Monday, 29 January 2024

Posisi Tubuh yang Salah, Merusak Saraf

        Ergonomi adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari interaksi antara manusia dan elemen-elemen sistem yang ada di sekitarnya. Tujuannya adalah untuk merancang peralatan, tempat kerja, dan tugas-tugas sehingga sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan keterbatasan fisik, mental, dan emosional manusia. Ilmu ergonomi mencakup berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu fisik, psikologi, desain industri, kedokteran, antropologi, dan ilmu lainnya. 

Lansia harus menjaga posisi tubuh yang benar.
(Sumber: foto paguyuban pensiun 209)

Beberapa prinsip ergonomi yang dapat membantu menjaga kesehatan saraf saat bekerja. Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari cara mendesain lingkungan kerja agar sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental manusia. 

Beberapa prinsip ergonomi yang dapat membantu menjaga kesehatan saraf saat bekerja:

Postur Tubuh yang Baik: 
Duduk dengan punggung lurus dan bahu rileks, tanpa membungkuk atau menghentak. Pastikan punggung dan leher mendapat dukungan yang cukup dari kursi atau bantal.

Pengaturan Kursi dan Meja yang Baik:
Kursi dan meja harus disesuaikan dengan tinggi yang tepat sehingga siku membentuk sudut 90 derajat saat mengetik atau menulis. Pergelangan tangan harus lurus saat menggunakan keyboard atau mouse.

Penggunaan Alat Bantu yang Ergonomis: 
Gunakan alat bantu seperti keyboard ergonomis, mouse dengan dukungan telapak tangan, atau mousepad dengan gel wrist rest untuk mengurangi tekanan pada saraf di pergelangan tangan.
Gunakan alat yang ergonomis agar tidak cedera pergelangan tangan.
(Sumber: foto canva.com)
Pengaturan Monitor yang Tepat: 
Monitor harus ditempatkan pada tingkat mata dan jarak yang nyaman agar tidak memaksa leher untuk melihat ke bawah atau ke atas secara berlebihan.

Istirahat yang Teratur: 
Berdiri atau bergerak secara teratur untuk memberikan istirahat kepada otot dan saraf yang digunakan secara berulang-ulang dalam posisi yang sama.

Latihan dan Peregangan: 
Lakukan latihan peregangan ringan secara teratur untuk menjaga fleksibilitas otot dan mengurangi ketegangan pada saraf. Peregangan ini harus menargetkan daerah-daerah yang sering digunakan dalam pekerjaan Anda.

Penggunaan Peralatan dan Alat Bantu:
Gunakan alat bantu seperti kursi dengan penyangga lumbal, gelas yang mudah dijangkau, atau penggunaan alat bantu untuk mengangkat barang berat agar tidak memberikan tekanan berlebih pada otot dan saraf.

Pemeliharaan Postur yang Baik saat Berdiri: 
Jika Anda harus berdiri untuk waktu yang lama, pastikan untuk mempertahankan postur yang baik dengan membagi berat tubuh secara merata di kedua kaki dan menjaga punggung lurus.

Pengurangan Faktor Resiko: 
Identifikasi faktor risiko yang dapat menyebabkan tekanan berlebih pada saraf, seperti pengulakan yang salah atau posisi kerja yang tidak nyaman, dan lakukan perubahan yang diperlukan untuk mengurangi risiko tersebut.

Pelatihan dan Edukasi
Berikan pelatihan kepada karyawan tentang praktik kerja yang aman dan ergonomis serta pentingnya menjaga kesehatan saraf saat bekerja.

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi ini, Anda dapat membantu menjaga kesehatan saraf saat bekerja dan mengurangi risiko cedera atau ketidaknyamanan yang berkaitan dengan posisi kerja yang tidak baik.

        Posisi tubuh tertentu dapat menyebabkan tekanan berlebih atau regangan pada saraf, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kerusakan atau iritasi saraf. 

Beberapa posisi tubuh yang dapat merusak saraf:

Menyilangkan Kaki: 
Duduk dalam posisi menyilangkan kaki untuk waktu yang lama dapat menyebabkan tekanan pada saraf di daerah panggul dan paha.

Mendekap Lengan di Bawah Kepala Saat Tidur: 
Saat tidur dengan lengan didekapkan di bawah kepala, dapat menyebabkan tekanan pada saraf di lengan dan bahu.

Membungkuk dengan Leher Miring ke Samping:
Membungkuk dengan leher miring ke samping secara berulang dapat memberi tekanan pada saraf di leher.

Posisi Duduk yang Buruk: 
Duduk dengan postur yang buruk, seperti membungkuk atau membungkuk ke depan, dapat menyebabkan tekanan pada saraf di punggung bagian bawah.

Menekan Saraf Pergelangan Tangan: 
Menempatkan berat badan pada saraf di pergelangan tangan, seperti saat menopang kepala dengan tangan yang menekan pergelangan tangan, dapat menyebabkan kerusakan pada saraf.

Posisi Kaki yang Tidak Nyaman Saat Duduk: 
Duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuh atau dalam posisi yang tidak nyaman dapat menyebabkan tekanan pada saraf di panggul dan paha.

Memakai Sepatu yang Terlalu Ketat: 
Sepatu yang terlalu ketat atau sempit dapat menekan saraf di kaki dan menyebabkan rasa sakit atau mati rasa.

Menggunakan Bantal yang Terlalu Tinggi: 
Menggunakan bantal yang terlalu tinggi saat tidur dapat menyebabkan regangan pada saraf di leher dan bahu.

Posisi Berlutut yang Terlalu Lama:
Berlutut dalam posisi yang tidak nyaman atau terlalu lama dapat memberi tekanan pada saraf di lutut.
Berlutut terlalu lama memberi tekanan pada saraf di lutut.
(Sumber: foto canva.com)
Mengangkat Beban dengan Postur yang Salah:
Mengangkat beban dengan postur yang salah, terutama menggunakan punggung untuk mengangkat daripada kaki, dapat menyebabkan tekanan pada saraf di punggung.

Mengulak dengan batu : 
Mengulak dengan batu yang tidak rata, terutama jika dilakukan secara berulang-ulang atau dalam jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan tekanan berlebih atau regangan pada saraf, terutama pada daerah tertentu seperti pergelangan tangan, siku, atau bahu.

Memeras pakaian dengan tangan:
Memerasa pakaian secara berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama dapat memberikan tekanan berlebih pada saraf, terutama pada daerah tangan dan pergelangan tangan. Meskipun aktivitas ini umumnya tidak menyebabkan kerusakan saraf secara langsung, tekanan berlebih pada saraf bisa menyebabkan ketidaknyamanan atau gangguan sementara dalam fungsi saraf.

Posisi bekerja dengan tengkurap: 
Posisi tengkurap saat bekerja terutama jika dipertahankan dalam jangka waktu yang lama atau dilakukan secara berulang-ulang, dapat menyebabkan tekanan berlebih pada saraf tertentu di tubuh, terutama di daerah punggung, leher, bahu, dan pergelangan tangan. 

Menegakkan Leher Terlalu Tinggi atau Terlalu Rendah: 
Posisi bekerja dengan tengkurap di mana leher ditegakkan terlalu tinggi atau terlalu rendah, terutama jika dipertahankan dalam waktu lama, dapat menyebabkan tekanan pada saraf di daerah leher dan bahu, yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri.

Menggunakan Pergelangan Tangan dalam Posisi yang Tidak Alami:
Posisi bekerja dengan tengkurap di mana pergelangan tangan digunakan dalam posisi yang tidak alami atau tertekuk secara berulang-ulang, seperti saat menekuk pergelangan tangan untuk menopang kepala, dapat menyebabkan tekanan pada saraf di pergelangan tangan, yang dapat menyebabkan sindrom terowongan karpal atau ketidaknyamanan lainnya.

       Lansia yang mengalami sakit saraf karena posisi tubuh yang salah mungkin akan menunjukkan beberapa ciri-ciri atau gejala yang dapat mengindikasikan tekanan atau kerusakan pada saraf. 

Beberapa ciri lansia yang mengalami sakit saraf karena posisi tubuh yang salah dapat meliputi:

Nyeri atau Ketidaknyamanan: 
Lansia mungkin mengeluhkan nyeri atau ketidaknyamanan yang terlokalisasi di daerah tertentu, seperti punggung, leher, bahu, pergelangan tangan, atau pinggul. Nyeri ini dapat bersifat tumpul atau tajam dan bisa menjadi lebih buruk saat berada dalam posisi tertentu atau melakukan gerakan tertentu.

Mati Rasa atau Kesemutan: 
Lansia mungkin mengalami sensasi mati rasa atau kesemutan di daerah tertentu, yang dapat menunjukkan iritasi atau kompresi pada saraf di daerah tersebut.

Kelemahan Otot:
Lansia mungkin mengalami kelemahan otot di daerah yang terkena, yang dapat menjadi gejala dari kerusakan saraf atau kompresi saraf yang signifikan.

Gangguan Sensorik:
Lansia mungkin mengalami gangguan sensorik, seperti perubahan sensasi sentuhan atau sensasi dingin atau panas yang tidak wajar di daerah yang terkena.

Keterbatasan Gerakan: 
Lansia mungkin mengalami keterbatasan gerakan atau kesulitan dalam melakukan gerakan tertentu yang melibatkan daerah yang terkena saraf.

Perubahan Pola Tidur:
Lansia mungkin mengalami kesulitan tidur karena nyeri atau ketidaknyamanan yang dialami saat berbaring dalam posisi tertentu.

Perubahan Fungsi Normal: 
Lansia mungkin mengalami perubahan dalam fungsi normal tubuh, seperti kesulitan dalam menggenggam atau memegang benda, kesulitan dalam berjalan, atau kesulitan dalam menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang melibatkan gerakan tubuh tertentu.

Perubahan Emosi:
Lansia mungkin mengalami perubahan emosi, seperti frustrasi, kecemasan, atau depresi akibat nyeri kronis atau ketidaknyamanan yang dialami.
Perubahan emosi pada lansia ,seperti frustasi dan kecemasan.
(Sumber: foto canva.com)
Perubahan Postur Tubuh:
Lansia mungkin menunjukkan perubahan dalam postur tubuh mereka, seperti membungkuk atau menghindari gerakan tertentu untuk mengurangi nyeri atau ketidaknyamanan.

Reaksi Nyeri saat Ditekan:'
Lansia mungkin menunjukkan reaksi nyeri saat daerah yang terkena saraf ditekan atau ditekan dengan lembut.

        Pengobatan sakit saraf pada lansia yang disebabkan oleh posisi tubuh yang salah tergantung pada penyebabnya dan tingkat keparahan gejalanya.

 Beberapa langkah yang dapat membantu mengobati atau mengurangi sakit saraf pada lansia:

Istirahat dan Pemulihan: 
Memberikan istirahat yang cukup bagi area yang terkena dapat membantu dalam pemulihan. Hindari aktivitas atau posisi tubuh yang memperburuk gejala.

Terapi Fisik: 
Terapi fisik dapat membantu memperkuat otot, meningkatkan fleksibilitas, dan mengurangi tekanan pada saraf yang terkena. Terapis fisik dapat merancang program latihan khusus untuk meningkatkan kondisi fisik dan mengurangi nyeri.

Obat Penghilang Nyeri: 
Dokter mungkin meresepkan obat penghilang nyeri seperti analgesik (misalnya, parasetamol) atau antiinflamasi nonsteroid (NSAID) untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan yang terkait.

Obat-obatan Neuropatik:
Untuk kasus sakit saraf yang lebih parah atau kronis, dokter mungkin meresepkan obat-obatan yang dirancang khusus untuk mengelola nyeri neuropatik, seperti gabapentin atau pregabalin.

Terapi Okupasi: 
Terapis okupasi dapat membantu dalam mengidentifikasi perubahan gaya hidup atau penyesuaian lingkungan yang dapat membantu mengurangi tekanan pada saraf dan meningkatkan kualitas hidup.

Teknik Manajemen Stres: 
Manajemen stres dan relaksasi, seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam, dapat membantu mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan kenyamanan.

Penggunaan Alat Bantu: 
Penggunaan alat bantu seperti penyangga lumbal, brace, atau alat penyangga lainnya dapat membantu menjaga postur tubuh yang baik dan mengurangi tekanan pada saraf.

Intervensi Bedah: 
Dalam kasus-kasus yang langka dan parah, seperti tekanan saraf yang berat atau kerusakan saraf yang signifikan, dokter dapat merekomendasikan intervensi bedah untuk mengurangi tekanan atau mengatasi masalah struktural yang mendasarinya.

Perawatan Komplementer:
Beberapa orang juga menemukan manfaat dari perawatan komplementer seperti akupunktur, pijat, atau terapi biofeedback dalam mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kenyamanan.

Berkonsultasi dengan dokter atau profesional medis untuk evaluasi yang tepat dan perencanaan pengobatan yang sesuai dengan kondisi khusus lansia dan penyebab sakit saraf yang mendasarinya. Pengobatan yang tepat dapat membantu mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup lansia yang mengalami sakit saraf.


Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8066049/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8928105/

https://lluh.org/services/neuropathic-therapy-center/blog/5-ways-sitting-killing-your-nerves

https://www.betterhealth.vic.gov.au/health/conditionsandtreatments/posture

https://www.cornerchiropractic.com/5-long-term-complications-of-poor-posture

https://www.webmd.com/pain-management/ss/slideshow-neuropathy


Tanda Vital Saat ke Dokter, Mengapa itu Penting.

        Dokter biasanya memeriksa beberapa tanda vital selama pemeriksaan fisik rutin atau dalam situasi medis tertentu. Tanda-tanda vital adalah ukuran obyektif fungsi fisiologis yang digunakan untuk memantau penyakit akut dan kronis dan dengan demikian berfungsi sebagai alat komunikasi dasar tentang status pasien. 

Tanda vital sangat penting diketahui oleh lansia.
(Sumber: foto paguyuban pensiun 209)

Empat tanda vital tradisional, yaitu: denyut nadi, suhu, tekanan darah, dan laju pernapasan, merupakan pengukuran objektif fungsi vital  dan dengan demikian merupakan komponen mendasar dari pemeriksaan fisik dan pengkajian keperawatan. Fungsi sistem organ yang tidak teratur sebagai akibat dari usia atau patofisiologi terkait usia, ditambah dengan hilangnya mekanisme homeostatis pelindung yang berkaitan dengan usia, menunjukkan bahwa pada pasien yang lebih tua, respons tanda vital tidak hanya menyimpang dari kisaran normal, tetapi juga tetap terbatas pada kisaran tersebut.

Tanda-tanda vital telah berkembang sebagai alat mendasar untuk diagnosis, tingkat keparahan penyakit, dan komunikasi. Pada pasien yang lebih tua, diperlukan lebih banyak penelitian untuk memvalidasi bahwa tanda-tanda vital benar-benar mewakili fungsi vital.

Berikut tanda vital utama yang sering diperiksa oleh dokter:

Detak Jantung (Nadi):
  • Normal: Biasanya diukur dalam denyut per menit (bpm). Rentang detak jantung normal dewasa adalah sekitar 60-100 bpm.
  • Evaluasi: Dokter akan meraba atau menggunakan stetoskop untuk mendengarkan detak jantung dan menilai irama, kecepatan, dan kekuatan denyut nadi.
Suhu Tubuh:
  • Normal: Tubuh manusia biasanya mempertahankan suhu sekitar 36.5-37.5 derajat Celsius.
  • Evaluasi: Suhu tubuh dapat diukur dengan termometer dan membantu dokter menilai apakah ada tanda-tanda demam atau hipotermia.
Suhu tubuh diukur untuk membantu dokter mengetahui demam.
(Sumber: foto canva.com) 
Tekanan Darah:
  • Normal: Biasanya diukur dalam milimeter air raksa (mmHg). Tekanan darah normal adalah sekitar 120/80 mmHg.
  • Evaluasi: Tekanan darah mencerminkan kekuatan darah yang diterapkan pada dinding pembuluh darah. Evaluasi tekanan darah membantu dokter menilai kesehatan jantung dan sirkulasi darah.
Laju Pernapasan:
  • Normal: Biasanya diukur dalam pernapasan per menit (bpm). Laju pernapasan normal dewasa adalah sekitar 12-20 bpm.
  • Evaluasi: Dokter akan mengamati atau menghitung jumlah pernapasan dalam satu menit untuk menilai fungsi pernapasan dan deteksi masalah seperti kesulitan bernapas.
💬 Tanda vital ini memberikan gambaran umum tentang kesehatan seseorang dan membantu dokter dalam diagnosa dan pengelolaan perawatan. Dalam beberapa kasus, dokter juga dapat memeriksa tanda vital tambahan atau melakukan pemantauan khusus tergantung pada kondisi medis pasien. .

Tanda Vital yang Normal pada Lansia.

Denyut nadi:

Denyut nadi menunjukkan kecepatan detak jantung saat memompa darah melalui arteri. Anda dapat mengukur denyut nadi Anda di rumah dengan salah satu dari dua cara. Salah satu caranya adalah dengan meletakkan jari telunjuk dan jari ketiga di sisi tenggorokan di leher. Cara lainnya adalah dengan meletakkan dua jari yang sama di sepanjang arteri radialis, yang paling dekat dengan ibu jari Anda, di pergelangan tangan Anda. 

Apa pun kasusnya, Anda harus menghitung jumlah detak jantung yang Anda rasakan selama lima belas detik dan mengalikan angka tersebut dengan empat untuk mendapatkan jumlah detak jantung per menit. Jika Anda tidak dapat menemukan denyut nadi Anda secara manual, Anda selalu dapat mencoba monitor denyut nadi ujung jari . 

Denyut Jantung Normal untuk Lansia : 60 hingga 100 detak per menit
Angka yang melebihi atau tidak memenuhi kisaran ini mungkin mengindikasikan adanya masalah pada tubuh. Karena jantung adalah komponen penting dari sistem tubuh manusia, memberikan perhatian khusus pada organ ini sangatlah penting. Seiring bertambahnya usia, detak jantung Anda tetap sama, Namun, detak jantung Anda mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk meningkat saat Anda berolahraga, dan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk melambat setelahnya.

Menghitung Denyut nadi Manual, dapat dilakukan dengan cara :

Pilih Tempat Mengukur:
Pilih satu dari dua tempat umum untuk mengukur denyut nadi: arteri radial (pada pergelangan tangan) atau arteri karotis (pada leher). Arteri radial biasanya lebih mudah diakses.

Persiapkan Lingkungan:
Pastikan pasien beristirahat dengan nyaman. Hindari melakukan pengukuran denyut nadi saat pasien baru melakukan aktivitas fisik, karena hal ini dapat memengaruhi hasil.

Posisikan Jari Anda:
Gunakan tiga jari (jari tengah, jari telunjuk, dan jari manis) untuk meraba denyut nadi. Letakkan jari-jari tersebut pada arteri yang dipilih dengan lembut. Pada arteri radial, letakkan jari-jari pada bagian dalam pergelangan tangan, di bawah ibu jari.

Hitung Denyut Nadi:
Hitung denyut nadi selama 60 detik atau selama 15 detik kemudian kalikan dengan empat untuk mendapatkan denyut per menit. Jika Anda menghitung selama 15 detik, pastikan untuk mengalikan jumlah hitungan dengan empat untuk mendapatkan denyut per menit.

Pertimbangkan Rhythm dan Kekuatan:
Selain menghitung frekuensi denyut nadi, perhatikan juga irama dan kekuatan denyut. Rhythm normalnya adalah teratur, dan kekuatan dapat bervariasi dari lemah hingga kuat. Informasi tambahan ini dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang kesehatan jantung.

Catat Hasilnya:
Catat jumlah denyut nadi per menit dan berikan informasi ini kepada profesional kesehatan jika diperlukan.

Denyut nadi yang normal bervariasi tergantung pada faktor seperti usia, tingkat kebugaran fisik, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan. Sebagai contoh, denyut nadi normal dewasa umumnya berada dalam rentang 60-100 denyut per menit. 

Suhu Tubuh.

Suhu yang meningkat dapat menjadi indikasi peradangan atau infeksi sistematis, yang juga disebut demam atau hipertermia. Hipotermia atau suhu tubuh yang lebih rendah dari normal juga diawasi ketat oleh tenaga medis.

Suhu Normal untuk Lansia : 97,8 hingga 99 derajat Fahrenheit (sekitar 36.5-37.5 derajat Celsius)

Semakin sulit bagi tubuh Anda untuk mengontrol suhunya seiring bertambahnya usia. Anda mungkin merasa lebih sulit untuk tetap hangat karena penurunan lemak tubuh. Penuaan juga menurunkan kemampuan tubuh untuk berkeringat, sehingga meningkatkan risiko terkena sengatan panas, karena Anda tidak dapat mengetahui apakah tubuh Anda kepanasan.

Hal baiknya adalah suhu tubuh dapat dengan mudah diukur di rumah dengan sejumlah termometer berbeda. Kami merekomendasikan penggunaan  termometer dahi karena mudah digunakan dan memungkinkan Anda membaca hampir seketika. 

Tekanan darah.

Tekanan darah merupakan tanda vital yang dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertensi atau hipotensi.  Itu diukur menggunakan monitor tekanan darah elektronik.

Pembacaannya terdiri dari 2 angka: angka tertinggi, tekanan sistolik, adalah ukuran tekanan di dalam arteri saat jantung berkontraksi. Angka yang lebih rendah, tekanan diastolik, adalah pengukuran tekanan saat jantung istirahat. Norma-norma ini tidak boleh didasarkan pada pengujian tunggal tetapi harus dirata-ratakan dalam beberapa kali pengujian.

Hipertensi dianggap jika pengukurannya lebih tinggi dari 140/90 mmHg. Hipotensi adalah pembacaan tekanan darah di bawah 90/60 mmHg.

Tekanan Darah Normal untuk Lansia : 120/80 mmHg atau lebih rendah (Pra-hipertensi: 121 hingga 139 mmHg)

Anda mungkin merasa pusing saat berdiri dengan cepat karena tekanan darah turun secara tiba-tiba, dan risiko tekanan darah tinggi (hipertensi) meningkat seiring bertambahnya usia.

Lansia mencatat setiap pengukuran tensi darah.
(Sumber: foto canva.com)

Laju Pernafasan

Laju pernapasan menunjukkan tingkat oksigen dalam darah. Laju pernafasan memungkinkan dokter untuk mencari indikasi disfungsi pernafasan dan apakah seorang lansia berada dalam keadaan asidosis, yang berarti terdapat terlalu banyak konsentrasi ion hidrogen dalam darah

Karena laju pernapasan lansia dapat mengindikasikan kejadian medis yang serius, hal ini merupakan ukuran kesehatan yang penting. Saat dokter atau perawat mengukur laju pernapasan orang lanjut usia, mereka sering kali mendengarkan suara mengi atau suara abnormal lainnya. Mereka mungkin juga mengamati ketegangan otot di leher atau rasa sakit atau ketidaknyamanan saat bernapas.

Laju Pernapasan Normal Lansia : 12 hingga 18 napas per menit
Tanda vital ini biasanya tidak berubah seiring bertambahnya usia. Namun, fungsi paru-paru, atau seberapa baik Anda bernapas, sedikit menurun seiring bertambahnya usia.

Cara Mengukur Laju Pernapasan:

Persiapan:

  • Pastikan subjek dalam keadaan istirahat atau sedang duduk dengan nyaman.
  • Beri tahu subjek bahwa Anda akan mengukur laju pernapasannya agar mereka tidak merasa terganggu.

Pemantauan Waktu:
Siapkan jam tangan atau stopwatch untuk mengukur waktu dengan tepat.

Hitung Nafas:

  • Amati gerakan dada atau perut subjek selama satu menit penuh.
  • Hitung setiap kali mereka mengambil napas lengkap (inhalasi) atau mengeluarkan napas (ekshalasi).
  • Satu siklus pernapasan mencakup satu inhalasi dan satu ekshalasi.

Rekam Hasil:
Catat jumlah napas yang dihitung selama satu menit.

Hitung Laju Pernapasan:
Kalikan jumlah napas yang dihitung dengan 60 untuk mendapatkan laju pernapasan per menit (bpm).

Contoh perhitungan:

Jika subjek mengambil 16 napas dalam satu menit, laju pernapasannya adalah 16 x 60 = 960 bpm.

Ini adalah metode pengukuran laju pernapasan secara manual. Beberapa perangkat medis dan aplikasi kesehatan mungkin juga dapat membantu mengukur laju pernapasan dengan lebih akurat. Jika Anda memiliki kekhawatiran kesehatan atau membutuhkan informasi lebih lanjut tentang laju pernapasan, sebaiknya konsultasikan dengan profesional kesehatan.

Tanda-tanda vital adalah ukuran obyektif fungsi fisiologis yang digunakan untuk memantau penyakit akut dan kronis dan dengan demikian berfungsi sebagai alat komunikasi dasar tentang status pasien.


Sumber:

https://www.forbes.com/health/wellness/normal-heart-rate-by-age/

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18786875/

https://www.caringseniorservice.com/blog/normal-vital-signs

https://medlineplus.gov/vitalsigns.html

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1525861010001301

Sunday, 28 January 2024

Gangguan Paranoid, Lansia Merasa Terancam

        Bukan rahasia lagi bahwa gangguan kepribadian sangat umum terjadi pada orang lanjut usia. Gangguan kepribadian yang paling umum dialami oleh lansia antara lain gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian menghindar, dan gangguan kepribadian narsistik . Gangguan kepribadian ini dapat menyebabkan tekanan emosional yang signifikan dan menyulitkan orang lanjut usia untuk menjaga hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.

Paranoid dan paranoia sering kali digunakan secara bergantian, tetapi mereka memiliki arti yang sedikit berbeda dalam konteks kesehatan mental. Paranoid adalah istilah umum yang merujuk pada kecenderungan untuk merasa dicurigai, tidak aman, atau takut terhadap orang atau situasi tertentu. Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki kecenderungan paranoid jika mereka sering merasa bahwa orang lain memiliki niat jahat terhadap mereka tanpa alasan yang jelas.

Gangguan kepribadian sangat umum terjadi pada lansia.
(Sumber : foto paguyuban pensiun 209) 

Sementara Paranoia merujuk pada suatu bentuk gangguan mental, yaitu gangguan paranoid. Paranoia adalah gejala dari berbagai gangguan, seperti gangguan kecemasan, skizofrenia, atau gangguan paranoid. Dalam konteks ini, paranoia menjadi lebih spesifik sebagai gejala dalam suatu gangguan mental.

Paranoia adalah kondisi mental yang menyebabkan seseorang secara konsisten dan tidak rasional merasa terancam, khawatir, atau takut. 

Contoh paranoia pada lansia antara lain:
  • Berpikir seseorang sedang berbicara di belakang mereka atau “keluar untuk menangkapnya”
  • Merasa mereka diperlakukan secara berlebihan
  • Khawatir seseorang akan mencuri uang atau harta bendanya
  • Takut anggota keluarga tidak lagi menyayangi mereka karena mereka tidak sering berkunjung
  • Menjadi curiga, tidak percaya, atau iri pada orang lain

Gangguan paranoid pada lansia merujuk pada kondisi di mana seseorang yang berusia lanjut, atau lansia, mengalami kecenderungan untuk merasa curiga, tidak percaya, atau takut terhadap orang dan situasi di sekitarnya. Paranoid pada lansia dapat muncul sebagai bagian dari berbagai gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, gangguan psikotik, atau gangguan kognitif seperti demensia.

Beberapa ciri paranoid pada lansia meliputi:

Kecurigaan berlebihan:
Lansia yang mengalami paranoid mungkin memiliki kecenderungan untuk mencurigai niat dan tujuan orang lain, bahkan tanpa bukti yang jelas atau rasional.

Takut atau khawatir berlebihan:
Mereka mungkin merasa terancam atau takut akan bahaya yang tidak nyata atau berlebihan.
Lansia merasa terancam akan bahaya yang tidak nyata.
(Sumber: foto canva.com)
Isolasi sosial: 
Karena rasa curiga dan ketidakpercayaan terhadap orang lain, lansia yang mengalami paranoid dapat mengisolasi diri dari interaksi sosial atau membatasi kontak dengan orang lain.

Perubahan perilaku: 
Perubahan dalam perilaku mungkin terjadi, seperti menjadi lebih defensif, lebih waspada, atau cenderung menghindari situasi atau orang tertentu.

Ketakutan berlebihan terhadap konspirasi: 
Lansia dengan gejala paranoid mungkin cenderung mempercayai teori konspirasi atau memiliki keyakinan yang tidak rasional terkait dengan ancaman yang dirasakannya.

💬 Gejala paranoid pada lansia tidak selalu menunjukkan adanya gangguan mental yang serius. 

        Paranoid pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dan seringkali faktor-faktor tersebut saling berhubungan. 

Beberapa faktor penyebab paranoid pada lansia meliputi:

Gangguan Mental: 
Gangguan mental seperti gangguan kecemasan, gangguan psikotik, atau gangguan kognitif seperti demensia dapat menjadi penyebab paranoid pada lansia. Gangguan tersebut dapat mempengaruhi cara seseorang memproses informasi dan merespon lingkungannya.

Perubahan Neurologis:
Perubahan dalam struktur dan fungsi otak yang terjadi seiring bertambahnya usia dapat memainkan peran dalam munculnya gejala paranoid pada lansia. Misalnya, adanya penurunan fungsi kognitif atau kerusakan pada bagian otak tertentu dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi informasi.

Riwayat Trauma atau Pengalaman Sulit:
Lansia dengan riwayat pengalaman trauma atau kejadian sulit dalam hidup mereka mungkin lebih rentan terhadap pengembangan gejala paranoid. Pengalaman traumatis dapat meningkatkan tingkat kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap orang lain.
Lansia yang trauma renta terhadap paranoid.
(Sumber: foto canva.com)
Kondisi Kesehatan Fisik: 
Beberapa kondisi kesehatan fisik, seperti penyakit yang mempengaruhi sistem saraf atau gangguan hormonal, dapat memiliki dampak pada kesehatan mental dan menyebabkan gejala paranoid.

Efek Samping Obat: 
Penggunaan obat tertentu, terutama obat-obatan yang memengaruhi sistem saraf, dapat menyebabkan perubahan perilaku dan pikiran, termasuk gejala paranoid.
Isolasi Sosial: Keterbatasan dalam interaksi sosial atau kehilangan orang-orang terdekat dapat meningkatkan risiko munculnya gejala paranoid pada lansia. Rasa kesepian dan isolasi dapat memengaruhi kesejahteraan mental.

Faktor Genetik dan Keturunan: 
Faktor genetik juga dapat memainkan peran dalam munculnya gangguan mental, termasuk gejala paranoid. Jika ada riwayat gangguan mental dalam keluarga, seseorang mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi.

Perubahan Lingkungan: 
Perubahan dalam lingkungan sekitar, seperti kehilangan rumah atau perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari, dapat menciptakan tingkat stres yang tinggi dan memicu gejala paranoid.

       ðŸ’¬  Paranoid pada lansia dapat terkait dengan berbagai gangguan kesehatan mental dan fisik. 

Beberapa penyakit yang mungkin menyertai atau berkontribusi pada gejala paranoid pada lansia meliputi:

Gangguan Kesehatan Mental:
  • Gangguan Kecemasan: Gangguan kecemasan seperti gangguan kecemasan generalisata (GAD) atau gangguan kecemasan sosial dapat menyebabkan kecenderungan untuk merasa terancam atau cemas.
  • Gangguan Psikotik: Gangguan psikotik seperti skizofrenia atau gangguan delusional dapat menyertai gejala paranoid yang lebih serius.

Gangguan Kognitif:
Demensia: Lansia yang mengalami demensia, seperti penyakit Alzheimer, dapat mengalami perubahan dalam persepsi dan penilaian situasi, yang mungkin menciptakan kecenderungan untuk menjadi paranoid.

Gangguan Mood:
Depresi: Depresi pada lansia dapat menciptakan perasaan curiga, tidak aman, atau takut terhadap orang lain atau situasi tertentu.

Gangguan Bipolar:
Gangguan bipolar: Pada beberapa kasus, gejala paranoid dapat muncul dalam episode manik atau depresif pada lansia dengan gangguan bipolar.

Gangguan Psikotik Lainnya:
Gangguan delusional: Gangguan delusional adalah kondisi di mana seseorang memiliki keyakinan yang tidak rasional dan sulit untuk disesuaikan dengan realitas.

Kondisi Neurologis:
  • Penyakit Parkinson: Lansia dengan penyakit Parkinson atau gangguan neurologis lainnya mungkin mengalami perubahan perilaku, termasuk gejala paranoid.
  • Penyakit vaskular otak: Penyakit yang memengaruhi pembuluh darah otak dapat menyebabkan perubahan perilaku dan kecenderungan paranoid.

Penggunaan Obat-obatan:
Efek samping obat: Beberapa obat, terutama obat-obatan psikotropika atau obat-obatan yang memengaruhi sistem saraf, dapat menyebabkan perubahan perilaku, termasuk gejala paranoid.

Gangguan Psikososial:
  • Stres atau kehilangan: Peristiwa kehidupan yang menekan, seperti kehilangan pasangan hidup atau isolasi sosial, dapat meningkatkan risiko munculnya gejala paranoid pada lansia.
  • Penyebab gejala paranoid pada lansia seringkali kompleks dan dapat melibatkan interaksi antara faktor-faktor fisik, psikologis, dan lingkungan. 

       Meskipun tidak mungkin untuk sepenuhnya mencegah gejala paranoid pada lansia, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu meminimalkan risiko dan mendukung kesehatan mental mereka:

Dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pemeriksaan Kesehatan Rutin:
Lansia sebaiknya menjalani pemeriksaan kesehatan rutin secara teratur untuk mendeteksi dan mengelola penyakit fisik yang mungkin berkontribusi pada gejala paranoid.

Kesehatan Otak:
Menjaga kesehatan otak dengan pola makan sehat, olahraga teratur, dan tidur yang cukup dapat membantu mengurangi risiko gangguan kognitif.
 Jaga kesehatan otak dengan pola makan sehat, olahraga teratur, dan tidur yang cukup.
(Sumber: foto canva.com)
Stimulasi Kognitif:
Aktivitas yang merangsang kognisi, seperti bermain teka-teki, membaca, atau belajar hal baru, dapat membantu menjaga kesehatan otak dan mengurangi risiko gangguan kognitif.

Aktivitas Fisik:
Olahraga teratur tidak hanya baik untuk kesehatan fisik, tetapi juga dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi tingkat stres.

Interaksi Sosial:
Menjaga hubungan sosial yang sehat dapat membantu mengurangi risiko isolasi sosial dan kesepian, yang dapat menjadi faktor risiko bagi gejala paranoid.

Manajemen Stres:
Mempelajari teknik manajemen stres seperti meditasi, relaksasi, atau yoga dapat membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan.

Konseling atau Terapi Psikologis:
Jika ada riwayat trauma atau konflik emosional, konseling atau terapi psikologis dapat membantu dalam pemahaman dan penanganan masalah tersebut.

Penggunaan Obat-obatan dengan Hati-hati:
Jika seseorang sedang menggunakan obat-obatan tertentu, termasuk obat-obatan psikotropika, penting untuk mengikuti panduan dokter dan memahami efek samping yang mungkin timbul.

Rutinitas dan Keteraturan:
Mempertahankan rutinitas harian yang konsisten dan lingkungan yang terstruktur dapat membantu lansia merasa aman dan terhindar dari kebingungan.

Dukungan Keluarga dan Sosial:
Memberikan dukungan emosional dan fisik oleh keluarga, teman, dan anggota komunitas dapat membantu meningkatkan kesejahteraan lansia.

Pendidikan Keluarga:
Memberikan pendidikan kepada keluarga dan orang-orang terdekat tentang penyakit mental pada lansia, termasuk gejala paranoid, dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung.

       Pengobatan paranoid pada lansia tergantung pada penyebab dan gejala spesifik yang dialami oleh individu tersebut. Pengobatan sering melibatkan pendekatan yang holistik, termasuk kombinasi terapi obat dan terapi non-obat. Pengobatan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi kesehatan individu dan harus diawasi oleh profesional kesehatan yang berpengalaman. 

Beberapa pendekatan yang umumnya digunakan dalam pengobatan paranoid pada lansia:

Evaluasi Medis dan Psikologis:
Langkah pertama adalah melakukan evaluasi menyeluruh oleh profesional kesehatan, seperti psikiater atau psikolog. Evaluasi ini melibatkan pemeriksaan fisik dan kesehatan mental untuk menentukan penyebab gejala paranoid.

Terapi Kognitif atau Psikoterapi:
Terapi kognitif atau psikoterapi dapat membantu lansia untuk mengidentifikasi dan mengatasi pola pikir negatif atau delusional yang mungkin muncul. Terapis dapat membantu individu mengembangkan strategi untuk mengelola ketakutan dan kecemasan.

Terapi Obat:
Penggunaan obat-obatan psikiatrik mungkin diperlukan tergantung pada diagnosis yang diterima. Antipsikotik dapat diresepkan untuk mengurangi gejala paranoid dan delusional. Penting untuk dicatat bahwa penggunaan obat-obatan harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan individu, dan efek samping serta risiko interaksi obat harus dipertimbangkan.

Manajemen Stres dan Relaksasi:
Pelatihan manajemen stres dan teknik relaksasi seperti meditasi atau pernapasan dalam dapat membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan pada lansia.

Dukungan Sosial:
Mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu lansia merasa didukung dan terhubung, mengurangi isolasi sosial.

Pendidikan dan Konseling:
Pendidikan tentang kondisi kesehatan mental yang mungkin dihadapi oleh lansia, bersama dengan konseling yang terarah, dapat membantu mereka dan keluarganya memahami dan mengatasi gejala paranoid.

Perubahan Gaya Hidup:
Fokus pada perubahan gaya hidup sehat, termasuk diet seimbang, olahraga teratur, dan tidur yang cukup, dapat mendukung kesejahteraan umum dan kesehatan mental.

Setiap individu memiliki kebutuhan unik, dan pendekatan pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan preferensi individu. Konsultasikan dengan profesional kesehatan untuk merancang rencana pengobatan yang tepat. Jika ada tanda atau gejala perubahan perilaku yang signifikan, segera cari bantuan medis untuk evaluasi dan pengelolaan yang sesuai.


Sumber:

https://www.webmd.com/healthy-aging/paranoia-older-adults 

https://betterhealthwhileaging.net/6-causes-paranoia-in-aging/

https://www.aplaceformom.com/caregiver-resources/articles/paranoia-in-the-elderly

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1257410/

https://www.visitingangels.com/knowledge-center/senior-health-and-well-being/paranoia-in-the-elderly/140