Monday, 15 January 2024

Lansia Apatis, Apa Penyakit Penyertanya.

        Istilah medis untuk apatis adalah "apatia" atau "abulia". Kedua istilah ini mengacu pada keadaan ketidakberminatan atau kurangnya motivasi untuk berpartisipasi dalam aktivitas, dan keduanya dapat digunakan dalam konteks medis untuk menggambarkan gejala atau kondisi kesehatan tertentu. Abulia sering kali digunakan untuk merujuk pada tingkat keparahan yang lebih ekstrem dari kehilangan motivasi atau inisiatif.

Apatis lansia adalah kehilangan minat terhadap aktivitas.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Apatis, apatia, atau abulia dapat terkait dengan berbagai kondisi medis, termasuk gangguan kesehatan mental seperti depresi atau demensia, serta kondisi neurologis atau penyakit sistemik lainnya. American Psychological Association (APA) mendefinisikan apatis sebagai "kurangnya motivasi atau perilaku yang diarahkan pada tujuan dan ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar. 

Apatis pada lansia merujuk pada keadaan ketidakberminatan atau kehilangan minat terhadap aktivitas, lingkungan sekitar, dan kehidupan secara umum.  Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sikap acuh tak acuh atau kurangnya motivasi pada lansia untuk berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari. Apati dapat muncul sebagai reaksi terhadap perubahan fisik, emosional, atau sosial yang terkait dengan penuaan.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan apatis pada lansia meliputi:

Kesehatan Fisik:

Masalah kesehatan fisik seperti penyakit kronis, kelemahan fisik, atau rasa sakit dapat mempengaruhi minat lansia untuk terlibat dalam aktivitas.

Kesehatan Mental: 

Gangguan kesehatan mental, seperti depresi atau demensia, dapat berkontribusi pada munculnya apatis pada lansia.

Isolasi Sosial: 

Rasa kesepian atau isolasi sosial dapat menjadi penyebab apatis karena kurangnya interaksi sosial dapat mengurangi motivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan.

Perubahan Lingkungan: 

Perubahan signifikan dalam lingkungan, seperti pindah ke tempat tinggal yang baru atau kehilangan teman-teman dekat, dapat menjadi faktor penyebab apatis.

Kehilangan Kemandirian: 

Hilangnya kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari juga dapat menyebabkan apatis, terutama jika lansia merasa kehilangan kendali atas hidupnya.

Hilangnya kemandirian dapat mengakibatkan apatis.
(Sumber: foto canva.com)

          Apatis pada lansia dapat ditandai oleh beberapa ciri atau gejala tertentu. Namun, perlu diingat bahwa ciri-ciri ini dapat bervariasi antar individu dan mungkin tidak semuanya muncul pada setiap kasus. 

Beberapa ciri apatis pada lansia meliputi:

Kurangnya Inisiatif: 

Lansia yang mengalami apatis mungkin menunjukkan kurangnya inisiatif atau motivasi untuk memulai atau menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari.

Kehilangan Minat: 

Mereka dapat kehilangan minat pada aktivitas atau kegiatan yang sebelumnya mereka nikmati, bahkan hal-hal yang dahulu dianggap penting.

Tingkat Energi Rendah: 

Lansia apatis cenderung memiliki tingkat energi yang rendah dan kelelahan yang berlebihan.

Ketidakpedulian terhadap Penampilan Pribadi: 

Mereka mungkin tidak lagi peduli atau kurang peduli terhadap penampilan pribadi atau kebersihan diri.

Penampilan diri dan kebersihan tidak diperhatikan.
(Sumber: foto canva.com)

Isolasi Sosial: 

Apati dapat menyebabkan isolasi sosial, di mana lansia cenderung menghindari interaksi sosial dan menarik diri dari hubungan dengan orang lain.

Ketidakpedulian terhadap Masalah: 

Lansia yang mengalami apatis mungkin tampak tidak peduli terhadap masalah pribadi atau lingkungan sekitar, bahkan ketika ada masalah yang seharusnya memicu respons emosional.

Kurangnya Ekspresi Emosional: 

Mereka mungkin menunjukkan kurangnya ekspresi emosional atau reaksi yang normal terhadap peristiwa-peristiwa sehari-hari.

Pemulihan yang Lambat dari Perubahan atau Trauma: 

Lansia dengan apatis mungkin kesulitan untuk pulih atau beradaptasi dengan perubahan signifikan dalam hidup atau mengatasi trauma.

        Apatis pada lansia bisa menjadi gejala dari berbagai kondisi atau penyakit, baik yang bersifat fisik maupun mental. 

Beberapa penyakit atau kondisi yang dapat mendasari atau menyebabkan apatis pada lansia meliputi:

Depresi: 

Salah satu penyebab umum apatis pada lansia adalah depresi. Depresi pada lansia sering kali tidak hanya ditandai dengan perasaan sedih, tetapi juga dengan kehilangan minat, energi yang rendah, dan kurangnya motivasi.

Demensia: 

Lansia yang mengalami demensia, seperti Alzheimer, sering mengalami apatis. Gangguan kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari dan memahami lingkungan mereka.

Gangguan Neurologis: 

Beberapa gangguan neurologis, seperti penyakit Parkinson, stroke, atau penyakit Huntington, dapat menyebabkan perubahan perilaku, termasuk apatis.

Penyakit Kardiovaskular: 

Penyakit jantung atau kondisi kardiovaskular lainnya dapat memengaruhi aliran darah ke otak, yang dapat berkontribusi pada munculnya gejala apatis.

Gangguan Tidur: 

Gangguan tidur kronis atau masalah tidur pada lansia dapat memengaruhi mood dan energi, yang kemudian dapat berhubungan dengan apatis.

Gangguan tidur dapat menimbulkan apatis,
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan Metabolik: 

Gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme, dapat menyebabkan gejala kelelahan dan kurangnya motivasi.

Kehilangan Sensori: 

Penurunan fungsi sensori, seperti penurunan pendengaran atau penglihatan, dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia dan menyebabkan apatis.

Efek Samping Obat: 

Beberapa obat-obatan yang digunakan oleh lansia untuk mengatasi kondisi kesehatan tertentu dapat memiliki efek samping seperti apatis.

💬Apatis bisa bersifat multifaktorial dan sering kali merupakan gejala dari kombinasi berbagai faktor. 

       Mencegah apatis pada lansia melibatkan serangkaian strategi untuk mempromosikan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah atau mengurangi apatis pada lansia:

Aktivitas Fisik Rutin:

  • Mendorong lansia untuk tetap aktif fisik dengan berbagai aktivitas seperti berjalan, berenang, atau senam ringan.
  • Konsultasikan dengan profesional kesehatan untuk menyesuaikan jenis dan tingkat aktivitas sesuai dengan kondisi fisik lansia.

Keterlibatan Sosial:

  • Fasilitasi interaksi sosial dengan mendorong lansia untuk terlibat dalam kegiatan kelompok atau organisasi masyarakat.
  • Jaga agar hubungan dengan teman, keluarga, dan tetangga tetap kuat.

Aktivitas Kognitif:

  • Ajak lansia untuk berpartisipasi dalam kegiatan kognitif, seperti teka-teki, permainan, atau kegiatan lain yang merangsang otak.
  • Pertahankan rutinitas harian yang melibatkan aktivitas intelektual.

Tujuan dan Hobi:

  • Bantu lansia untuk menetapkan tujuan kecil yang dapat dicapai secara bertahap.
  • Dukung pengembangan dan pemeliharaan hobi atau kegiatan yang memberikan kepuasan.

Perawatan Kesehatan yang Baik:

  • Pastikan lansia mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, termasuk pemeriksaan rutin dan manajemen kondisi kesehatan yang mungkin mempengaruhi apatis.
  • Evaluasi efek samping obat dan bicarakan dengan profesional kesehatan jika perlu penyesuaian.

Pertahankan Lingkungan yang Merangsang:

  • Buat lingkungan fisik yang merangsang dan aman dengan penuaan, seperti pencahayaan yang baik dan dekorasi yang nyaman.
  • Pertahankan kebersihan dan ketertiban di sekitar rumah atau tempat tinggal.

Mendorong Kemandirian:

  • Dukung kemandirian sebanyak mungkin dalam aktivitas sehari-hari, tetapi juga bersedia memberikan bantuan saat diperlukan.
  • Berikan pilihan untuk memberikan rasa kontrol dan keputusan.

Pantau Kesehatan Mental:

  • Berbicara secara terbuka tentang kesehatan mental dan memberikan dukungan emosional yang diperlukan.
  • Jika ditemukan tanda-tanda depresi atau kecemasan, segera konsultasikan dengan profesional kesehatan.

Edukasi dan Kesadaran:

  • Edukasikan keluarga dan orang-orang yang merawat mengenai pentingnya pencegahan apatis dan bagaimana mendukung kesejahteraan lansia.
  • Tingkatkan kesadaran akan masalah kesehatan mental dan pentingnya perhatian terhadap aspek psikososial.

💬Melalui kombinasi dari langkah-langkah ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup lansia dan mengurangi risiko terjadinya apatis.

       Pengobatan apatis pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup aspek fisik, mental, dan sosial. Perlu dicatat bahwa strategi pengobatan dapat bervariasi tergantung pada penyebab apatis yang mendasarinya. 

Beberapa pendekatan umum untuk mengobati apatis pada lansia:

Evaluasi Kesehatan:

Lakukan evaluasi menyeluruh oleh profesional kesehatan untuk mengidentifikasi penyebab apatis. Ini dapat mencakup pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan penilaian kesehatan mental.

Manajemen Kesehatan Fisik:

Perawatan kondisi kesehatan fisik yang mendasari, seperti penyakit kardiovaskular, gangguan tidur, atau gangguan metabolik, dapat membantu mengurangi gejala apatis.

Perawatan Kesehatan Mental:

  • Jika apatis disebabkan oleh masalah kesehatan mental, seperti depresi atau kecemasan, perawatan psikoterapi atau konseling dapat diterapkan.
  • Dokter mungkin meresepkan obat-obatan yang sesuai untuk mengatasi gangguan mental tertentu.

Aktivitas Terapeutik:

Terapi okupasi atau terapi aktivitas lainnya dapat membantu lansia untuk menemukan kegiatan yang menarik dan merangsang, sehingga meningkatkan motivasi dan kepuasan.

Stimulasi Kognitif:

Latihan kognitif dan stimulasi mental, seperti teka-teki, permainan otak, atau kursus pembelajaran baru, dapat membantu merangsang otak dan mengurangi apatis.

Aktivitas Fisik Teratur:

Merencanakan dan mendukung program latihan fisik teratur sesuai dengan kemampuan fisik lansia dapat meningkatkan energi dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Dukungan Sosial:

  • Melibatkan lansia dalam kegiatan sosial dan mempromosikan hubungan sosial yang positif dapat membantu mengatasi rasa isolasi dan apatis.
  • Terlibat dalam kelompok dukungan atau program komunitas juga bisa memberikan dukungan emosional.

Penyesuaian Obat:

Jika apatis terkait dengan efek samping obat, dokter dapat menilai dan mempertimbangkan untuk menyesuaikan dosis atau mengganti obat tersebut.

Pendekatan Holistik:

Pendekatan holistik melibatkan perhatian terhadap semua aspek kehidupan lansia, termasuk kesehatan fisik, mental, sosial, dan lingkungan sekitar.

Bekerja sama dengan tim kesehatan yang mencakup dokter, terapis, dan ahli kesehatan lainnya untuk mengembangkan rencana perawatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesehatan individual,  , dukungan keluarga dan orang-orang yang merawat juga berperan penting dalam membantu lansia mengatasi apatis.




Sumber:

https://www.webmd.com/mental-health/what-is-apathy

https://www.hebrewseniorlife.org/blog/apathy-people-alzheimers-or-dementia

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5592638/

https://my.clevelandclinic.org/health/symptoms/24824-apathy

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3449102/

https://www.nature.com/articles/s41398-022-02292-3

Pruritus, Apakah hanya Digaruk saja.

      Pruritus adalah gejala yang relatif umum yang dapat dialami siapa pun kapan saja dalam hidup mereka dan lebih sering terjadi pada orang lanjut usia. Pruritus pada lansia dapat didefinisikan sebagai pruritus kronis pada seseorang yang berusia di atas 65 tahun.

Pruritus adalah kelainan kulit yang paling umum terjadi pada populasi geriatri. Hal ini didefinisikan sebagai sensasi kulit tidak menyenangkan yang memicu keinginan untuk menggaruk . Gatal akut (berlangsung kurang dari 6 minggu) dapat memberikan fungsi perlindungan, namun gatal kronis (berlangsung lebih dari 6 minggu) sebagian besar merupakan gangguan.

Pruritus banyak dialami oleh lansia.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Istilah medis untuk gatal adalah "pruritus." Pruritus merujuk pada sensasi atau perasaan gatal yang menyebabkan dorongan untuk menggaruk atau menggosok kulit. Pruritus bisa menjadi gejala dari berbagai kondisi dan penyakit.

Gatal adalah sensasi atau perasaan yang mendorong seseorang untuk menggaruk atau meraba-raba suatu bagian tubuh. Ini adalah respons tubuh terhadap rangsangan atau iritasi pada kulit. 

Beberapa rangsangan atau iritasi pada kulit dapat berasal dari berbagai faktor, antara lain:

Keringat: 

Kulit yang lembap atau terpapar keringat dapat menyebabkan gatal.

Alergi: 

Reaksi alergi terhadap bahan tertentu, seperti serbuk sari, bulu binatang, atau makanan, dapat menyebabkan gatal.

Iritasi Kimia:

Paparan kulit terhadap zat kimia tertentu, seperti deterjen atau produk perawatan kulit tertentu, dapat menyebabkan gatal.

Paparan kulit dengan zat kimia tertentu menyebabkan gatal.
(Sumber: canva.com)

Serangga atau Kutu: 

Gigitan serangga atau infestasi oleh kutu juga dapat menyebabkan rasa gatal.

Penyakit Kulit: 

Beberapa kondisi kulit, seperti eksim, psoriasis, atau dermatitis, dapat menyebabkan gatal.

Obat-obatan: 

Beberapa obat dapat memiliki efek samping berupa gatal pada kulit.

Panas atau Panas Dingin: 

Paparan terhadap suhu yang ekstrem, baik panas atau dingin, dapat menyebabkan rasa gatal.

       Gatal pada lansia bisa disebabkan oleh berbagai faktor, dan perlu diidentifikasi penyebabnya untuk dapat memberikan penanganan yang tepat. 

Beberapa penyebab umum gatal pada lansia meliputi:

Kulit Kering: 

Lansia cenderung memiliki kulit yang lebih kering, yang dapat menyebabkan gatal. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor seperti penurunan produksi minyak alami oleh kelenjar sebum.

Alergi: 

Reaksi alergi terhadap makanan, obat-obatan, atau bahan kimia tertentu dapat menyebabkan gatal pada kulit.

Penyakit Kulit: 

Beberapa kondisi kulit tertentu seperti dermatitis, eksim, atau psoriasis dapat menyebabkan gatal pada lansia.

Dermatitis pada lansia menyebabkan gatal.
(Sumber: foto canva.com)

Penurunan Fungsi Ginjal: 

Pada beberapa kasus, gangguan fungsi ginjal dapat menyebabkan penumpukan zat-zat yang menyebabkan gatal pada kulit.

Penyakit Hati: 

Gangguan hati, seperti sirosis, juga dapat berkontribusi pada gejala gatal.

Efek Samping Obat: 

Penggunaan obat-obatan tertentu dapat menyebabkan efek samping berupa gatal pada kulit.

Infeksi Kulit: 

Infeksi kulit, seperti infeksi jamur atau bakteri, dapat menjadi penyebab gatal pada lansia.

       Mencegah gatal pada lansia melibatkan perhatian khusus terhadap perawatan kulit dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan iritasi. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah gatal pada lansia:

Pertahankan Kelembapan Kulit:

  • Mandi dengan air hangat (bukan air panas) dan hindari penggunaan sabun keras yang dapat mengeringkan kulit.
  • Gunakan pelembap setelah mandi untuk menjaga kelembapan kulit. Pilih pelembap yang cocok untuk kulit sensitif.

Pilih Pakaian yang Tepat:

Hindari pemakaian pakaian yang terlalu ketat atau terbuat dari bahan yang kasar. Pilih pakaian dari bahan katun yang lembut dan menyerap keringat.

Lansia harus memilih pakaian bahan katun yang lembut.
(Sumber: foto canva.com)

Hindari Faktor Pemicu Alergi:

Identifikasi dan hindari pemicu alergi yang mungkin menyebabkan reaksi gatal. Ini bisa melibatkan makanan, bahan kimia rumah tangga, atau alergen lingkungan.

Perhatikan Kondisi Lingkungan:

  • Jaga kebersihan lingkungan. Hindari debu dan serbuk sari yang dapat menjadi iritan.
  • Gunakan pelembap udara di dalam rumah jika udara cenderung kering, terutama selama musim dingin.

Perhatikan Kesehatan Kulit:

  • Segera obati masalah kulit seperti infeksi jamur atau bakteri.
  • Gunakan tabir surya untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari yang berlebihan.

Hindari Penggunaan Produk Kimia Berlebihan:

Gunakan produk perawatan pribadi yang lembut dan hindari produk yang mengandung bahan kimia yang dapat menyebabkan iritasi.

Perhatikan Reaksi terhadap Obat-obatan:

Jika ada reaksi alergi atau gatal setelah mengonsumsi obat-obatan tertentu, segera berkonsultasi dengan dokter.

Periksakan Kesehatan secara Berkala:

Lakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin untuk mendeteksi masalah kesehatan yang mungkin mempengaruhi kulit.

       Pengobatan gatal pada lansia tergantung pada penyebabnya. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan rekomendasi pengobatan yang sesuai. 

Beberapa langkah umum yang dapat diambil untuk mengobati gatal pada lansia:

Pelembap Kulit:

Gunakan pelembap secara teratur untuk menjaga kelembapan kulit dan mencegah kulit kering yang dapat menyebabkan gatal.

Obat Topikal:

  • Dokter mungkin meresepkan krim atau salep topikal yang mengandung kortikosteroid untuk mengurangi peradangan dan gatal.
  • Salep antihistamin juga dapat membantu meredakan gatal, terutama jika gatal disebabkan oleh reaksi alergi.

Antihistamin Oral:

Jika gatal disebabkan oleh alergi, dokter mungkin meresepkan antihistamin oral untuk mengurangi reaksi alergi dan gatal.

Obat Pereda Gatal:

Penggunaan obat pereda gatal, seperti calamine lotion, dapat memberikan bantuan sementara.

Penghindaran Pemicu:

Jika gatal disebabkan oleh pemicu tertentu, seperti makanan atau zat kimia, menghindari pemicu tersebut dapat membantu mengurangi gejala.

Perawatan Khusus untuk Kondisi Kulit:

Jika gatal disebabkan oleh kondisi kulit tertentu seperti eksim atau psoriasis, dokter dapat memberikan perawatan yang sesuai, termasuk penggunaan krim atau salep khusus.

Perawatan untuk Infeksi:

Jika gatal disebabkan oleh infeksi kulit, seperti infeksi jamur atau bakteri, dokter mungkin meresepkan obat antiinfeksi.

Penghindaran Paparan Sinar Matahari Berlebihan:

  • Jika gatal terkait dengan paparan sinar matahari, hindari paparan berlebihan dan gunakan tabir surya.

Setiap kasus gatal pada lansia dapat bervariasi, dan pengobatannya harus disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya. Sebelum menggunakan obat-obatan atau produk perawatan, sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter untuk mendapatkan saran yang tepat sesuai dengan kondisi kesehatan dan riwayat medis lansia tersebut.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3351862/#:~:text=Pruritus 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7795219/

https://www.racgp.org.au/afp/2014/october/pruritus-in-the-elderly-a-guide-to-assessment-and

https://karger.com/books/book/chapter-pdf/1982521/000446094.pdf

https://www.ducray.com/en-gb/itching-sensations/senile-pruritus

Sunday, 14 January 2024

Depresi Persisten, Tanpa Alasan Jelas, Merasa bersalah.

         Secara umum, hampir semua orang yang mengalami depresi mempunyai perasaan sedih terus-menerus, dan mungkin merasa tidak berdaya, putus asa, dan mudah tersinggung. Tanpa pengobatan, gejalanya bisa bertahan bertahun-tahun. 

Gangguan depresi persisten (sebelumnya gangguan distimik) ditandai dengan depresi kronis tingkat rendah yang tidak separah, namun mungkin berlangsung lebih lama dibandingkan gangguan depresi berat.  

Depresi gangguan mental yang dapat disembuhkan bukan proses penuaan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

"Gangguan depresi persisten" adalah istilah yang agak baru. Ini digunakan untuk menggabungkan apa yang disebut distimia dan gangguan depresi mayor kronis di masa lalu.

Depresi persisten pada lansia mengacu pada kondisi depresi yang berlangsung secara kronis atau berkepanjangan pada orang lanjut usia. Depresi dapat memiliki gejala yang terus-menerus selama periode waktu yang lama. 

Depresi persisten pada lansia bisa lebih sulit didiagnosis dan diobati karena mungkin tidak segera terlihat atau diidentifikasi. Gejala depresi persisten pada lansia mirip dengan gejala depresi pada kelompok usia lainnya, tetapi dapat muncul dengan intensitas yang berbeda. 

Beberapa gejala depresi persisten pada lansia meliputi:

Perasaan Sedih atau Putus Asa: 

Lansia dengan depresi mungkin merasa sedih atau putus asa secara terus-menerus, tanpa adanya perbaikan yang berarti.

Kehilangan Minat dan Kegembiraan: 

Mereka mungkin kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya dinikmati dan merasa sulit untuk merasa gembira atau bersemangat.

Depresi membuat kehilangan minat dan kegembiraan.
(Sumber: foto canva.com)

Perubahan Berat Badan atau Nafsu Makan: 

Perubahan dalam berat badan (peningkatan atau penurunan) dan perubahan nafsu makan bisa terjadi.

Gangguan Tidur: 

Lansia dengan depresi bisa mengalami gangguan tidur, baik itu kesulitan tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia).

Kelelahan atau Energi yang Menurun: 

Rasa kelelahan yang konstan atau penurunan energi dapat menjadi gejala depresi persisten pada lansia.

Perasaan Bersalah atau Tidak Berharga: 

Orang dengan depresi persisten mungkin merasa bersalah atau tidak berharga tanpa alasan yang jelas.

Kesulitan Berkonsentrasi: 

Lansia dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, membuat keputusan, atau menjalankan tugas sehari-hari.

Gangguan Fisik Tanpa Penyebab Medis yang Jelas: 

Beberapa lansia dengan depresi dapat mengalami keluhan fisik seperti nyeri tubuh atau gangguan pencernaan tanpa ada penyebab medis yang jelas.

Pemikiran tentang Kematian atau Bunuh Diri: 

Beberapa individu mungkin memiliki pemikiran tentang kematian atau bunuh diri. Jika ada indikasi atau kekhawatiran terkait hal ini, segera cari bantuan profesional. 

Beberapa faktor penyebab depresi persisten pada lansia meliputi:

Perubahan Fisik dan Kesehatan: 

Lansia sering menghadapi perubahan fisik, termasuk masalah kesehatan kronis, penurunan fungsi fisik, dan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Perubahan ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kehilangan independensi, yang berkontribusi pada munculnya depresi.

Kehilangan Orang yang Dicintai: 

Kematian pasangan hidup, teman dekat, atau kerabat dapat menjadi pemicu depresi pada lansia. Kehilangan sosial ini dapat meningkatkan rasa kesepian dan isolasi.

Isolasi Sosial: 

Lansia yang mengalami isolasi sosial, baik karena pensiun, kehilangan teman, atau kurangnya dukungan sosial, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi.

Lansia mengalami isolasi sosial karena pensiun.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan Kognitif: 

Gangguan kognitif, seperti penyakit Alzheimer atau gangguan kognitif ringan, dapat menjadi faktor risiko untuk depresi pada lansia. Kesulitan dalam mengatasi perubahan kognitif dan fungsi otak dapat menyebabkan stres emosional.

Masalah Keuangan: 

Kesulitan keuangan, seperti pensiun yang terbatas atau masalah keuangan lainnya, dapat menyebabkan stres yang signifikan dan meningkatkan risiko depresi pada lansia.

Perubahan Hormonal: 

Perubahan hormonal yang terkait dengan proses penuaan, seperti penurunan kadar hormon serotonin, dapat mempengaruhi suasana hati dan berkontribusi pada depresi.

Histori Keluarga dan Genetika: 

Jika ada riwayat keluarga dengan gangguan mood atau depresi, individu tersebut mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi persisten pada masa lanjut usia.

Gangguan Kesehatan Mental Sebelumnya: 

Riwayat depresi atau gangguan kejiwaan sebelumnya dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi pada masa lanjut usia.

Kurangnya Aktivitas Fisik: 

Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan mental. Olahraga teratur dapat membantu mengurangi risiko depresi pada lansia.

Efek Samping Obat: 

Beberapa obat yang sering digunakan pada lansia untuk mengatasi kondisi kesehatan tertentu dapat memiliki efek samping yang memengaruhi suasana hati dan memicu depresi.

        Mencegah depresi persisten pada lansia melibatkan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan kesehatan fisik. 

Beberapa strategi yang dapat membantu mencegah depresi pada lansia:

Aktivitas Fisik Teratur:

Olahraga teratur memiliki manfaat besar bagi kesehatan fisik dan mental. Aktivitas fisik dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, dan memperbaiki tidur. Pilih kegiatan yang sesuai dengan tingkat kebugaran dan kondisi kesehatan.

Olahraga teratur bermanfaat untuk ketahanan fisik dan mental.
(Sumber: foto canva.com)

Mempertahankan Koneksi Sosial: 

Interaksi sosial yang positif dapat membantu mencegah isolasi sosial dan depresi. Lansia sebaiknya tetap terlibat dalam kegiatan sosial, termasuk pertemuan dengan teman, kegiatan kelompok, atau bergabung dengan klub atau organisasi.

Mengatasi Kehilangan dengan Dukungan Emosional: 

Bila mengalami kehilangan orang yang dicintai atau perubahan signifikan dalam hidup, penting untuk mencari dukungan emosional. Berbicara dengan teman, keluarga, atau seorang profesional kesehatan mental dapat membantu mengelola perasaan dan stres yang terkait dengan perubahan tersebut.

Pertahankan Kesehatan Fisik dan Perawatan Medis: 

Menerapkan gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan yang seimbang, tidur yang cukup, dan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dapat mendukung kesehatan fisik dan mental.

Kegiatan Kreatif dan Hobi: 

Menjaga minat dan keterlibatan dalam kegiatan kreatif atau hobi dapat memberikan rasa pencapaian dan kepuasan. Ini dapat menjadi sumber kegembiraan dan meningkatkan kualitas hidup.

Manajemen Stres: 

Belajar teknik manajemen stres, seperti meditasi, relaksasi, atau yoga, dapat membantu mengurangi tekanan emosional dan meningkatkan ketahanan terhadap stres.

Rutin Sosial dan Kegiatan Rutin: 

Menciptakan rutinitas harian dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang rutin dapat memberikan struktur pada hidup dan memberikan sesuatu yang dinanti-nanti setiap hari.

Berkonsultasi dengan Profesional Kesehatan Mental: 

Bila ada gejala depresi atau kesulitan emosional lainnya, segera mencari bantuan dari profesional kesehatan mental. Konseling atau terapi dapat membantu individu mengatasi masalah dan menemukan strategi untuk meningkatkan kesejahteraan mental.

       Mengobati depresi persisten pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup intervensi medis, terapi psikososial, dan dukungan sosial. 

Beberapa strategi umum yang dapat digunakan dalam pengobatan depresi persisten pada lansia:

Terapi Kognitif Perilaku (CBT): 

Terapi ini dapat membantu lansia mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang berkontribusi pada depresi. CBT terbukti efektif dalam mengelola depresi pada berbagai kelompok usia.

Terapi Interpersonal (IPT): 

Terapi ini fokus pada memahami dan meningkatkan hubungan interpersonal. IPT dapat membantu lansia mengatasi konflik interpersonal, kehilangan orang yang dicintai, atau perubahan dalam hubungan sosial.

Obat-Obatan: 

Dokter dapat meresepkan obat antidepresan untuk membantu mengatasi gejala depresi. Pemilihan obat dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu, dan sering kali memerlukan waktu beberapa minggu agar efeknya terlihat.

Terapi Elektrokonvulsif (ECT): 

Terapi ini mungkin direkomendasikan dalam kasus depresi yang sangat parah atau ketika respons terhadap obat dan terapi lainnya terbatas. ECT melibatkan pemberian arus listrik pada otak untuk menyebabkan aktivitas listrik yang terkontrol.

Pemantauan Kesehatan Fisik: 

Penting untuk memantau kesehatan fisik, termasuk memeriksa apakah ada penyakit fisik yang mendasari atau memperburuk gejala depresi. Pemantauan ini melibatkan kerjasama antara dokter umum dan profesional kesehatan mental.

Dukungan Keluarga dan Sosial: 

Dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan sosial dapat memberikan rasa keterlibatan dan memotivasi lansia untuk mengatasi depresi. Terlibat dalam kegiatan sosial juga dapat membantu mengurangi isolasi.

Pemeliharaan Kesehatan Fisik dan Gaya Hidup Sehat: 

Memastikan pola makan seimbang, cukup tidur, dan rutin berolahraga dapat membantu meningkatkan kesehatan fisik dan membantu mengelola gejala depresi.

Konseling Spiritual atau Religius: 

Bagi beberapa individu, dukungan spiritual atau keberadaan dalam lingkungan keagamaan dapat menjadi sumber kenyamanan dan dukungan.

Setiap individu merespons pengobatan dengan cara yang berbeda. Proses pengobatan mungkin memerlukan waktu, dan penyesuaian mungkin diperlukan dalam perjalanan perawatan. Konsultasikan dengan tim perawatan kesehatan, termasuk dokter dan profesional kesehatan mental, untuk menilai kondisi spesifik dan merancang rencana perawatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541052/

https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/dysthymia 

https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/persistent-depressive-disorder-dysthymic-disorder

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/persistent-depressive-disorder/symptoms-causes/syc-20350929