Thursday, 18 September 2025

Pencernaan dan Otak: Dua Dunia yang Ternyata Saling Terhubung

 Pengertian

       Hubungan antara pencernaan dan otak dikenal dengan istilah gut-brain axis atau sumbu otak-usus. Istilah ini merujuk pada sistem komunikasi dua arah yang melibatkan sistem saraf pusat (otak), sistem saraf enterik (jaringan saraf di usus), mikrobiota usus, serta sistem kekebalan tubuh. Dengan kata lain, otak dan pencernaan tidak bekerja secara terpisah, melainkan saling memengaruhi melalui jalur saraf, hormon, dan sinyal kimia.

Lansia perlu memilih makanan sehat agar pikiran tetap sehat.
(Sumber: Paguyuban Pengawas Purna)

Bagaimana Hubungan Itu Timbul

  1. Sistem Saraf
    Usus memiliki jaringan saraf yang disebut enteric nervous system (ENS), sering dijuluki sebagai otak kedua. ENS berkomunikasi dengan otak melalui saraf vagus, yang menjadi jalur utama pertukaran sinyal antara usus dan otak.

  2. Mikrobiota Usus
    Usus dihuni oleh miliaran mikroorganisme. Mikrobiota ini mampu menghasilkan neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA) yang berperan dalam suasana hati dan fungsi kognitif. Menariknya, sekitar 90% serotonin tubuh diproduksi di usus.

  3. Sistem Kekebalan Tubuh
    Lebih dari 70% sel imun berada di saluran pencernaan. Aktivitas imun di usus dapat memengaruhi kondisi peradangan sistemik yang berdampak pada kesehatan otak.

  4. Hormon dan Metabolit
    Usus menghasilkan hormon yang mengatur nafsu makan dan metabolisme, seperti ghrelin dan leptin, yang juga memengaruhi fungsi kognitif serta regulasi emosi.

Akibat yang Timbul

  • Dampak Negatif

    • Stres psikologis dapat memicu gangguan pencernaan, misalnya sindrom iritasi usus (Irritable Bowel Syndrome / IBS).

    • Ketidakseimbangan mikrobiota (dysbiosis) dikaitkan dengan gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.

    • Peradangan kronis pada usus dapat meningkatkan risiko penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer dan Parkinson.

  • Dampak Positif

    • Usus yang sehat mendukung produksi neurotransmiter yang stabil sehingga suasana hati lebih baik.

    • Mikrobiota yang seimbang meningkatkan fungsi memori, konsentrasi, dan ketahanan stres.

    • Pola makan kaya serat dan probiotik membantu menurunkan risiko gangguan kognitif.

Manfaat Memahami Hubungan Ini

Pemahaman tentang sumbu otak-usus membuka peluang baru dalam dunia medis. Misalnya:

  • Intervensi nutrisi: mengonsumsi probiotik, prebiotik, dan diet seimbang untuk memperbaiki kondisi psikologis.

  • Terapi gangguan mental: beberapa terapi depresi kini dikaji melalui pendekatan kesehatan usus.

  • Pencegahan penyakit otak: menjaga kesehatan usus dapat menurunkan risiko penyakit neurodegeneratif.

Kesimpulan

Hubungan pencernaan dan otak bukanlah sekadar mitos, melainkan jalur komunikasi biologis yang nyata. Otak dapat memengaruhi fungsi usus, dan kondisi usus dapat membentuk keadaan mental seseorang. Dengan menjaga kesehatan pencernaan melalui pola makan sehat, gaya hidup seimbang, dan manajemen stres, kita sekaligus menjaga kesehatan otak dan mental.




Sumber:

1. Loh, A. K., et al. (2024). Microbiome–Gut–Brain Axis: Therapeutic Applications. Signal Transduction and Targeted Therapy, 9(1), 383. Nature.

https://www.nature.com/articles/s41392-024-01743-1

2.Doenyas, C. (2025). Gut–Brain Axis and Neuropsychiatric Health: Recent Advances and Future Directions. Current Opinion in Psychiatry, 38(2), 83–92. PubMed.

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39870727

3 O’Riordan, K. J., et al. (2025). The Gut Microbiota–Immune–Brain Axis: Therapeutic Interventions. Brain, Behavior, & Immunity – Health, 41, 100769. ScienceDirect.

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2666379125000552

4. Braga, V. A., et al. (2024). Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) as a Postbiotic Mediator in the Gut–Brain Axis. npj Science of Food, 8, 17. Nature.

https://www.nature.com/articles/s41538-024-00253-2

5. Chen, H., et al. (2024). Fecal Microbiota Transplantation in Neurodegenerative Diseases: A Novel Frontier in Gut–Brain Axis Research. Frontiers in Neuroscience, 18, 12025253. PMC.

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12025253

Tuesday, 19 August 2025

Mimpi pada Lansia: Antara Bunga Tidur dan Makna Kehidupan

 Apa Itu Mimpi?

Secara ilmiah, mimpi adalah pengalaman batin yang muncul ketika kita tidur, berupa rangkaian gambar, suara, atau perasaan yang terasa nyata. Mimpi paling sering terjadi pada fase tidur REM (Rapid Eye Movement), saat otak kita aktif bekerja walau tubuh dalam keadaan istirahat.

Penelitian neurosains menyebutkan bahwa mimpi berkaitan erat dengan aktivitas memori dan emosi di otak. Hipokampus berperan dalam mengakses ingatan, sementara sistem limbik (amigdala dan hipotalamus) mengatur emosi. Itulah sebabnya mimpi bisa terasa begitu emosional, penuh kegembiraan, atau justru menakutkan.

Gambar dapat menjadi kenangan atau mimpi buruk pada lansia.
(Sumber: photo E. Raswa)

Hubungan Psikologis Mimpi dengan Kesejahteraan Lansia

Mimpi ternyata berhubungan dengan kesehatan mental dan kualitas hidup.

  • Mengolah ingatan: menurut Harvard Medical School, tidur REM yang cukup membantu menyusun memori, sehingga daya ingat lansia tetap terjaga.

  • Regulasi emosi: penelitian di Journal of Neuroscience (2019) menunjukkan bahwa mimpi dapat mengurangi stres emosional dengan menyalurkan perasaan yang tertahan.

  • Penghiburan batin: mimpi menghadirkan wajah orang yang dirindukan, bahkan yang telah tiada, sehingga memberi rasa dekat dan nyaman.

  • Membangkitkan motivasi: mimpi indah dapat membuat lansia bangun dengan hati lebih ringan dan bersemangat menjalani hari.

Sebaliknya, mimpi buruk berulang bisa menjadi tanda adanya stres, kecemasan, atau gangguan kesehatan tertentu.

Bagaimana Mendapatkan Mimpi yang Menyenangkan?

Mimpi indah dapat diupayakan dengan langkah-langkah sederhana:

  1. Tidur dengan tenang

    • Tidur dan bangun di jam yang sama.

    • Ciptakan kamar yang nyaman: cahaya redup, udara sejuk, suasana bersih.

  2. Ritual sebelum tidur

    • Membaca doa. Dalam Islam, Nabi ﷺ mengajarkan membaca Ayat Kursi, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas sebelum tidur agar terlindung dari gangguan mimpi buruk.

    • Mendengarkan murottal atau musik lembut.

    • Menuliskan rasa syukur atas hal-hal kecil yang membuat hari bermakna.

  3. Pikiran positif

    • Hindari menonton berita atau cerita yang menegangkan sebelum tidur.

    • Bayangkan hal-hal menyenangkan, seperti perjalanan, cucu, atau suasana indah.

  4. Kebiasaan sehat

    • Hindari makan berat dan kafein menjelang malam.

    • Lakukan relaksasi atau pernapasan dalam.

Menjauhkan Diri dari Mimpi Buruk

Mimpi buruk sering muncul akibat stres, rasa cemas, atau gangguan tidur. Lansia dapat menghindarinya dengan:

  • Menjaga kesehatan fisik → olahraga ringan, pola makan sehat.

  • Mengurangi stres → melalui ibadah, berkebun, berjalan pagi, atau bercengkerama dengan keluarga.

  • Tidur dalam keadaan tenang → berwudhu sebelum tidur, membaca doa, dan menjaga hati tetap damai.

  • Cerita ringan sebelum tidur → membaca kisah inspiratif atau mendengarkan dongeng dari cucu, yang dapat membuat pikiran lebih rileks.

Penutup

Mimpi bagi lansia adalah bagian penting dari kesejahteraan hidup. Dari sisi ilmiah, mimpi berperan dalam menjaga memori dan menyeimbangkan emosi. Dari sisi psikologis, mimpi dapat memberi hiburan, rasa syukur, dan semangat baru. Dari sisi religius, mimpi yang baik adalah kabar gembira, sementara mimpi buruk dapat dihindari dengan doa dan pikiran positif.

Mimpi bukan hanya bunga tidur—ia adalah jendela batin yang membuat masa tua tetap indah, hangat, dan penuh makna.

Referensi

  • Stickgold, R. (2001). Sleep-dependent memory consolidation. Nature.

  • Nielsen, T. & Levin, R. (2007). Nightmares: a new neurocognitive model. Sleep Medicine Reviews.

  • Harvard Medical School. (2020). The science of sleep and dreams.

  • Hadis Nabi ﷺ riwayat Bukhari dan Muslim tentang mimpi baik sebagai kabar gembira dan doa sebelum tidur.

Thursday, 26 June 2025

Mengapa Larangan Dokter Sering Dilanggar Lansia?

        Setiap keluarga pasti pernah mengalami situasi ini: seorang anggota keluarga lansia mendapat larangan makan dari dokter – misalnya untuk menghindari makanan manis, asin, atau berlemak – tetapi tak lama kemudian, larangan itu dilanggar. Bahkan dengan alasan sederhana seperti,

“Dari dulu saya makan ini, tidak ada masalah.”
Atau,
“Saya sudah tua, biar saja makan enak.”

Fenomena ini bukanlah hal sepele. Banyak kasus penyakit kronis pada lansia, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, atau kolesterol tinggi, menjadi sulit dikendalikan karena pola makan yang tidak sesuai anjuran medis. Namun, menyalahkan lansia sebagai "bandel" justru kontraproduktif. Dibutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa larangan dokter sering diabaikan.


1. Kebiasaan yang Telah Mengakar

Kebiasaan makan adalah hasil dari proses panjang yang terbentuk selama puluhan tahun. Banyak lansia memiliki pola konsumsi tertentu yang sudah menjadi bagian dari identitas mereka. Misalnya, makan gorengan sebagai camilan sore, nasi dengan lauk asin, atau teh manis setiap pagi.

Mengubah kebiasaan ini pada usia lanjut bukan perkara mudah. Bahkan, bagi sebagian lansia, perubahan pola makan terasa seperti "kehilangan bagian dari diri sendiri". Di sinilah pentingnya pendekatan bertahap dan persuasif, bukan sekadar larangan mendadak.

2. Penurunan Daya Ingat dan Fungsi Kognitif

Tidak sedikit lansia yang mengalami gangguan memori ringan atau gejala awal demensia. Mereka mungkin lupa dengan larangan yang telah disampaikan dokter, atau tidak mengingat bahwa makanan tertentu bisa memperburuk kondisi kesehatannya.

Kadang, mereka memang masih terlihat sehat dan aktif secara fisik, tetapi kemampuan mereka dalam memahami dan mengingat informasi medis bisa mulai menurun. Oleh karena itu, pengawasan dan pengulangan informasi oleh keluarga menjadi sangat penting.

3. Kebutuhan Emosional dan Rasa Ingin Merdeka

Saat usia bertambah, banyak hal dalam hidup lansia mulai dibatasi: aktivitas fisik berkurang, penglihatan menurun, pendengaran melemah, dan tubuh tidak lagi sekuat dulu. Dalam kondisi seperti ini, makanan bisa menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan yang masih bisa mereka nikmati sepenuhnya.

Sebagian lansia menganggap pembatasan makan sebagai bentuk kehilangan kendali atas hidupnya. Maka ketika dilarang, muncul perasaan tidak nyaman, bahkan bisa menjadi bentuk perlawanan pasif. Kalimat seperti "Saya sudah tua, saya ingin menikmati hidup" sering kali bukan sekadar alasan, tapi ungkapan batin yang membutuhkan empati.

4. Kurangnya Pendampingan dan Pengawasan

Tidak semua lansia tinggal bersama keluarga. Banyak yang hidup sendiri, atau hanya ditemani pengasuh yang belum tentu memahami kebutuhan gizinya. Dalam kondisi seperti ini, lansia akan lebih cenderung memilih makanan yang mudah diolah, murah, dan familiar – walaupun tidak sehat.

Bahkan, dalam keluarga pun, jika tidak ada anggota yang secara aktif mendampingi dan memahami kondisi kesehatannya, maka risiko pelanggaran larangan makan tetap tinggi.

5. Budaya, Lingkungan Sosial, dan Tekanan Moral

Dalam budaya masyarakat kita, makanan punya peran sosial yang sangat kuat. Berkumpul tanpa makanan serasa tidak lengkap. Makanan juga menjadi bentuk kasih sayang, penghormatan, dan ungkapan syukur.

Banyak lansia merasa sungkan menolak makanan yang disuguhkan keluarga atau tetangga, meskipun mereka tahu itu tidak baik untuk kesehatannya. Menolak dianggap tidak sopan, bahkan bisa memicu konflik kecil. Maka, demi menjaga suasana, mereka memilih diam dan memakan apa yang tersedia.

6. Takut Merepotkan atau Merasa Tidak Enak Hati

Lansia sering kali memiliki keinginan untuk tidak merepotkan anak atau cucu. Mereka khawatir jika terlalu banyak meminta makanan khusus, maka akan dianggap rewel atau menyusahkan. Maka walau makanan yang dihidangkan tidak sesuai dengan anjuran dokter, mereka tetap memakannya demi menjaga keharmonisan dan tidak menjadi beban keluarga.

Pendekatan yang Lebih Manusiawi dan Efektif

Menghadapi situasi ini, larangan dokter saja tidak cukup. Perlu pendekatan yang lebih manusiawi, empatik, dan melibatkan keluarga secara aktif. Berikut beberapa saran praktis:

  1. Jelaskan dengan bahasa sederhana. Hindari istilah medis yang rumit. Gunakan contoh konkret, seperti: “Kalau makan ini terlalu sering, nanti kaki jadi makin susah jalan karena bengkak.”

  2. Sediakan alternatif yang menarik. Ganti makanan yang dilarang dengan versi yang lebih sehat tapi tetap lezat. Misalnya, kukus atau panggang sebagai ganti gorengan.

  3. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan. Ajak berdiskusi dan dengarkan keinginan mereka. Berikan mereka pilihan, bukan hanya perintah.

  4. Berikan kelonggaran yang terukur. Tidak semua larangan harus kaku. Jika dokter mengizinkan, beri “hari istimewa” di mana lansia bisa menikmati makanan favorit dalam porsi kecil.

  5. Libatkan lingkungan sekitar. Edukasi juga perlu diberikan pada pengasuh, tetangga, dan komunitas tempat lansia biasa berkumpul agar mereka tidak ikut “menggoda” lansia melanggar aturan.

Penutup: Antara Kesehatan dan Kualitas Hidup

Menjaga pola makan lansia bukan sekadar soal gizi dan larangan. Ini tentang menjaga kualitas hidup mereka secara menyeluruh – fisik, emosional, dan sosial. Larangan dokter memang penting, tapi lebih penting lagi adalah cara kita menyampaikannya, mendampingi, dan menciptakan suasana yang membuat lansia merasa dihargai dan tetap bahagia.

Kesehatan bukan hanya angka di hasil laboratorium, tapi juga rasa damai dalam hati. Maka mari kita bantu lansia menjalani hari tuanya dengan sehat, bermakna, dan penuh cinta.


Sumber:

https://www.who.int/publications/i/item/924120916X

https://www.nia.nih.gov/health/healthy-eating-nutrition-and-diet

https://www.alz.org/alzheimers-dementia/what-is-dementia/related_conditions/mild-cognitive-impairment