlukan pendekatan yang sensitif dan holistik dalam penanganannya.

        Kegelisahan terminal tidak mempunyai penyebab tunggal. Sebaliknya, ada banyak faktor yang menyebabkan pasien mengalami keadaan pikiran yang cemas, gelisah, dan terganggu.  

Beberapa faktor penyebab agitasi terminal pada lansia, antara lain :

Penyakit kronis: 
Penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes, atau penyakit Alzheimer dapat menyebabkan ketidaknyamanan fisik yang dapat berkontribusi pada agitasi.

Gangguan keseimbangan kimia otak: 
Ketidakseimbangan neurotransmiter di otak dapat menyebabkan perubahan mood dan perilaku, termasuk agitasi.

Efek samping obat: 
Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit tertentu dapat menyebabkan efek samping seperti agitasi pada sebagian pasien lansia.

Gangguan tidur: Gangguan tidur, termasuk insomnia atau sleep apnea, dapat menyebabkan kelelahan dan ketidaknyamanan yang dapat memicu agitasi.

Gangguan tidur menyebabkan kelelahan pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Stres atau kecemasan: 
Stres yang berkepanjangan atau kecemasan terkait dengan perubahan hidup, penyakit, atau kematian dapat menyebabkan agitasi pada lansia.

Kerusakan saraf: 
Kerusakan saraf karena penyakit atau trauma dapat mempengaruhi fungsi otak dan menyebabkan gejala agitasi.

Kondisi medis akut: 
Kondisi medis akut seperti infeksi atau cedera fisik dapat memperburuk keadaan kesehatan lansia dan menyebabkan agitasi.

Gejolak Spiritual & Emosional : 
Kematian memaksa orang untuk menghadapi ketakutan, penyesalan, dan ketidakpastian mereka. Mereka mungkin cemas tentang apa yang akan terjadi, khawatir tentang urusan yang belum selesai (misalnya, masalah hubungan, masalah keuangan), atau sekadar belum siap untuk berangkat)

Kesepian atau isolasi sosial: 
Kurangnya interaksi sosial atau dukungan sosial dapat menyebabkan perasaan kesepian yang dapat memicu agitasi.

Ketidaknyamanan fisik: 
Rasa sakit yang tidak terkontrol, sembelit, atau gangguan lainnya dapat menyebabkan ketidaknyamanan fisik yang dapat memperburuk agitasi.

Perubahan lingkungan: 
Perubahan lingkungan yang drastis atau tidak dikenal bagi lansia, seperti pindah ke fasilitas perawatan jangka panjang, dapat memicu kecemasan dan agitasi.

Kehilangan kemampuan fungsional: 
Penurunan kemampuan fisik atau kognitif dapat menyebabkan frustrasi dan perasaan tidak berdaya yang dapat berkontribusi pada agitasi.

Perubahan hormonal: 
Perubahan hormonal yang terkait dengan penuaan atau kondisi medis tertentu dapat mempengaruhi mood dan perilaku.

Gangguan nutrisi: 
Kurangnya asupan nutrisi yang tepat atau dehidrasi dapat mempengaruhi fungsi otak dan menyebabkan gejala agitasi.

Riwayat trauma atau kekerasan: 
Lansia yang memiliki riwayat trauma atau kekerasan fisik atau emosional dapat mengalami agitasi sebagai respons terhadap memori atau pengalaman tersebut.

Kehilangan kemandirian: 
Kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau kehilangan peran sosial yang penting dapat menyebabkan perasaan frustasi dan agitasi.

          ๐Ÿ’–๐Ÿ’–๐Ÿ’– Menghadapi lansia yang mengalami agitasi terminal memerlukan kesabaran, empati, dan pendekatan yang sensitif. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk menghadapi situasi ini:

Tetap tenang dan terkendali: 
Pertahankan sikap tenang dan terkendali di sekitar pasien. Jika Anda terlihat panik atau stres, itu dapat meningkatkan kecemasan dan agitasi mereka.

Berikan dukungan emosional: 
Tunjukkan empati dan perhatian kepada pasien. Berbicaralah dengan lembut dan bersahabat, dan berikan perasaan aman dan nyaman.

Pertahankan lingkungan yang tenang: 
Hindari lingkungan yang bising atau ramai yang dapat meningkatkan agitasi pasien. Pastikan lingkungan sekitar mereka tenang, nyaman, dan bebas dari gangguan.

Pertahankan lingkungan yang tenamg, nyaman dan bebas dari gangguan.
(Sumber: foto canva.com)
Gunakan pendekatan yang terarah: 
Berkomunikasi secara jelas dan sederhana. Gunakan kalimat singkat dan mudah dimengerti, dan tawarkan bantuan dengan lembut.

Berikan distraksi: 
Saat pasien mengalami agitasi, coba berikan distraksi dengan mengajak mereka melakukan aktivitas yang menenangkan atau merangsang pikiran mereka, seperti mendengarkan musik yang tenang atau berbicara tentang kenangan yang menyenangkan.

Gunakan teknik relaksasi: 
Bantu pasien untuk menggunakan teknik relaksasi seperti pernapasan dalam atau meditasi ringan untuk meredakan kecemasan dan agitasi.

Jangan bertarung: 
Hindari konfrontasi atau pertarungan dengan pasien yang mengalami agitasi. Hal ini dapat memperburuk situasi dan meningkatkan stres mereka.

Libatkan keluarga atau caregiver: 
Minta bantuan dari keluarga atau caregiver pasien untuk memberikan dukungan tambahan dan membantu dalam menangani situasi.

Diskusikan dengan tim medis: 
Diskusikan dengan tim medis untuk mengevaluasi penyebab agitasi dan merencanakan intervensi yang sesuai, termasuk pengelolaan obat-obatan atau terapi lainnya.

Prioritaskan keselamatan: 
Pastikan keselamatan pasien dan orang di sekitarnya. Jika perlu, pertimbangkan untuk menyediakan pengawasan atau bantuan tambahan untuk mengurangi risiko cedera.

Perhatikan diri sendiri: 
Ingatlah untuk merawat diri sendiri juga. Menghadapi lansia yang mengalami agitasi terminal dapat menjadi stres, jadi penting untuk menjaga kesehatan mental dan emosional Anda sendiri.

        Menyaksikan orang yang dicintai menderita  kegelisahan seperti ini memang sulit dan perasaan yang mendalam pada keluarga dan sahabat.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan keluarga untuk meringankan sebagian beban tersebut:  

Ciptakan Lingkungan yang Tenang:
  • Kondisi yang berlebihan dapat memperparah kegelisahan yang parah, jadi jagalah ruangan menjadi senyap, kecuali mungkin dengan musik lembut. 
  • Sesuaikan pencahayaan, bayangan yang dalam dapat membingungkan dan menakuti orang. 
  • Batasi juga pengunjung, kelompok besar dapat dengan cepat menjadi kewalahan. 
  • Permadani dan cermin diketahui memicu halusinasi, jadi Anda mungkin harus melepasnya.  
Bicaralah dengan Nada yang Menenangkan: 
  • Yakinkan orang yang Anda kasihi dengan mengulangi kalimat seperti “Kamu aman”, “Semuanya baik-baik saja”, dan “Jangan khawatir. Aku akan tinggal bersamamu.”
  • Jika mereka mengalami halusinasi yang mengganggu, Anda dapat mengatakan, “Sepertinya kamu khawatir” atau “Kedengarannya menakutkan.”   

Pegang Tangan Mereka: 
  • Sentuhan sangat meyakinkan, salah satu cara terbaik untuk menenangkan orang yang Anda sayangi adalah dengan memegang tangannya atau menepuk lengan atau bahunya.
Menjaga Mereka tetap Aman : 
  • Ada bahaya orang yang Anda kasihi bisa terjatuh dari tempat tidur atau melukai dirinya sendiri saat bangun tidur, jadi  tetaplah dekat dan awasi dia dengan cermat. 
  • Terakhir, hubungi tim rumah sakit segera setelah Anda melihat tanda -tanda kegelisahan yang parah. Perawatan dini adalah cara terbaik untuk memastikan kenyamanan dan martabat pasien. 

Setiap situasi dan individu akan berbeda, jadi penting untuk mengadaptasi pendekatan Anda sesuai dengan kebutuhan dan respons pasien. Komunikasi terbuka dengan tim perawatan medis dan keluarga juga penting untuk mendukung pasien dengan agitasi terminal.


 

Sumber:




 






Sunday, 17 March 2024

5 Kriteria Kelemahan Fisik pada Lansia

              Phenotype kelemahan fisik merujuk pada karakteristik fisik tertentu yang menunjukkan adanya penurunan atau kelemahan dalam fungsi fisik seseorang, terutama pada lansia atau individu yang rentan. Istilah "phenotype" sendiri mengacu pada sifat-sifat fisik yang dapat diamati atau diukur pada organisme, dalam hal ini, manusia. 

Phenotype kelemahan lansia merujuk pada 5 kriteria.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Status kelemahan dinilai menggunakan Phenotype Kelemahan Fisik, yang mencakup lima kriteria berikut: penyusutan, kelelahan, aktivitas fisik rendah, kelemahan otot, dan gaya berjalan lambat. 

Fenotipe kelemahan ditentukan oleh adanya tiga dari lima gambaran klinis tersebut, dan telah diterapkan secara luas dalam berbagai penelitian dan konteks klinis, termasuk di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah. 

Phenotype kelemahan fisik mencakup berbagai tanda dan gejala yang menunjukkan penurunan dalam kemampuan fisik seseorang.

Berikut Phenotype kelemahan fisik yang mencakup lima kriteria pada lansia:

Penyusutan (Atrofi) Otot: 
Penurunan massa otot atau atrofi otot adalah salah satu ciri khas dari kelemahan fisik. Ini terjadi ketika otot-otot mengalami penyusutan atau penurunan ukuran karena kurangnya penggunaan, penurunan aktivitas fisik, atau proses penuaan.

Kelelahan (Fatigue): 
Kelelahan yang berlebihan atau kelelahan yang terjadi lebih cepat dari biasanya bisa menjadi tanda kelemahan fisik. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan daya tahan fisik, penurunan kualitas tidur, atau gangguan sistem metabolisme.

Aktivitas Fisik Rendah: 
Kurangnya aktivitas fisik atau gaya hidup yang kurang aktif seringkali merupakan karakteristik phenotype kelemahan fisik. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor termasuk penurunan motivasi, keterbatasan mobilitas, atau kondisi kesehatan yang membatasi aktivitas.

Kelemahan Otot: 
Penurunan kekuatan otot atau kelemahan otot adalah salah satu ciri khas dari kelemahan fisik. Hal ini dapat diamati dalam berbagai tes fisik seperti tes kekuatan cengkeraman tangan atau tes kekuatan tungkai.

Penurunan kelemahan otot adalah salah satu ciri khas kelemahan fisik/
(Sumber: foto canva.com)
Gaya Berjalan Lambat: 
Gaya berjalan yang lambat atau pergerakan yang terbatas dalam berjalan bisa menjadi tanda kelemahan fisik. Hal ini bisa disebabkan oleh penurunan kekuatan otot, penurunan keseimbangan, atau penurunan koordinasi gerakan. 

       Phenotype kelemahan fisik penting untuk dikenali karena dapat memberikan petunjuk tentang status kesehatan seseorang, membantu dalam perencanaan perawatan yang tepat, dan mendorong intervensi yang sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan fisik mereka.

Berikut penjelasan tentang cara melakukan pengukuran status kelemahan yang mencakup lima kriteria :

Penyusutan (Atrophy):
  • Pengukuran penyusutan otot bisa dilakukan dengan menggunakan tes kekuatan otot. Tes ini biasanya melibatkan penggunaan alat seperti dinamometer atau menggunakan teknik manual untuk mengukur kekuatan cengkeraman tangan atau kekuatan otot lainnya.
  • Pemeriksaan fisik juga dapat memberikan petunjuk tentang adanya penyusutan otot, seperti penurunan massa otot atau penurunan volume otot di area tertentu.
Kelelahan (Fatigue):
  • Evaluasi kelelahan fisik dapat melibatkan penggunaan skala penilaian kelelahan seperti Visual Analog Scale (VAS) atau skala Borg.
  • Wawancara dengan pasien untuk menentukan tingkat kelelahan yang dialami selama atau setelah melakukan aktivitas fisik tertentu juga merupakan cara untuk mengukur kelelahan fisik.
Aktivitas Fisik Rendah (Low Physical Activity):
  • Pengukuran aktivitas fisik dapat dilakukan dengan menggunakan alat monitor aktivitas seperti pedometer atau tracker kebugaran.
  • Penilaian diri atau wawancara dengan pasien mengenai tingkat aktivitas fisik mereka sehari-hari juga dapat memberikan informasi yang berguna.

Kelemahan Otot (Muscle Weakness):
  • Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan dengan tes kekuatan fisik yang melibatkan gerakan tertentu yang menuntut kekuatan otot, seperti tes angkat beban atau tes leg press.
  • Pemeriksaan fisik oleh dokter atau terapis fisik juga dapat memberikan gambaran tentang kelemahan otot melalui evaluasi kekuatan dan fungsi otot tertentu.

Gaya Berjalan Lambat (Slow Gait):
  • Pengukuran gaya berjalan lambat dapat dilakukan dengan menggunakan alat seperti treadmill dengan perangkat pemantau gerakan atau kamera gerak.
  • Observasi visual oleh profesional kesehatan atau menggunakan alat bantu berjalan seperti alat berjalan dengan sensor gerakan dapat membantu dalam mengevaluasi gaya berjalan seseorang.
Pengukuran gaya berjalan lambat dengan treadmill.
(Sumber: foto canva.com)
Setelah melakukan pengukuran untuk masing-masing kriteria, hasilnya dapat dianalisis secara holistik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status kelemahan fisik seseorang. 

Beberapa manfaat mengetahui phenotype kelemahan fisik pada lansia, antara lain:

Pengembangan Program Intervensi yang Tepat: 
Dengan memahami kelemahan fisik yang spesifik pada lansia, para profesional kesehatan dapat merancang program intervensi yang sesuai. Ini bisa mencakup program latihan fisik untuk meningkatkan kekuatan otot, keseimbangan, dan fleksibilitas, serta strategi lainnya untuk mengatasi masalah kelemahan fisik.

Pencegahan Cedera dan Kejadian Tidak Diinginkan: 
Kelemahan fisik dapat meningkatkan risiko jatuh dan cedera pada lansia. Dengan mengetahui phenotype kelemahan fisik, langkah-langkah pencegahan dapat diambil, seperti modifikasi lingkungan untuk meningkatkan keselamatan, pemberian bantuan dengan alat bantu berjalan, atau program latihan khusus untuk meningkatkan keseimbangan.

Meningkatkan Kualitas Hidup: 
Dengan mengidentifikasi dan mengatasi kelemahan fisik, lansia dapat meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Ini termasuk kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih mandiri dan mengurangi risiko ketergantungan pada orang lain.

Menyediakan Perawatan yang Tepat dan Personalisasi: 
Dengan memahami kelemahan fisik yang spesifik, perawatan dan dukungan dapat dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Ini dapat mencakup pengaturan terapi fisik yang tepat, penyesuaian obat-obatan, atau rekomendasi gaya hidup yang sehat.

Mendukung Proses Perencanaan Perawatan Jangka Panjang: 
Informasi tentang phenotype kelemahan fisik dapat membantu dalam perencanaan perawatan jangka panjang untuk lansia, termasuk rencana perawatan kesehatan, perawatan jangka panjang, atau perencanaan keuangan yang mempertimbangkan biaya perawatan yang mungkin dibutuhkan.

       Mencegah phenotype kelemahan fisik pada lansia melibatkan serangkaian langkah dan praktik yang dapat membantu mempertahankan atau meningkatkan kesehatan fisik mereka. 

Beberapa cara untuk mencegah kelemahan fisik pada lansia:

Aktivitas Fisik Teratur: 
Melakukan latihan fisik secara teratur sangat penting untuk menjaga kekuatan otot, keseimbangan, dan fleksibilitas. Latihan aerobik, latihan kekuatan, dan latihan keseimbangan dapat membantu mencegah penurunan fisik yang terkait dengan usia.

Asupan Nutrisi yang Seimbang: 
Memastikan asupan nutrisi yang memadai, termasuk vitamin dan mineral penting seperti vitamin D, kalsium, magnesium, potassium, vitamin B12, dan folat, dapat membantu mencegah berbagai kelemahan fisik yang terkait dengan kekurangan nutrisi.

Lansia mengkonsumsi nutrisi yang memadai termasuk vitamin dan mineral.
(Sumber: foto canva.com)
Pemantauan Kesehatan secara Rutin: 
Mengunjungi profesional kesehatan secara teratur untuk pemeriksaan kesehatan dan penilaian risiko kesehatan tertentu dapat membantu mengidentifikasi masalah kesehatan sejak dini dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang sesuai.

Pengelolaan Stres dan Kesejahteraan Mental: 
Merawat kesehatan mental sangat penting untuk mencegah kelemahan fisik pada lansia. Praktik relaksasi, meditasi, dan interaksi sosial yang positif dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental.

Penghindaran Faktor Risiko Tambahan: 
Menghindari kebiasaan yang merugikan kesehatan seperti merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, dan pola makan yang tidak sehat dapat membantu mencegah kelemahan fisik pada lansia.

Penggunaan Alat Bantu dan Modifikasi Lingkungan:
Memastikan lingkungan di sekitar rumah aman dan mudah diakses bagi lansia, serta menggunakan alat bantu seperti tongkat atau walker jika diperlukan, dapat membantu mencegah cedera dan meningkatkan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.

Edukasi dan Kesadaran akan Kesehatan: 
Penting untuk terus memperbarui pengetahuan tentang kesehatan dan melakukan tindakan preventif yang sesuai dengan kondisi spesifik lansia. Pendidikan kesehatan dan kampanye kesadaran dapat membantu meningkatkan pemahaman dan motivasi untuk menerapkan praktik kesehatan yang lebih baik.

Dengan memahami phenotype kelemahan fisik pada lansia, kita dapat lebih efektif dalam mencegah dan  memberikan perawatan yang komprehensif, meningkatkan kualitas hidup, dan mempromosikan kesehatan dan kemandirian mereka saat menua.

 


Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7317407/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8637378/

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1525861020306587

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8107119/#:~:text=Frailty%20was%20assessed%20by%20the,www.nhats.org).


Saturday, 16 March 2024

Hati-hati, Penyalagunaan Obat Resep pada lansia.

        Obat resep dokter adalah obat-obatan yang hanya dapat diperoleh dengan resep yang diberikan oleh seorang dokter atau profesional kesehatan yang berkualifikasi. Penggunaan obat resep memerlukan pertimbangan yang lebih mendalam karena obat-obatan tersebut seringkali memiliki potensi efek samping yang lebih besar atau harus digunakan dengan pengawasan medis yang ketat.

Istilah medis untuk obat resep adalah "prescription medication" atau "prescription drugs", mengacu pada obat-obatan yang hanya bisa diperoleh dengan resep dari dokter atau profesional kesehatan yang berlisensi.

Obat resep biasanya digunakan untuk pengobatan kondisi medis yang lebih serius, kronis, atau kompleks, yang memerlukan diagnosis yang tepat dan pengawasan medis yang cermat. Dokter akan menentukan jenis obat yang tepat, dosis yang sesuai, dan durasi pengobatan berdasarkan kondisi kesehatan individu pasien.

Lansia harus hati-hati menggunakan obat resep yang dijual bebas.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Penggunaan obat resep juga dapat memerlukan pemantauan rutin oleh dokter untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan, mengelola efek samping, dan melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa penggunaan obat resep dilakukan dengan aman dan efektif untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal.

Penyalahgunaan obat resep adalah ketika orang menyalahgunakan obat resep. Mereka mungkin menyalahgunakan obatnya sendiri dengan cara yang tidak diinstruksikan oleh dokter. Hal ini termasuk meminum obat lebih banyak dari yang mereka perlukan atau meminumnya saat mereka tidak membutuhkannya. Atau mereka mungkin menyalahgunakan resep yang ditujukan untuk orang lain. Penyalahgunaan obat resep juga bisa terjadi ketika orang mencampurkan obat dengan alkohol atau obat lain.

Membeli obat resep tanpa resep dokter adalah tindakan yang tidak disarankan dan berpotensi berbahaya. Meskipun Anda mungkin merasa bahwa penyakitnya sama dengan penyakit sebelumnya yang pernah Anda alami atau dengan penyakit orang lain, setiap individu memiliki kondisi kesehatan yang unik dan mungkin memiliki respons yang berbeda terhadap obat-obatan tertentu.

Beberapa alasan mengapa membeli  obat resep tanpa resep dokter tidak disarankan:

Kondisi yang Tidak Terdiagnosis dengan Benar: 
Tanpa evaluasi dan diagnosis yang tepat dari seorang profesional kesehatan, Anda tidak dapat memastikan bahwa obat yang Anda beli sesuai dengan kondisi kesehatan Anda.

Potensi Efek Samping dan Interaksi Obat: 
Obat resep sering kali memiliki efek samping yang signifikan dan berpotensi berinteraksi dengan obat lain atau kondisi kesehatan yang Anda miliki. Tanpa pengawasan medis yang tepat, risiko efek samping dan interaksi obat dapat meningkat.

Pemilihan Obat yang Tepat: 
Seorang dokter memilih obat berdasarkan kondisi kesehatan individu pasien, riwayat medis, dan faktor-faktor lainnya. Tanpa resep dokter, Anda mungkin memilih obat yang tidak tepat atau tidak cocok untuk kondisi kesehatan Anda.

Ketidakpastian Dosis dan Penggunaan yang Tepat: 
Dosis dan cara penggunaan obat harus sesuai dengan petunjuk dokter yang disesuaikan dengan kondisi kesehatan individu. Tanpa resep dokter, Anda mungkin tidak memiliki informasi yang cukup untuk menggunakan obat dengan benar.

Dosis dan penggunaan obat harus sesuai dengan petunjuk dokter.
(Sumber: foto canva.com)
Tidak Ada Pengawasan Medis: 
Penggunaan obat resep tanpa resep dokter berarti Anda kehilangan pengawasan medis yang penting untuk memastikan bahwa pengobatan Anda efektif dan aman.

Jika Anda mengalami gejala kesehatan yang membuat Anda merasa perlu mendapatkan pengobatan, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan terlebih dahulu. Mereka akan melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap kondisi kesehatan Anda dan memberikan resep obat jika dianggap perlu.

        Beberapa jenis obat resep dapat dianggap berpotensi lebih berbahaya atau berisiko bagi lansia karena beberapa faktor, termasuk kemungkinan efek samping yang lebih besar atau interaksi obat yang lebih kompleks dengan kondisi kesehatan yang umum pada lansia. 

Beberapa contoh obat resep yang dianggap berbahaya atau berisiko bagi lansia meliputi:

Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAIDs) dalam Dosis Tinggi: 
NSAIDs seperti ibuprofen atau naproxen dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung atau masalah ginjal pada lansia, terutama jika digunakan dalam dosis tinggi atau dalam jangka waktu yang lama.

Benzodiazepin: 
Obat-obatan seperti diazepam atau lorazepam yang digunakan sebagai obat penenang atau tidur dapat meningkatkan risiko kebingungan, kantuk berlebihan, atau penurunan kognitif pada lansia.

Antihistamin dengan Efek Antikolinergik: 
Beberapa antihistamin yang memiliki efek antikolinergik, seperti diphenhydramine, dapat menyebabkan kebingungan, gangguan kognitif, atau retensi urin pada lansia.

Antidepresan Trisiklik: 
Antidepresan trisiklik seperti amitriptyline atau nortriptyline seringkali memiliki efek samping yang lebih besar pada lansia, termasuk risiko kebingungan, penurunan tekanan darah, atau masalah jantung.

Antipsikotik Tidak Atipikal: 
Beberapa antipsikotik konvensional seperti haloperidol atau chlorpromazine dapat meningkatkan risiko efek samping serius pada lansia, termasuk risiko stroke atau peningkatan risiko kematian.

Opioid: 
Opioid seperti oxycodone atau morphine sering kali memiliki risiko efek samping yang lebih besar pada lansia, termasuk risiko kebingungan, penurunan respirasi, atau risiko jatuh.

Antikolinergik: 
Obat-obatan yang memiliki efek antikolinergik seperti oxybutynin (untuk inkontinensia urin) atau diphenhydramine (antihistamin) dapat meningkatkan risiko kebingungan, delirium, atau retensi urin pada lansia.

Beberapa obat resep memiliki efek dan risiko berbeda untuk setiap individu.
(Sumber: foto canva.com)
Efek samping dan risiko berbeda-beda untuk setiap individu dan tergantung pada faktor-faktor seperti kondisi kesehatan yang ada, dosis obat, dan interaksi dengan obat lain. Sebelum menggunakan atau menghentikan penggunaan obat resep, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter atau profesional kesehatan untuk evaluasi yang tepat dan rekomendasi pengobatan yang sesuai.

Beberapa tanda peringatan bahwa seseorang mungkin menyalahgunakan obat resep. Jika mereka:
  • Dapatkan resep obat yang sama dari dua dokter berbeda
  • Isi resep obat yang sama di dua apotek berbeda
  • Minum obat lebih banyak dari biasanya atau minum lebih banyak dari yang diinstruksikan pada label
  • Minum obat pada waktu yang berbeda atau lebih sering dari yang tertera pada label
  • Menjadi lebih menarik diri atau marah
  • Tampak bingung atau pelupa
  • Sering membicarakan suatu obat
  • Takut pergi ke suatu tempat tanpa minum obat
  • Bersikap defensif ketika Anda bertanya tentang obat
  • Buatlah alasan mengapa mereka membutuhkan obat
  • Simpan pil “ekstra” di dompet atau sakunya
  • Menyelinap atau menyembunyikan obat
  • Pernah dirawat karena penyalahgunaan alkohol, obat-obatan terlarang, atau obat resep di masa lalu
Lansia karena ketidaktahuannya dapat menyalahgunakan obat resep.
(Sumber: foto canva.com)
Jika Anda curiga ada orang lanjut usia yang menyalahgunakan obat resep, segera hubungi dokternya. Beritahu mereka tentang kekhawatiran Anda. Dokter kemungkinan besar akan membuat janji untuk mengevaluasi orang tersebut. Mereka dapat mendiagnosis apakah masalahnya adalah penyalahgunaan obat resep. Dokter juga akan membantu menentukan pengobatan.





Sumber: