Tuesday, 20 February 2024

Silaturahmi Memperpanjang Umur lansia, Mari Cari Tahu.

         Silaturahmi adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab "shilat" yang berarti hubungan atau ikatan, dan "al-rahmi" yang berarti kasih sayang atau hubungan darah. Secara harfiah, silaturahmi berarti menjalin hubungan atau ikatan kasih sayang. 

Dalam konteks sosial dan budaya di masyarakat Indonesia, silaturahmi mengacu pada tindakan menjalin hubungan baik, bertemu, berkomunikasi, dan mempererat ikatan antara satu dengan yang lain, baik antarindividu maupun antarkelompok, dengan tujuan membangun kerukunan dan kebersamaan.

Silaturahmi sangat baik untuk kesehatan lansia.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Silaturahmi merupakan nilai yang sangat dihargai dalam budaya Indonesia, karena diyakini bahwa menjalin hubungan baik dengan orang lain dapat membawa berkah, meningkatkan keharmonisan, serta memperkuat solidaritas dan kerukunan antarindividu dan masyarakat. Praktik silaturahmi sering dilakukan dalam berbagai konteks, seperti dalam kegiatan keluarga, sosial, agama, dan budaya.

Orang lanjut usia yang memelihara hubungan sosial memperoleh manfaat emosional dari persahabatan, dan penelitian menunjukkan bahwa mereka juga mengalami kesehatan fisik dan mental yang lebih baik. Menghabiskan waktu bersama teman dapat menurunkan risiko penyakit kronis seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung, sekaligus mencegah dampak buruk isolasi sosial terhadap sistem kekebalan tubuh.

       Budaya dan kepercayaan masyarakat Indonesia, memiliki keyakinan bahwa menjalin silaturahmi dapat memberikan manfaat positif bagi kesehatan dan kebahagiaan seseorang, yang pada gilirannya dapat berdampak pada umur panjang. 

Namun, secara ilmiah, belum ada bukti empiris yang kuat yang secara langsung mengaitkan silaturahmi dengan perpanjangan umur. Meskipun demikian, penelitian di bidang psikologi dan kesehatan telah menunjukkan hubungan sosial yang kuat dan positif.

Dengan berbagai manfaat kesehatan, seperti mengurangi risiko depresi, meningkatkan kekebalan tubuh, dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan, silaturahmi dapat menjadi bagian dari upaya menjaga kesehatan mental dan emosional seseorang. 

       Lansia yang sering menjalin silaturahmi cenderung menunjukkan beberapa ciri-ciri atau perilaku tertentu, meskipun hal ini dapat bervariasi tergantung pada individu dan konteksnya. 

Beberapa ciri yang mungkin terlihat pada lansia yang aktif dalam menjalin silaturahmi antara lain:

Sosial dan Ramah:
Lansia yang aktif dalam silaturahmi cenderung bersikap ramah, terbuka, dan mudah berinteraksi dengan orang lain. Mereka mungkin senang bertemu dan berkomunikasi dengan orang-orang baru serta menjaga hubungan yang sudah ada.

Mengikuti Kegiatan Sosial: 
Mereka dapat sering mengikuti kegiatan sosial seperti pertemuan keluarga, reuni, acara keagamaan, dan kegiatan komunitas lainnya yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain.

Memiliki Jaringan Sosial yang Luas:
Lansia yang aktif dalam silaturahmi mungkin memiliki jaringan sosial yang luas, termasuk keluarga, teman, tetangga, dan anggota komunitas lainnya. Mereka mungkin memiliki banyak kenalan dan hubungan yang beragam.

Perhatian terhadap Kesejahteraan Orang Lain:
Mereka cenderung peduli terhadap kesejahteraan orang lain di sekitar mereka. Mereka mungkin menunjukkan minat dalam membantu atau memberikan dukungan kepada orang lain dalam komunitas mereka.

Menghargai Tradisi dan Nilai Sosial: 
Lansia yang sering menjalin silaturahmi sering menghargai tradisi sosial dan nilai-nilai budaya yang mendorong interaksi sosial dan hubungan yang baik dengan orang lain.

Aktif dalam Komunitas:
Mereka mungkin aktif dalam kegiatan atau organisasi komunitas yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan memperluas jaringan sosial mereka.

 Aktif dalam kegiatan komunitas berpengaruh terhadap kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Menjaga Hubungan dengan Keluarga: 
Lansia yang sering menjalin silaturahmi biasanya juga aktif dalam menjaga hubungan dengan anggota keluarga, baik secara langsung maupun melalui komunikasi jarak jauh.

       Silaturahmi atau menjalin hubungan sosial yang positif memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan lansia. 

Beberapa manfaat tersebut antara lain:

Meningkatkan Kesejahteraan Mental:
Interaksi sosial yang positif dapat memberikan dukungan emosional dan psikologis yang penting bagi kesejahteraan mental lansia. Merasa terhubung dengan orang lain dapat mengurangi risiko depresi, kecemasan, dan perasaan kesepian.

Menjaga Kognisi:
Berinteraksi dengan orang lain dalam aktivitas sosial seperti berbicara, berdiskusi, atau bermain peran dapat membantu menjaga kognisi atau fungsi kognitif. Aktivitas sosial juga dapat merangsang otak dan memperkuat koneksi saraf.

Meningkatkan Kesehatan Emosional: 
Menjalin hubungan sosial yang positif dapat memberikan peluang untuk tertawa, berbagi cerita, dan merayakan momen-momen positif bersama. Ini dapat meningkatkan mood dan kesehatan emosional secara keseluruhan.

Mendorong Gaya Hidup Aktif:
Silaturahmi sering melibatkan berbagai aktivitas sosial, seperti menghadiri pertemuan keluarga, acara komunitas, atau kegiatan keagamaan. Hal ini dapat mendorong lansia untuk tetap aktif secara fisik dan mental.

Aktif dalam kegiatan komunitas baik fisik dan mental.
(Sumber: foto canva.com)
Mengurangi Stres: 
Berbagi pengalaman, cerita, dan mendapat dukungan dari orang lain dapat membantu mengurangi tingkat stres. Dukungan sosial yang positif dapat memberikan rasa aman dan meningkatkan kemampuan lansia untuk mengatasi tantangan dan stres sehari-hari.

Meningkatkan Kesehatan Fisik:
Aktivitas sosial yang melibatkan pergi ke tempat-tempat, berjalan-jalan, atau berpartisipasi dalam kegiatan fisik tertentu dapat membantu menjaga kesehatan fisik lansia. Interaksi sosial yang positif juga dapat meningkatkan motivasi untuk menjaga kesehatan fisik secara keseluruhan.

Peningkatan Dukungan Sosial: 
Melalui silaturahmi, lansia dapat membangun dan memperluas jaringan sosial yang memberikan dukungan dan bantuan dalam situasi-situasi sulit, seperti sakit atau kesulitan lainnya.

Dengan demikian, menjalin silaturahmi tidak hanya penting untuk kesejahteraan sosial lansia tetapi juga memiliki dampak positif yang signifikan pada kesehatan fisik, mental, dan emosional mereka.

Silaturahmi meningkatkan kesejahteraan sosial pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)

       Tidak menjalin silaturahmi atau hubungan sosial yang positif dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan lansia. 

Beberapa dampak dari kurangnya silaturahmi pada lansia antara lain:

Risiko Kesejahteraan Mental yang Tinggi: 
Lansia yang tidak aktif dalam menjalin hubungan sosial cenderung memiliki risiko kesejahteraan mental yang lebih tinggi, termasuk depresi, kecemasan, dan perasaan kesepian.

Kesehatan Fisik yang Buruk: 
Kurangnya interaksi sosial dapat mengarah pada gaya hidup yang kurang aktif secara fisik, yang dapat meningkatkan risiko penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes, dan kelebihan berat badan.

Kognisi yang Menurun:
Keterlibatan sosial yang terbatas dapat berdampak negatif pada fungsi kognitif atau kemampuan berpikir, mengingat, dan memproses informasi. Lansia yang terisolasi sosial cenderung memiliki risiko kognisi yang menurun dan peningkatan risiko demensia.

Peningkatan Risiko Kesehatan Emosional: 
Kesepian dan isolasi sosial dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan emosional seperti depresi, kecemasan, dan stres kronis.

Kualitas Hidup yang Buruk: 
Kurangnya interaksi sosial dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan, karena lansia mungkin merasa terisolasi, tidak dihargai, dan tidak memiliki dukungan sosial yang diperlukan.

Penurunan Kemandirian:
Interaksi sosial yang terbatas juga dapat berkontribusi pada penurunan kemandirian lansia, karena mereka mungkin kehilangan motivasi untuk menjaga kesehatan dan terlibat dalam aktivitas sehari-hari.

Peningkatan Risiko Mortalitas:
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa isolasi sosial dan kesepian dapat meningkatkan risiko kematian pada lansia.

Oleh karena itu, menjaga dan meningkatkan silaturahmi atau hubungan sosial yang positif penting bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Interaksi sosial yang teratur dapat membantu melindungi mereka dari risiko kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup mereka di masa tua.

        Tidak bersilaturahmi berdampak pada isol asi sosial dan kesepian memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan dan kesejahteraan lansia, termasuk meningkatkan risiko mortalitas. 

Beberapa alasan mengapa isolasi sosial dan kesepian dapat meningkatkan risiko kematian pada lansia :

Pengaruh pada Kesehatan Mental:
Isolasi sosial dan kesepian dapat menyebabkan stres psikologis, depresi, dan kecemasan. Gangguan kesehatan mental ini dapat berkontribusi pada penurunan kualitas hidup dan meningkatkan risiko perilaku yang merugikan kesehatan, seperti merokok, konsumsi alkohol berlebihan, dan kurangnya aktivitas fisik, yang dapat mengarah pada peningkatan risiko penyakit kronis dan kematian.

Penurunan Kualitas Tidur:
Kesepian dapat berdampak negatif pada kualitas tidur seseorang. Gangguan tidur kronis telah terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, obesitas, diabetes, dan kematian.

Penurunan Kesehatan Fisik: 
Isolasi sosial dapat menyebabkan penurunan dukungan sosial dan akses terhadap layanan kesehatan. Lansia yang terisolasi sosial cenderung memiliki pola makan yang buruk, kurangnya aktivitas fisik, dan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan, yang semuanya dapat meningkatkan risiko penyakit dan kematian.

Peningkatan Risiko Penyakit Kronis:
Isolasi sosial dan kesepian telah terkait dengan peningkatan risiko penyakit kronis seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kanker. Penyakit-penyakit ini sering kali merupakan penyebab utama kematian pada lansia.

Kurangnya Dukungan Sosial:
Lansia yang terisolasi sosial memiliki sedikit atau tidak ada dukungan sosial yang diperlukan untuk mengatasi tantangan kesehatan dan emosional. Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas dapat menjadi faktor yang penting dalam pemulihan dari penyakit dan menjaga kesehatan secara keseluruhan.

Penurunan Kemandirian: 
Isolasi sosial dapat mengakibatkan penurunan kemandirian lansia karena kurangnya motivasi untuk menjaga kesehatan dan terlibat dalam aktivitas sehari-hari yang diperlukan untuk mempertahankan kesehatan fisik dan mental.

Rasa Tidak Berharga:
Lansia yang merasa terisolasi sosial dan kesepian mungkin mengalami perasaan tidak berharga atau tidak dihargai, yang dapat menyebabkan kehilangan minat dalam hidup dan penurunan motivasi untuk menjaga kesehatan.

Isolasi sosial dan kesepian dapat memiliki dampak yang serius pada kesehatan dan kesejahteraan lansia, termasuk meningkatkan risiko mortalitas. Oleh karena itu, penting untuk mendorong interaksi sosial yang positif dan memperkuat jaringan sosial  dengan cara melakukan silaturahmi.

Silaturahmi merupakan ikatan kasih sayang antara anak,keluarga dan sahabat yang sangat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.


Sumber:

https://thevariel.com/as-we-get-older-the-importance-of-friendship-grows 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7887723/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6441127/

https://www.aetna.com/health-guide/importance-of-friends-as-you-age.html

https://agewellct.org/whats-new/lifestyle/the-importance-of-friendship-for-older-adults-2023/

Monday, 19 February 2024

Isolasi Sosial pada Lansia, Peningkatan Risiko kematian Dini.

         Isolasi sosial umumnya didefinisikan sebagai rendahnya kuantitas dan kualitas kontak dengan orang lain. Situasi isolasi sosial melibatkan sedikit kontak sosial dan sedikit peran sosial, serta tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesehatan yang buruk, kesepian, tekanan emosional dan dampak negatif lainnya.

Tidak semua lansia yang terisolasi secara sosial menderita akibat negatif dari isolasi sosial. Misalnya, beberapa lansia mungkin lebih suka menyendiri dan tidak mengalami kesepian. Di sisi lain, karena kesepian adalah pengalaman subjektif, beberapa lansia yang aktif secara sosial mungkin merasa kesepian.

Lansia dalam suatu komunitas mengurangi risiko isolasi sosial.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Isolasi sosial berbeda dengan perasaan kesepian, meski keduanya sering kali berkaitan. Kesepian adalah penderitaan yang diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang ideal dan yang dirasakan. Perspektif kesenjangan ini memperjelas bahwa kesepian tidak identik dengan kesendirian, dan kebersamaan dengan orang lain juga tidak menjamin perlindungan dari perasaan kesepian. Sebaliknya, kesepian adalah perasaan tertekan yang terjadi ketika hubungan sosial seseorang dianggap kurang memuaskan dibandingkan yang diinginkan.

Beberapa faktor dapat menempatkan lansia pada risiko isolasi sosial dan kesepian, antara lain:

Kesehatan Fisik: 
Masalah kesehatan fisik seperti gangguan mobilitas, penurunan fungsi sensorik (penglihatan dan pendengaran), atau penyakit kronis dapat membatasi kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara sosial. Hal ini dapat membuat lansia merasa sulit untuk keluar rumah atau berpartisipasi dalam aktivitas sosial.

Kehilangan Pasangan Hidup:
Kematian pasangan hidup atau teman-teman sebaya dapat meninggalkan lansia dalam situasi isolasi sosial. Pasangan hidup sering kali merupakan sumber dukungan sosial yang kuat, dan kehilangan mereka dapat meninggalkan lansia merasa terisolasi secara emosional dan sosial.

Mobilitas Terbatas:
Lansia yang mengalami penurunan mobilitas, baik karena masalah kesehatan fisik atau kendala transportasi, mungkin tidak dapat dengan mudah melakukan aktivitas sosial di luar rumah mereka. Ini dapat menyebabkan isolasi sosial karena mereka tidak dapat mengakses kegiatan sosial di masyarakat.

Keterbatasan Finansial:
Keterbatasan finansial dapat menjadi hambatan bagi lansia untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial. Biaya transportasi, keanggotaan klub, atau bahkan biaya makan di luar rumah dapat menjadi penghalang bagi lansia yang memiliki pendapatan terbatas.

Keterbatasan finasial menjadi hambatab lansia beraktivitas sosial.
(Sumber: foto canva.com)

Stigma Sosial: 
Beberapa lansia mungkin mengalami isolasi sosial karena stigma sosial terkait usia tua, usia 80 tahun atau lebih. Stigma ini dapat mendorong mereka untuk menghindari interaksi sosial karena merasa tidak dihargai atau tidak relevan dalam lingkungan sosial yang lebih muda.

Kehilangan Kemandirian: 
Lansia yang kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari mungkin merasa malu atau tidak nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain. Rasa rendah diri ini dapat menyebabkan mereka menarik diri dari situasi sosial.

Kehilangan Jaringan Sosial: 
Lansia yang mengalami kehilangan teman-teman atau keluarga dekat dalam jumlah besar, misalnya karena kematian, pindah, atau pertengkaran, dapat merasa kehilangan dukungan sosial yang penting. Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial karena mereka merasa tidak memiliki jaringan sosial yang kuat lagi.

Perubahan Lingkungan:
Perubahan lingkungan seperti pindah ke tempat tinggal yang baru atau masalah aksesibilitas dalam lingkungan tempat tinggal lama juga dapat menyebabkan isolasi sosial bagi lansia.

Kesadaran terhadap layanan dan program masyarakat: 
Lansia kurang kesadaran atau akses terhadap layanan dan program masyarakat, seperti posyandu lansia.

Beberapa akibat yang timbul dari isolasi dan pengucilan sosial, antara lain: 

Penurunan Kesehatan Mental:
Isolasi sosial dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan stres pada lansia. Kurangnya interaksi sosial dapat menyebabkan perasaan kesepian, rendah diri, dan kurangnya dukungan emosional, yang semuanya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.

Penurunan Kesehatan Fisik:
Lansia yang mengalami isolasi sosial cenderung kurang aktif secara fisik. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, diabetes, dan kondisi kesehatan fisik lainnya. Selain itu, kurangnya dukungan sosial juga dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan.

Keterbatasan fisik cenderung mengalami isolasi sosial.
(Sumber: foto canva.com)
Penurunan Kognitif:
Interaksi sosial dapat memiliki dampak positif pada kognisi dan fungsi otak. Isolasi sosial pada lansia dapat meningkatkan risiko penurunan kognitif dan perkembangan penyakit seperti demensia dan Alzheimer.

Penurunan Kualitas Hidup:
Kurangnya interaksi sosial dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Lansia yang merasa terisolasi mungkin mengalami kesulitan dalam menemukan arti dan tujuan dalam kehidupan sehari-hari, serta kesulitan dalam menikmati aktivitas dan hobi yang mereka nikmati.

Penurunan Keterlibatan Sosial:
Isolasi sosial dapat menyebabkan lansia merasa terputus dari masyarakat dan kurang terlibat dalam kegiatan sosial yang bermanfaat. Ini dapat mengurangi rasa keterlibatan dan keterikatan dengan masyarakat, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan sosial mereka.

Peningkatan Risiko Kematian Dini: 
Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara isolasi sosial pada lansia dengan peningkatan risiko kematian dini. Lansia yang merasa terisolasi secara sosial cenderung memiliki harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang memiliki jaringan sosial yang kuat.

Kesulitan dalam Penyesuaian Perubahan: 
Isolasi sosial dapat membuat lansia lebih sulit menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kehidupan mereka, seperti kehilangan pasangan hidup, perubahan kondisi kesehatan, atau transisi ke tahap kehidupan yang baru.

Perasaan Terabaikan dan Tidak Diakui: 
Lansia yang merasa terisolasi sosial mungkin mengalami perasaan tidak diakui atau terabaikan oleh keluarga, teman, atau masyarakat secara umum. Hal ini dapat meningkatkan perasaan kesepian dan merugikan kesejahteraan emosional mereka.

Peningkatan jumlah jatuh:
Lansia yang mengalami isolasi sosial cenderung kurang aktif secara fisik karena mereka memiliki sedikit kesempatan untuk bergerak dan berinteraksi dengan orang lain. Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot, keseimbangan, dan koordinasi, yang merupakan faktor risiko utama untuk jatuh.

Beberapa faktor, sifat, situasi atau keadaan tertentu  dapat membantu lansia untuk berintegrasi secara sosial dan mengurangi risiko isolasi sosial:    
 
Mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi:
Lansia dengan pendidikan tinggi mungkin memiliki minat yang lebih besar dalam kegiatan intelektual dan budaya, seperti diskusi kelompok, pertunjukan seni, atau kursus pendidikan lanjutan. Partisipasi dalam kegiatan semacam itu dapat membantu mereka tetap terlibat dalam masyarakat dan mencegah isolasi sosial.

Memiliki pendapatan yang cukup :
Memiliki pendapatan yang cukup memungkinkan lansia untuk mengikuti kegiatan sosial dan rekreasi yang memerlukan biaya, seperti bergabung dengan klub, menghadiri acara budaya atau olahraga, atau berpartisipasi dalam tur dan perjalanan kelompok. Ini membantu mereka untuk tetap aktif dan terlibat dalam masyarakat.

Berada dalam kondisi kesehatan fisik yang baik: 
Kemampuan fisik yang baik memungkinkan lansia untuk tetap aktif dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial dan rekreasi. Lansia yang memiliki mobilitas yang baik dan keseimbangan yang stabil akan lebih mungkin terlibat dalam kegiatan di luar rumah dan berinteraksi dengan orang lain.

Mempertahankan Koneksi Sosial:
Penting untuk mendorong lansia untuk tetap terhubung dengan teman, keluarga, dan komunitas mereka. Ini bisa dilakukan melalui panggilan telepon, obrolan video, atau pertemuan langsung jika memungkinkan.

Mendorong Partisipasi dalam Kegiatan Sosial:
Lansia harus didorong untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan rekreasi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Ini bisa termasuk klub buku, kelompok seni, atau klub olahraga.

Mengadakan Program Komunitas: 
Membangun program komunitas yang dirancang khusus untuk lansia dapat membantu menciptakan kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama dan membangun jaringan sosial yang kuat.

Mempromosikan Transportasi yang Ramah Lansia:
Memastikan aksesibilitas transportasi yang mudah bagi lansia dapat membantu mereka tetap terlibat dalam kegiatan sosial di luar rumah.

Menyediakan Dukungan Kesehatan Mental: 
Penting untuk menawarkan dukungan kesehatan mental kepada lansia yang mengalami kesulitan emosional atau psikologis. Ini bisa berupa konseling, dukungan kelompok, atau akses ke layanan kesehatan mental.

Menyediakan Akses ke Layanan Perawatan Diri: 
Membantu lansia untuk tetap merawat diri mereka sendiri dengan baik dapat membantu mereka merasa lebih percaya diri dan independen. Ini bisa meliputi akses ke layanan perawatan pribadi di rumah atau di komunitas.

Membangun Kesadaran akan Isolasi Sosial: 
Pendidikan dan kesadaran tentang risiko isolasi sosial pada lansia dapat membantu masyarakat dan penyedia layanan kesehatan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah ini.

Menggunakan Teknologi Secara Efektif:
Mendorong penggunaan teknologi seperti komputer, tablet, atau ponsel pintar dapat membantu lansia tetap terhubung dengan teman dan keluarga, serta memperluas jaringan sosial mereka.

Mendorong Keterlibatan dalam Pekerjaan Sukarela:
Menyediakan kesempatan untuk terlibat dalam pekerjaan sukarela dapat membantu lansia merasa terhubung dengan masyarakat dan memberikan perasaan memiliki tujuan dan kontribusi yang berarti.

Membangun Lingkungan yang Dukung lansia: 
Membangun lingkungan sosial yang inklusif dan mendukung di komunitas dan tempat tinggal dapat membantu mencegah isolasi sosial pada lansia.

Lingkungan yang mendukung lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Dengan mengambil langkah-langkah ini, Anda dapat mengurangi risiko isolasi sosial pada lansia dan meningkatkan kesejahteraan sosial, emosional, dan fisik mereka. Bergabung dengan posyandu lansia dan komunikasi dengan tenaga kesehatan atau dokter.



Sumber:

https://www.canada.ca/en/employment-social-development/corporate/partners/seniors-forum/social-isolation-toolkit-vol1.html

https://bluemoonseniorcounseling.com/10-ways-to-help-seniors-avoid-social-isolation/

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28515187/

https://www.aplaceformom.com/caregiver-resources/articles/social-isolation

https://www.who.int/activities/reducing-social-isolation-and-loneliness-among-older-people/1000

https://www.ncoa.org/article/staying-socially-connected-can-stave-off-isolation-and-loneliness



Sunday, 18 February 2024

Cara Kelola Pikiran Negatif bukan Memanipulasi.

         Pikiran negatif adalah jenis pikiran yang cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal yang buruk, merugikan, atau tidak menyenangkan. Ini bisa berupa kekhawatiran, keraguan diri, kecemasan, atau rasa putus asa. Pikiran negatif sering kali memengaruhi suasana hati seseorang dan dapat mengganggu kesejahteraan mental serta emosional mereka. 

Pikiran ini juga dapat memengaruhi persepsi dan pandangan seseorang terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya secara keseluruhan. Dalam beberapa kasus, pikiran negatif dapat menjadi pola pikir yang terpaku dan mempengaruhi cara seseorang menanggapi dan mengatasi berbagai situasi hidup.

Lansia harus mampu mengelola pikiran negatif.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Pikiran negatif adalah hal yang alami dan umum dalam pengalaman manusia, namun, pengelolaannya dengan cara yang sehat dan produktif dapat membantu seseorang merasa lebih baik secara keseluruhan. 

Memanipulasi pikiran negatif tidaklah disarankan atau seharusnya tidak dilakukan. Memanipulasi atau menekan pikiran negatif secara tidak sehat tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kesehatan mental seseorang. Sebaliknya, penting untuk menghadapi dan mengelola pikiran negatif dengan cara-cara yang sehat dan efektif. 

Beberapa ciri pikiran negatif pada lansia meliputi:

Peningkatan Kecemasan:
Lansia cenderung mengalami kecemasan yang lebih tinggi daripada kelompok usia yang lebih muda. Mereka mungkin cemas akan kesehatan mereka, keuangan, kesepian, atau masa depan mereka.

Lansia cenderung mengalami kecemasan yang tinggi.
(Sumber: foto canva.com)
Peningkatan Depresi: 
Lansia rentan terhadap depresi karena berbagai faktor, termasuk perubahan fisik, sosial, dan psikologis yang terkait dengan penuaan. Mereka mungkin merasa sedih, kehilangan minat pada kegiatan yang dahulu mereka nikmati, dan kehilangan harapan akan masa depan.

Persepsi Negatif terhadap Penuaan:
Beberapa lansia mungkin memiliki pandangan negatif terhadap proses penuaan dan mengasosiasikannya dengan kelemahan, kehilangan, atau ketidakberdayaan. Pandangan negatif semacam ini dapat memengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Isolasi Sosial: 
Lansia yang mengalami pikiran negatif mungkin cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan aktivitas luar rumah. Mereka mungkin merasa tidak dihargai atau merasa bahwa tidak ada yang peduli tentang keberadaan mereka.

Ketergantungan Berlebihan:
Beberapa lansia mungkin menjadi terlalu tergantung pada orang lain atau institusi seperti rumah sakit atau panti jompo karena merasa tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri.

Pikiran yang Berputar-putar:
Lansia dengan pikiran negatif mungkin cenderung terjebak dalam pola pikir yang berputar-putar tentang hal-hal yang tidak menyenangkan atau mengkhawatirkan.

Pengabaian Kesehatan: 
Pikiran negatif dapat mempengaruhi perilaku kesehatan lansia, seperti kurangnya motivasi untuk berolahraga, makan dengan baik, atau menjaga perawatan medis yang tepat.

Penurunan Kualitas Hidup:
Keseluruhan, pikiran negatif pada lansia dapat mengarah pada penurunan kualitas hidup mereka karena mempengaruhi suasana hati, hubungan sosial, dan kesejahteraan fisik dan mental mereka secara keseluruhan.

Beberapa faktor penyebab pikiran negatif pada lansia, antara lain:

Perubahan Fisik:
Proses penuaan seringkali disertai dengan berbagai perubahan fisik seperti penurunan daya ingat, penurunan kemampuan fisik, atau timbulnya penyakit kronis. Perubahan ini dapat menyebabkan rasa frustasi, kekhawatiran, atau perasaan tidak berdaya yang dapat memicu pikiran negatif.

Perubahan Sosial:
Lansia sering mengalami perubahan dalam struktur sosial mereka, termasuk pensiun dari pekerjaan, kehilangan pasangan hidup, atau pemindahan ke fasilitas perawatan jangka panjang. Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan perasaan kesepian, isolasi, atau kehilangan identitas, yang dapat menyebabkan pikiran negatif.

Masalah Kesehatan Mental dan Fisik:
Gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, serta penyakit fisik seperti penyakit kronis atau kecacatan fisik, dapat menjadi faktor penyebab pikiran negatif pada lansia.

Stigma dan Stereotip Penuaan: 
Lansia mungkin menginternalisasi stigma dan stereotip negatif yang ada terkait dengan penuaan, seperti merasa tidak berguna atau diabaikan oleh masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi diri mereka dan menyebabkan pikiran negatif.

Lansia merasa tidak berguna atau diabaikan masyarakat.
(Sumber: foto canva.com)
Kehilangan Orang Terkasih:
Kehilangan orang terkasih, baik karena kematian atau penyakit serius, dapat menyebabkan kesedihan, kesepian, dan kekhawatiran tentang masa depan, yang semuanya dapat memicu pikiran negatif.

Keterbatasan Finansial:
Lansia yang mengalami keterbatasan finansial atau kekhawatiran tentang keuangan masa depan mereka dapat mengalami stres dan kecemasan yang dapat menyebabkan pikiran negatif.

Keterbatasan Mobilitas: 
Lansia yang mengalami keterbatasan mobilitas atau kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari mungkin merasa frustrasi atau tidak berdaya, yang dapat memicu pikiran negatif.

Kehilangan Kemandirian:
Lansia mungkin mengalami penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, atau mengemudi. Kehilangan kemandirian ini dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya atau putus asa yang dapat memicu pikiran negatif.

Beberapa strategi yang dapat membantu mengelola pikiran negatif:

Mindfulness (kesadaran diri):
 
Praktik mindfulness membantu seseorang menjadi lebih sadar akan pikiran, perasaan, dan sensasi fisik mereka tanpa menilainya. Ini membantu seseorang untuk menerima pikiran negatif tanpa terjebak di dalamnya.

Terapi Kognitif Perilaku (CBT): 
Terapi ini fokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikiran negatif menjadi pola pikiran yang lebih positif dan realistis. Ini melibatkan memeriksa bukti-bukti yang mendukung atau menentang pikiran negatif dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih sehat.

Menggantikan Pikiran Negatif dengan Positif:
Menggantikan pikiran negatif dengan pikiran positif yang lebih realistis dan membangun dapat membantu mengubah pola pikiran yang merugikan.

Mengganti pikiran negatif dengan pikiran positif.
(Sumber: foto canva.com)
Jurnal Kesehatan Pikiran: 
Menulis tentang pikiran negatif dan mencoba menemukan alternatif yang lebih sehat dan positif bisa membantu dalam mengatasi pola pikiran negatif.

Aktivitas yang Menyenangkan:
Melakukan aktivitas yang menyenangkan atau relaksasi seperti olahraga, seni, atau meditasi dapat membantu mengalihkan pikiran dari hal-hal negatif dan meningkatkan suasana hati.

Penerimaan dan Komitmen:
Memahami bahwa pikiran negatif adalah bagian dari pengalaman manusia yang normal dan memahami bahwa kita tidak selalu bisa mengontrol pikiran tersebut. Yang penting adalah bagaimana kita meresponsnya dan tetap komitmen untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang penting bagi kita.

Tantang pikiran negatif: 
Akui perasaan dan pikiran Anda, tapi jangan menekannya. Ketika pikiran negatif muncul, mundurlah dan periksalah.

Pilih pemikiran Anda: 
Gantikan pemikiran yang tidak membantu dengan pemikiran yang bermanfaat. Anda dapat membuat jurnal pemikiran Anda untuk membantu Anda berhenti, bertanya, dan memilih pemikiran Anda.

Gunakan afirmasi:
Ulangi pernyataan positif pada diri sendiri untuk melatih pikiran agar fokus pada hal terpenting bagi Anda.

Hitung berkah Anda:
Latihlah rasa syukur untuk bersyukur atas hal-hal baik yang Anda miliki.
Fokus pada saat ini: Berfokus pada saat ini dapat membantu Anda mengelola pikiran dan emosi.

Carilah dukungan profesional:
Konseling dan terapi dapat membantu Anda menghadapi perubahan hidup, mengurangi penderitaan emosional, dan mengalami pertumbuhan diri.

Buatlah jurnal positif: 
Menulis jurnal adalah cara bagi orang lanjut usia untuk mengekspresikan emosi dan perasaan mereka. Peneliti geriatri merekomendasikan penjurnalan untuk membantu menghilangkan emosi negatif. 

Beberapa cara  untuk membalikkan pemikiran negatif meliputi:

Membaca tentang kesuksesan orang lain: 
Membaca tentang kesuksesan orang lain dapat membantu seseorang melihat sisi positif dari kehidupan dan mengalihkan fokus dari pikiran negatif. Ini dapat membantu mengubah pola pikir negatif menjadi pola pikir yang lebih positif dan optimis.

Membaca kesuksesan orang lain membantu berpikir positif.
(Sumber: foto canva.com)
Menulis apa yang menyenangkan: 
Menulis memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dan memproses emosi mereka dengan cara yang kreatif. Ini bisa membantu mengeluarkan pikiran negatif dari dalam diri dan memberikan kesempatan untuk merenungkan perasaan mereka dengan lebih baik.

Membuat jurnal dan mendiskusikannya :
Menulis dalam jurnal memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dan memproses emosi mereka dengan cara yang aman dan pribadi. Ini bisa membantu dalam menghadapi dan meredakan pikiran negatif yang mungkin mereka alami.

Memahami pikiran negatif :
Dengan memahami pikiran negatif, seseorang dapat mengidentifikasi pola pikir yang tidak sehat atau tidak produktif. Ini bisa berupa kata-kata atau frasa yang sering muncul dalam pikiran, atau situasi tertentu yang memicu pikiran negatif.

Memastikan lansia tahu bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa ada orang-orang yang peduli tentang kesejahteraan mereka. Dorong mereka untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional kesehatan mental jika mereka merasa kesulitan mengatasi pikiran negatif mereka sendiri.


Sumber:

https://applewoodourhouse.com/7-ways-turn-around-negative-thinking-elderly/

https://assistinghands.com/38/texas/prestonhollow/blog/what-to-do-if-your-elderly-parents-have-a-negative-attitude/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1948895/

https://neurosciencenews.com/emotion-brain-aging-22250/

https://www.mcleanhospital.org/essential/negative-thinking

https://australiancarersguide.com.au/tips-for-carers-to-deal-with-negative-parents/