Friday, 28 February 2025

Lansia Berpuasa? Kenali Risiko Penyakit Kronis yang Harus Diwaspadai!

        Penyakit kronis adalah penyakit yang berkembang perlahan, berlangsung dalam jangka waktu lama (biasanya lebih dari 3 bulan), dan sering kali tidak bisa disembuhkan sepenuhnya. Penyakit ini membutuhkan perawatan jangka panjang untuk mengelola gejala dan mencegah komplikasi. Contoh penyakit kronis meliputi diabetes, hipertensi, penyakit jantung, gagal ginjal, asam lambung kronis (GERD), dan osteoporosis.
Tips aman berpuasa untuk lansia yang memiliki penyakit kronis.
(Sumber: foto file)
       Lansia yang memiliki penyakit kronis perlu lebih berhati-hati saat berpuasa. Beberapa penyakit yang perlu diwaspadai karena bisa memburuk selama puasa meliputi:

1. Diabetes Mellitus 

Lansia dengan diabetes berisiko mengalami:
Hipoglikemia (gula darah turun drastis) jika tidak makan cukup saat sahur.
Hiperglikemia (gula darah terlalu tinggi) jika berbuka dengan makanan tinggi gula.
Dehidrasi, terutama jika sering buang air kecil.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Cek gula darah sebelum sahur dan setelah berbuka.
✅ Konsumsi karbohidrat kompleks (nasi merah, roti gandum) agar gula darah stabil.
✅ Hindari makanan/minuman manis berlebihan saat berbuka.
✅ Jika gula darah terlalu rendah (<70 mg/dL) atau terlalu tinggi (>300 mg/dL), segera berbuka.

2. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) 

Lansia dengan hipertensi berisiko mengalami:
Tekanan darah naik turun akibat perubahan pola makan dan dehidrasi.
Pusing atau pingsan, terutama saat bangun tidur atau berdiri terlalu cepat.
Risiko stroke atau serangan jantung, jika tekanan darah tidak terkontrol.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Konsumsi makanan rendah garam dan tinggi kalium (pisang, sayuran hijau).
✅ Minum cukup air saat sahur dan berbuka untuk mencegah dehidrasi.
✅ Hindari makanan tinggi lemak dan gorengan yang bisa meningkatkan tekanan darah.
✅ Cek tekanan darah secara berkala, terutama sebelum dan setelah puasa.

3. Penyakit Jantung dan Gagal Jantung 

Lansia dengan penyakit jantung mungkin mengalami:
Sesak napas atau nyeri dada, terutama jika asupan cairan kurang.
Jantung berdebar atau lemah, akibat ketidakseimbangan elektrolit.
Penumpukan cairan di tubuh (edema), jika terlalu banyak garam dalam makanan.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Konsumsi makanan rendah garam dan tinggi protein sehat (ikan, ayam tanpa kulit).
✅ Hindari makanan tinggi lemak jenuh (gorengan, daging merah berlemak).
✅ Jangan menunda minum obat sesuai anjuran dokter.
✅ Jika merasa sangat lemah atau sesak, sebaiknya segera berbuka dan konsultasi ke dokter.

4. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) 

Puasa bisa berbahaya bagi lansia dengan penyakit ginjal, terutama jika:
Fungsi ginjal sudah menurun sehingga sulit mengatur cairan tubuh.
Berisiko dehidrasi, yang bisa memperparah kerusakan ginjal.
Kadar elektrolit terganggu, menyebabkan kram otot atau lemas.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Minum cukup air saat berbuka dan sahur (kecuali ada pembatasan cairan oleh dokter).
✅ Kurangi makanan tinggi protein jika ginjal tidak mampu menyaring limbah dengan baik.
✅ Hindari makanan tinggi natrium (garam) dan kalium (pisang, kentang, tomat berlebihan).
✅ Jika sudah cuci darah, sebaiknya tidak berpuasa tanpa izin dokter.

5. Asam Lambung (GERD) dan Maag Kronis 

Puasa bisa memicu naiknya asam lambung, menyebabkan:
Nyeri ulu hati atau dada terasa terbakar (heartburn).
Mual, muntah, atau kembung setelah berbuka.
Sulit tidur akibat asam lambung naik ke tenggorokan.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Hindari makanan pedas, asam, gorengan, dan minuman berkafein.
✅ Makan dalam porsi kecil tapi sering (saat berbuka, setelah tarawih, dan sahur).
✅ Jangan langsung tidur setelah makan, tunggu minimal 2 jam.
✅ Minum obat maag sesuai anjuran dokter.

6. Osteoporosis dan Radang Sendi (Arthritis) ðŸĶī

Puasa bisa memperburuk nyeri sendi dan tulang rapuh, terutama jika:
Kurang kalsium dan vitamin D.
Kurang bergerak, menyebabkan sendi kaku.
Dehidrasi, yang bisa memperburuk nyeri sendi.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Konsumsi susu rendah lemak, ikan, dan sayuran hijau untuk kalsium.
✅ Hindari makanan tinggi garam yang bisa mempercepat pengeroposan tulang.
✅ Lakukan peregangan ringan setelah berbuka untuk menjaga kelenturan sendi.

Kesimpulan

Lansia dengan penyakit kronis masih bisa berpuasa jika kondisi stabil dan mendapat izin dokter. Namun, jika puasa menyebabkan kelelahan ekstrem, pusing, nyeri dada, atau hipoglikemia, sebaiknya segera berbuka dan berkonsultasi dengan tenaga medis.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10839217/

https://cyprusjmedsci.com/articles/intermittent-fasting-and-its-potential-effects-on-health/doi/cjms.2024.2023-109

https://jnfh.mums.ac.ir/article_17511.html


Sunday, 23 February 2025

Jangan Sampai Lemas! Panduan Puasa Sehat untuk Lansia

         Bulan Ramadan segera tiba, dan umat Muslim di seluruh dunia bersiap menjalankan ibadah puasa. Bagi lansia, puasa bisa menjadi tantangan tersendiri karena perubahan kondisi tubuh dan kebutuhan kesehatan yang berbeda. Namun, dengan pola makan yang tepat dan menjaga keseimbangan tubuh, puasa tetap bisa dijalankan dengan nyaman dan sehat.

Selamat menjalankan ibadah puasa untuk kakek dan nenek.
(Sumber: foto file)
Berikut beberapa tips agar lansia tetap bugar selama berpuasa, mulai dari sahur hingga berbuka.

Sahur: Awali dengan Nutrisi yang Tepat

Pilih makanan bergizi seimbang – Konsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi merah, oat, atau roti gandum agar energi bertahan lebih lama. Lengkapi dengan protein dari telur, ayam, ikan, atau kacang-kacangan, serta serat dari sayur dan buah.
Batasi garam dan gula berlebihan – Terlalu banyak garam bisa menyebabkan dehidrasi, sementara gula sederhana dapat membuat tubuh cepat lemas.
Minum cukup air – Pastikan minum 2-3 gelas air putih agar tubuh tetap terhidrasi sepanjang hari.
Konsumsi lemak sehat – Seperti alpukat, minyak zaitun, atau kacang-kacangan untuk menjaga stamina.
Jangan lewatkan sahur – Sahur sangat penting untuk mencegah tubuh lemas dan menjaga energi hingga berbuka.

Saat Berpuasa: Jaga Stamina dan Hidrasi

ðŸ’Ą Kurangi aktivitas berat – Hindari terlalu banyak bergerak atau bekerja fisik yang bisa menyebabkan kelelahan.
ðŸ’Ą Perbanyak istirahat – Tidur siang sejenak dapat membantu tubuh tetap segar hingga berbuka.
ðŸ’Ą Jaga hidrasi – Jika merasa haus atau lemas, hindari paparan panas berlebihan agar tidak dehidrasi.
ðŸ’Ą Pantau kondisi kesehatan – Jika memiliki penyakit tertentu seperti diabetes atau hipertensi, konsultasikan dengan dokter mengenai pola makan dan pengobatan selama puasa.

Berbuka: Konsumsi Makanan yang Ramah Pencernaan

🌙 Mulai dengan yang ringan – Awali dengan air putih dan kurma untuk mengembalikan energi secara perlahan.
🌙 Hindari makanan berminyak dan berlemak tinggi – Gorengan bisa menyebabkan gangguan pencernaan dan meningkatkan kadar kolesterol.
🌙 Makan dengan porsi kecil tapi sering – Jangan langsung makan dalam jumlah besar agar pencernaan tetap nyaman.
🌙 Minum cukup air – Pastikan tubuh tetap terhidrasi dengan mengonsumsi 5-6 gelas air dari berbuka hingga sahur.
🌙 Perbanyak serat – Sayuran, buah, dan biji-bijian membantu mencegah sembelit yang sering terjadi saat puasa.
🌙 Atur jadwal obat dengan dokter – Jika ada obat yang harus dikonsumsi rutin, pastikan jadwalnya sesuai dengan waktu berbuka dan sahur.

Makanan dan Minuman yang Sebaiknya Dihindari

ðŸšŦ Gorengan dan makanan berlemak tinggi – Bisa menyebabkan masalah pencernaan dan meningkatkan kadar kolesterol.
ðŸšŦ Makanan terlalu manis – Dapat menyebabkan lonjakan gula darah yang mendadak.
ðŸšŦ Minuman berkafein seperti kopi atau teh pekat – Bisa menyebabkan dehidrasi dan mengganggu kualitas tidur.
ðŸšŦ Minuman bersoda – Dapat memicu kembung dan tidak baik untuk sistem pencernaan.

Dengan menjaga pola makan yang seimbang dan cukup istirahat, lansia tetap bisa menjalankan puasa dengan nyaman dan sehat. Semoga Ramadan kali ini membawa keberkahan dan kesehatan untuk semua!




Sumber:

https://www.homage.sg/resources/ramadan-fasting-elderly/

https://www.rafflesmedicalgroup.com/health-resources/health-articles/fasting-during-ramadan-what-an-older-person-needs-to-know/

https://www.happiesthealth.com/articles/ageing/fasting-for-seniors-safe-or-unsafe

 

Wednesday, 19 February 2025

Jangan Anggap Sepele! Penyakit Autoimun yang Mengintai di Usia Tua

         Penyakit autoimun adalah kondisi medis yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh kita, yang biasanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari patogen seperti virus dan bakteri, malah menyerang sel dan jaringan tubuh kita sendiri. Sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi sel tubuh sebagai ancaman dan mulai menyerang organ atau jaringan yang sehat. Penyakit autoimun bisa mempengaruhi berbagai bagian tubuh, dari kulit hingga organ internal seperti ginjal, hati, dan jantung. 

Lansia harus waspada dengan penyakit autoimun.
(Sumber: foto Yayank)

Apa Itu Penyakit Autoimun?

Pada sistem kekebalan tubuh yang normal, sel-sel kekebalan seperti antibodi berfungsi melawan benda asing, seperti bakteri dan virus. Namun, dalam kondisi autoimun, sistem ini keliru dan mulai menyerang sel tubuh sendiri yang seharusnya tidak dianggap musuh. Hal ini menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan tubuh, yang bisa berdampak serius pada fungsi organ yang terlibat.

Penyebab Penyakit Autoimun

Penyebab penyakit autoimun umumnya tidak sepenuhnya dipahami, namun sejumlah faktor dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi ini:

  1. Faktor Genetik: Ada bukti kuat bahwa penyakit autoimun dapat diturunkan dalam keluarga. Jika seseorang memiliki kerabat dekat yang menderita penyakit autoimun, mereka mungkin lebih berisiko mengalami kondisi yang serupa. Variasi dalam gen pengkode HLA (Human Leukocyte Antigen) telah dikaitkan dengan beberapa penyakit autoimun.

  2. Faktor Lingkungan: Paparan terhadap berbagai faktor lingkungan, seperti virus, infeksi bakteri, bahan kimia, atau bahkan paparan sinar matahari berlebihan, bisa memicu penyakit autoimun. Salah satu contoh yang sering disebut adalah infeksi virus Epstein-Barr yang dikaitkan dengan lupus dan multiple sclerosis.

  3. Faktor Hormon: Banyak penyakit autoimun lebih umum terjadi pada wanita dibandingkan pria, yang menunjukkan peran hormon, seperti estrogen, dalam pengembangan penyakit ini. Hormon dapat memengaruhi bagaimana sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap infeksi dan jaringan tubuh.

  4. Stres: Stres fisik atau emosional yang berkepanjangan dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit autoimun. Stres dapat memperburuk gejala dan mempercepat perkembangan penyakit.

Jenis-Jenis Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun sangat beragam, dan masing-masing mempengaruhi bagian tubuh yang berbeda. Berikut adalah beberapa contoh penyakit autoimun yang paling umum:

  1. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE): Lupus adalah salah satu penyakit autoimun yang paling dikenal. Sistem kekebalan tubuh menyerang berbagai organ dalam tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, jantung, dan paru-paru. Gejalanya termasuk kelelahan parah, ruam berbentuk kupu-kupu di wajah, nyeri sendi, dan demam.

  2. Rheumatoid Arthritis (RA): Pada rheumatoid arthritis, sistem kekebalan tubuh menyerang sendi-sendi tubuh, menyebabkan peradangan, nyeri, dan pembengkakan. Dalam jangka panjang, RA dapat menyebabkan kerusakan sendi permanen. Penderita juga dapat mengalami kelelahan dan penurunan fungsi sendi.

  3. Multiple Sclerosis (MS): Multiple sclerosis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang pelindung saraf (mielin) di sistem saraf pusat. MS dapat menyebabkan gangguan motorik, penglihatan kabur, kesulitan berbicara, dan bahkan kelumpuhan.

  4. Diabetes Tipe 1: Pada diabetes tipe 1, sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin. Akibatnya, tubuh tidak dapat mengatur kadar gula darah dengan benar, yang mengarah pada kebutuhan insulin eksternal untuk menjaga keseimbangan.

  5. Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif: Kedua kondisi ini merupakan penyakit radang usus (IBD) yang bersifat autoimun. Penyakit Crohn dapat memengaruhi saluran pencernaan dari mulut hingga anus, sementara kolitis ulseratif terutama menyerang usus besar. Gejalanya termasuk diare, nyeri perut, dan penurunan berat badan.

  6. Psoriasis: Psoriasis adalah penyakit kulit autoimun yang menyebabkan pembentukan sel kulit yang berlebih. Ini menghasilkan bercak kulit yang tebal, merah, dan seringkali bersisik. Psoriasis juga dapat menyebabkan peradangan sendi yang dikenal sebagai psoriatic arthritis.

  7. Graves' Disease: Pada penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar tiroid, menyebabkan hipertiroidisme (produksi hormon tiroid yang berlebihan). Gejalanya termasuk penurunan berat badan, jantung berdebar, kecemasan, dan mata yang menonjol.

Diagnosa Penyakit Autoimun

Mendiagnosis penyakit autoimun bisa menjadi tantangan karena gejalanya seringkali tumpang tindih dengan kondisi medis lainnya. Diagnosa biasanya dimulai dengan evaluasi riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Tes darah untuk mendeteksi antibodi spesifik atau penanda peradangan seperti kadar C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) sering digunakan untuk membantu diagnosis. Beberapa tes tambahan yang umum digunakan meliputi:

  • Tes ANA (Antinuclear Antibodies): Untuk mendeteksi adanya antibodi yang menyerang inti sel tubuh.
  • Tes untuk Antibodi Spesifik: Tes untuk antibodi tertentu yang terkait dengan penyakit autoimun, seperti anti-CCP (untuk rheumatoid arthritis) atau anti-dsDNA (untuk lupus).
  • Pencitraan Medis: Pencitraan seperti MRI atau ultrasound dapat membantu menilai kerusakan pada organ atau sendi yang diserang oleh sistem kekebalan tubuh.

Penanganan Penyakit Autoimun

Meskipun tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit autoimun, pengelolaan yang tepat dapat membantu pasien hidup dengan kualitas hidup yang baik. Berikut adalah beberapa pendekatan pengobatan utama:

  1. Obat-Imunomodulator: Obat ini digunakan untuk menekan sistem kekebalan tubuh agar tidak menyerang tubuh sendiri. Kortikosteroid (seperti prednison) dan obat imunosupresif (seperti metotreksat atau azathioprine) sering diresepkan untuk mengontrol peradangan dan aktivitas penyakit.

  2. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (NSAID): Untuk mengurangi peradangan dan nyeri pada sendi, NSAID seperti ibuprofen dan naproxen sering digunakan.

  3. Biologics: Obat biologis seperti TNF inhibitors (etanercept, adalimumab) digunakan untuk mengurangi peradangan pada penyakit seperti rheumatoid arthritis, lupus, dan penyakit Crohn.

  4. Plasmaferesis: Pada beberapa penyakit autoimun, plasmaferesis (proses pembersihan darah) dapat digunakan untuk mengurangi antibodi yang berbahaya dalam darah.

  5. Perawatan Komplementer: Selain pengobatan medis, pasien juga dapat mengadopsi pola makan yang sehat, berolahraga, dan mengelola stres. Pengobatan fisik dan terapi okupasi seringkali diperlukan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam bergerak akibat kerusakan sendi atau otot.

Pola Hidup yang Mendukung Pemulihan

Beberapa langkah penting yang dapat membantu pasien mengelola penyakit autoimun termasuk:

  • Menjaga pola makan sehat dengan banyak sayuran, buah, dan makanan antiinflamasi seperti ikan berlemak.
  • Rutin berolahraga untuk menjaga fleksibilitas sendi dan kesehatan jantung.
  • Cukup tidur dan menjaga keseimbangan emosional untuk mengurangi stres.
  • Menghindari pemicu yang dapat memperburuk gejala, seperti merokok, alkohol, atau infeksi.

Kesimpulan

Penyakit autoimun adalah gangguan yang kompleks dan dapat memengaruhi banyak aspek tubuh. Meskipun tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit autoimun secara total, pengelolaan yang tepat dapat membantu pasien untuk menjalani hidup dengan kualitas yang baik. Melalui pengobatan yang tepat, perawatan yang cermat, dan pola hidup yang sehat, banyak penderita penyakit autoimun yang dapat mengendalikan gejalanya dan hidup aktif. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter jika Anda mengalami gejala yang mencurigakan, karena diagnosis dini dapat meningkatkan hasil perawatan.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4277694/

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1044532323001057

https://www.aarp.org/health/conditions-treatments/info-2021/autoimmune-diseases-rising.html

https://www.pcacares.org/news/autoimmune-disorders-in-older-adults-what-you-need-to-know/