Ketika perut terasa penuh setelah makan, atau dada berdebar saat mengalami gangguan lambung, banyak orang mengira itu murni masalah jantung. Padahal, pencernaan dan jantung punya hubungan yang jauh lebih erat daripada yang kita bayangkan. Inilah kisah menarik tentang bagaimana perut dan jantung “berbicara” satu sama lain, serta apa yang bisa kita lakukan agar keduanya tetap sehat.
![]() |
Makanan sehat membuat jantung sehat. (Sumber: foto LPC) |
Pencernaan, Otak Kedua dalam Tubuh
Tahukah Anda bahwa di balik usus terdapat jaringan saraf yang jumlahnya mencapai ratusan juta? Jaringan ini disebut Enteric Nervous System (ENS), atau sering dijuluki “otak kedua”. Julukan itu bukan tanpa alasan. ENS dapat bekerja mandiri mengatur gerakan usus, produksi enzim pencernaan, hingga komunikasi dengan bakteri baik yang hidup di dalam perut.
Namun, ENS juga terhubung erat dengan otak utama melalui saraf vagus. Dari sinilah jembatan komunikasi antara perut dan organ lain, termasuk jantung, terbentuk.
Jantung, Mesin yang Peka
Jantung memiliki sistem listrik sendiri yang membuatnya tetap berdetak meskipun terpisah dari otak. Tetapi kecepatan detaknya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom:
-
Simpatis → mempercepat detak jantung saat tubuh stres, cemas, atau tertekan.
-
Parasimpatik (saraf vagus) → menenangkan jantung ketika tubuh dalam keadaan rileks.
Kondisi pencernaan dapat memicu perubahan pada kedua jalur saraf ini, sehingga jantung ikut merespons.
Bagaimana Pencernaan Memengaruhi Detak Jantung?
-
Refluks Asam (GERD)
Asam lambung yang naik ke kerongkongan bisa mengiritasi saraf vagus. Akibatnya, jantung bisa berdetak lebih cepat atau terasa berdebar. -
Perut Kembung dan Makan Berlebihan
Gas berlebih atau perut terlalu penuh menekan diafragma. Tekanan ini memberi sensasi jantung berdegup lebih keras. -
Nyeri Usus atau Lambung
Rasa sakit dianggap sebagai sinyal “bahaya” oleh otak, memicu sistem saraf simpatis. Hasilnya, adrenalin meningkat dan jantung berdenyut lebih cepat. -
Makanan Tertentu
Kopi, alkohol, gula berlebih, atau makanan pedas dapat merangsang sistem saraf dan hormon yang akhirnya memengaruhi ritme jantung.
Bukti Ilmiah Hubungan Perut dan Jantung
Penelitian modern menyebut fenomena ini sebagai bagian dari gut–brain–heart axis. Beberapa studi menunjukkan bahwa:
-
± 90% serotonin tubuh (hormon yang juga memengaruhi jantung) diproduksi di usus.
-
Gangguan mikrobiota usus bisa meningkatkan risiko gangguan irama jantung (aritmia).
-
Peradangan kronis di saluran cerna berkaitan dengan kesehatan kardiovaskular yang menurun.
Tips Menjaga Pencernaan agar Jantung Ikut Terlindungi
-
Makan dengan porsi wajar – hindari makan berlebihan agar perut tidak menekan diafragma.
-
Batasi kopi, alkohol, dan makanan pedas – zat ini bisa memicu refluks dan palpitasi (jantung berdebar).
-
Perbanyak serat dan probiotik – makanan berserat serta yoghurt atau tempe dapat menyeimbangkan bakteri baik usus.
-
Kelola stres – karena stres memengaruhi perut sekaligus jantung melalui saraf simpatis.
-
Berolahraga teratur – aktivitas fisik ringan seperti jalan cepat membantu memperbaiki sirkulasi darah sekaligus memperlancar pencernaan.
-
Cek kesehatan rutin – jika jantung sering berdebar setelah makan, segera konsultasi untuk memastikan apakah penyebabnya pencernaan atau masalah jantung sesungguhnya.
Penutup
Tubuh kita ibarat sebuah orkestra, di mana jantung dan pencernaan memainkan instrumen masing-masing. Jika perut terganggu, jantung bisa ikut “salah nada”. Begitu pula sebaliknya. Menjaga pola makan, mengelola stres, dan hidup seimbang adalah cara terbaik agar “musik tubuh” tetap harmonis.
Sumber:
1. Gershon, M. D. (1998). The Second Brain: A Groundbreaking New Understanding of Nervous Disorders of the Stomach and Intestine. HarperCollins.
2. Mayer, E. A. (2011). Gut feelings: the emerging biology of gut–brain communication. Nature Reviews Neuroscience, 12(8), 453–466. https://doi.org/10.1038/nrn3071
3. Breit, S., Kupferberg, A., Rogler, G., & Hasler, G. (2018). Vagus Nerve as Modulator of the Brain–Gut Axis in Psychiatric and Inflammatory Disorders. Frontiers in Psychiatry, 9, 44. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00044
4. Carabotti, M., Scirocco, A., Maselli, M. A., & Severi, C. (2015). The gut-brain axis: interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous systems. Annals of Gastroenterology, 28(2), 203–209.
5. Lubomski, M., Tan, A. H., Lim, S. Y., Holmes, A. J., Davis, R. L., & Sue, C. M. (2019). Parkinson’s disease and the gastrointestinal microbiome. Journal of Neurology, 267(9), 2507–2523. https://doi.org/10.1007/s00415-019-09320-1
6. Krishnan, B., Babu, S., Walker, J., Walker, A. B., & Pappachan, J. M. (2021). Gastrointestinal complications of diabetes mellitus. World Journal of Diabetes, 12(9), 1401–1422. https://doi.org/10.4239/wjd.v12.i9.1401