Tuesday, 9 January 2024

Jantung Berdebar pada Lansia, Efek Obat-obatan dan Makanan

        Jantung berdebar, atau yang disebut juga dengan palpitations dalam istilah medis, merujuk pada sensasi detak jantung yang terasa kuat, cepat, atau tidak teratur. Sensasi ini bisa dirasakan di dada, leher, atau kepala. Jantung berdebar bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk situasi stres, kecemasan, aktivitas fisik intens, konsumsi kafein atau stimulan lainnya, gangguan irama jantung, atau kondisi medis lainnya.

Obat yang dikonsumsi oleh lansia dapat meningkatkan jantung berdebar.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Beberapa obat-obatan umum yang sering dikonsumsi oleh lansia dapat memiliki efek samping yang mencakup peningkatan detak jantung atau menyebabkan sensasi jantung berdebar. 

Beberapa kelas obat yang dapat berkontribusi terhadap gejala ini meliputi:

Obat Penyakit Jantung: 

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit jantung, seperti beta-blocker dan calcium channel blocker, dapat memengaruhi detak jantung. Meskipun sebagian besar dari mereka dirancang untuk mengatur detak jantung, dalam beberapa kasus, mereka dapat menyebabkan efek samping seperti perubahan pada irama jantung.

Obat Anti hipertensi: 

Beberapa obat anti hipertensi, seperti ACE inhibitor dan diuretik, dapat memengaruhi detak jantung.

Obat Penguat Jantung: 

Digoxin, obat yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung, dapat menyebabkan perubahan pada irama jantung dan memicu gejala jantung berdebar pada beberapa orang.

Obat-obatan Sistem Saraf Pusat: 

Beberapa obat yang memengaruhi sistem saraf pusat, termasuk stimulan atau obat-obatan untuk masalah tidur, dapat menyebabkan peningkatan detak jantung.

Antibiotik:

Azitromisin (Zithromax) adalah antibiotik yang dapat mempercepat detak jantung Anda. Antibiotik lain, seperti levofloxacin, amoksisilin, dan ciprofloxacin, juga dapat mengubah detak jantung Anda. Ini lebih mungkin terjadi jika Anda menderita penyakit jantung.

Beberapa antibiotik mengubah detak jantung.
(Sumber: foto canva.com)

Obat Batuk, Pilek, dan Alergi:

Banyak dekongestan yang dijual bebas mengandung pseudoefedrin atau fenilefrin. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan jantung berdebar-debar atau meningkatkan tekanan darah Anda .

Obat Asma:

Banyak di antaranya yang dapat menyebabkan detak jantung cepat, termasuk kortikosteroid inhalasi, albuterol, agonis beta-2 kerja panjang yang dihirup, pengubah leukotrien, dan metilxantin oral.

Suplemen:

Beberapa suplemen dapat memicu detak jantung yang cepat atau tidak teratur. Contohnya termasuk jeruk pahit, valerian, hawthorn, ginseng, dan ephedra.

Obat-obatan untuk Tiroid:

Pemakaian obat-obatan untuk mengatur fungsi tiroid dapat memengaruhi detak jantung, terutama jika dosis tidak sesuai.

Antidepresan:

Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk mengobati depresi dapat meningkatkan detak jantung Anda. Mereka termasuk inhibitor reuptake serotonin dan norepinefrin (SNRI) seperti desvenlafaxine, duloxetine, dan venlafaxine, dan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline, clomipramine, desipramine, dan lain-lain.

💬Respons terhadap obat-obatan dapat bervariasi antar individu, dan efek samping dapat tergantung pada kondisi kesehatan masing-masing orang. Jika seseorang mengalami jantung berdebar atau gejala lain yang mencurigakan setelah mengonsumsi obat-obatan tertentu, disarankan untuk segera berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan. 

       Beberapa jenis makanan atau minuman tertentu dapat memicu jantung berdebar pada beberapa orang, termasuk lansia. Reaksi terhadap makanan dapat bervariasi antar individu, dan tidak semua orang akan mengalami efek yang sama.

Beberapa makanan dan minuman yang dapat memengaruhi detak jantung meliputi:

Kafein: 

Makanan atau minuman yang mengandung kafein, seperti kopi, teh, cola, dan cokelat, dapat menyebabkan peningkatan detak jantung pada beberapa orang.

Beberapa lansia terjadi peningkatan detak jantung bila minum mengandung kafein.
(Sumber: foto canva.com)

Minuman Berenergi: 

Minuman berenergi mengandung kafein, taurin, dan bahan-bahan stimulan lainnya yang dapat mempengaruhi detak jantung.

Alkohol: 

Konsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan dapat memengaruhi detak jantung dan menyebabkan palpitations pada beberapa individu.

Makanan Pedas: 

Makanan pedas dapat memicu reaksi tubuh, termasuk peningkatan denyut jantung, pada beberapa orang.

Makanan yang Mengandung MSG (Monosodium Glutamat): 

Beberapa orang mungkin mengalami reaksi terhadap MSG, yang dapat ditemukan dalam makanan olahan atau makanan cepat saji.

Cokelat: 

Cokelat mengandung teobromin, yang dapat memiliki efek stimulan pada sistem saraf dan memengaruhi detak jantung.

Aspartam: 

Sebagian kecil orang dapat mengalami reaksi terhadap aspartam, pemanis buatan yang digunakan dalam banyak produk makanan diet.

       Pencegahan jantung berdebar pada lansia melibatkan upaya untuk menjaga gaya hidup sehat dan mengelola faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan jantung. 

Beberapa langkah pencegahan yang dapat membantu mengurangi risiko jantung berdebar pada lansia:

Pola Makan Sehat:

  • Konsumsi makanan seimbang yang kaya akan serat, vitamin, dan mineral.
  • Batasi asupan garam, kolesterol, dan lemak jenuh.
  • Pertahankan berat badan yang sehat.

Pengelolaan Stress:

  • Terapkan teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam untuk mengurangi tingkat stres.
  • Identifikasi dan tangani stres secara efektif, misalnya dengan mengambil istirahat yang cukup dan mengembangkan hobi yang menyenangkan.

Olahraga Teratur:

  • Lakukan aktivitas fisik secara teratur, sesuai dengan kondisi kesehatan dan rekomendasi dokter.
  • Pilih jenis olahraga yang sesuai dan dapat dinikmati, seperti berjalan kaki, berenang, atau bersepeda.

Berolahraga secara teratur memperkuat jantung lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Hindari Konsumsi Stimulan Berlebihan:

  • Batasi konsumsi kafein dan hindari minuman berenergi.
  • Hentikan atau kurangi konsumsi alkohol jika dianjurkan oleh dokter.

Pantau Kadar Gula Darah dan Tekanan Darah:

  • Kendalikan diabetes dengan menjaga kadar gula darah dalam batas normal.
  • Pantau tekanan darah secara teratur dan ikuti rekomendasi dokter untuk menjaga tekanan darah pada tingkat yang sehat.

Pantau Konsumsi Obat-obatan:

  • Minum obat-obatan sesuai petunjuk dokter dan lakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
  • Diskusikan dengan dokter mengenai efek samping obat yang mungkin terkait dengan jantung berdebar.

Hindari Merokok:

Hindari atau berhenti merokok, karena rokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

Periksakan Kesehatan Secara Berkala:

Rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan mengikuti saran dokter.

💬Jika mengalami gejala jantung berdebar atau masalah kesehatan jantung lainnya, segera konsultasikan dengan dokter.

Setiap orang memiliki kondisi kesehatan yang unik, dan rekomendasi pencegahan dapat bervariasi. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk mendapatkan saran yang sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing.



Sumber:

https://www.msdmanuals.com/home/heart-and-blood-vessel-disorders/symptoms-of-heart-and-blood-vessel-disorders/palpitations

https://www.webmd.com/heart-disease/atrial-fibrillation/medicines-raise-heart-rate

https://www.heart.org/en/health-topics/consumer-healthcare/what-is-cardiovascular-disease/illegal-drugs-and-heart-disease

https://www.nhs.uk/mental-health/talking-therapies-medicine-treatments/medicines-and-psychiatry/antidepressants/side-effects/

https://www.healthline.com/health/heart-palpitations

https://www.medicalnewstoday.com/articles/do-antibiotics-hurt-your-heart

Monday, 8 January 2024

Ganggauan Depresi Mayor, Sedih yang Mendalam

       Gangguan depresi mayor , juga dikenal sebagai depresi klinis , adalah gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati yang buruk, harga diri rendah, dan hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan selama setidaknya dua minggu.

Depresi mayor pada lansia adalah gangguan suasana hati yang serius dan menetap yang memengaruhi orang lanjut usia. Depresi pada lansia tidak hanya merupakan bagian dari proses penuaan alami, tetapi merupakan kondisi medis yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka secara signifikan. 

Lansia harus mampu mengatasi depresi mayor dengan interaksi sosial.
(Sumber: foto Pribadi)

Beberapa ciri khas depresi mayor pada lansia meliputi:

Perasaan Sedih atau Hampa: 

Lansia yang mengalami depresi umumnya merasakan perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati, atau merasa hampa.

Perubahan Berat Badan: 

Perubahan berat badan bisa menjadi tanda depresi. Beberapa orang mungkin mengalami penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan yang lain mungkin mengalami peningkatan berat badan tanpa alasan yang jelas.

Gangguan Tidur: 

Perubahan dalam pola tidur, seperti kesulitan tidur atau tidur berlebihan, adalah ciri umum depresi pada lansia.

Kelelahan dan Kurang Energi: 

Lansia yang mengalami depresi sering kali merasa lelah secara konstan dan kekurangan energi, bahkan setelah beristirahat.

Gangguan Konsentrasi: 

Kesulitan memusatkan perhatian atau membuat keputusan adalah gejala umum depresi, terutama pada lansia.

Perasaan Bersalah atau Pemikiran Kematian: 

Perasaan bersalah yang tidak beralasan atau pemikiran tentang kematian dan bunuh diri dapat menjadi gejala depresi yang serius.

Lansia yang depresi mayor memiliki perasaan bersalah yak beralasan.
(Sumber: foto canva.com)

Gejala Fisik Tanpa Penyebab Medis yang Jelas: 

Lansia dengan depresi juga dapat mengalami gejala fisik, seperti sakit kepala atau nyeri tubuh, tanpa adanya penyebab medis yang jelas.

💬Depresi pada lansia bukanlah bagian normal dari proses penuaan dan dapat diobati. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap depresi mayor pada lansia meliputi:

Faktor Biologis: 

Perubahan biologis terkait dengan penuaan dapat memainkan peran dalam munculnya depresi pada lansia. Misalnya, penurunan kadar neurotransmitter tertentu, seperti serotonin, dapat berpengaruh pada suasana hati.

Kesehatan Fisik: 

Masalah kesehatan fisik, seperti penyakit kronis, nyeri kronis, atau gangguan neurologis, dapat meningkatkan risiko depresi pada lansia. Penyakit yang membatasi aktivitas fisik atau mempengaruhi kualitas hidup juga dapat menjadi pemicu depresi.

Faktor Genetik: 

Riwayat keluarga dengan gangguan suasana hati atau depresi dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi, termasuk pada lansia. Faktor genetik dapat memainkan peran dalam rentan seseorang terhadap kondisi ini.

Isolasi Sosial: 

Kehilangan teman, keluarga, atau kehidupan sosial yang terbatas dapat meningkatkan risiko depresi pada lansia. Isolasi sosial dapat membuat mereka merasa terasing dan tidak dihargai.

Stres dan Perubahan Hidup: 

Peristiwa stres seperti kematian pasangan hidup, pensiun, atau perubahan signifikan dalam hidup dapat menjadi pemicu depresi pada lansia. Proses penyesuaian dengan perubahan-perubahan ini bisa sulit bagi sebagian orang.

Peristiwa stres seperti pensiun dan kematian pasangan memicu depresi.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan Kesehatan Mental Sebelumnya: 

Riwayat depresi atau gangguan suasana hati lainnya dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi di kemudian hari, termasuk pada masa lanjut usia.

Efek Samping Obat: 

Beberapa obat yang umumnya digunakan oleh lansia untuk mengatasi kondisi medis tertentu dapat memiliki efek samping yang memengaruhi suasana hati dan menyebabkan depresi.

       Mencegah depresi mayor pada lansia melibatkan berbagai langkah untuk mempromosikan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial. 

Beberapa strategi yang dapat membantu mencegah depresi pada lansia:

Jaga Kesehatan Fisik:

  • Adopsi gaya hidup sehat dengan pola makan seimbang dan aktifitas fisik yang teratur.
  • Pastikan untuk menjaga kondisi kesehatan secara umum dan mengelola penyakit kronis dengan baik.

Aktivitas Fisik:

Senam ringan, berjalan, atau aktivitas fisik lainnya secara teratur dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi risiko depresi.

Jaga Kesehatan Mental:

  • Terlibat dalam aktivitas yang merangsang pikiran, seperti membaca, menulis, atau belajar hal baru.
  • Praktikkan teknik relaksasi, meditasi, atau yoga untuk mengurangi stres.

Sosialisasi:

  • Pertahankan hubungan sosial yang sehat dengan teman, keluarga, dan komunitas.
  • Terlibat dalam kegiatan sosial, klub, atau kelompok tertentu untuk menghindari isolasi.

lansia harus terlibat dalam interaksi dengan komunitas.
(Sumber: foto canva.com)

Hobi dan Kepentingan:

  • Pelihara hobi atau aktivitas yang memberikan kegembiraan dan tujuan.
  • Ikuti kegiatan yang memberikan rasa pencapaian dan kepuasan.

Pertahankan Kemandirian:

  • Berusaha untuk tetap mandiri dan aktif dalam kegiatan sehari-hari sebanyak mungkin.
  • Minta bantuan jika diperlukan, tetapi tetap berusaha menjaga kemandirian.

Rutinitas dan Struktur:

  • Tetapkan rutinitas harian yang memberikan struktur dan tujuan.
  • Hindari rasa kekosongan atau kebingungan dengan memiliki jadwal yang terorganisir.

Pemantauan Kesehatan Mental:

Waspadai tanda-tanda depresi dan segera cari bantuan jika Anda atau seseorang di sekitar Anda mengalami gejala depresi.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan:

  • Rutin menjalani pemeriksaan kesehatan dan konsultasi dengan profesional kesehatan untuk memantau kesehatan secara menyeluruh.
  • Jika diperlukan, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.

Hindari Penggunaan Zat Adiktif:

Hindari penggunaan alkohol, rokok, atau zat adiktif lainnya, karena dapat memperburuk kondisi mental.

       Pengobatan depresi mayor pada lansia dapat melibatkan berbagai pendekatan, termasuk terapi psikologis, pengobatan farmakologis, dan perubahan gaya hidup. Pengobatan terbaik akan bervariasi tergantung pada tingkat keparahan depresi dan kebutuhan individu. 

Beberapa pendekatan umum yang dapat digunakan dalam pengobatan depresi mayor pada lansia:

Terapi Psikologis:

  • Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): Terapi ini membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang dapat memperburuk depresi.
  • Terapi Interpersonal (IPT): Terapi ini fokus pada perbaikan hubungan interpersonal dan dapat membantu mengatasi konflik hubungan yang dapat memicu atau memperburuk depresi.

Pengobatan Farmakologis:

  • Antidepresan: Dokter dapat meresepkan antidepresan untuk membantu mengatasi gejala depresi. Beberapa jenis antidepresan yang umum digunakan termasuk selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) atau serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI).
  • Stabilisator Mood atau Antipsikotik: Dalam beberapa kasus, dokter mungkin meresepkan obat stabilisator mood atau antipsikotik untuk membantu mengatasi gejala depresi.

Elektrokonvulsif (ECT):

ECT adalah prosedur medis yang melibatkan pemberian arus listrik ke otak untuk merangsang aktivitas otak dan mengurangi gejala depresi. Meskipun ECT seringkali terakhir kali digunakan dan dianggap sebagai opsi terakhir, namun dapat efektif dalam kasus-kasus yang sulit diobati.

Partisipasi dalam Kegiatan Fisik:

Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu meningkatkan suasana hati dan mengurangi gejala depresi. Berjalan kaki, berenang, atau berpartisipasi dalam kegiatan fisik lainnya dapat membantu meredakan gejala.

Perubahan Gaya Hidup:

  • Menjaga pola tidur yang teratur.
  • Menerapkan pola makan seimbang dan nutrisi yang baik.
  • Menghindari konsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang.

Dukungan Sosial:

Dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu mengatasi isolasi sosial dan memberikan dukungan emosional.

Konseling atau Terapi Kelompok:

Terapi kelompok atau konseling dapat memberikan dukungan tambahan dan kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan orang lain yang mengalami situasi serupa.

Berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk menilai kondisi dan menentukan rencana pengobatan yang paling sesuai. Dalam beberapa kasus, kombinasi beberapa pendekatan pengobatan mungkin diperlukan untuk mencapai hasil terbaik.



Sumber:

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/depression/symptoms-causes/syc-20356007

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559078/

https://en.wikipedia.org/wiki/Major_depressive_disorder

https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/24481-clinical-depression-major-depressive-disorder


Sunday, 7 January 2024

Halusinasi Lansia, Efek Obat-obatan Umum

        Halusinasi adalah pengalaman sensorik yang terjadi tanpa adanya stimulus yang sesungguhnya di lingkungan sekitar. Artinya, seseorang yang mengalami halusinasi akan merasakan indra seperti melihat, mendengar, meraba, mencium, atau merasakan sesuatu, meskipun stimulus fisik atau nyata yang dapat menyebabkan pengalaman tersebut tidak hadir. 

Halusinasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, melihat cahaya berkilauan di sekitar seseorang atau suatu benda, merasakan serangga merayap di kulit, atau mendengar suara-suara di kepala adalah berbagai jenis halusinasi. Namun yang paling umum adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan.

Halusinasi pada lansia terjadi karena efek obat-obatan.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Obat-obatan umum yang digunakan oleh lansia dapat menyebabkan efek samping berupa halusinasi. 

Beberapa jenis obat yang terkait dengan risiko halusinasi pada lansia meliputi:

Obat-obatan untuk gangguan tidur: 

Beberapa obat tidur atau obat penenang, terutama golongan benzodiazepin, dapat menyebabkan halusinasi pada sebagian orang, terutama pada dosis yang tinggi atau jika digunakan secara tidak benar.

Antidepresan: 

Beberapa jenis antidepresan, terutama golongan trisiklik, dapat menyebabkan halusinasi pada lansia. Efek samping ini mungkin lebih umum pada dosis tinggi.

Obat-obatan antikolinergik: 

Beberapa obat yang memiliki efek antikolinergik, seperti obat untuk alergi, mual, atau penyakit Parkinson, dapat memicu halusinasi pada lansia. Ini karena efek samping antikolinergik dapat memengaruhi sistem saraf pusat.

Obat untuk penyakit Parkinson: 

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson, seperti levodopa, bisa menyebabkan gangguan persepsi sensorik atau halusinasi.

Obat untuk tekanan darah tinggi: 

Beberapa obat golongan beta-blocker atau digoksin yang digunakan untuk mengatasi tekanan darah tinggi atau masalah jantung dapat menyebabkan halusinasi sebagai efek samping.

Obat golongan beta-blocker menyebabkan halusinasi.
(Sumber: foto canva.com)

Jika seseorang mengalami halusinasi setelah mengonsumsi obat-obatan, penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan. Penting untuk mengikuti petunjuk dokter dan memberi tahu mereka tentang setiap efek samping yang dialami.

       Meskipun tidak ada obat tertentu yang secara khusus "dirancang" untuk menimbulkan halusinasi pada lansia. Namun, beberapa jenis obat yang umumnya digunakan oleh lansia dapat menyebabkan efek samping berupa halusinasi. Efek samping ini tidak dialami oleh semua orang dan dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. 

Beberapa kelas obat yang berpotensi menyebabkan halusinasi pada lansia meliputi:

Benzodiazepin: 

Obat-obatan ini biasanya digunakan untuk mengatasi kecemasan, insomnia, atau masalah tidur. Contohnya termasuk diazepam, lorazepam, dan alprazolam.

Antidepresan trisiklik: 

Beberapa antidepresan golongan trisiklik dapat memiliki efek samping halusinasi pada dosis tinggi. Contoh obat termasuk amitriptyline, nortriptyline, dan imipramine.

Antikolinergik: 

Obat-obatan yang memiliki efek antikolinergik, seperti obat antihistamin untuk alergi atau obat untuk mual, dapat menyebabkan halusinasi pada beberapa individu.

Obat untuk penyakit Parkinson: 

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson, seperti levodopa atau pramipexole, dapat menyebabkan efek samping berupa halusinasi pada beberapa orang.

Obat untuk tekanan darah tinggi: 

Beberapa obat golongan beta-blocker atau digoksin yang digunakan untuk mengatasi tekanan darah tinggi atau masalah jantung juga dapat berkontribusi pada timbulnya halusinasi pada sebagian orang.

Konsultasi dengan dokter bila halusinasi setelah konsumsi obat. 
(Sumber: foto canva.com)

Jika seorang lansia mengalami halusinasi setelah mengonsumsi obat, sangat penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan untuk mengevaluasi kondisi dan menyesuaikan rencana pengobatan jika diperlukan.

        Mencegah halusinasi akibat efek obat pada lansia memerlukan pendekatan yang hati-hati dan berkoordinasi dengan dokter atau profesional kesehatan yang meresepkan obat. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mencegah atau mengurangi risiko halusinasi pada lansia:

Konsultasikan dengan dokter:

  • Penting untuk berbicara dengan dokter atau profesional kesehatan sebelum memulai atau mengubah dosis obat.
  • Informasikan dokter tentang riwayat medis, termasuk riwayat gangguan tidur, kecemasan, depresi, atau masalah kesehatan mental lainnya.

Informasikan tentang obat dan suplemen lainnya:

Beri tahu dokter tentang semua obat, suplemen, atau obat-obatan bebas yang sedang atau pernah digunakan, termasuk obat tradisional atau herbal.

Jangan ubah dosis atau berhenti tanpa berkonsultasi:

Tidak pernah mengubah dosis atau berhenti mengonsumsi obat tanpa persetujuan dokter, karena hal ini dapat meningkatkan risiko efek samping.

Pantau gejala dan efek samping:

Perhatikan perubahan gejala atau efek samping setelah memulai atau mengubah penggunaan obat. Laporkan segera kepada dokter jika terjadi halusinasi atau gejala lain yang tidak diinginkan.

Perhatikan perubahan gejala dan efek samping setelah minum obat.
(Sumber: foto canva.com)

Pilih obat dengan hati-hati:

Dokter dapat memilih obat dengan risiko efek samping yang lebih rendah, terutama jika lansia memiliki riwayat sensitivitas terhadap obat tertentu.

Evaluasi dan sesuaikan rencana pengobatan:

Lakukan evaluasi rutin dengan dokter untuk menilai efektivitas dan toleransi obat. Dokter mungkin perlu menyesuaikan dosis atau mengganti obat jika diperlukan.

Hindari obat-obatan tertentu jika memungkinkan:

Hindari penggunaan obat-obatan dengan risiko tinggi efek samping pada lansia, terutama jika alternatif yang lebih aman tersedia.

Rencanakan jadwal berkonsultasi:

Tetapkan jadwal berkonsultasi rutin dengan dokter untuk memastikan bahwa rencana pengobatan tetap sesuai dengan kebutuhan kesehatan lansia.

Fokus pada gaya hidup sehat:

Gaya hidup yang sehat, termasuk pola makan seimbang, aktivitas fisik teratur, dan tidur yang cukup, dapat mendukung kesehatan lansia dan mengurangi risiko efek samping obat.

Komunikasi dengan dokter atau profesional kesehatan sebelum membuat perubahan apa pun dalam rencana pengobatan lansia. Dengan komunikasi terbuka dan kerja sama yang baik, risiko efek samping obat, termasuk halusinasi, dapat diminimalkan.


Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9936323/

https://www.hmpgloballearningnetwork.com/site/altc/articles/visual-hallucinations-long-term-care 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181655/

https://brainxchange.ca/Public/Files/Hallucinations/Hallucination_in_the_elderly_slides.aspx

https://www.msdmanuals.com/professional/geriatrics/drug-therapy-in-older-adults/drug-related-problems-in-older-adults