Sunday, 24 December 2023

Lansia Putus-asa, Masalah Finansial dan Penyakit yang tidak Kunjung Sembuh.

        Istilah medis untuk putus asa adalah "desperasi." Istilah ini digunakan dalam konteks kesehatan mental dan psikologi untuk merujuk pada perasaan keputusasaan yang intens dan kronis, yang dapat menyertai berbagai kondisi psikologis seperti depresi, kecemasan, atau gangguan suasana hati lainnya. Desperasi melibatkan perasaan kehilangan harapan dan mungkin juga mencakup perasaan tidak berdaya dan kurangnya semangat untuk menghadapi kehidupan.

Aktif dalam kegiatan agama menjauhkan lansia dari putu asa.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Putus asa pada lansia merujuk pada perasaan intens dan kronis dari kehilangan harapan atau keyakinan bahwa kehidupan akan membaik. Hal ini dapat mencakup perasaan tidak berdaya, keputusasaan, dan kurangnya semangat untuk menghadapi tantangan hidup. 

       Lansia yang merasa putus asa mungkin menunjukkan beberapa ciri-ciri atau perilaku yang mengindikasikan perasaan keputusasaan. 

Beberapa ciri umum yang dapat muncul pada lansia yang merasa putus asa:

Isolasi Sosial:

Menghindari interaksi sosial atau menarik diri dari kegiatan yang melibatkan orang lain.

Kurangnya Motivasi:

Kehilangan minat atau motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari atau aktivitas yang sebelumnya dianggap menyenangkan.

Ekspresi Wajah Muram:

Wajah tampak sedih, muram, atau kehilangan ekspresi positif.

Putus asa membuat wajah lansia menjadi muram.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan Tidur:

Kesulitan tidur, seperti insomnia atau tidur berlebihan.

Penurunan Energi:

Perasaan kelelahan atau kelesuan yang berlebihan, bahkan setelah istirahat yang cukup.

Kurangnya Inisiatif:

Kesulitan memulai atau menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari.

Perubahan Pola Makan:

Penurunan nafsu makan atau konsumsi makanan berlebihan.

Perasaan Putus Asa:

Pernyataan langsung tentang perasaan keputusasaan atau kehilangan harapan.

Rasa Tidak Berguna atau Tidak Berarti:

Keyakinan bahwa diri mereka tidak berharga atau tidak memiliki arti dalam kehidupan.

Pengabaian Diri Sendiri:

Kurangnya perawatan diri, seperti tidak merawat penampilan atau kesehatan secara umum.

Pemikiran Tentang Kematian atau Bunuh Diri:

Pemikiran atau perasaan yang intens tentang kematian atau keinginan untuk mengakhiri hidup.

Kehilangan Minat pada Hobi:

Kehilangan minat pada kegiatan atau hobi yang sebelumnya memberikan kegembiraan.

Kesulitan Berkonsentrasi:

Kesulitan memusatkan perhatian atau kebingungan mental.

Pergeseran Perilaku:

Perubahan drastis dalam perilaku yang mungkin mencakup penarikan diri atau perilaku impulsif.

Penurunan Kemandirian:

Kesulitan dalam menjaga kemandirian atau merawat diri sendiri.

Gangguan Fisik yang Tidak Jelas Sebabnya:

Mengalami gejala fisik tanpa penyebab medis yang jelas, seperti nyeri tubuh atau gangguan pencernaan.

Ketakutan akan Masa Depan:

Rasa takut dan kecemasan yang mendalam terkait dengan masa depan.

       Perasaan putus asa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk masalah kesehatan fisik, kehilangan orang yang dicintai, isolasi sosial, atau masalah kesehatan mental. Penting untuk mengakui dan mengatasi perasaan putus asa dengan dukungan sosial, perawatan kesehatan mental, dan pendekatan holistik untuk kesejahteraan lansia.

Beberapa faktor dapat menyebabkan lansia merasa putus asa, seiring bertambahnya usia: 

Kesehatan Fisik yang Menurun: 

Masalah kesehatan fisik seperti penyakit kronis, kelemahan, atau nyeri kronis dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas yang diinginkan. Penyakit yang tak kunjung sembuh.

Kehilangan Orang yang Dicintai:

Kematian pasangan hidup atau teman dekat dapat menyebabkan perasaan kehilangan dan kesepian, meningkatkan risiko putus asa.

Kehilangan orang yang dicintai membuat lansia putus asa.
(Sumber: foto canva.com)

Isolasi Sosial: 

Rasa isolasi dan kehilangan hubungan sosial dapat memicu perasaan putus asa pada lansia.

Keterbatasan Keuangan: 

Kesulitan keuangan atau ketidakpastian finansial dapat menjadi sumber stres dan putus asa. Lansia di negara dunia ketiga tidak terjamin finansialnya. 

Gangguan Mental: 

Depresi, kecemasan, atau gangguan mental lainnya dapat meningkatkan risiko lansia merasa putus asa.

Kehilangan Fungsi Kognitif: 

Penurunan fungsi kognitif atau diagnosis demensia dapat membuat lansia merasa putus asa karena perubahan signifikan dalam kemampuan berpikir dan mengingat.

Ketakutan Akan Ketergantungan: 

Lansia yang merasa tidak dapat mandiri dan khawatir menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat dapat merasa putus asa.

Ketiadaan Tujuan Hidup: 

Kehilangan tujuan hidup atau kurangnya aktivitas yang memotivasi dapat menyebabkan perasaan putus asa.

Pensiun yang Tidak Dipersiapkan:

Pensiun yang tidak terencana atau kurangnya persiapan untuk mengisi waktu luang setelah pensiun dapat menyebabkan kekosongan dan putus asa.

Perasaan Tidak Diperlukan: 

Perasaan bahwa mereka tidak lagi dibutuhkan atau dihargai oleh keluarga atau masyarakat dapat meningkatkan risiko putus asa.

       Mencegah perasaan putus asa pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup aspek fisik, sosial, dan emosional. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah atau mengurangi risiko putus asa pada lansia:

Jaga Kesehatan Fisik:

Rutin melakukan pemeriksaan kesehatan, menjaga pola makan seimbang, berolahraga secara teratur, dan memastikan adanya perawatan medis yang tepat dapat membantu menjaga kesehatan fisik.

Rutin memeriksa kesehatan untuk menjaga tubuh tetap sehat.
(Sumber: foto canva.com)

Aktivitas Fisik dan Mental:

Mendorong lansia untuk tetap aktif secara fisik dan mental dapat membantu menjaga keseimbangan dan meningkatkan kesejahteraan.

Pertahankan Koneksi Sosial:

Aktif terlibat dalam kegiatan sosial dan menjaga hubungan dengan teman, keluarga, dan komunitas dapat membantu mencegah isolasi sosial.

Dukungan Keluarga dan Teman:

Mendorong keluarga dan teman untuk memberikan dukungan emosional dan praktis dapat membantu lansia merasa dihargai dan tidak sendirian.

Tujuan dan Makna Hidup:

Bantu lansia menemukan tujuan dan makna dalam kehidupan mereka, termasuk melalui kegiatan sukarela, hobi, atau proyek-proyek pribadi.

Fleksibilitas dalam Penyesuaian Diri:

Bantu lansia menghadapi perubahan hidup dengan fleksibel dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Perencanaan Pensiun yang Sehat:

Berencana untuk pensiun dengan baik, termasuk menjaga hubungan sosial dan merencanakan aktivitas yang menyenangkan, dapat membantu mengurangi dampak transisi ini.

Perawatan Kesehatan Mental:

Jika ada gejala kecemasan, depresi, atau masalah kesehatan mental lainnya, penting untuk mencari bantuan profesional dari psikolog, psikiater, atau konselor.

Aktivitas Kreatif dan Seni:

Mengikutsertakan lansia dalam aktivitas kreatif atau seni dapat menjadi sarana ekspresi diri dan membantu meningkatkan suasana hati.

Edukasi dan Pengetahuan:

Memberikan kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan baru dapat memberikan rasa pencapaian dan meningkatkan kepercayaan diri.

Relaksasi dan Mindfulness:

Mengajarkan teknik relaksasi, meditasi, atau latihan mindfulness dapat membantu mengatasi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Sumber Inspirasi:

Mendorong lansia untuk menemukan sumber inspirasi, seperti membaca, menonton, atau mendengarkan cerita yang memberikan motivasi.

Partisipasi dalam Program Komunitas:

Melibatkan lansia dalam program komunitas, klub, atau organisasi lokal dapat meningkatkan rasa keterlibatan dan koneksi.

Mencegah putus asa pada lansia memerlukan perhatian yang berkelanjutan dan dukungan dari berbagai aspek kehidupan mereka. Pendekatan yang empati dan holistik dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan lansia.

       Mengobati putus asa pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik dan seringkali memerlukan bantuan profesional.

Beberapa strategi yang dapat membantu mengatasi perasaan putus asa pada lansia:

Konseling atau Terapi:

Terapis atau konselor dapat membantu lansia untuk berbicara tentang perasaan mereka, memahami penyebab putus asa, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi masalah tersebut.

Dukungan Keluarga dan Teman:

Mempertahankan hubungan yang positif dengan keluarga dan teman-teman serta mendapatkan dukungan emosional dapat membantu mengatasi perasaan putus asa.

Pertahankan hubungan yang positif dengan keluarga.
(Sumber: foto canva.com)

Grup Dukungan:

Bergabung dengan kelompok dukungan, baik secara fisik maupun daring, dapat memberikan rasa koneksi dengan orang lain yang mengalami hal serupa.

Aktivitas Sosial:

Mendorong lansia untuk terlibat dalam aktivitas sosial dan kelompok komunitas dapat membantu mengurangi isolasi dan meningkatkan kesejahteraan.

Aktivitas Pemeliharaan Diri:

Membantu lansia merawat diri sendiri, termasuk kebersihan pribadi, berpakaian rapi, dan menjaga kesehatan fisik, dapat meningkatkan rasa harga diri.

Intervensi Medis:

Jika perasaan putus asa terkait dengan masalah kesehatan fisik atau mental, perawatan medis atau terapi obat mungkin diperlukan.

Program Kesehatan Mental Komunitas:

Program atau layanan kesehatan mental di komunitas dapat menyediakan sumber daya dan dukungan untuk lansia yang mengalami kesulitan emosional.

Aktivitas yang Meningkatkan Hobi atau Keterampilan:

Mendorong lansia untuk mengambil bagian dalam aktivitas yang meningkatkan hobi atau keterampilan dapat memberikan rasa pencapaian dan kegembiraan.

Peningkatan Kesejahteraan Emosional:

Fokus pada kegiatan atau praktik yang meningkatkan kesejahteraan emosional, seperti meditasi, yoga, atau olahraga ringan, dapat membantu mengelola stres dan meningkatkan mood.

Pembentukan Tujuan Kecil:

Membantu lansia menetapkan tujuan kecil yang dapat dicapai dapat memberikan perasaan pencapaian dan meningkatkan motivasi.

Pertimbangkan Dukungan Agama atau Spiritual:

Jika relevan, mendukung partisipasi dalam kegiatan atau praktik spiritual dapat memberikan dukungan yang signifikan.

Edukasi tentang Proses Penuaan:

Memberikan edukasi tentang proses penuaan dan membantu lansia untuk menyesuaikan harapan mereka dapat membantu mengurangi ketidakpuasan.

Perawatan Diri Secara Holistik:

Mendorong perawatan diri secara holistik, termasuk menjaga kesehatan fisik, mental, dan sosial, dapat membantu lansia merasa lebih seimbang dan berdaya.

Mengatasi perasaan putus asa sering kali memerlukan waktu dan upaya yang berkelanjutan. Mencari bantuan dari profesional kesehatan mental dan melibatkan dukungan sosial dapat memberikan solusi yang efektif dalam menghadapi tantangan ini.


Sumber:

https://theindependent.sg/singapores-elderly-and-their-desperate-battle-with-isolation-loneliness-and-depression/

https://louisemorse.com/desperate-71-year-old-sets-himself-alight-on-train/

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0277953615002889

https://kffhealthnews.org/news/article/desperate-for-home-care-seniors-often-wait-months-with-workers-in-short-supply/

Saturday, 23 December 2023

Lansia tidak Peduli, Bahkan untuk Rawat Diri-Sendiri

          Avolition mungkin terlihat mirip dengan sikap apatis, namun lebih intens. Avolition adalah kurangnya motivasi yang membuat sulit untuk menyelesaikan apa pun. Bagi sebagian orang, sikap acuh tak acuh merupakan hal yang sangat membebani sehingga menjaga kesehatan atau kebersihan menjadi tantangan fisik. 

Avolition pada lansia mirip dengan sikap apatis, namun lebih intens.
(Sumber: foto Bodrekers)

Istilah avolition menggambarkan penurunan yang signifikan dalam inisiasi, motivasi, dan perilaku yang diarahkan pada tujuan. Ini bukan suatu kondisi kesehatan medis tertentu, melainkan gejala yang dialami oleh orang-orang dengan kondisi seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dan depresi.

Kebanyakan orang yang mengalami avolition tidak menyadari gejalanya sampai keluarga dan teman memberitahukannya. Anda tidak dapat memulai atau menyelesaikan tugas sehari-hari yang sederhana sekalipun. Turun dari sofa untuk mencuci piring atau berkendara ke supermarket terasa seperti mendaki Gunung Everest. 

Anda mungkin tidak:

  • Tanggapi saat teman menelepon, mengirim SMS, atau email
  • Lakukan upaya apa pun di tempat kerja.
  • Bayar tagihan atau urus tugas sehari-hari lainnya
  • Cuci atau rawat diri Anda sendiri

       Avolition pada lansia dapat mencakup sejumlah ciri atau tanda yang mencerminkan ketidakmampuan atau kurangnya motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Beberapa ciri yang mungkin muncul melibatkan penurunan partisipasi dalam kegiatan sosial, kurangnya inisiatif untuk menjaga diri, dan kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan tugas-tugas rutin. 

Beberapa ciri avolition pada lansia:

Kurangnya Motivasi:

Lansia yang mengalami avolition mungkin kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya dianggap penting atau menyenangkan.

Lansia yang avolition kehilangan motivasi.
(Sumber: foto canva.com)

Penurunan Partisipasi Sosial:

Mereka cenderung mengurangi atau menghindari interaksi sosial, baik dengan keluarga, teman, atau komunitas.

Ketidakmampuan untuk Memulai atau Menyelesaikan Tugas:

Kesulitan dalam memulai tugas sehari-hari seperti membersihkan rumah, berbelanja, atau menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Kurangnya Perawatan Diri:

Lansia dengan avolition mungkin kurang peduli terhadap penampilan diri dan kebersihan pribadi. Mereka bisa mengalami kesulitan dalam menjaga kesehatan fisik dan kebersihan diri.

Ketidakmampuan Mengelola Waktu:

Sulit mengatur waktu dan merencanakan kegiatan harian dengan efektif.

Kurangnya Kepedulian terhadap Aktivitas Sosial:

Tidak tertarik atau enggan terlibat dalam kegiatan sosial atau rekreasi yang sebelumnya dianggap menyenangkan.

Kehilangan Minat pada Hobi:

Mungkin kehilangan minat pada kegiatan atau hobi yang sebelumnya dinikmati.

Isolasi:

Mungkin cenderung menyendiri atau mengisolasi diri dari interaksi sosial lebih lanjut.

💬Ciri-ciri ini dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya, dan tidak semua lansia yang mengalami avolition akan menunjukkan semua tanda ini. 

       Avolition pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik fisik maupun psikologis. Setiap individu mungkin mengalami kombinasi faktor-faktor yang berbeda. 

Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi pada avolition pada lansia:

Kesehatan Fisik yang Menurun:

Masalah kesehatan fisik, seperti penyakit kronis, nyeri kronis, atau kelemahan fisik, dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Gangguan Kesehatan Mental:

Gangguan kejiwaan seperti depresi atau demensia dapat menyebabkan perubahan pada tingkat motivasi dan energi, yang pada gilirannya dapat mengarah pada avolition.

Depresi atau demensia dapat mengarah pada avolition.
(Sumber: foto canva.com)

Isolasi Sosial:

Isolasi sosial, terutama jika seseorang kehilangan teman atau pasangan hidup, dapat menyebabkan perasaan kesepian dan kurangnya motivasi untuk berinteraksi dengan orang lain.

Perubahan Hormonal:

Perubahan hormonal yang terkait dengan penuaan dapat memengaruhi suasana hati dan tingkat energi, mempengaruhi motivasi untuk melakukan aktivitas.

Efek Obat-obatan:

Beberapa obat-obatan yang sering digunakan oleh lansia untuk mengatasi masalah kesehatan tertentu dapat memiliki efek samping yang mempengaruhi motivasi dan energi.

Gaya Hidup dan Aktivitas Sehari-hari:

Perubahan dalam rutinitas sehari-hari, kehilangan pekerjaan atau pensiun, serta kurangnya aktivitas fisik dapat memainkan peran dalam terjadinya avolition.

Kehilangan Makna atau Tujuan Hidup:

Lansia yang kehilangan makna atau tujuan hidup mereka mungkin mengalami kurangnya motivasi untuk melakukan aktivitas tertentu.

Gangguan Kognitif:

Masalah kognitif atau penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Tekanan Sosial dan Stigma:

Tekanan sosial atau stigma terkait dengan penuaan dapat memengaruhi persepsi diri dan motivasi untuk berpartisipasi dalam masyarakat.

Kehilangan Kenyamanan Lingkungan:

Perubahan dalam lingkungan, seperti pindah ke tempat baru atau kehilangan rumah tangga, dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan avolition.

       Mencegah avolition pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan fisik, mental, sosial, dan lingkungan. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu mencegah atau mengatasi avolition pada lansia:

Pertahankan Kesehatan Fisik:

Mendorong gaya hidup sehat dengan olahraga teratur dapat membantu meningkatkan energi dan motivasi.

Stimulasi Kognitif:

Aktivitas yang merangsang otak, seperti teka-teki, membaca, atau belajar hal baru, dapat membantu menjaga kesehatan kognitif dan mencegah avolition.

Aktivitas yang merangsang otak dapat mencegah avolition.
(Sumber: foto canva,com)

 Jaga Kesehatan Mental:

Pertahankan kesehatan mental dengan mengelola stres, berbicara dengan orang-orang terdekat, dan mencari bantuan profesional jika diperlukan.

Jaga Koneksi Sosial:

Dorong partisipasi dalam kegiatan sosial dan komunitas untuk meminimalkan isolasi sosial. Interaksi sosial dapat memberikan dukungan emosional dan meningkatkan motivasi.

Rutinitas dan Struktur:

Membangun rutinitas harian dan struktur kehidupan sehari-hari dapat membantu mencegah rasa bingung atau kebingungan yang dapat memicu avolition.

Bantuan dengan Perawatan Diri:

Pastikan lansia menerima bantuan jika diperlukan, terutama dalam hal perawatan pribadi dan aktivitas sehari-hari.

Diskusi Tujuan dan Makna Hidup:

Diskusikan tujuan dan makna hidup dengan lansia untuk membantu menjaga motivasi dan fokus pada hal-hal yang dianggap berarti.

Evaluasi Obat-obatan:

Tinjau obat-obatan yang dikonsumsi oleh lansia dengan dokter untuk memastikan tidak ada efek samping yang mempengaruhi motivasi atau energi.

Ciptakan Lingkungan yang Mendukung:

Pastikan lingkungan tempat tinggal aman, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan lansia. Fasilitas yang mudah diakses dan nyaman dapat membantu mendorong partisipasi dalam aktivitas.

Perhatikan Kesehatan Finansial:

Pastikan kesehatan finansial yang memadai, karena kekhawatiran terkait keuangan dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan motivasi.

Melibatkan Lansia dalam Keputusan:

Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka, memberi mereka rasa kendali dan kepemilikan atas hidup mereka.

Bantu Atasi Rasa Takut atau Kecemasan:

Jika lansia mengalami rasa takut atau kecemasan yang dapat menghambat partisipasi dalam aktivitas, berikan dukungan dan cari solusi bersama.

       Pengobatan avolition pada lansia tergantung pada penyebabnya dan sering melibatkan pendekatan yang holistik. Perawatan dapat mencakup kombinasi terapi farmakologis dan non-farmakologis. Penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk menilai kondisi khusus dan merencanakan rencana perawatan yang sesuai. 

Beberapa pendekatan umum dalam mengobati avolition pada lansia:

Evaluasi Kesehatan Mental dan Fisik:

Profesional kesehatan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kesehatan mental dan fisik lansia untuk mengidentifikasi penyebab avolition.

Terapi Psikologis:

Terapi kognitif perilaku (CBT) atau terapi bantuan perilaku kognitif (CBT-B) dapat membantu mengatasi pola pikir negatif dan memotivasi lansia untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Obat-obatan:

Beberapa obat dapat diresepkan untuk mengatasi gejala avolition, terutama jika ada faktor-faktor yang terkait dengan kesehatan mental, seperti depresi atau gangguan kejiwaan lainnya.

Terapi Aktivitas:

Terapis aktivitas atau terapis okupasi dapat membantu merencanakan kegiatan yang sesuai dengan minat dan kemampuan lansia untuk meningkatkan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Program Olahraga dan Fisioterapi:

Aktivitas fisik dapat membantu meningkatkan energi dan motivasi. Program olahraga yang sesuai dengan kondisi fisik lansia dan fisioterapi dapat memberikan manfaat positif.

Dukungan Sosial:

Melibatkan lansia dalam kegiatan sosial dan memberikan dukungan emosional dapat membantu mengatasi isolasi sosial dan meningkatkan motivasi.

Konseling Psikososial:

Konseling atau dukungan psikososial dapat membantu lansia untuk mengatasi masalah emosional atau perubahan hidup yang mungkin mempengaruhi motivasi.

Edukasi dan Pengetahuan:

Edukasi tentang kondisi kesehatan dan cara mengelolanya dapat membantu lansia merasa lebih berdaya dan dapat meningkatkan motivasi.

Perawatan Kesehatan Komprehensif:

Melibatkan tim perawatan kesehatan yang terdiri dari dokter, psikolog, perawat, dan terapis dapat memberikan perawatan yang holistik sesuai dengan kebutuhan individu.

Perencanaan dan Struktur:

Membangun rutinitas harian dan memberikan struktur kehidupan sehari-hari dapat membantu lansia untuk lebih terorganisir dan termotivasi.

Setiap individu unik, dan pendekatan perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik lansia tersebut. Konsultasi dengan profesional kesehatan adalah langkah pertama yang penting untuk memulai proses evaluasi dan perencanaan perawatan yang tepat.



Sumber:

https://www.webmd.com/mental-health/what-is-apathy

https://www.verywellhealth.com/avolition-7372513

https://www.cadabams.org/blog/avolition-causes-and-solutions

Thursday, 21 December 2023

Lansia Tidak Menyadari, Bahwa Dirinya sedang Sakit.

        Anosognosia adalah suatu kondisi di mana seseorang mengalami ketidakmampuan untuk menyadari atau mengakui keberadaan atau keparahan gangguan atau penyakit yang sedang dialaminya. Orang yang mengalami anosognosia mungkin tidak menyadari adanya gejala atau masalah kesehatan yang mereka alami, meskipun gejala tersebut jelas terlihat bagi orang lain atau dapat diukur secara objektif.

 Anosognosia, meskipun kondisi sakit, lansia tidak menyadari.
(Sumber: foto Paguyuban 209)

Para ahli umumnya menggambarkannya sebagai “penolakan defisit” atau “kurangnya wawasan.” Penyakit ini termasuk dalam keluarga agnosia, yang semuanya terjadi ketika otak Anda tidak dapat mengenali atau memproses apa yang dikatakan oleh indra Anda.

        Anosognosia pada lansia dapat muncul sebagai bagian dari berbagai kondisi kesehatan, termasuk penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer atau penyakit Parkinson. 

Beberapa ciri anosognosia pada lansia:

Ketidakmampuan Menyadari Gejala Penyakit: 

Lansia yang mengalami anosognosia mungkin tidak dapat menyadari atau mengenali gejala penyakit atau gangguan kesehatan yang mereka alami. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka mengalami penurunan kognitif atau fisik.

Penolakan terhadap Diagnosis atau Pengobatan: 

Pada umumnya, orang dengan anosognosia mungkin menolak atau menyangkal diagnosis penyakit mereka. Mereka mungkin tidak mau menerima bahwa mereka memerlukan perawatan atau pengobatan.

Penderita anosognosia menyangkal diagnosis penyakit.
(Sumber: foto canva.com)

Pengelakkan Terhadap Diskusi tentang Kondisi Kesehatan:

Lansia yang mengalami anosognosia mungkin menghindari atau mengelak dari pembicaraan tentang kesehatan mereka. Mereka bisa merasa frustrasi atau marah ketika topik ini dibahas.

Kehilangan Kemampuan untuk Merencanakan atau Menilai Diri Sendiri: 

Anosognosia dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk merencanakan masa depan atau menilai kemampuan dan keterbatasan mereka sendiri. Mereka mungkin memiliki pandangan yang tidak realistis tentang diri mereka sendiri.

Tidak Mengakui Perubahan Fungsional atau Kognitif: 

Lansia dengan anosognosia mungkin tidak menyadari perubahan dalam fungsi kognitif atau fisik mereka. Ini dapat mencakup kesulitan mengingat, berbicara, atau menjalankan aktivitas sehari-hari.

💬 Anosognosia dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dan dapat terjadi pada berbagai kondisi kesehatan. Dalam beberapa kasus, peran dukungan keluarga dan tim perawatan kesehatan dapat menjadi kunci dalam membantu individu yang mengalami anosognosia.

       Anosognosia pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, terutama terkait dengan gangguan kesehatan tertentu. 

Beberapa faktor penyebab umum anosognosia pada lansia:

Penyakit Neurodegeneratif: 

Anosognosia sering terkait dengan penyakit neurodegeneratif, seperti penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, atau penyakit Huntington. Gangguan struktural dan degeneratif pada otak dapat memengaruhi persepsi diri dan pemahaman individu terhadap kondisi kesehatan mereka.

Anosognosia terkait penyakit neurodegeneratif.
(Sumber: foto canva.com)

Lesi Otak atau Stroke: 

Lesi otak atau stroke dapat merusak bagian-bagian otak yang terlibat dalam pengenalan dan pemahaman diri. Anosognosia dapat muncul sebagai dampak dari kerusakan pada area-area ini.

Gangguan Kesehatan Mental: Anosognosia juga dapat terkait dengan gangguan kesehatan mental, seperti skizofrenia. Individu dengan skizofrenia mungkin tidak menyadari atau menolak untuk mengakui gejala psikotik atau gangguan pikir yang mereka alami.

Gangguan Neuropsikiatrik Lainnya: 

Beberapa gangguan neuropsikiatrik, seperti gangguan bipolar atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD), juga dapat berhubungan dengan anosognosia.

Kerusakan Fungsi Eksekutif Otak: 

Fungsi eksekutif otak yang terganggu, termasuk kemampuan untuk merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi diri sendiri, dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk menyadari kondisi kesehatan.

Adanya Trauma atau Stres Berat: 

Trauma otak yang disebabkan oleh kecelakaan atau stres berat tertentu juga dapat menjadi faktor penyebab anosognosia pada lansia.

💬Interaksi antara faktor-faktor ini dapat sangat kompleks, dan tiap individu dapat merespons dengan cara yang berbeda terhadap kondisi kesehatan mereka. Selain itu, ada penelitian yang terus dilakukan untuk lebih memahami mekanisme dan faktor yang terlibat dalam anosognosia pada lansia.

Penelitian terus dilakukan untuk memahami anosognosia.
(Sumber: foto canva.com)

         Mencegah anosognosia pada lansia terutama melibatkan upaya untuk menjaga kesehatan otak dan kesejahteraan secara umum. Meskipun tidak mungkin untuk sepenuhnya mencegah semua kondisi yang terkait dengan anosognosia, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mendukung kesehatan otak dan mencegah faktor risiko. 

Beberapa kiat  yang dapat membantu:

Pertahankan Kesehatan Fisik:

  • Diet seimbang: Makan makanan yang kaya nutrisi, terutama yang mengandung asam lemak omega-3 dan antioksidan.

Aktivitas fisik: 

  • Rajin berolahraga dapat meningkatkan aliran darah ke otak dan mendukung kesehatan otak.

Pertahankan Kesehatan Mental:

  • Latih otak: Melibatkan otak dalam kegiatan yang merangsang, seperti teka-teki, permainan otak, atau pembelajaran baru, dapat membantu menjaga kesehatan kognitif.
  • Sosialisasi: Interaksi sosial yang aktif dapat membantu menjaga kesehatan mental dan mencegah isolasi sosial.

Kelola Faktor Risiko Kesehatan:

  • Kontrol tekanan darah: Tekanan darah tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit vaskular otak, yang dapat berkontribusi pada anosognosia.
  • Kelola kolesterol: Tingkat kolesterol yang tinggi dapat berkontribusi pada penyakit vaskular otak.
  • Kelola diabetes: Diabetes yang tidak terkontrol dapat merusak pembuluh darah otak.

Pantau Kesehatan Mental:

  • Pergi ke dokter: Penting untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara teratur, terutama jika ada gejala kesehatan mental atau perubahan perilaku.
  • Pentingnya Peran Keluarga dan Dukungan Sosial:
  • Dukungan keluarga: Keluarga dapat memainkan peran penting dalam mendeteksi gejala awal dan menyediakan dukungan emosional.
  • Dukungan sosial: Jaringan sosial yang kuat dapat membantu mengatasi stres dan memberikan dukungan selama masa sulit.

💬Mencegah anosognosia melibatkan pendekatan holistik terhadap kesehatan fisik dan mental. Konsultasikan dengan profesional kesehatan untuk mendapatkan saran yang lebih spesifik dan sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing individu.

Mencegah anosognosia jaga kesehatan fisik dan mental.
(Sumber: foto canva.com)

        Tidak ada pengobatan langsung atau obat khusus untuk anosognosia. Kondisi ini sering kali terkait dengan gangguan neurologis atau kesehatan mental yang mendasarinya, seperti penyakit Alzheimer, Parkinson, atau skizofrenia.

Meskipun tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan anosognosia secara langsung, ada beberapa strategi dan pendekatan yang dapat membantu mengelola kondisi tersebut dan meningkatkan kualitas hidup individu yang terkena. 

Beberapa langkah yang mungkin diambil:

Perawatan Kesehatan Mental:

Jika anosognosia terkait dengan gangguan kesehatan mental, seperti skizofrenia, maka perawatan kesehatan mental yang sesuai, seperti terapi atau obat-obatan, mungkin diperlukan.

Manajemen Kesehatan Fisik:

Pengelolaan penyakit yang mendasari, terutama yang berhubungan dengan kesehatan otak, dapat membantu memperlambat progresi anosognosia. Ini mungkin termasuk pengobatan untuk kondisi seperti Alzheimer atau Parkinson.

Terapi dan Dukungan Psikososial:

  • Terapi perilaku kognitif: Terapi ini dapat membantu individu memahami dan mengatasi gangguan kognitif.
  • Dukungan psikososial: Mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu mengatasi isolasi dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Melibatkan Keluarga dan Perawat Kesehatan:

  • Keluarga dan perawat kesehatan dapat berperan penting dalam membantu individu menyadari dan mengelola kondisi kesehatan mereka.
  • Membangun hubungan yang baik dengan tim perawatan kesehatan untuk memastikan pengelolaan yang efektif.

Program Pelatihan Keterampilan Sosial dan Kognitif:

Program-program ini dapat membantu meningkatkan keterampilan sosial dan kognitif yang mungkin terpengaruh oleh anosognosia.

Edukasi dan Kesadaran:

Memberikan informasi kepada individu dan keluarga tentang kondisi kesehatan yang mendasari dan bagaimana itu dapat mempengaruhi kesadaran diri.

Cari bantuan profesional kesehatan untuk merancang rencana perawatan yang sesuai dengan kebutuhan individu. Pilihan perawatan akan sangat tergantung pada kondisi spesifik yang mendasari anosognosia dan faktor-faktor lain yang terlibat.




Sumber:

https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/22832-anosognosia

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513361/#:~:text=Anosognosia 

https://www.medicalnewstoday.com/articles/anosognosia

https://www.webmd.com/schizophrenia/what-is-anosognosia

https://en.wikipedia.org/wiki/Anosognosia

https://www.verywellhealth.com/anosognosia-definition-symptoms-causes-treatment-5204394