Tuesday, 25 June 2024

Realitas Pahit: Bagaimana Hoax Mengancam Kesejahteraan Lansia

        Berita hoax adalah informasi atau berita palsu yang disebarkan dengan maksud untuk menipu atau memanipulasi pendapat publik. Hoax sering kali dibuat dengan tujuan tertentu, seperti mempengaruhi opini politik, menciptakan ketakutan, atau mendapatkan keuntungan finansial.

Beberapa karakteristik umum dari berita hoax:

Informasi Tidak Benar: Berita hoax sering kali berisi informasi yang tidak berdasar atau dibuat-buat secara sengaja tanpa bukti atau fakta yang valid.
Lansia yang kritis selalu memverifikasi berita.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Tujuan Manipulasi: Hoax dapat dibuat untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan kebencian, atau menciptakan ketakutan yang tidak berdasar.

Sensasional: Hoax sering kali memiliki judul atau klaim yang sensasional dan menarik perhatian, yang dirancang untuk menyebar dengan cepat di media sosial atau platform online lainnya.

Sumber yang Tidak Jelas atau Tidak Terpercaya: Seringkali, berita hoax berasal dari sumber yang tidak jelas atau tidak terpercaya, seperti situs web palsu, akun media sosial palsu, atau orang yang tidak berwenang.

Membuat Konflik atau Kecemasan: Hoax dapat menyebabkan kepanikan, konflik sosial, atau kekhawatiran yang tidak perlu di masyarakat.

Kurangnya Verifikasi: Hoax jarang memiliki verifikasi atau validasi informasi dari sumber yang dapat dipercaya.

Dalam era digital saat ini, berita hoax dapat dengan mudah menyebar luas dan memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat.
       
       Kelompok lansia dari generasi baby boomers mungkin lebih rentan terhadap berita atau gambar hoax karena beberapa alasan berikut:

Kesenjangan Digital:
Baby boomers tumbuh di era sebelum internet dan teknologi digital menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka mungkin tidak memiliki keterampilan digital yang sama dengan generasi yang lebih muda, yang membuat mereka lebih sulit untuk membedakan antara informasi yang sah dan hoax di internet.

Kurangnya Pendidikan Media Digital:
Banyak baby boomers tidak menerima pendidikan formal tentang literasi media digital, sehingga mereka mungkin kurang terlatih dalam mengenali tanda-tanda berita palsu atau manipulasi gambar. Generasi yang lebih muda cenderung lebih terlatih dalam menilai kredibilitas sumber informasi secara kritis.

Kepercayaan yang Tinggi pada Sumber Tradisional:
Generasi baby boomers tumbuh dalam lingkungan di mana media tradisional seperti surat kabar, radio, dan televisi umumnya dianggap dapat dipercaya. Ketika mereka mengakses informasi dari internet atau media sosial, mereka mungkin cenderung memberikan tingkat kepercayaan yang sama tanpa menyadari bahwa sumber tersebut bisa tidak dapat diandalkan.

Algoritma Media Sosial:
Media sosial menggunakan algoritma yang sering menampilkan konten yang sejalan dengan keyakinan dan minat pengguna. Hal ini bisa membuat baby boomers terjebak dalam "filter bubble" atau "echo chamber," di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan mereka, termasuk hoax.
Lansia yang teliti tidak mudah dimanipulasi.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Isolasi Sosial dan Emosional:
Lansia, termasuk baby boomers, mungkin mengalami isolasi sosial lebih besar dibandingkan generasi muda. Rasa kesepian dan kebutuhan akan koneksi sosial bisa membuat mereka lebih rentan terhadap konten yang emosional atau sensasional, termasuk hoax, karena konten tersebut sering kali dirancang untuk menarik perhatian dan emosi.

Keinginan untuk Menyebarkan Informasi:
Lansia mungkin memiliki dorongan untuk berbagi informasi yang mereka anggap penting atau bermanfaat kepada keluarga dan teman. Tanpa keterampilan verifikasi yang memadai, mereka bisa dengan mudah menyebarkan hoax yang mereka anggap benar.

Teknik Manipulasi Hoax:
Pembuat hoax sering kali menggunakan teknik yang sangat efektif dalam manipulasi psikologis, seperti memainkan emosi (ketakutan, kemarahan, simpati), menggunakan gambar yang mencolok, atau membuat klaim yang luar biasa. Baby boomers, seperti orang lain, bisa terpengaruh oleh teknik-teknik ini, terutama jika mereka tidak waspada terhadapnya.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya peningkatan literasi media digital di kalangan lansia, termasuk pendidikan tentang cara memverifikasi informasi dan mengenali tanda-tanda hoax. Program-program komunitas, dukungan dari keluarga, dan panduan yang jelas dapat membantu lansia mengembangkan keterampilan kritis yang diperlukan untuk bernavigasi di dunia digital dengan lebih aman dan efektif.

Lansia yang terpapar berita hoax mungkin menunjukkan beberapa ciri :

Sering Membagikan Informasi yang Tidak Terverifikasi:
Mereka mungkin sering membagikan artikel, gambar, atau video yang belum diverifikasi kebenarannya, terutama melalui media sosial atau pesan grup.

Keyakinan Kuat pada Informasi Sensasional:
Lansia yang terpapar hoax cenderung memiliki keyakinan yang kuat terhadap informasi yang sensasional atau luar biasa, meskipun tidak memiliki dasar fakta yang kuat.

Reaksi Emosional yang Kuat:
Mereka mungkin menunjukkan reaksi emosional yang kuat terhadap berita tertentu, seperti ketakutan, kemarahan, atau kecemasan, yang sering kali merupakan tujuan dari berita hoax.

Keengganan untuk Menerima Klarifikasi:
Mereka mungkin menunjukkan keengganan untuk menerima klarifikasi atau bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka, sering kali karena berita hoax sudah menguatkan bias atau pandangan mereka.

Penggunaan Sumber Informasi yang Tidak Terpercaya:
Lansia yang terpapar hoax sering kali merujuk pada sumber informasi yang tidak dapat dipercaya atau tidak dikenal, dan kurang memiliki kebiasaan untuk memeriksa kredibilitas sumber tersebut.

Menyebarkan Informasi Melalui Pesan Berantai:
Mereka mungkin sering menyebarkan informasi melalui pesan berantai di platform seperti WhatsApp atau email, yang merupakan saluran umum bagi penyebaran hoax.

Kurangnya Skeptisisme:
Mereka mungkin menunjukkan kurangnya skeptisisme terhadap informasi yang mereka terima, terutama jika informasi tersebut datang dari teman, keluarga, atau kelompok sosial yang mereka percayai.

Menolak Sumber Informasi Mainstream:
Lansia yang terpapar hoax mungkin menunjukkan ketidakpercayaan terhadap sumber informasi mainstream seperti media arus utama, pemerintah, atau institusi resmi.

Kecenderungan untuk Mempercayai Teori Konspirasi:
Mereka mungkin lebih cenderung mempercayai teori konspirasi yang sering kali merupakan bagian dari berita hoax, dan dapat menyebarkan teori-teori tersebut sebagai kebenaran.

Perubahan Perilaku atau Pandangan yang Mendadak:
Mereka mungkin menunjukkan perubahan pandangan atau perilaku yang mendadak dan ekstrem yang tidak sesuai dengan kepribadian atau pemikiran mereka sebelumnya.

Beberapa Dampak kesehatan bagi lansia yang terpapar berita hoax bisa sangat beragam dan serius :

Kesehatan Mental:
  • Ketakutan dan Kecemasan: Berita hoax yang menyebarkan informasi menakutkan atau memicu kecemasan bisa menyebabkan stres berlebihan pada lansia.
  • Depresi: Konten yang negatif atau membingungkan dari berita hoax dapat mempengaruhi suasana hati dan menyebabkan depresi.
  • Ketidakpastian dan Kebingungan: Lansia mungkin kesulitan memilah informasi yang valid dari hoax, yang dapat meningkatkan rasa ketidakpastian dan kebingungan mereka.
Kesehatan Fisik:
  • Gangguan Tidur: Stres dan kecemasan yang diinduksi oleh berita hoax dapat mengganggu pola tidur lansia.
  • Penurunan Kesehatan Umum: Stres kronis yang disebabkan oleh ketakutan akan berita hoax dapat berkontribusi terhadap penurunan kesehatan fisik secara keseluruhan.
Hubungan Sosial:
  • Isolasi Sosial: Kecenderungan untuk percaya pada berita hoax tertentu bisa membuat lansia merasa terisolasi atau terasing dari kelompok sosialnya.
  • Konflik Interpersonal: Percaya pada hoax tertentu dapat menyebabkan konflik dalam hubungan dengan teman, keluarga, atau anggota komunitas lainnya.
Kesehatan Kognitif:
  • Peningkatan Risiko Penurunan Kognitif: Pengalaman stres yang berlebihan atau kecemasan terkait berita hoax dapat berkontribusi pada penurunan kesehatan kognitif, meskipun tidak langsung terkait, namun dapat dalam beberapa tahun menjadi sebuahMasalah
       Menghindari paparan berita hoax pada lansia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. 

Beberapa langkah  menghindari berita hoax :

1. Edukasi Literasi Digital

Pelatihan dan Workshop:
  • Mengadakan pelatihan atau workshop yang fokus pada literasi digital dan cara memverifikasi informasi. Bisa dilakukan oleh komunitas, organisasi non-profit, atau instansi pemerintah.
Sumber Daya Online:
  • Membuat dan menyebarkan panduan sederhana tentang cara mengenali berita hoax, yang mencakup tips seperti memeriksa URL, mencari sumber asli, dan waspada terhadap judul sensasional.
2. Dukungan dari Keluarga

Komunikasi Terbuka:
  • Anggota keluarga dapat berperan aktif dengan berbicara secara terbuka tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Menyediakan waktu untuk berdiskusi dan menjawab pertanyaan mereka mengenai informasi yang mereka temukan.
Membantu Verifikasi:
  • Membantu lansia dalam memverifikasi berita dengan menunjukkan cara menggunakan situs pengecek fakta seperti Snopes, Hoax-Slayer, atau Turn Back Hoax.
3. Penggunaan Teknologi yang Aman

Instalasi Aplikasi yang Terpercaya:
  • Mengatur perangkat digital lansia untuk menggunakan aplikasi berita dari sumber yang tepercaya dan mengurangi akses ke situs yang tidak terpercaya.
Pengaturan Privasi:
  • Mengatur pengaturan privasi di media sosial untuk membatasi paparan terhadap iklan dan konten yang tidak tepercaya.
4. Membangun Kesadaran Kritis

Ajarkan Skeptisisme Sehat:
  • Mengajarkan mereka untuk selalu skeptis terhadap informasi yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan atau sangat negatif, dan mengajarkan pentingnya mencari beberapa sumber informasi yang tepercaya.
Latih Mengenali Pola Hoax:
  • Ajarkan mereka mengenali pola umum dalam hoax seperti judul yang sensasional, klaim tanpa sumber, dan penggunaan gambar atau video yang mengharukan.
5. Peran Media dan Komunitas

Program Radio atau TV Edukasi:
  • Program radio atau TV khusus untuk lansia yang membahas literasi digital dan cara mengenali berita hoax.
Komunitas Dukungan:
  • Membentuk kelompok komunitas yang dapat berdiskusi dan saling membantu memverifikasi informasi.
6. Aplikasi dan Alat Verifikasi

Penggunaan Aplikasi Pengecek Fakta:
  • Mengajarkan dan membantu mereka menggunakan aplikasi atau ekstensi browser yang dapat membantu memverifikasi fakta, seperti NewsGuard atau Factmata.
7. Kampanye Kesadaran

Kampanye Publik:
  • Kampanye kesadaran publik yang luas mengenai bahaya berita hoax dan pentingnya verifikasi, yang ditargetkan untuk lansia melalui media yang mereka akses secara rutin.
Material Edukatif:
  • Menyediakan material edukatif seperti brosur atau video pendek yang dapat dibagikan di pusat-pusat komunitas lansia, rumah ibadah, atau fasilitas kesehatan.
Dengan pendekatan yang beragam dan terus-menerus, lansia dapat dibekali dengan pengetahuan dan alat yang diperlukan untuk menghindari berita hoax dan menjadi konsumen informasi yang lebih kritis.





Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7505057/

https://news.ufl.edu/2022/05/aging-adults-fake-news/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10956171/

https://www.abc.net.au/news/science/2019-01-25/older-people-share-more-social-media-fake-news-2016-election/10746348

https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1309&context=hubsasia






Monday, 24 June 2024

Menemukan Kedamaian di Masa Tua: Mengelola Ruminasi dan Stres

          Pikiran berulang telah didefinisikan sebagai “proses berpikir dengan penuh perhatian, berulang-ulang atau sering tentang diri sendiri dan dunianya”. Sifat konstruktifnya dibahas dalam kaitannya dengan peningkatan persiapan adaptif, perencanaan antisipatif, dan lain-lain. Di antara pemikiran yang berulang-ulang, gaya merenung yang bercirikan isi depresi (depressive rumination) dipandang sangat tidak konstruktif dan maladaptif.

Ruminasi adalah proses berpikir yang berulang dan tidak produktif tentang peristiwa negatif, kesalahan, atau kekhawatiran. Pada lansia, ruminasi dapat menjadi masalah serius karena sering kali terkait dengan perasaan penyesalan, kesedihan, dan kecemasan mengenai masa lalu atau masa depan. 

Ruminasi pada lansia dapat menganggu kesehatan mental.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Ruminasi merupakan faktor risiko terjadinya depresi baik pada populasi umum maupun pada orang dewasa yang lebih tua. Hal ini terkait dengan mengalami keadaan suasana hati negatif yang lebih sering, lebih intens, dan lebih lama. Selain itu, ruminasi lebih mungkin terjadi dalam konteks masalah medis dan kognitif.

Pengertian Ruminasi pada Lansia

Proses Berpikir Berulang: Lansia yang mengalami ruminasi cenderung terus-menerus memikirkan hal-hal negatif atau stres yang telah terjadi, tanpa menemukan solusi atau penyelesaian. Pikiran ini berputar-putar dalam benak mereka dan sulit untuk dihilangkan.

Fokus pada Masa Lalu: Ruminasi pada lansia sering kali berkaitan dengan refleksi masa lalu, termasuk penyesalan atas keputusan-keputusan yang diambil, kesempatan yang terlewatkan, atau kesalahan yang dibuat.

Dampak Emosional: Proses berpikir yang berulang ini dapat memperburuk kondisi emosional, menyebabkan perasaan sedih, putus asa, dan tidak berdaya. Ini juga dapat memperparah gejala depresi dan kecemasan.

Pengaruh terhadap Kesehatan Mental: Ruminasi yang berlebihan dapat mengganggu fungsi kognitif, tidur, dan kesejahteraan umum. Lansia yang terus-menerus merenungkan hal-hal negatif mungkin mengalami penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.

Faktor Penyebab Ruminasi pada Lansia

Perubahan Hidup: Peristiwa besar seperti pensiun, kehilangan pasangan, atau perubahan kesehatan dapat memicu ruminasi.

Kesepian dan Isolasi: Lansia yang merasa kesepian atau terisolasi mungkin lebih cenderung merenungkan hal-hal negatif.

Depresi dan Kecemasan: Kondisi kesehatan mental ini seringkali terkait dengan ruminasi.
Kehilangan dan Duka: Mengalami kehilangan orang yang dicintai atau teman dekat dapat menyebabkan ruminasi yang mendalam tentang masa lalu dan perasaan bersalah.

Beberapa Ciri Ruminasi pada Lansia:

Berpikir Berulang-ulang: Lansia yang mengalami ruminasi cenderung merenungkan peristiwa masa lalu secara berulang-ulang, sering kali tanpa hasil yang positif.

Fokus pada Negatif: Pikiran-pikiran ini biasanya negatif, seperti penyesalan, kesalahan, atau kekhawatiran yang tidak terselesaikan.

Kesulitan Mengalihkan Pikiran: Mereka mungkin merasa sulit untuk mengalihkan perhatian dari pikiran-pikiran ini dan terus-menerus kembali kepada mereka.

Pengaruh Emosional: Ruminasi dapat menyebabkan perasaan sedih, cemas, atau marah yang mendalam dan berkepanjangan.

Penurunan Kualitas Hidup: Terus-menerus merenungkan pikiran negatif dapat mengganggu tidur, menurunkan energi, dan mengurangi keterlibatan dalam aktivitas yang menyenangkan.

Dampak Ruminasi pada Lansia:

Depresi: Ruminasi dapat memperburuk gejala depresi atau bahkan menjadi faktor yang memicu depresi pada lansia.

Kecemasan: Lansia yang sering meruminasi mungkin mengalami peningkatan tingkat kecemasan, terutama jika mereka terus-menerus memikirkan skenario buruk atau kekhawatiran masa depan.

Penurunan Kesehatan Fisik: Stres emosional yang dihasilkan dari ruminasi dapat mempengaruhi kesehatan fisik, seperti meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

Isolasi Sosial: Lansia yang terlalu fokus pada pikiran negatif mungkin menarik diri dari interaksi sosial, yang dapat menyebabkan isolasi sosial dan memperburuk kondisi mental mereka.

Beberapa Penanganan Ruminasi pada Lansia:

Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): CBT adalah pendekatan efektif yang membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif, menggantinya dengan pola pikir yang lebih positif dan konstruktif.

Terapi Berbasis Penerimaan dan Komitmen (ACT): ACT membantu individu menerima pikiran dan perasaan mereka tanpa berusaha mengubahnya, dan kemudian berkomitmen pada tindakan yang selaras dengan nilai-nilai mereka.

Mindfulness dan Meditasi: Teknik mindfulness membantu lansia menjadi lebih sadar akan pikiran mereka tanpa terpaku pada mereka, yang dapat mengurangi ruminasi.

Aktivitas Fisik: Olahraga dan aktivitas fisik dapat membantu mengalihkan perhatian dari pikiran negatif dan meningkatkan suasana hati.

Aktivitas fisik dan olahraga dapat mengeliminasi ruminasi.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Dukungan Sosial: Mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu mengurangi perasaan isolasi dan memberikan perspektif yang berbeda.

Hobi dan Kegiatan Positif: Mengikuti hobi atau kegiatan yang menyenangkan dapat membantu mengalihkan perhatian dari pikiran negatif dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Dengan pendekatan yang tepat, lansia dapat belajar mengelola ruminasi mereka, mengurangi dampak negatifnya, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.






Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5549128/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3303571/

https://academic.oup.com/innovateage/article/5/4/igab034/6363823

https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-981-287-082-7_255

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/psyg.12965


Thursday, 20 June 2024

Keseimbangan Tanpa Batas: Latihan untuk Lansia yang Lebih Mandiri

        Penelitian telah menunjukkan peran penting latihan keseimbangan dalam kualitas hidup orang lanjut usia. Misalnya, sebuah penelitian pada tahun 2016 menemukan bahwa orang lanjut usia yang memulai program latihan keseimbangan secara teratur meningkatkan kemampuan mereka untuk bergerak tanpa bantuan.

Latihan keseimbangan pada lansia adalah serangkaian aktivitas fisik yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam mempertahankan stabilitas dan postur baik saat berdiri, bergerak, atau melakukan aktivitas sehari-hari. Latihan ini bertujuan untuk mengurangi risiko jatuh, meningkatkan koordinasi, dan memperkuat otot-otot yang mendukung keseimbangan.

Melatih keseimbangan penting untuk lansia.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
Manfaat Latihan Keseimbangan untuk Lansia

Mengurangi Risiko Jatuh: 
Jatuh adalah salah satu penyebab utama cedera pada lansia. Latihan keseimbangan dapat membantu mengurangi risiko ini dengan meningkatkan stabilitas dan kemampuan tubuh dalam menjaga postur.

Meningkatkan Mobilitas: 
Dengan keseimbangan yang lebih baik, lansia dapat bergerak lebih mudah dan dengan lebih percaya diri, yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian.

Meningkatkan Kekuatan Otot: 
Latihan keseimbangan sering melibatkan otot inti, kaki, dan punggung, yang semuanya penting untuk stabilitas dan kekuatan tubuh secara keseluruhan.

Meningkatkan Koordinasi dan Proprioception: 
Latihan ini membantu meningkatkan koordinasi antara otot dan sistem saraf, serta kesadaran posisi tubuh di ruang (proprioception).

Contoh Latihan Keseimbangan untuk Lansia

Berdiri dengan Satu Kaki: Cobalah berdiri dengan satu kaki selama beberapa detik, kemudian ganti kaki. Ini bisa dilakukan sambil berpegangan pada kursi atau meja untuk dukungan.

Berjalan di Garis Lurus: Berjalan di atas garis lurus imajiner atau nyata, seperti tepi karpet, untuk meningkatkan keseimbangan dan koordinasi.

Latihan Transfer Berat Badan: Berdiri dengan kaki selebar bahu, pindahkan berat badan dari satu kaki ke kaki lainnya secara perlahan.

Latihan Heel-to-Toe Walk: Berjalan dengan meletakkan tumit satu kaki tepat di depan jari kaki-kaki lainnya, seperti berjalan di atas garis ketat.

Latihan Duduk ke Berdiri: Berdiri dari posisi duduk di kursi tanpa menggunakan tangan, kemudian duduk kembali perlahan. Ulangi beberapa kali.

Latihan duduk ke berdiri juga menjaga keseimbangan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
Latihan Mengangkat Tumit dan Jari Kaki: Berdiri di belakang kursi untuk dukungan, angkat tumit hingga berdiri di atas jari kaki, tahan beberapa detik, kemudian turunkan dan angkat jari kaki sambil berdiri di atas tumit.

Tai Chi: Gerakan lembut dan perlahan dari Tai Chi sangat efektif untuk meningkatkan keseimbangan dan fleksibilitas.

Beberapa kiat untuk Latihan Keseimbangan yang Aman

Mulai Perlahan: Mulai dengan latihan yang sederhana dan tingkatkan kesulitannya secara bertahap seiring dengan peningkatan kemampuan keseimbangan.

Gunakan Dukungan: Selalu gunakan dukungan seperti dinding, kursi, atau pegangan saat melakukan latihan, terutama pada tahap awal.

Kenakan Sepatu yang Tepat: Gunakan sepatu yang nyaman dan memberikan dukungan yang baik.

Lakukan di Lingkungan Aman: Pastikan lingkungan bebas dari benda yang dapat menyebabkan tersandung atau jatuh.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan: Sebelum memulai program latihan baru, sebaiknya konsultasi dengan dokter atau fisioterapis untuk memastikan latihan tersebut aman dan sesuai dengan kondisi kesehatan individu.

Dengan rutin melakukan latihan keseimbangan, lansia dapat meningkatkan kemampuan tubuh dalam menjaga stabilitas, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian mereka.


Sumber: