Monday, 28 August 2023

Gangguan Makan Pada Lansia, Dampak Serius Kesehatan

        Orang sering mengasosiasikan gangguan makan dengan remaja atau orang yang lebih muda. Dengan terjadinya peningkatan populasi lansia yang berjuang melawan gangguan makan. Menunjukkan gangguan makan tidak membeda-bedakan dan mutlak bisa terjadi pada siapa saja tidak peduli berapa usianya, apa jenis kelaminnya, atau apa rasnya.

Gangguan makan (eating disorders) adalah kondisi mental yang ditandai oleh pola makan yang tidak sehat, obsesi terhadap berat badan atau bentuk tubuh, serta perasaan yang mendalam terkait makanan dan tubuh. Gangguan makan dapat memiliki dampak serius pada kesehatan fisik dan emosional seseorang. 

Gangguan makan bisa terjadi kepada siapa saja tidak peduli
 berapa usianya, apa jenis kelaminnya, atau apa rasnya.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Gangguan makan adalah ketika Anda mempunyai sikap tidak sehat terhadap makanan yang dapat mengambil alih hidup Anda dan membuat Anda sakit.

Beberapa jenis gangguan makan yang umum meliputi:

🍕 Anoreksia Nervosa: 

Orang dengan anoreksia nervosa memiliki ketakutan berlebihan terhadap penambahan berat badan, sehingga mereka cenderung mengurangi asupan makanan secara drastis, bahkan hingga mengabaikan rasa lapar. Ini dapat menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan dan masalah kesehatan serius.

Anoreksia nervosa ketakutan terhadap penambahan berat badan
(Sumber: foto canva.com)

🍕 Bulimia Nervosa:

Penderita bulimia nervosa cenderung mengalami episode makan berlebihan yang diikuti oleh perilaku kompensasi, seperti memuntahkan makanan atau mengonsumsi laksatif dengan tujuan menghindari penambahan berat badan. Siklus ini dapat memiliki dampak negatif pada keseimbangan elektrolit dan fungsi organ dalam tubuh.

🍕 Gangguan Makan yang Berlebihan (Binge Eating Disorder): 

Orang dengan gangguan ini mengalami episode makan berlebihan tanpa tindakan kompensasi yang terkait dengan bulimia. Mereka merasa kehilangan kendali atas asupan makanan selama episode ini dan sering merasa bersalah atau malu setelahnya.

🍕 Orthorexia Nervosa: 

Meskipun belum diakui sebagai gangguan makan secara resmi oleh manual diagnostik, orthorexia melibatkan obsesi yang berlebihan terhadap makanan yang dianggap sehat. Orang dengan orthorexia bisa sangat ketat dalam mengendalikan jenis makanan yang mereka konsumsi.

🍕 Pica: 

Ini melibatkan konsumsi bahan-bahan yang tidak biasa atau tidak memiliki nilai gizi, seperti tanah liat, kertas, rambut, atau benda-benda lain yang tidak dapat dicerna.

       Gangguan makan tidak hanya mempengaruhi fisik seseorang, tetapi juga dapat merusak kesehatan mental. Faktor-faktor seperti tekanan budaya untuk memiliki tubuh yang "sempurna", trauma masa lalu, tekanan emosional, dan faktor genetik dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan makan.

Gangguan makan dapat mempengaruhi individu dari berbagai kelompok usia, termasuk lansia. Namun, gejala dan ciri-ciri gangguan makan pada lansia mungkin dapat sedikit berbeda dari pada kelompok usia yang lebih muda. 

Beberapa ciri yang mungkin menunjukkan adanya gangguan makan pada lansia meliputi:

😂 Perubahan Berat Badan Drastis:

Lansia dengan gangguan makan mungkin mengalami penurunan berat badan yang signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Penurunan berat badan yang tidak diinginkan dapat menjadi tanda peringatan.

Penurunan berat badan drastis merupakan gangguan
makan pada lansia. (Sumber: foto canva.com)

😂 Perubahan Pola Makan:

Lansia dengan gangguan makan mungkin mengubah pola makan mereka secara mendadak. Ini bisa mencakup menghindari jenis makanan tertentu, mengurangi porsi makan, atau bahkan menghindari makanan secara keseluruhan.

😂 Peningkatan Kecemasan Terkait Makanan dan Tubuh:

Lansia dengan gangguan makan mungkin sangat cemas terkait makanan dan berat badan. Mereka mungkin memiliki obsesi terhadap bentuk tubuh mereka dan merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka.

😂 Isolasi Sosial:

Gangguan makan dapat menyebabkan isolasi sosial. Lansia yang mengalami gangguan makan mungkin cenderung menghindari makanan di acara sosial atau berkumpul dengan teman dan keluarga selama makan.

😂 Kehilangan Energi dan Kelemahan:

Gangguan makan dapat menyebabkan penurunan energi dan kelemahan fisik. Lansia dengan gangguan makan mungkin merasa lemah dan tidak bertenaga.

😂 Gangguan Psikologis Tambahan:

Gangguan makan pada lansia dapat dikaitkan dengan masalah kesehatan mental tambahan, seperti depresi, kecemasan, atau isolasi emosional.

😂 Gangguan Fungsi Tubuh: 

Gangguan makan dapat memengaruhi fungsi tubuh, termasuk keseimbangan elektrolit dan kesehatan jantung. Lansia yang mengalami gangguan makan mungkin memiliki masalah kesehatan yang terkait dengan gangguan tersebut.

       Gejala-gejala ini tidak selalu mengindikasikan gangguan makan, dan beberapa perubahan dalam pola makan dan berat badan dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain pada lansia, seperti perubahan metabolisme yang terkait dengan penuaan. 

Penyebab gangguan makan pada lansia bisa sangat kompleks dan bervariasi. Seperti halnya pada kelompok usia lainnya, gangguan makan pada lansia dapat disebabkan oleh kombinasi faktor genetik, lingkungan, psikologis, dan sosial. 

Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam penyebab gangguan makan pada lansia meliputi:

💩 Perubahan Fisik dan Fisiologis:

Lansia sering mengalami perubahan fisik yang berhubungan dengan penuaan, seperti penurunan massa otot, penurunan laju metabolisme, dan perubahan hormonal. Perubahan ini dapat mempengaruhi nafsu makan dan persepsi tubuh, yang pada gilirannya dapat memicu gangguan makan.

💩 Masalah Kesehatan Kronis: 

Lansia sering mengalami masalah kesehatan kronis, seperti penyakit jantung, diabetes, atau gangguan pencernaan. Pengelolaan makanan yang terkait dengan kondisi ini dapat mempengaruhi pola makan dan memicu gangguan makan.

Kesehatan kronis mempengaruhi pola makan
(Sumber: foto canva,com)

💩 Isolasi Sosial: 

Lansia yang merasa terisolasi atau kesepian dapat mengalami stres emosional yang signifikan. Beberapa orang mungkin mengembangkan gangguan makan sebagai cara untuk mengatasi emosi negatif atau sebagai bentuk pengendalian dalam situasi yang tidak terkendali.

💩 Ketidakpuasan dengan Penampilan Fisik: 

Perubahan penampilan fisik yang terkait dengan penuaan bisa menyebabkan ketidakpuasan dengan tubuh dan penampilan. Ini dapat mendorong perilaku yang berhubungan dengan gangguan makan.

💩 Stigma Terkait Makanan dan Berat Badan: 

Stigma sosial terkait makanan, berat badan, dan penuaan bisa mempengaruhi persepsi diri dan hubungan seseorang dengan makanan. Lansia mungkin merasa tekanan untuk mematuhi standar tertentu yang tidak realistis.

💩 Trauma dan Pengalaman Masa Lalu:

Pengalaman traumatis atau pengalaman masa lalu yang sulit dapat memicu gangguan makan pada lansia sebagai bentuk koping yang tidak sehat.

💩 Gangguan Mental Lainnya:

Lansia yang mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan citra tubuh memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan makan.

💩 Perubahan Gaya Hidup dan Kehilangan Kontrol:

Perubahan besar dalam gaya hidup, seperti pensiun, kehilangan pasangan, atau kehilangan otonomi, dapat memicu perasaan kehilangan kontrol yang mendorong perilaku makan yang tidak sehat.

       Mengobati gangguan makan pada lansia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi, melibatkan tim medis, dukungan psikologis, dan perubahan gaya hidup. 

Beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengobati gangguan makan pada lansia:

👳 Konsultasi Medis: 

Langkah pertama adalah berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis profesional. Mereka dapat mengevaluasi kondisi fisik dan kesehatan umum lansia serta memberikan panduan tentang perawatan yang diperlukan.

👳 Evaluasi Psikologis: 

Terapi kognitif dan perilaku (CBT) atau terapi lainnya dapat membantu menilai faktor psikologis yang mendorong gangguan makan. Terapis yang berpengalaman dalam mengobati gangguan makan dapat membantu lansia mengatasi kecemasan, depresi, atau trauma yang mungkin berperan dalam gangguan makan.

👳 Nutrisi dan Diet:

Lansia dengan gangguan makan mungkin memerlukan bantuan seorang ahli gizi yang berpengalaman untuk mengembangkan rencana makan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kesehatan mereka. Mereka juga dapat memberikan edukasi tentang manfaat makanan yang tepat.

👳 Dukungan Keluarga dan Sosial:

Dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat memiliki peran penting dalam proses pemulihan. Lansia perlu merasa didukung, didengar, dan diberdayakan dalam mengatasi gangguan makan.

Dukungan keluarga dan teman mengatasi gangguan makan.
(Sumber: foto canva.com)

👳 Terapi Kelompok: 

Terapi kelompok dapat membantu lansia merasa lebih terhubung dengan individu lain yang mengalami masalah serupa. Ini dapat memberikan dukungan sosial dan lingkungan aman untuk berbicara tentang pengalaman mereka.

👳 Pengelolaan Stres dan Koping:

Pelajari strategi untuk mengatasi stres dan emosi yang mungkin memicu perilaku makan yang tidak sehat. Teknik relaksasi, meditasi, dan olahraga ringan dapat membantu mengelola stres.

👳 Pemantauan Medis:

Lansia dengan gangguan makan mungkin memerlukan pemantauan medis reguler untuk memastikan bahwa kesehatan fisik mereka tetap terjaga dan tidak ada komplikasi yang berkembang.

👳 Obat-obatan: 

Beberapa lansia dengan gangguan makan mungkin memerlukan obat-obatan untuk mengatasi gejala seperti kecemasan atau depresi yang mungkin menyertai gangguan makan.

👳 Pengelolaan Gaya Hidup:

Mengatasi gangguan makan juga dapat melibatkan perubahan gaya hidup yang sehat. Ini mungkin termasuk rutinitas tidur yang baik, olahraga yang seimbang, dan menjaga hubungan sosial yang positif.

👳 Pemantauan Jangka Panjang: 

Pemulihan dari gangguan makan pada lansia adalah proses jangka panjang. Penting untuk tetap melanjutkan dukungan medis dan psikologis bahkan setelah gejala mereda, guna mencegah kambuhnya gangguan makan.

       Setiap individu memiliki kebutuhan yang unik, jadi rencana perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi kesehatan lansia tersebut. Penting untuk bekerja sama dengan tim medis dan profesional kesehatan mental yang berpengalaman dalam merawat gangguan makan pada lansia.



Sumber:

https://www.trustedcare.co.uk/help-and-advice/eating-disorders-older-people

https://nedc.com.au/eating-disorder-resources/find-resources/show/issue-60-i-eating-disorders-in-aged-care/

https://www.webmd.com/mental-health/eating-disorders/news/20230302/older-women-and-eating-disorders

https://aging.com/best-online-therapy/disordered-eating-and-older-adults/

Sunday, 27 August 2023

Perilaku Meremehkan, Menghancurkan Hubungan Pada Lansia.

          Meremehkan ( belittle) dapat dengan mudah diduga dari dua kata yang terdiri dari, “menjadi” dan “kecil”.  Dengan kata lain, meremehkan adalah bahasa atau perilaku yang secara harfiah membuat seseorang merasa kecil, tidak penting, rendah diri, atau diremehkan. 

Meskipun mudah untuk memahami apa yang dimaksud dengan meremehkan, lebih sulit untuk mengidentifikasinya sebagai taktik pelecehan verbal dan emosional  karena tidak seperti berteriak dan membentak, meremehkan biasanya terjadi secara pribadi dan menjadi pola pelecehan seiring berjalannya waktu. 

Meremehkan adalah tindakan yang tidak pantas dan tidak menghormati. Tidak ada alasan atau manfaat yang baik dalam meremehkan orang lain. Ini hanya menciptakan ketidaknyamanan, kebingungan, dan kerusakan hubungan. 

Kolaborasi dapat terwujud bila saling menghargai
dan tidak meremehkan. (Sumber: foto forum warga 09/09)

Beberapa hal mengapa meremehkan adalah perilaku yang sebaiknya dihindari:

📛 Kurang Menghormati: 

Meremehkan mencerminkan kurangnya rasa hormat terhadap orang lain. Setiap individu pantas dihormati, bahkan jika Anda tidak setuju dengan mereka.

📛 Membuat Orang Tidak Nyaman: 

Ketika Anda meremehkan seseorang, Anda bisa membuat mereka merasa tidak nyaman, malu, atau kecil. Ini bisa berdampak buruk pada kesejahteraan mental dan emosional mereka.

Meremehkan orang membuat orang jadi tidak nyaman
(Sumber: foto canva.com)

📛 Mengganggu Hubungan:

Meremehkan bisa merusak hubungan baik dalam lingkungan pribadi maupun profesional. Ini menciptakan jarak dan kesenjangan antara individu, sulit untuk membangun hubungan yang sehat.

📛 Tidak Membantu Masalah: 

Meremehkan tidak pernah membantu dalam menyelesaikan masalah. Justru, itu hanya memperburuk situasi dengan menambahkan konflik dan ketegangan.

📛 Menghalangi Pertumbuhan Pribadi: 

Ketika Anda meremehkan seseorang, Anda menghalangi mereka untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka. Lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembelajaran jauh lebih produktif.

📛 Tidak Mencerminkan Kematangan Emosional:

Meremehkan adalah tanda kurangnya kematangan emosional. Mengatasi perbedaan dengan cara yang konstruktif adalah tanda kematangan dan kedewasaan.

📛 Pengaruh Negatif Terhadap Citra Diri:

Jika Anda merasa perlu meremehkan orang lain untuk merasa baik tentang diri sendiri, ini menunjukkan kurangnya kepercayaan diri yang sebenarnya.

📛 Bisa Kembali Kepada Anda: 

Sikap meremehkan bisa memantul kembali kepada Anda. Orang lain mungkin juga akan meremehkan Anda sebagai respons atas perilaku Anda.

📛 Menghambat Kolaborasi: 

Kolaborasi yang efektif memerlukan saling pengertian dan keterbukaan. Meremehkan hanya menghalangi kemampuan untuk bekerja bersama dengan produktif.

Meremehkan hanya menghalangi kerjasama
(Sumber: canva.com)

📛 Tidak Etis dan Tidak Sopan: 

Di atas segalanya, meremehkan adalah perilaku yang tidak etis dan tidak sopan. Ini tidak sesuai dengan standar kesopanan dan rasa hormat dalam interaksi sosial.

       Meremehkan orang lain, dampaknya bisa merugikan baik bagi orang yang melakukannya maupun bagi orang yang menjadi sasaran. Penting untuk berusaha membangun hubungan yang positif dan penghargaan terhadap nilai-nilai dan martabat setiap individu, tanpa harus merasa lebih baik atau lebih rendah daripada orang lain.

Lansia, seperti kelompok usia lainnya, juga dapat menunjukkan perilaku meremehkan terhadap orang lain. Ini dapat muncul dari berbagai faktor, termasuk perasaan ketidakamanan, perubahan dalam kehidupan, dan perasaan tidak puas dengan diri sendiri. 

Beberapa ciri Lansia meremehkan Orang Lain:

💪 Sikap Superioritas:

Lansia yang meremehkan mungkin menunjukkan sikap superioritas, merasa bahwa mereka lebih baik atau lebih penting daripada orang lain.

Lansia meremehkan menunjukkan sikap superior
(Sumber: foto canva.com)

💪 Pembandingan Negatif:

Mereka cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain dengan hasil yang merugikan orang lain.

💪 Sikap Tidak Menghargai: 

Lansia yang meremehkan mungkin tidak menghargai kontribusi atau usaha orang lain.

💪 Tidak Mau Memberikan Pengakuan:

Mereka mungkin enggan memberikan pengakuan atau pujian kepada orang lain, bahkan ketika itu pantas.

💪 Kurangnya Empati: 

Kurangnya empati terhadap perasaan dan pengalaman orang lain bisa menjadi tanda perilaku meremehkan.

💪 Sikap Menghinakan Prestasi Orang Lain:

Mereka mungkin menghindari mengakui prestasi atau keberhasilan orang lain dan bahkan mencoba merendahkan pencapaian tersebut.

💪 Mengabaikan Kontribusi Orang Lain: 

Lansia yang meremehkan mungkin mengabaikan atau tidak memperhatikan kontribusi atau usaha yang dilakukan oleh orang lain.

       💬 Mengembangkan empati, berkomunikasi dengan baik, dan bekerja pada pemahaman tentang nilai-nilai dan martabat individu dapat membantu dalam menciptakan hubungan yang lebih sehat dan positif. 

Lansia yang meremehkan  orang lain dapat mengalami berbagai kerugian, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi hubungan sosial mereka. 

Beberapa kerugian akibat perilaku meremehkan orang lain pada lansia:

👇 Kerugian Bagi Lansia Sendiri:

👉 Kesejahteraan Mental yang Buruk: 

Perilaku meremehkan orang lain dapat menyebabkan perasaan bersalah, stres, kecemasan, dan depresi pada lansia.

👉 Pemisahan Sosial: 

Perilaku negatif terhadap orang lain dapat membuat lansia dihindari oleh teman, keluarga, atau komunitas, menyebabkan isolasi sosial.

Isolasi sosial terjadi bila meremehkan orang lain
(Sumber: foto canva.com)

👉 Harga Diri Menurun: 

Melakukan perilaku meremehkan dapat merusak harga diri lansia dan mengurangi rasa kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup mereka.

👉 Perasaan Kesepian: 

Sikap meremehkan orang lain bisa menyebabkan lansia merasa kesepian karena mereka tidak mampu menjaga hubungan sosial yang sehat.

👇 Kerugian Bagi Hubungan dan Masyarakat:

👉 Kerusakan Hubungan:

Perilaku meremehkan dapat merusak hubungan sosial, termasuk hubungan dengan teman, keluarga, dan anggota masyarakat.

👉 Pembentukan Prasangka Negatif:

Perilaku negatif dapat memicu pembentukan prasangka negatif di kalangan teman, keluarga, atau komunitas, yang berdampak pada cara mereka memandang lansia tersebut.

👉 Ketidakstabilan Komunitas: 

Sikap meremehkan dapat mengganggu harmoni dalam kelompok atau komunitas, memicu konflik interpersonal dan mengurangi dukungan sosial.

👉 Penurunan Kualitas Hidup: 

Lingkungan yang didominasi oleh sikap meremehkan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup lansia dan masyarakat secara keseluruhan

       Menghilangkan perilaku meremehkan pada lansia memerlukan kesadaran, usaha, dan komitmen untuk mengubah sikap dan perilaku yang tidak sehat tersebut. 

Beberapa langkah yang dapat membantu lansia mengatasi perilaku meremehkan :

😊 Kenali Perilaku dan Motivasi: 

Pertama-tama, lansia perlu mengenali perilaku meremehkan pada diri mereka sendiri. Cobalah memahami alasan di balik perilaku ini, seperti perasaan ketidakamanan, perubahan hidup, atau emosi negatif lainnya.

😊 Kembangkan Kesadaran Diri: 

Lansia bisa bekerja pada pengembangan kesadaran diri tentang bagaimana perilaku mereka memengaruhi diri sendiri dan orang lain. Ini bisa melibatkan refleksi, jurnal, atau berbicara dengan orang-orang terpercaya.

😊 Ganti Pola Pikir Negatif: 

Lansia perlu mengidentifikasi dan mengganti pola pikir negatif yang mendorong perilaku meremehkan. Cobalah fokus pada aspek positif dari diri sendiri dan orang lain.

Lansia harus mengganti pola berpikir negatif menjadi
pola positif agar tidak meremehkan orang lain.
(Sumber: foto canva.com)

😊 Latih Empati: 

Latih kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Ini akan membantu lansia lebih memahami perasaan dan pengalaman orang lain, dan mengurangi kecenderungan meremehkan.

😊 Jaga Komunikasi Positif:

Hindari penggunaan kata-kata atau nada yang meremehkan saat berbicara dengan orang lain. Cobalah untuk menggunakan komunikasi yang penuh penghargaan dan pengertian.

😊 Berbicara Terbuka:

Jika ada masalah atau ketidakpuasan yang mendasari perilaku meremehkan, lansia sebaiknya berbicara terbuka dengan orang yang terkena dampak atau seseorang yang dapat memberikan dukungan dan saran.

😊 Pentingkan Pendidikan dan Pemahaman: 

Lansia bisa mencari informasi lebih lanjut tentang perbedaan, nilai-nilai individu, dan dampak perilaku meremehkan  . Pendidikan dan pemahaman dapat membantu merobah sikap.

😊 Berlatih Penghargaan:

Lansia bisa berlatih memberikan penghargaan dan pujian kepada orang lain. Mengakui pencapaian dan usaha orang lain dapat membangun hubungan yang positif.

😊 Cari Dukungan: 

Lansia dapat mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional kesehatan mental. Mereka dapat memberikan perspektif dan dukungan yang diperlukan dalam mengubah perilaku.

😊 Konsisten dan Sabar: 

Mengubah perilaku tidak terjadi dalam semalam. Lansia perlu bersabar dan konsisten dalam upaya mereka untuk menghilangkan perilaku meremehkan.

       Menghilangkan perilaku meremehkan memerlukan komitmen yang kuat dan usaha yang berkelanjutan. Perubahan ini akan memerlukan waktu, tetapi upaya yang dilakukan dapat berdampak positif pada kesejahteraan lansia dan hubungan sosial mereka.





Sumber:

https://homesweethomeihc.com/belittling-aging-parents-without-knowing/

https://seniorsrights.org.au/resources/elder-abuse-toolkit/signs-of-elder-abuse/

https://www.heavenathomecare.com/ageism-endearing-terms-nurturing-belittling-older-people/

https://www.nytimes.com/2008/10/07/us/07aging.html

https://www.mass.gov/service-details/types-and-signs-of-elder-abuse

Saturday, 26 August 2023

Rinitis Alergi Mirip Flu, Lansia Harus Tahu, Ini Bedanya

       Di daerah beriklim sedang, flu menjadi epidemi musiman yang terjadi terutama pada musim dingin, sedangkan di daerah tropis, flu dapat terjadi sepanjang tahun sehingga menyebabkan wabah lebih tidak teratur. Kebanyakan orang sembuh dari demam dan gejala lainnya dalam waktu seminggu tanpa memerlukan pengobatan. 

Bila mengalami bersin-bersin, hidung berair, dan tenggorokan gatal, kebanyakan orang mengira bahwa itu adalah gejala flu. Gejala tersebut bisa juga terjadi karena kondisi kesehatan lainnya, seperti rinitis alergi.

Perbedaan Flu dan Rinitis Alergi:

👉 Flu atau influenza merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus influenza yang dapat menyerang hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Kondisi ini sangat umum terjadi di musim pancaroba.

👉 Rinitis alergi ( Allergic Rhinitis) adalah kondisi peradangan pada selaput lendir hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi terhadap bahan-bahan tertentu, seperti serbuk sari, tungau debu, bulu hewan, atau spora jamur. 

Rinitis alergi kondisi peradangan disebabkan
oleh reaksi alergi terhadap bahan-bahan tertentu.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Rinitis alergi bisa dibagi menjadi dua, yaitu rinitis alergi musiman dan perenial (menetap). Rinitis alergi musiman paling sering dipicu oleh alergen di luar ruangan, seperti serbuk sari dan jamur. Sedangkan rinitis alergi perenial sering dipicu oleh alergen dalam ruangan. Contohnya seperti tungau debu, jamur dan bulu binatang.

Rinitis alergi bisa dipicu oleh bahan-bahan, seperti:
bulu hewan, jamur dan tungau debu. (Sumber: foto canva.com)

Meskipun rinitis alergi lebih umum terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, namun lansia juga dapat terkena kondisi ini. 

Beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa lansia rentan terkena rinitis alergi adalah sebagai berikut:

🔎 Penurunan Sistem Kekebalan Tubuh: 

Seiring bertambahnya usia, sistem kekebalan tubuh cenderung mengalami penurunan. Ini dapat membuat lansia lebih rentan terhadap infeksi dan reaksi alergi, termasuk rinitis alergi.

🔎 Perubahan Fisiologis: 

Lansia sering mengalami perubahan dalam struktur dan fungsi organ tubuh, termasuk hidung dan saluran pernapasan. Perubahan ini dapat mempengaruhi bagaimana tubuh merespons alergen dan menyebabkan gejala rinitis alergi.

🔎 Akomodasi Lingkungan: 

Lansia cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan, terutama dalam kondisi yang tidak selalu terkontrol dengan baik, seperti akumulasi debu, spora jamur, dan bahan alergen lainnya. Ini dapat meningkatkan risiko terpapar alergen yang memicu reaksi rinitis.

Rinitis alergi dapat ditimbulkan oleh bulu hewan
(Sumber: foto canva.com)

🔎 Akumulasi Paparan Alergen: 

Seiring bertambahnya usia, kemungkinan seseorang terpapar alergen secara berulang dari lingkungan juga meningkat. Akumulasi paparan ini dapat menyebabkan perkembangan reaksi alergi pada lansia yang pada awalnya mungkin tidak terlihat.

🔎 Penyakit Penyerta (Komorbiditas): 

Lansia sering memiliki kondisi medis lain, seperti penyakit jantung, diabetes, atau tekanan darah tinggi. Beberapa kondisi ini dapat mempengaruhi respons imun tubuh dan meningkatkan risiko reaksi alergi.

🔎 Penggunaan Obat-obatan: 

Beberapa obat yang sering digunakan oleh lansia, seperti antihistamin, dekongestan, atau kortikosteroid, dapat mempengaruhi respons alergi tubuh. Penggunaan obat-obatan ini juga dapat memiliki dampak pada gejala rinitis alergi.

       Rinitis alergi pada lansia memiliki ciri-ciri yang serupa dengan rinitis alergi pada kelompok usia lainnya. Namun, perlu diingat bahwa gejala dan intensitasnya dapat bervariasi antara individu.

Beberapa ciri umum yang dapat mengindikasikan bahwa seorang lansia mungkin mengalami rinitis alergi:

💦 Hidung Tersumbat atau Berair: 

Lansia dengan rinitis alergi mungkin mengalami hidung tersumbat atau berair secara kronis. Hidung yang berair bisa menyebabkan rinore (mengalirnya lendir dari hidung) yang berkelanjutan.

💦 Bersin-bersin: 

Lansia yang mengalami rinitis alergi sering kali bersin-bersin secara berulang. Bersin ini mungkin lebih sering terjadi saat terpapar alergen atau dalam situasi tertentu.

Bersin - bersin karena terpapar alergen (Sumber: foto canva.com)

💦 Gatal pada Hidung, Tenggorokan, atau Mata:

Rasa gatal di sekitar hidung, tenggorokan, dan mata dapat menjadi gejala yang mengganggu pada lansia dengan rinitis alergi.

💦 Batuk dan Pilek: 

Batuk dan pilek ringan hingga sedang juga bisa menjadi gejala rinitis alergi pada lansia. Pilek ini umumnya tidak diakibatkan oleh infeksi virus atau bakteri.

💦 Wajah dan Kepala: 

Beberapa lansia dengan rinitis alergi mungkin merasa tidak nyaman di wajah dan kepala karena adanya tekanan atau sakit pada daerah hidung dan sinus.

💦 Gangguan Tidur: 

Gejala rinitis alergi, seperti hidung tersumbat atau bersin-bersin yang terjadi terutama pada malam hari, bisa mengganggu tidur lansia.

💦 Penglihatan Kabur: 

Pada beberapa kasus, iritasi mata yang disebabkan oleh rinitis alergi dapat menyebabkan penglihatan kabur atau gangguan penglihatan sementara.

💦 Perburukan Kondisi Penyakit Lain: 

Pada lansia dengan penyakit seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), rinitis alergi bisa memperburuk gejala pernapasan dan mempengaruhi kualitas hidup.

       💭 Penyebab rinitis alergi pada lansia sama seperti pada kelompok usia lainnya. Rinitis alergi pada lansia disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap bahan-bahan alergen tertentu. 

Beberapa penyebab umum rinitis alergi pada lansia meliputi:

🌷 Serbuk Sari: 

Serbuk sari dari berbagai jenis tanaman seperti rumput, pohon, dan tanaman lainnya dapat menjadi pemicu rinitis alergi pada lansia. Serbuk sari tersebar di udara dan dapat dihirup, memicu reaksi alergi.

Serbuk sari menjadi pemicu rinitis alergi (Sumber: foto canva.com)

🌷 Tungau Debu: 

Tungau debu rumah adalah alergen umum yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada semua kelompok usia, termasuk lansia. Tungau debu hidup di tempat-tempat yang lembab dan berdebu di dalam rumah.

🌷 Bulu Hewan:

Bulu hewan peliharaan seperti kucing dan anjing mengandung protein alergen yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada lansia yang sensitif.

🌷 Spora Jamur: 

Spora jamur yang terdapat di dalam dan di luar ruangan dapat menjadi pemicu rinitis alergi pada lansia yang rentan.

🌷 Bahan Kimia dan Polusi:

Paparan bahan kimia tertentu dan polusi udara juga dapat memicu reaksi alergi pada lansia yang lebih rentan.

🌷 Pollen: 

Selain serbuk sari, pollen dari bunga dan tanaman lainnya juga dapat menyebabkan rinitis alergi pada lansia, terutama jika lansia berada di lingkungan yang kaya akan vegetasi.

🌷 Perubahan Lingkungan:

Lansia yang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan yang tidak terkontrol dengan baik, terutama jika terdapat debu, spora jamur, atau alergen lainnya, memiliki risiko lebih tinggi terkena rinitis alergi.

🌷 Penurunan Kekebalan Tubuh:

Penurunan kekebalan tubuh yang sering terjadi pada usia lanjut dapat membuat lansia lebih rentan terhadap reaksi alergi terhadap alergen.

🌷 Riwayat Keluarga: 

Jika ada riwayat keluarga dengan riwayat alergi, risiko mengembangkan rinitis alergi pada lansia bisa lebih tinggi.

       💭 Mencegah rinitis alergi pada lansia melibatkan langkah-langkah untuk mengurangi paparan terhadap alergen yang dapat memicu reaksi alergi. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mencegah rinitis alergi pada lansia:

📦 Pantau Kondisi Lingkungan: 

Pastikan lingkungan tempat tinggal lansia bersih dan teratur. Bersihkan debu secara teratur, cuci sprei dan bantal secara berkala, dan menjaga kebersihan ruangan.

Lingkungan tempat tinggal bersih dari debu.
(Sumber: foto canva.com)

📦 Kendalikan Alergen di Rumah: 

Gunakan penutup anti-alergi untuk kasur dan bantal, vakum dengan penyaring udara HEPA (High Efficiency Particulate Air), dan pertimbangkan menggunakan pengering udara atau dehumidifier untuk mengurangi kelembaban dan pertumbuhan tungau debu.

📦 Batasi Kontak dengan Hewan Peliharaan: 

Jika lansia memiliki alergi terhadap bulu hewan, hindari kontak langsung dengan hewan peliharaan. Rutinlah mencuci tangan setelah berinteraksi dengan hewan peliharaan.

📦 Kendalikan Serbuk Sari: 

Pada musim serbuk sari tinggi, lansia sebaiknya menghindari aktivitas di luar ruangan selama waktu-waktu di mana serbuk sari berada pada tingkat tertinggi.

📦 Jaga Kebersihan Hidung: 

Membersihkan hidung dengan larutan garam fisiologis atau semprotan hidung isotonis dapat membantu menghilangkan alergen dan mengurangi gejala.

📦 Gunakan Filter Udara:

Gunakan purifier udara dengan penyaring udara HEPA untuk membersihkan udara dalam ruangan dari alergen dan partikel-partikel kecil.

📦 Hindari Parfum dan Aroma Kuat: 

Beberapa parfum dan produk aroma kuat dapat memicu iritasi hidung dan mata. Hindari penggunaan produk-produk ini jika lansia rentan terhadap reaksi alergi.

📦 Penggunaan Obat:

Jika lansia sudah memiliki riwayat rinitis alergi atau alergi lainnya, konsultasikan dengan dokter mengenai penggunaan obat antialergi yang sesuai, seperti antihistamin atau dekongestan.

📦 Polusi Udara:

Hindari tempat-tempat yang memiliki polusi udara tinggi, karena partikel-partikel polutan dapat memicu atau memperburuk gejala rinitis alergi.

📦 Makanan:

Beberapa makanan tertentu dapat memicu reaksi alergi atau intoleransi pada sebagian orang. Jika ada gejala yang berkaitan dengan makanan, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi.

       💬 Pengobatan rinitis alergi pada lansia tergantung pada tingkat keparahan gejala dan kondisi kesehatan secara keseluruhan. 

Beberapa pilihan pengobatan yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi rinitis alergi pada lansia:

🎯 Antihistamin: 

Antihistamin adalah obat yang dapat membantu mengurangi gejala seperti gatal-gatal, bersin-bersin, hidung berair, dan mata merah. Ada berbagai jenis antihistamin yang tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, atau semprotan hidung. Beberapa antihistamin dapat menyebabkan kantuk, jadi perlu memilih yang cocok untuk lansia.

🎯 Dekongestan: 

Dekongestan dapat membantu meredakan hidung tersumbat dengan mengurangi pembengkakan pembuluh darah di hidung. Namun, dekongestan sebaiknya digunakan dalam jangka pendek karena penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti kenaikan tekanan darah.

🎯 Semprotan Hidung Kortikosteroid: 

Semprotan hidung kortikosteroid adalah obat topikal yang membantu mengurangi peradangan di hidung dan meringankan gejala rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan bersin-bersin. Mereka sering dianggap aman untuk digunakan dalam jangka panjang jika digunakan sesuai petunjuk dokter.

🎯 Pengobatan Kombinasi: 

Beberapa obat bisa mengandung kombinasi antihistamin dan dekongestan atau antihistamin dan semprotan hidung kortikosteroid. Ini bisa membantu mengatasi beberapa gejala secara bersamaan.

🎯 Imunoterapi Alergen:

Imunoterapi alergen, juga dikenal sebagai suntikan alergi atau terapi hiposensitisasi, dapat menjadi opsi untuk lansia yang memiliki reaksi alergi parah dan tidak merespons dengan baik terhadap obat-obatan. Imunoterapi ini melibatkan pemberian dosis-dosis kecil alergen yang bertujuan mengurangi reaksi alergi seiring waktu.

🎯 Pengelolaan Lingkungan:

Menghindari paparan alergen yang memicu reaksi alergi bisa membantu mengurangi gejala. Ini melibatkan langkah-langkah seperti membersihkan rumah dengan baik, menjaga kelembaban rendah untuk mengendalikan tungau debu, dan menghindari kontak dengan hewan peliharaan jika seseorang alergi terhadap bulu hewan.

🎯 Konsultasi dengan Ahli Alergi:

Lansia yang memiliki gejala rinitis alergi yang parah atau sulit diatasi sebaiknya berkonsultasi dengan dokter ahli alergi. Ahli alergi dapat melakukan penilaian mendalam dan memberikan rekomendasi pengobatan yang sesuai.

         Penting untuk selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum memulai pengobatan apa pun, terutama pada lansia yang mungkin memiliki kondisi kesehatan lain atau sedang menggunakan obat-obatan lain. Dokter dapat membantu merencanakan pengobatan yang aman dan efektif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi individu.




Sumber:

https://www.nhs.uk/conditions/allergic-rhinitis/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538186/

https://www.nhsinform.scot/illnesses-and-conditions/ears-nose-and-throat/allergic-rhinitis

https://medlineplus.gov/ency/article/000813.htm