Sunday, 10 September 2023

Hati-hati Malas pada Lansia, Kemungkinan Penyakit

        Malas adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang mengacu pada kurangnya motivasi atau semangat untuk melakukan sesuatu, atau keinginan untuk tidak melakukan pekerjaan atau aktivitas tertentu. Orang yang merasa "malas" cenderung enggan atau tidak termotivasi untuk bergerak atau bekerja.

Istilah medis yang mengacu pada perasaan "malas" atau kurangnya motivasi untuk beraktivitas adalah "apathetic" atau "apathy." Apati adalah kondisi di mana seseorang kehilangan minat atau semangat untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka nikmati atau yang seharusnya mereka lakukan. Ini bisa menjadi gejala dari berbagai kondisi medis dan gangguan kesehatan mental.

Apati dapat terjadi sebagai bagian dari berbagai penyakit atau kondisi, termasuk depresi, penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, gangguan neuropsikiatrik, cedera otak traumatis, dan banyak kondisi lainnya.

Apati adalah bila kondisi seseorang kehilangan motivasi.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Lansia sering mengalami perasaan malas atau kurangnya motivasi untuk beraktivitas karena beberapa alasan yang dapat berhubungan dengan perubahan fisik, mental, dan sosial yang terjadi seiring penuaan.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perasaan malas pada lansia meliputi:

📢 Perubahan Fisik:

Proses penuaan sering kali menyebabkan penurunan energi fisik, kekuatan otot yang berkurang, serta masalah kesehatan fisik seperti nyeri sendi atau kelelahan yang lebih cepat. Semua ini dapat membuat lansia merasa lebih sulit untuk melakukan aktivitas fisik.

Perubahan fisik dan mental membuat lansia sering
 merasa malas dan motivasi. (Sumber: foto canva.com)

📢 Perubahan Kesehatan:

Lansia cenderung lebih rentan terhadap masalah kesehatan seperti penyakit kronis, penyakit jantung, diabetes, dan penyakit lainnya. Kondisi medis yang membatasi mobilitas atau kenyamanan fisik dapat mengurangi motivasi untuk bergerak.

📢 Perubahan Mental: 

Perubahan dalam fungsi kognitif, seperti gangguan ingatan atau gangguan kognitif ringan (seperti demensia), dapat mempengaruhi motivasi dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

📢 Kehilangan Teman dan Keluarga: 

Lansia sering mengalami kehilangan teman dan anggota keluarga, yang dapat memicu perasaan kesepian atau isolasi sosial. Hal ini juga dapat mengurangi motivasi untuk beraktivitas.

Kehilangan teman atau keluarga mengurangi motivasi.
(Sumber: foto canva.com)

📢 Perubahan Sosial:

Perubahan dalam peran sosial atau perasaan tidak berguna karena pensiun atau perubahan kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi motivasi.

📢 Kebosanan:

Lansia yang tidak memiliki kegiatan yang menarik atau tujuan yang jelas dalam kehidupan sehari-hari mereka dapat mengalami kebosanan, yang dapat memicu perasaan malas.

📢 Depresi:

Depresi adalah masalah kesehatan mental yang umum pada lansia. Salah satu gejalanya adalah kurangnya minat atau motivasi untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

📢 Efek Obat:

Beberapa obat yang umumnya digunakan oleh lansia untuk mengelola kondisi kesehatan mereka dapat memiliki efek samping yang mempengaruhi energi dan motivasi.

       Perasaan malas pada lansia tidak selalu menjadi masalah, dan terkadang istirahat dan relaksasi yang cukup juga penting untuk kesejahteraan mereka. 

Beberapa ciri yang mungkin bahwa seorang lansia mengalami perasaan malas:

😓 Kurang Minat pada Aktivitas Sehari-hari: 

Lansia yang malas mungkin kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati atau yang seharusnya mereka lakukan sehari-hari, seperti menjaga kebersihan diri, berolahraga, atau mengejar hobi.

Lansia malas melakukan aktivitas yang sebelumnya diminati.
(Sumber: foto canva.com)

😓 Rendahnya Energi: 

Malas sering kali disertai dengan rendahnya tingkat energi. Lansia tersebut mungkin merasa lelah atau kelelahan secara terus-menerus, bahkan setelah istirahat yang cukup.

😓 Kesulitan Memulai atau Menyelesaikan Tugas: 

Lansia yang mengalami malas dapat merasa kesulitan untuk memulai tugas-tugas tertentu atau untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah mereka mulai. Mereka mungkin terhambat oleh prokrastinasi.

😓 Kehilangan Minat pada Interaksi Sosial: 

Perasaan malas juga dapat memengaruhi interaksi sosial. Lansia tersebut mungkin menghindari pertemuan dengan teman-teman atau anggota keluarga dan lebih suka menjalani waktu sendiri.

😓 Kurang Minat pada Nutrisi dan Perawatan Kesehatan:

Lansia yang malas mungkin kurang peduli terhadap pola makan sehat dan perawatan kesehatan. Mereka mungkin menghindari pergi ke dokter atau mengabaikan aspek-aspek penting dari perawatan diri.

😓 Perasaan Kesepian atau Isolasi Sosial:

Malas juga dapat disebabkan oleh perasaan kesepian atau isolasi sosial. Lansia yang merasa kesepian cenderung kurang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang lain.

😓 Perubahan Mood:

Lansia yang mengalami malas mungkin juga memiliki perubahan mood, seperti menjadi lebih mudah tersinggung atau cenderung merasa sedih atau putus asa.

😓 Ketidakpuasan dengan Kualitas Hidup: 

Mereka mungkin mengeluh tentang ketidakpuasan dengan kualitas hidup mereka atau merasa bahwa hidup mereka tidak memiliki tujuan yang jelas.

Beberapa penyakit atau kondisi yang dapat memengaruhi lansia dan menyebabkan perasaan malas meliputi:

😓 Depresi: 

Depresi adalah salah satu kondisi kesehatan mental yang umum pada lansia. Gejala depresi termasuk perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati, kelelahan, dan perasaan malas.

😓 Demensia: 

Lansia dengan demensia, seperti Alzheimer, dapat mengalami penurunan fungsi kognitif yang signifikan. Ini bisa menyebabkan perasaan malas karena kesulitan berpikir, memori yang buruk, dan kebingungan.

😓 Penyakit Jantung:

Lansia yang menderita penyakit jantung atau gangguan sirkulasi darah dapat mengalami kelelahan fisik yang berlebihan, yang dapat menyebabkan perasaan malas.

Lansia yang sakit jantung memiliki perasaan malas.
(Sumber: foto canva.com)

😓 Artritis dan Nyeri Sendi:

Penyakit seperti artritis atau nyeri sendi dapat mengganggu mobilitas dan menyebabkan nyeri fisik yang dapat mengurangi motivasi untuk bergerak dan aktif.

😓 Penyakit Kronis Lainnya:

Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), atau penyakit ginjal kronis dapat menguras energi dan menyebabkan perasaan malas.

😓 Hipotiroidisme: 

Kondisi ini terjadi ketika kelenjar tiroid tidak menghasilkan cukup hormon tiroid, yang dapat menyebabkan kelelahan, penurunan energi, dan perasaan malas.

😓 Anemia:

Anemia terjadi ketika kadar sel darah merah dalam tubuh terlalu rendah. Gejala anemia termasuk kelelahan, lemah, dan kurangnya motivasi untuk beraktivitas.

😓 Efek Samping Obat-obatan:

Beberapa obat-obatan yang sering digunakan oleh lansia untuk mengelola kondisi medis mereka dapat memiliki efek samping yang menyebabkan kelelahan atau perasaan malas.

😓 Kecemasan: 

Kecemasan dapat mengganggu kualitas tidur dan menyebabkan perasaan malas dan lelah di siang hari.

Beberapa kiat untuk mencegah malas:

📅 Tetapkan Tujuan yang Jelas:

Menetapkan tujuan yang spesifik dan terukur dapat memberikan Anda motivasi intrinsik untuk bekerja menuju pencapaian tujuan tersebut.

📅 Buat Rencana:

Membuat rencana tindakan yang terstruktur dapat membantu Anda mengorganisasi pekerjaan Anda dan memecahnya menjadi tugas-tugas yang lebih kecil dan dapat diatasi.

📅 Beri Hadiah pada Diri Sendiri:

Beri hadiah pada diri sendiri setelah menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan tertentu. Ini bisa menjadi insentif yang efektif untuk tetap produktif.

Beri hadiah untuk diri sendiri agar termotivasi.
(Sumber: foto canva.com)

📅 Berikan Istirahat yang Cukup:

Terlalu banyak pekerjaan atau stres berkepanjangan dapat menyebabkan kelelahan mental dan fisik. Pastikan Anda memberikan diri Anda istirahat yang cukup.

📅 Prioritaskan Tugas:

Fokus pada tugas-tugas yang paling penting dan mendesak terlebih dahulu. Ini dapat membantu Anda merasa lebih produktif dan merasa lebih terpenuhi saat menyelesaikan pekerjaan yang penting.

📅 Hindari Prokrastinasi:

Prokrastinasi adalah kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Cobalah untuk mengenali kapan Anda cenderung prokrastinasi dan cari strategi untuk mengatasinya.

📅 Ciptakan Rutinitas:

Membangun rutinitas harian atau mingguan dapat membantu meningkatkan disiplin Anda dan mengurangi perasaan malas.

📅 Cari Motivasi:

Temukan sumber motivasi eksternal atau internal. Ini bisa berupa membaca inspirasi, mendengarkan pidato motivasi, atau merenung tentang tujuan dan nilai-nilai Anda.

📅 Menghindari Gangguan:

Cobalah untuk mengurangi gangguan saat bekerja. Ini bisa berarti mematikan pemberitahuan di ponsel atau komputer Anda atau mencari tempat kerja yang tenang.

📅 Berbagi Tujuan Anda: 

Berbicara tentang tujuan Anda kepada teman, keluarga, atau kolega dapat memberi Anda akuntabilitas sosial dan dorongan ekstra untuk mencapainya.

📅 Terus Belajar dan Berkembang: 

Tetap terbuka untuk pembelajaran baru dan pertumbuhan. Ini dapat membuat Anda merasa lebih termotivasi untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan Anda.

📅 Perawatan Diri: 

Pastikan Anda menjaga kesehatan fisik dan mental Anda dengan tidur yang cukup, makan makanan sehat, berolahraga secara teratur, dan mengelola stres dengan baik.

       Mengobati perasaan malas pada lansia tidak selalu sederhana karena bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan fisik, mental, dan sosial yang terjadi seiring penuaan. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu mengatasi atau mengurangi perasaan malas pada lansia:

👳 Konsultasikan dengan Profesional Kesehatan: 

Jika perasaan malas lansia disertai dengan gejala seperti perubahan mood yang signifikan, perubahan perilaku, atau penurunan kualitas hidup yang nyata, sangat penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan atau seorang psikolog. Mereka dapat melakukan penilaian menyeluruh untuk mengidentifikasi penyebab perasaan malas dan merencanakan perawatan yang sesuai.

👳 Pengelolaan Kesehatan Fisik: 

Pastikan bahwa kondisi kesehatan fisik lansia terkelola dengan baik. Ini termasuk mematuhi perawatan medis yang diresepkan oleh dokter, menjaga pola makan yang sehat, berolahraga secara teratur, dan menjaga berat badan yang sehat.

👳  Aktivitas Fisik yang Teratur:

Olahraga dapat membantu meningkatkan energi dan mengurangi perasaan malas. Konsultasikan dengan dokter untuk menentukan jenis dan tingkat olahraga yang sesuai dengan kondisi fisik lansia.

👳 Sosialisasi yang Teratur: 

Interaksi sosial dapat membantu mengatasi perasaan kesepian dan malas. Mendorong lansia untuk menjalin hubungan sosial, baik dengan teman, keluarga, atau anggota kelompok sosial, dapat meningkatkan motivasi mereka untuk beraktivitas.

👳 Rutinitas Harian yang Terstruktur: 

Membangun rutinitas harian atau mingguan yang terstruktur dapat membantu lansia merasa lebih termotivasi dan produktif. Ini menciptakan ekspektasi yang jelas tentang apa yang harus dilakukan setiap hari.

👳 Terapi Psikologis: 

Terapi perilaku kognitif (CBT) atau terapi lainnya dapat membantu lansia mengatasi perasaan malas dan perubahan mood yang mungkin terkait. Terapis dapat membantu mereka mengidentifikasi pola pikiran negatif dan menggantinya dengan pola pikiran yang lebih positif.

👳 Mencari Minat dan Hobi Baru: 

Mencari minat atau hobi baru dapat membantu menghidupkan kembali semangat dan minat lansia dalam kehidupan sehari-hari.

👳 Manajemen Stres: 

Melakukan teknik manajemen stres seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu lansia merasa lebih tenang dan mengurangi perasaan malas.

👳 Obat-obatan:

Dalam beberapa kasus, dokter mungkin meresepkan obat-obatan tertentu untuk mengatasi gejala terkait malas jika diperlukan.

       Setiap lansia memiliki kebutuhan yang unik, dan pendekatan perawatan harus disesuaikan dengan keadaan mereka. Pekerja kesehatan yang berpengalaman akan dapat memberikan panduan yang lebih khusus sesuai dengan situasi individu. Dalam semua kasus, dukungan keluarga dan lingkungan yang positif dapat memainkan peran penting dalam membantu lansia mengatasi perasaan malas.




Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5592638/

https://www.hebrewseniorlife.org/blog/apathy-people-alzheimers-or-dementia

https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnagi.2017.00124/full

https://www.jamda.com/article/S1525-8610(09)00099-1/pdf

https://www.aan.com/PressRoom/Home/PressRelease/1268

Friday, 8 September 2023

Lansia Buat Kesal atau Buat Kesal Lansia, Hati -Hati.

      Seiring bertambahnya usia, orang lanjut usia lebih sering mengalami jenis stres tertentu seperti kematian dan masalah kesehatan dibandingkan orang yang lebih muda. Stres ini membuat lansia mudah kesal. Tambah lagi dengan kerumitan yang juga memicu kesal bagi orang yang sangat tua dan sangat terkait dengan gejala depresi. 

Kesal adalah perasaan yang umumnya merujuk pada perasaan frustrasi, ketidakpuasan, atau ketidaknyamanan ringan yang disebabkan oleh situasi atau peristiwa tertentu. Ini adalah bentuk emosi yang lebih ringan daripada marah, tetapi masih menggambarkan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan terhadap sesuatu yang terjadi.

Lansia mudah kesal bila ada ketidaknyamanan.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Orang mungkin merasa kesal ketika menghadapi hal-hal seperti:

  • Tantangan kecil sehari-hari, seperti mengalami kemacetan lalu lintas atau antrian panjang di toko.
  • Peristiwa kecil yang tidak sesuai dengan harapan, seperti pesanan makanan yang salah di restoran.
  • Gangguan dalam rutinitas harian, seperti masalah teknis dengan perangkat elektronik.
  • Keterlambatan atau ketidaktepatan dari orang lain yang memengaruhi jadwal atau rencana.

       Kesal adalah emosi yang normal dan manusiawi, dan sebagian besar orang mengalami perasaan ini dari waktu ke waktu. Ini adalah reaksi alami terhadap ketidaknyamanan atau ketidakpuasan dalam kehidupan sehari-hari. 

Penting untuk mengelola kesal dengan sehat dan produktif untuk menghindari penumpukan stres dan dampak negatif pada kesejahteraan mental dan fisik. Ini bisa melibatkan teknik relaksasi, berbicara dengan orang yang terkait dengan situasi tersebut, atau mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang mungkin muncul.

Jika perasaan kesal atau frustrasi menjadi terus-menerus, berat, atau berdampak pada kesejahteraan mental seseorang, maka istilah medis yang mungkin digunakan adalah "distress psikologis" atau "gangguan suasana hati," tergantung pada karakteristik gejala yang dialami individu. 

Jenis stres tertentu sering buat lansia kesal.
(Sumber: foto canva.com)

Distress psikologis adalah istilah yang digunakan dalam konteks kesehatan mental untuk menggambarkan ketidaknyamanan atau penderitaan psikologis yang dialami seseorang,  dengan berbagai gejala dan pengalaman emosional yang dapat mencakup perasaan seperti kecemasan, depresi, ketidakbahagiaan, kebingungan, kemarahan, dan perasaan tidak mampu mengatasi stres atau tekanan hidup. Lansia, seperti individu pada segala usia, dapat merasa kesal atau frustrasi karena berbagai alasan.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan atau memperburuk perasaan kesal pada lansia meliputi:

💊 Masalah Kesehatan: 

Lansia sering menghadapi masalah kesehatan fisik yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan frustrasi. Rasa sakit kronis, mobilitas terbatas, atau gangguan kesehatan lainnya dapat memicu perasaan kesal.

💊 Keterbatasan Fisik:

Perubahan dalam fisik mereka, seperti penurunan daya penglihatan, pendengaran, atau mobilitas, dapat menyebabkan kesal. Keterbatasan ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari.

💊 Isolasi Sosial: 

Lansia yang mengalami isolasi sosial atau merasa kesepian mungkin merasa kesal karena kurangnya interaksi sosial atau kurangnya dukungan dari teman dan keluarga.

💊 Perubahan Lingkungan: 

Perubahan dalam lingkungan, seperti pindah ke tempat tinggal yang berbeda, bisa menjadi sumber frustrasi bagi lansia. Mereka mungkin merasa tidak nyaman atau kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Perubahan lingkungan membuat lansia frustrasi dan kesal.
(Sumber: foto canva,com)

💊 Perubahan dalam Peran dan Identitas:

Lansia mungkin mengalami perubahan dalam peran dan identitas mereka seiring penuaan, seperti pensiun atau kehilangan peran sebagai penyandang gawai. Perubahan ini dapat memicu perasaan kesal atau kebingungan.

💊 Masalah Keuangan:

Masalah keuangan, seperti kesulitan dalam mengelola keuangan pensiun atau peningkatan biaya perawatan medis, dapat menyebabkan kesal.

💊 Efek Samping Obat: 

Beberapa obat yang sering digunakan oleh lansia untuk mengelola kondisi medis tertentu dapat memiliki efek samping yang memengaruhi suasana hati dan emosi mereka.

💊 Kehilangan Teman atau Keluarga: 

Kehilangan teman atau anggota keluarga yang dekat dapat sangat menyakitkan dan memicu perasaan kesal atau kesedihan.

💊  Ketidaknyamanan dalam Berkomunikasi:

Kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik karena masalah pendengaran atau gangguan kognitif, dapat menimbulkan frustrasi.

Ciri-ciri kesal pada lansia bisa bervariasi dari satu individu ke individu lainnya, tetapi ada beberapa tanda umum yang dapat menunjukkan perasaan kesal atau frustrasi pada populasi lansia. 

Beberapa ciri kesal pada lansia meliputi:

😌 Perubahan Mood: 

Lansia yang merasa kesal dapat mengalami perubahan mood yang tajam. Mereka mungkin tiba-tiba menjadi lebih iritabel atau marah.

😌 Komunikasi yang Tidak Sabar: 

Mereka dapat menunjukkan ketidakkesabaran dalam berkomunikasi dengan orang lain, seperti berbicara dengan nada yang tajam atau menjawab dengan singkat.

Komunikasi yang tidak sabar dengan menjawab singkat.
(Sumber: foto canva.com)

😌 Kemarahan yang Terlihat: 

Beberapa lansia mungkin mengekspresikan kemarahan mereka melalui ekspresi wajah yang marah, bahasa tubuh yang tegang, atau suara yang keras.

😌 Retraksi Sosial: 

Mereka dapat mulai menghindari interaksi sosial atau menarik diri dari kegiatan yang biasanya mereka nikmati.

😌 Gangguan Tidur:

Perasaan kesal dapat memengaruhi tidur lansia. Mereka mungkin mengalami kesulitan tidur, bangun di malam hari, atau merasa lelah saat bangun tidur.

😌 Ketidakpuasan dengan Perubahan: 

Lansia mungkin merasa kesal terhadap perubahan dalam hidup mereka, seperti masalah kesehatan baru, penurunan mobilitas, atau perubahan dalam rutinitas.

😌 Perubahan dalam Kebiasaan Makan:

Beberapa lansia mungkin mengalami perubahan dalam kebiasaan makan, seperti kehilangan nafsu makan atau kelebihan makan sebagai respons terhadap perasaan kesal.

😌 Keterbatasan Fisik: 

Jika mereka mengalami masalah kesehatan fisik atau mobilitas yang membatasi aktivitas sehari-hari, perasaan kesal dapat meningkat.

😌 Kemarahan terhadap Ketergantungan:

Lansia yang merasa kesal karena perasaan ketergantungan pada orang lain atau kehilangan kemandirian mereka dapat mengekspresikan kemarahan.

😌 Ketidakmampuan Mengatasi Stres: 

Kesulitan dalam mengatasi situasi stres atau perubahan dalam hidup mereka juga dapat menjadi tanda kesal pada lansia.

       Mengatasi perasaan kesal pada lansia memerlukan pendekatan yang sensitif dan pengertian terhadap perubahan yang terjadi dalam hidup mereka. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mengatasi perasaan kesal pada lansia:

👂 Bicara dan Mendengar: 

Cobalah untuk mendengarkan dengan sabar ketika lansia ingin berbicara tentang perasaan mereka. Terkadang, hanya dengan memberi mereka kesempatan untuk berbicara dan merasa didengar dapat membantu mereka merasa lebih baik.

👂 Peka terhadap Perubahan: 

Ketika lansia merasa kesal terhadap perubahan dalam hidup mereka, seperti masalah kesehatan, peran yang berubah, atau lingkungan yang berbeda, cobalah untuk memahami perspektif mereka dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

👂 Aktivitas Fisik: 

Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu mengurangi stres dan perasaan kesal. Ajak lansia untuk berolahraga ringan atau melakukan aktivitas fisik yang mereka nikmati, sesuai dengan kemampuan mereka.

👂 Terapi atau Konseling: 

Terapis atau konselor yang berpengalaman dalam merawat lansia dapat membantu mereka mengatasi perasaan kesal dengan berbicara tentang masalah emosional mereka dan memberikan dukungan.

👂 Teknik Relaksasi: 

Mengajarkan teknik-teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu lansia meredakan stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional mereka.

👂 Aktivitas Sosial: 

Dorong lansia untuk tetap terlibat dalam aktivitas sosial dan menjalin hubungan dengan teman-teman atau anggota keluarga. Interaksi sosial yang positif dapat mengurangi perasaan kesal.

Interaksi sosial dapat mengurangi perasaan kesal pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)

👂 Perhatikan Kesehatan Fisik: 

Pastikan bahwa lansia mendapatkan perawatan medis yang sesuai dan mengelola kondisi kesehatan mereka. Kadang-kadang, perasaan kesal dapat dipicu atau diperburuk oleh masalah kesehatan fisik.

👂 Pemecahan Masalah: 

Bantu lansia untuk mengidentifikasi masalah yang mungkin menyebabkan perasaan kesal dan mencari solusi atau cara mengatasi masalah tersebut.

👂 Bantuan Profesional: 

Jika perasaan kesal berkepanjangan atau parah dan memengaruhi kualitas hidup mereka, pertimbangkan untuk mencari bantuan dari seorang profesional kesehatan mental atau psikolog yang berpengalaman dalam merawat lansia.

👂 Dukungan Keluarga dan Teman: 

Keluarga dan teman-teman memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional kepada lansia. Jangan ragu untuk menawarkan dukungan, mendengarkan mereka, dan memahami perasaan mereka.

       Mengatasi perasaan kesal pada lansia mungkin memerlukan waktu, dan pendekatan yang efektif dapat berbeda-beda untuk setiap individu. Yang penting adalah menunjukkan pengertian, kesabaran, dan dukungan yang konsisten untuk membantu lansia mengatasi perasaan mereka dengan lebih baik.





Sumber:

https://www.agingcare.com/articles/how-to-handle-an-elderly-parents-bad-behavior-138673.htm

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6572214/

https://www.homecareassistanceoakville.ca/what-makes-older-adults-erupt-in-anger/

https://www.homecareassistancedesmoines.com/whats-making-my-elderly-parent-angry/

https://www.agingcare.com/articles/elderly-temper-tantrums-156852.htm


Trauma Masa Lalu Yang luput Penanganan, Phobia Lansia.

      Phobia masa kanak-kanak paling sering terjadi antara usia 5 dan 9 tahun, dan cenderung berlangsung dalam waktu singkat. Kebanyakan fobia yang bertahan lama dimulai pada usia lanjut, terutama pada orang berusia 20-an. Phobia pada orang dewasa cenderung berlangsung selama bertahun-tahun, dan kecil kemungkinannya untuk hilang dengan sendirinya, kecuali jika diobati.

Phobia adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan ketakutan atau kecemasan yang sangat intens dan tidak wajar terhadap objek, situasi, atau hal tertentu. Ketakutan ini melebihi reaksi yang normal terhadap objek atau situasi tersebut dan sering kali dapat menyebabkan kecemasan yang parah serta mengganggu kualitas hidup seseorang.

Phobia pada orang dewasa cenderung selama bertahun- tahun
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Phobia bisa terjadi terhadap berbagai objek atau situasi yang berbeda, dan setiap phobia biasanya memiliki nama khusus yang menggambarkan apa yang menjadi objek ketakutan tersebut. 

Beberapa contoh phobia yang umum mencakup arachnophobia (ketakutan terhadap laba-laba), acrophobia (ketakutan terhadap ketinggian), claustrophobia (ketakutan terhadap tempat-tempat sempit), dan agoraphobia (ketakutan terhadap situasi di mana seseorang merasa sulit untuk melarikan diri atau mendapatkan bantuan).

Arachnophobia ketakutan terhadap laba-laba.
(Sumber: foto canva.com)

Ada phobia aneh, contoh pogonophobia ( ketakutan terhadap jenggot atau kumis),  ablutophobia ( ketakutan terhadap air atau mandi), linonophobia (ketakutan terhadap benang).

Phobia  sangat mengganggu kehidupan sehari-hari seseorang karena bisa menghambat mereka dalam menjalani aktivitas yang biasa dan merasa sangat stres atau cemas ketika mereka terpapar dengan objek atau situasi yang menjadi fobia mereka.

Phobia dapat tetap ada sepanjang hidup seseorang, termasuk saat mencapai usia lanjut (lansia). Sejumlah faktor, termasuk pengalaman seumur hidup dan bagaimana seseorang mengelola phobia mereka, dapat mempengaruhi apakah phobia tersebut tetap ada atau berkurang seiring bertambahnya usia. Penyebab phobia tidak selalu jelas dan bisa bervariasi dari satu individu ke individu lainnya.

Beberapa faktor yang dapat berperan dalam pengembangan phobia meliputi:

👤 Pengalaman Traumatik: 

Pengalaman traumatis dalam masa lalu yang terkait dengan objek atau situasi tertentu dapat menjadi pemicu phobia. Misalnya, jika seseorang pernah mengalami serangan ular yang traumatis sebagai anak, mereka mungkin mengembangkan ophidiophobia (ketakutan terhadap ular) di kemudian hari.

Pengalaman trauma masa  lalu pemicu phobia.
(Sumber: foto canva.com)

👤 Faktor Genetik dan Keturunan:

Penelitian menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang dapat memengaruhi rentan seseorang terhadap phobia. Jika ada riwayat phobia dalam keluarga, seseorang mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan phobia.

👤 Belajar Melalui Model (Modeling): 

Kadang-kadang, seseorang dapat mengembangkan phobia dengan melihat reaksi ketakutan atau kecemasan yang ditunjukkan oleh orang lain. Ini terutama mungkin terjadi pada anak-anak yang mengamati orang dewasa yang takut pada sesuatu.

👤 Kondisi Lingkungan: 

Lingkungan di mana seseorang dibesarkan juga bisa memainkan peran dalam perkembangan phobia. Pengalaman negatif atau tekanan sosial di masa lalu terkait dengan objek atau situasi tertentu dapat mempengaruhi pembentukan phobia.

Lingkungan berperan dalam memicu phobia.
(Sumber: foto canva.com)

👤 Kondisi Neurobiologis:

Beberapa penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam otak dan fungsi neurotransmitter pada individu dengan phobia. Ini mungkin memengaruhi bagaimana seseorang merespons situasi atau objek yang menjadi fobia mereka.

👤 Stres dan Kecemasan Kronis:

Stres berkepanjangan atau kecemasan kronis dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan phobia. Kondisi seperti gangguan kecemasan umum dapat meningkatkan rentan seseorang terhadap phobia.

👤 Kontrol yang Hilang:

Rasa kehilangan kendali dalam situasi tertentu atau kurangnya pemahaman tentang bagaimana mengatasi situasi tertentu dapat menjadi faktor pemicu phobia.

👤 Faktor Kognitif: 

Bagaimana seseorang memproses informasi dan berpikir tentang situasi tertentu juga dapat memengaruhi perkembangan phobia. Misalnya, bila seseorang cenderung berfokus pada aspek-aspek negatif dari suatu situasi atau memiliki pemikiran yang berlebihan tentang risiko, mereka lebih mungkin mengembangkan phobia.

       Phobia adalah masalah kompleks yang melibatkan interaksi antara faktor genetik, lingkungan, psikologis, dan neurobiologis. Tidak semua orang yang menghadapi situasi atau objek yang sama akan mengembangkan phobia.  

Daftar phobia yang sering terjadi:

  • Arachnophobia: Ketakutan terhadap laba-laba.
  • Claustrophobia: Ketakutan terhadap tempat-tempat sempit atau terkurung.
  • Acrophobia: Ketakutan terhadap ketinggian.
  • Agoraphobia: Ketakutan terhadap tempat-tempat atau situasi yang sulit untuk melarikan diri atau mendapatkan bantuan.
  • Katsaridaphobia: Ketakutan terhadap kecoa.
Katsaridaphobia takut terhadap kecoa
(Sumber: foto canva.com)

  • Sosial Phobia (Kecemasan Sosial): Ketakutan berlebihan terhadap situasi sosial atau interaksi dengan orang lain.
  • Ophidiophobia: Ketakutan terhadap ular.

  • Ophidiophobia ketakutan terhadap ular;
    (Sumber: foto canva.com)

  • Aviophobia: Ketakutan terhadap penerbangan atau terbang.
  • Dentophobia: Ketakutan terhadap perawatan gigi atau kunjungan ke dokter gigi.
  • Nyctophobia: Ketakutan terhadap gelap atau kegelapan.
  • Hemophobia: Ketakutan terhadap darah.
  • Claustrophobia: Ketakutan terhadap tempat-tempat yang sempit atau terkurung.
Claustrophobia takut terhadap tempat sempit.
(Sumber: foto canva.com)

  • Trypophobia: Ketakutan terhadap pola-pola kecil atau berlubang.
  • Thanatophobia: Ketakutan terhadap kematian atau proses kematian.
  • Pteromerhanophobia: Ketakutan terhadap terbang.
  • Mysophobia: Ketakutan terhadap kuman atau kekotoran.
  • Astraphobia: Ketakutan terhadap petir dan badai petir.
  • Necrophobia: Ketakutan terhadap mayat atau kematian.
  • Automatonophobia: Ketakutan terhadap boneka, manekin, atau benda-benda manusia tiruan.
  • Cynophobia: Ketakutan terhadap anjing.
  • Entomophobia: Ketakutan terhadap serangga.
  • Aichmophobia: Ketakutan terhadap benda tajam seperti pisau atau jarum.
  • Triskaidekaphobia: Ketakutan terhadap angka 13.
  • Ergophobia: Ketakutan terhadap pekerjaan atau bekerja.
  • Selachophobia: Ketakutan terhadap hiu.
  • Taphophobia: Ketakutan terhadap kuburan atau pemakaman.
  • Pediophobia: Ketakutan terhadap anak kecil atau bayi.
  • Telephonophobia: Ketakutan terhadap telepon atau berbicara di telepon.
  • Anthropophobia: Ketakutan terhadap orang atau masyarakat.
  • Eisoptrophobia: Ketakutan terhadap refleksi dalam cermin.

       Phobia atau ketakutan ekstrem dapat muncul pada lansia seperti pada usia yang lebih muda, dan jenis phobia yang dialami seseorang dapat bervariasi secara signifikan. Ketakutan yang dianggap aneh atau tidak umum pada lansia tidak selalu berbeda dari ketakutan yang mungkin dialami oleh kelompok usia lainnya.

Sifat "aneh" atau "tidak umum" dari phobia sering kali tergantung pada norma sosial dan budaya tertentu. Dalam beberapa budaya atau komunitas, beberapa phobia yang mungkin dianggap aneh atau tidak umum di tempat lain bisa sangat nyata dan signifikan. 

Beberapa contoh phobia yang  dianggap aneh, baik pada lansia maupun pada kelompok usia lain:

  • Nomophobia: Ketakutan terhadap tidak memiliki akses ke telepon seluler atau perangkat elektronik.
  • Geniophobia: Ketakutan terhadap rambut manusia, terutama rambut yang jatuh atau terlepas dari kepala.
  • Aulophobia: Ketakutan terhadap serangan atau bunyi terompet.
  • Allodoxaphobia: Ketakutan terhadap mendengar pendapat orang lain tentang diri sendiri.
  • Xanthophobia: Ketakutan terhadap warna kuning.
  • Ablutophobia: Ketakutan terhadap mandi atau mencuci tubuh.
  • Chorophobia: Ketakutan terhadap menari.
  • Arachibutyrophobia: Ketakutan terhadap mentega kacang menempel di langit-langit mulut.
  • Phobophobia: Ketakutan terhadap ketakutan itu sendiri.
  • Turophobia: Ketakutan terhadap keju.
  • Barophobia: Ketakutan terhadap tekanan gravitasi.
  • Agyrophobia: Ketakutan terhadap menyeberang jalan.
  • Hippopotomonstrosesquipedaliophobia: Ironisnya, ini adalah phobia terhadap kata-kata yang panjang dan sulit dieja.
  • Papaphobia: Ketakutan terhadap Paus atau gereja Katolik.
  • Phagophobia: Ketakutan terhadap menelan makanan.
  • Cacophobia: Ketakutan terhadap kotoran.
  • Pogonophobia: Ketakutan terhadap jenggot atau kumis.

  • Pogonophobia takut terhadap kumis
    (Sumber: foto canva.com)

  • Ablutophobia: Ketakutan terhadap air atau mandi.
  • Linonophobia: Ketakutan terhadap benang.
  • Omphalophobia: Ketakutan terhadap pusar atau bekas luka pusar.

       Mengobati phobia pada lansia memerlukan pendekatan yang penuh perhatian dan berfokus pada kebutuhan unik lansia. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mengatasi phobia pada lansia:

😇 Edukasi: 

Edukasi adalah langkah pertama yang penting. Terapis atau profesional kesehatan mental harus menjelaskan phobia kepada lansia, termasuk asal-usulnya dan bagaimana phobia tersebut memengaruhi tubuh dan pikiran mereka. Ini dapat membantu mengurangi rasa malu atau ketidakpercayaan diri yang mungkin dirasakan oleh lansia.

😇 Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): 

CBT adalah metode terapi yang sangat efektif untuk mengatasi phobia. Dalam CBT, lansia akan bekerja dengan seorang terapis untuk mengidentifikasi pemikiran negatif dan perilaku yang berkaitan dengan phobia, serta mempraktikkan teknik-teknik untuk mengubah pemikiran dan respons mereka terhadap objek atau situasi yang menjadi fobia. CBT juga dapat membantu lansia mengatasi reaksi fisik seperti keringat berlebihan atau detak jantung yang meningkat saat mereka menghadapi phobia.

😇 Terapi Eksposur: 

Terapi eksposur melibatkan pemaparan bertahap terhadap objek atau situasi yang menjadi fobia. Ini dapat membantu lansia untuk merespons objek atau situasi tersebut dengan lebih baik seiring berjalannya waktu dan mengurangi kecemasan mereka.

😇 Relaksasi dan Teknik Manajemen Stres:

Mengajarkan lansia teknik pernapasan dalam, meditasi, atau relaksasi progresif dapat membantu mereka mengatasi kecemasan saat menghadapi phobia.

😇 Dukungan Sosial: 

Mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu lansia merasa didukung dan tidak sendirian dalam mengatasi phobia. Teman atau keluarga juga dapat membantu dengan latihan eksposur atau memberikan dukungan moral.

😇 Penggunaan Obat:

Dalam beberapa kasus, dokter atau psikiater dapat meresepkan obat untuk membantu mengatasi gejala kecemasan yang terkait dengan phobia. Obat-obatan seperti benzodiazepin atau antidepresan tertentu dapat membantu mengurangi kecemasan, tetapi perlu diresepkan dan dimonitor oleh dokter.

😇 Terapi Kelompok:

Terapi kelompok dapat menjadi pilihan bagi lansia yang merasa nyaman berbicara tentang phobia mereka dengan orang lain yang mengalami masalah serupa. Terapis atau kelompok dukungan dapat memberikan dukungan tambahan dalam mengatasi phobia.

😇 Perawatan Jangka Panjang: 

Perawatan phobia mungkin memerlukan waktu yang beragam tergantung pada tingkat parah phobia dan respons individu terhadap terapi. Oleh karena itu, lansia mungkin perlu melanjutkan perawatan jangka panjang untuk memastikan keberhasilan.

       Mengatasi phobia memerlukan waktu dan kesabaran. Dalam banyak kasus, perawatan yang efektif dapat membantu lansia mengatasi phobia mereka dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami phobia yang mengganggu, sebaiknya mencari bantuan profesional dari seorang terapis atau dokter yang berpengalaman dalam pengelolaan kecemasan dan phobia.




Sumber:

https://www.health.harvard.edu/a_to_z/phobia-a-to-z

https://www.verywellmind.com/list-of-phobias-2795453

https://en.wikipedia.org/wiki/Phobia

https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/phobias

https://www.mind.org.uk/information-support/types-of-mental-health-problems/phobias/about-phobias/