Wednesday, 24 January 2024

Impostor syndrome, Lansia Merasa Sukses karena Keberuntungan saja.

      Impostor syndrome (Sindrom penipu) merupakan hal yang nyata. Dan, jika Anda pernah mengucapkan atau memikirkan kata-kata, "Saya membodohi semua orang. Saya merasa seperti seorang penipu," Anda sudah mempunyai pengalaman dengan hal tersebut.

Sindrom penipu (juga dikenal sebagai fenomena penipu, sindrom penipuan, persepsi penipuan, atau pengalaman penipu) menggambarkan individu berprestasi tinggi yang, meskipun sukses secara objektif, gagal menginternalisasi pencapaian mereka dan terus-menerus merasa ragu dan takut terungkap sebagai penipu. 

Impostor syndrome merupakan hal yang nyata terjadi.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Orang dengan sindrom penipu kesulitan menghubungkan kinerja mereka dengan kompetensi aktual mereka secara akurat (misalnya, mereka menghubungkan kesuksesan dengan faktor eksternal seperti keberuntungan atau menerima bantuan dari orang lain dan mengaitkan kemunduran sebagai bukti ketidakmampuan profesional mereka).

Impostor syndrome atau sindrom penipu adalah kondisi psikologis di mana seseorang, meskipun memiliki prestasi dan kualifikasi yang nyata, merasa seperti mereka tidak pantas atau tidak layak atas kesuksesan atau posisi yang mereka capai.

Orang yang mengalami impostor syndrome cenderung merasa bahwa mereka hanyalah "penipu" atau "palsu" dan bahwa sukses mereka hanyalah hasil dari keberuntungan atau kesalahpahaman orang lain.

Beberapa ciri umum dari orang yang mengalami impostor syndrome meliputi:

Ketidakpercayaan Terhadap Prestasi Sendiri: 
Orang dengan impostor syndrome sering meragukan kemampuan dan prestasi mereka sendiri, bahkan ketika bukti empiris menunjukkan sebaliknya.
Ketidakpercayaan dengan prestasi sendiri.
(Sumber: foto canva.com)
Ketakutan Ditemukan: 
Mereka merasa takut bahwa suatu saat orang lain akan "menemukan" bahwa mereka sebenarnya tidak kompeten atau tidak layak.

Meremehkan Prestasi Sendiri: 
Meskipun memiliki prestasi yang signifikan, mereka cenderung meremehkan pencapaian mereka sendiri dan menyalahkan faktor eksternal seperti keberuntungan.

Perasaan Tertekan oleh Standar Tinggi: 
Mereka sering menetapkan standar yang sangat tinggi untuk diri sendiri dan merasa tidak pernah mencapai standar tersebut.

Komparasi Diri dengan Orang Lain: 
Orang yang mengalami impostor syndrome sering membandingkan diri mereka dengan orang lain yang dianggap lebih sukses atau lebih kompeten, tanpa memperhatikan prestasi mereka sendiri.

Menyembunyikan Kesulitan: 
Mereka mungkin cenderung menyembunyikan kesulitan atau ketidakpastian mereka, karena takut akan penilaian negatif.

Impostor syndrome dapat mempengaruhi siapa saja, terlepas dari tingkat prestasi atau keberhasilan yang telah dicapai. Faktor-faktor seperti kecenderungan perfeksionisme, kurangnya dukungan sosial, atau pengalaman trauma masa lalu dapat berperan dalam perkembangan sindrom ini. Penting untuk menyadari adanya impostor syndrome dan bekerja untuk mengatasi perasaan negatif ini dengan bantuan dukungan sosial, pembinaan diri, dan, jika diperlukan, bantuan profesional.

       Impostor syndrome pada lansia bisa terjadi dengan karakteristik yang mirip dengan yang dialami oleh orang di berbagai rentang usia. 

Beberapa aspek yang mungkin membedakan pengalaman impostor syndrome pada lansia.

Keterkaitan dengan Penuaan: 
Lansia mungkin mengalami perasaan impostor syndrome terkait dengan aspek-aspek penuaan, seperti perubahan fisik, penurunan kesehatan, atau perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat.

Keterbatasan Fisik dan Kognitif: 
Lansia sering menghadapi keterbatasan fisik dan kognitif, yang dapat menyebabkan perasaan tidak kompeten atau tidak berdaya. Mereka mungkin merasa seperti mereka bukanlah versi terbaik dari diri mereka yang dulu.

Pensiun dan Identitas:
Pensiun dapat menjadi faktor yang memicu impostor syndrome pada lansia. Setelah pensiun, mereka mungkin merasa kehilangan identitas yang terkait dengan pekerjaan atau peran spesifik yang mereka jalani selama bertahun-tahun.
Pensiun menjadi pemicu impostor syndrome.
(Sumber: foto canva,com)
Perasaan Kurang Berguna atau Tidak Diperlukan: 
Lansia mungkin mengalami perasaan kurang berguna atau tidak diperlukan, terutama jika mereka mengalami isolasi sosial atau kehilangan jaringan dukungan.

Refleksi atas Kehidupan yang Sudah Berlalu: 
Pada tahap-tahap akhir kehidupan, lansia mungkin merenungkan pencapaian dan keputusan yang telah mereka buat sepanjang hidup mereka. Impostor syndrome bisa muncul ketika mereka meragukan nilai atau arti dari apa yang telah mereka lakukan.

Ketergantungan pada Orang Lain: 
Lansia yang bergantung pada perawatan atau dukungan dari orang lain mungkin merasa seperti mereka tidak mampu berdiri sendiri, menggambarkan perasaan "penipu."

       Impostor syndrome dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memainkan peran dalam pengembangan dan memperkuat pengalaman ini. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap impostor syndrome:

Perfectionisme: 
Orang yang memiliki standar yang sangat tinggi untuk diri sendiri dan cenderung menilai diri mereka sendiri berdasarkan kesalahan atau kekurangan mungkin lebih rentan terhadap impostor syndrome. Mereka mungkin merasa tidak puas meskipun mencapai sukses.

Kurangnya Dukungan Sosial:
Isolasi sosial atau kurangnya dukungan dari teman, keluarga, atau rekan kerja dapat meningkatkan perasaan penipuan. Rasa terisolasi dapat membuat seseorang meragukan kemampuan dan prestasinya.

Trauma atau Pengalaman Negatif Masa Lalu:
Pengalaman trauma atau pengalaman negatif lainnya dalam masa lalu dapat membentuk pandangan diri yang negatif dan mendalam, memicu impostor syndrome.

Pembandingan Sosial yang Berlebihan: 
Membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih sukses atau lebih kompeten dapat meningkatkan perasaan kurang berharga dan tidak pantas.
Membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap sukses.
(sumber: foto canva.com)
Keterbatasan Identitas: 
Perubahan dalam peran atau identitas, seperti setelah pensiun atau perubahan signifikan dalam kehidupan, dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan identitas dan nilai diri.

Citra Diri yang Rendah:
Kurangnya keyakinan dalam kemampuan dan nilai diri dapat memicu impostor syndrome. Orang yang memiliki citra diri yang rendah cenderung meragukan pencapaian positif mereka.

Kurangnya Pengakuan atau Umpan Balik Positif:
Kurangnya umpan balik positif atau pengakuan atas prestasi dapat membuat seseorang merasa bahwa mereka hanya beruntung dan bukan karena kemampuan atau usaha mereka sendiri.

Budaya Perusahaan atau Lingkungan Kerja: 
Lingkungan kerja yang sangat kompetitif atau mendukung persepsi bahwa keberhasilan hanya bisa dicapai melalui standar yang sangat tinggi dapat memicu impostor syndrome.

Pengalaman Diskriminasi atau Prasangka:
Orang yang telah mengalami diskriminasi atau prasangka mungkin merasa bahwa keberhasilan mereka dianggap sebagai hasil dari kebijakan afirmatif atau faktor lainnya, bukan karena kompetensi mereka.

       Mencegah impostor syndrome pada lansia melibatkan kombinasi upaya individu dan dukungan sosial. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mencegah atau mengatasi impostor syndrome pada lansia:

Peningkatan Kesadaran Diri:
  • Lansia dapat mengembangkan kesadaran diri yang lebih baik terkait dengan pencapaian, keterampilan, dan nilai mereka.
  • Merefleksikan peran dan kontribusi yang telah mereka berikan dalam keluarga, komunitas, dan kehidupan secara keseluruhan.
Peningkatan kesadaran diri atas segala pencapaiannya..
(Sumber : foto canva,com)
Berpikir Positif:
  • Mendorong pemikiran positif dan menggantikan pikiran negatif dengan afirmasi positif.
  • Menilai pencapaian dan kontribusi mereka secara realistis tanpa meremehkan diri sendiri.

Pengembangan Keterampilan Adaptasi:
  • Mengembangkan keterampilan adaptasi untuk mengatasi perubahan yang terkait dengan penuaan, seperti kesehatan yang menurun atau pensiun.
  • Menyadari bahwa kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dapat tetap ada sepanjang hidup.

Dukungan Sosial:
  • Membangun dan memelihara jaringan sosial yang sehat dengan teman, keluarga, dan masyarakat.
  • Terlibat dalam kegiatan sosial untuk menghindari isolasi dan merasa kurang berguna.

Menerima Keterbatasan:
  • Menerima keterbatasan fisik dan kognitif sebagai bagian dari penuaan normal.
  • Fokus pada aspek-aspek positif dan nilai-nilai yang masih dapat mereka kontribusikan.

Pengakuan Diri dan Penghargaan:
  • Mengenali prestasi dan kontribusi mereka sendiri.
  • Menerima penghargaan dan pengakuan dari orang lain tanpa merasa tidak pantas.

Mengatasi Perfeksionisme:
  • Mengurangi tekanan untuk mencapai standar yang tidak realistis.
  • Mengakui bahwa tidak ada yang sempurna dan menghargai upaya yang telah dilakukan.

Melibatkan Diri dalam Kegiatan Positif:
  • Terlibat dalam kegiatan yang memberikan kepuasan dan meningkatkan perasaan kompetensi.
  • Mengejar hobi, minat, atau kegiatan sosial yang memberikan kegembiraan dan rasa prestasi.

Bantuan Profesional:
Jika perasaan impostor syndrome berlanjut atau sangat mempengaruhi kesejahteraan mental, mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau konselor dapat menjadi pilihan yang baik.

💬Menciptakan lingkungan yang mendukung dan membangun kesadaran diri yang sehat dapat membantu lansia mengatasi atau mencegah impostor syndrome. Dukungan dari keluarga, teman, dan tenaga kesehatan dapat memainkan peran penting dalam membantu mereka menghargai diri sendiri dan merasa bermanfaat dalam tahap-tahap akhir kehidupan mereka.

       Impostor syndrome adalah tantangan psikologis, dan pengobatannya melibatkan serangkaian strategi dan pendekatan yang dapat membantu seseorang mengatasi perasaan dan pikiran negatif yang terkait dengan rasa penipuan atau tidak berdaya. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengelola dan mengatasi kondisi ini:

Peningkatan Kesadaran Diri:
  • Membangun kesadaran diri tentang perasaan dan pikiran negatif yang muncul terkait dengan impostor syndrome.
  • Menyadari bahwa perasaan tersebut mungkin tidak selalu mencerminkan kenyataan dan bisa disesuaikan.

Pembinaan Diri:
  • Mendorong pemikiran positif dan mengenali prestasi dan kemampuan pribadi.
  • Membangun keyakinan diri dan menggantikan pemikiran negatif dengan afirmasi positif.

Penerimaan Keterbatasan:
  • Menerima bahwa tidak ada yang sempurna dan bahwa setiap orang memiliki keterbatasan atau kelemahan.
  • Fokus pada pencapaian dan potensi positif, sambil mengakui area di mana perbaikan mungkin diperlukan.

Mengenali Peran Eksternal:
  • Mengenali bahwa faktor eksternal seperti keberuntungan, dukungan sosial, atau peluang dapat memengaruhi kesuksesan.
  • Mencegah diri dari menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.

Pencarian Dukungan Sosial:
  • Berbicara dengan teman, keluarga, atau rekan kerja tentang perasaan dan pengalaman yang terkait dengan impostor syndrome.
  • Memperoleh dukungan sosial dapat membantu mengurangi isolasi dan meningkatkan rasa nilai diri.

Mengatasi Perfeksionisme:
  • Mengurangi tekanan untuk mencapai standar yang sangat tinggi.
  • Fokus pada upaya yang memadai dan mencapai tujuan, tanpa menuntut kesempurnaan.

Bantuan Profesional:
  • Jika perasaan impostor syndrome berlanjut dan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, mempertimbangkan untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau konselor.
  • Terapi kognitif atau terapi perilaku kognitif (CBT) dapat membantu mengubah pola pikir negatif.

Pelatihan Keterampilan Sosial dan Kepemimpinan:
Meningkatkan keterampilan sosial dan kepemimpinan untuk membangun rasa percaya diri dan kenyamanan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Pendidikan dan Pelatihan Lanjutan:
Melanjutkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri.

Mengatasi impostor syndrome memerlukan waktu, kesabaran, dan dedikasi. Kombinasi berbagai strategi ini dapat membantu seseorang mengubah persepsi diri dan mengembangkan kesejahteraan mental yang lebih baik. Penting untuk diingat bahwa setiap orang bergerak melalui tantangan ini dengan cara yang berbeda, dan jika diperlukan, bantuan profesional dapat memberikan panduan dan dukungan tambahan.




Sumber:

https://www.psycom.net/imposter-syndrome

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7174434/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4048136/

https://www.medicalnewstoday.com/articles/321730

https://www.ynetnews.com/health_science/article/h1fw7g009n

https://academic.oup.com/ajhp/article-abstract/79/6/421/6422615

Monday, 22 January 2024

Anhedonia, Ketidakmampuan Merasakan Kenikmatan atau Kesenangan.

        Anhedonia adalah kurangnya minat, kenikmatan atau kesenangan dari pengalaman hidup. Anda mungkin tidak ingin menghabiskan waktu bersama orang lain atau melakukan aktivitas yang sebelumnya membuat Anda bahagia. Anhedonia adalah gejala umum dari banyak kondisi kesehatan mental. Wajar jika minat Anda berubah sepanjang hidup.

Lansia kehilangan minat kenikmatan pengalaman hidup.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Pada lansia mengacu pada kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang sebelumnya memberikan kepuasan atau kegembiraan. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, di mana "an" berarti tanpa, dan "hedone" berarti kenikmatan. Oleh karena itu, anhedonia secara harfiah dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk merasakan kenikmatan atau kesenangan.

Anhedonia dapat menjadi salah satu gejala dari berbagai kondisi kesehatan mental, seperti depresi atau gangguan mood lainnya. Selain itu, anhedonia juga dapat terkait dengan perubahan fisik dan sosial yang umumnya terjadi seiring dengan penuaan, seperti penurunan kesehatan fisik, kehilangan teman atau keluarga, serta penurunan aktivitas fisik.

Anhedonia pada lansia dapat menunjukkan beberapa ciri atau gejala yang dapat mencakup berbagai aspek kehidupan. 

Beberapa ciri yang mungkin muncul:

Kehilangan Minat pada Aktivitas yang Dahulu Dinikmati: 
Lansia yang mengalami anhedonia mungkin kehilangan minat pada kegiatan atau hobi yang sebelumnya memberikan kesenangan atau kegembiraan.

Kurangnya Antusiasme: 
Mereka mungkin menunjukkan kurangnya antusiasme atau semangat dalam berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau rekreasi.
Lansia kurang antusias dalam kegiatan sosial dan rekreasi.
(Sumber: foto canva.com)
Isolasi Sosial: 
Anhedonia pada lansia dapat menyebabkan isolasi sosial karena mereka mungkin enggan atau tidak tertarik untuk terlibat dalam interaksi sosial atau kegiatan kelompok.

Penurunan Respons Emosional: 
Respons emosional yang kurang atau berkurang terhadap peristiwa yang seharusnya menyenangkan, seperti pertemuan dengan teman atau keluarga, dapat menjadi indikasi anhedonia.

Perubahan dalam Kebiasaan Makan dan Tidur: 
Anhedonia dapat berdampak pada pola makan dan tidur. Lansia mungkin kehilangan selera makan atau mengalami perubahan dalam pola tidur, seperti insomnia atau tidur berlebihan.

Kurangnya Motivasi: 
Lansia yang mengalami anhedonia mungkin memiliki tingkat motivasi yang rendah untuk memulai atau menyelesaikan tugas sehari-hari.

Kesulitan Menemukan Kesenangan dalam Kehidupan Sehari-hari: 
Anhedonia dapat membuat sulit bagi lansia untuk menemukan kesenangan dalam aktivitas sehari-hari, bahkan yang sebelumnya dianggap sebagai hal yang biasa dan menyenangkan.

💬Gejala ini dapat muncul sebagai bagian dari berbagai kondisi kesehatan mental, termasuk depresi. 

 Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap anhedonia pada lansia:

Perubahan Biologis: 
Lansia sering mengalami perubahan biologis, termasuk perubahan pada sistem saraf, neurotransmitter, dan fungsi hormonal. Perubahan ini dapat mempengaruhi respons terhadap rangsangan yang menyenangkan dan berkontribusi pada munculnya anhedonia.

Kesehatan Fisik yang Buruk: 
Masalah kesehatan fisik, seperti penyakit kronis, nyeri kronis, atau penurunan fungsi fisik, dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional dan menimbulkan anhedonia.
Kesehatan fisik yang buruk menimbulkan anhedonia.
(Sumber: foto canva.com)
Gangguan Kesehatan Mental: 
Anhedonia sering kali terkait dengan gangguan kesehatan mental, seperti depresi atau gangguan mood lainnya. Lansia dapat mengalami depresi sebagai respons terhadap perubahan hidup, isolasi sosial, atau kehilangan orang yang dicintai.

Kehilangan Sosial: 
Kehilangan teman, keluarga, atau pasangan hidup dapat memicu anhedonia pada lansia. Rasa kehilangan dan isolasi sosial dapat mempengaruhi kepuasan hidup dan minat terhadap aktivitas sosial.

Perubahan Kondisi Lingkungan: 
Perubahan dalam kondisi lingkungan, seperti pensiun, pindah ke tempat tinggal baru, atau kehilangan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik, dapat menjadi faktor yang memicu anhedonia.

Perubahan Neurotransmitter: 
Perubahan dalam kadar neurotransmitter di otak, seperti dopamin dan serotonin, dapat berperan dalam regulasi mood dan respon terhadap kesenangan. Gangguan pada sistem neurotransmitter ini dapat terkait dengan anhedonia.

Stres dan Trauma: 
Pengalaman stres atau trauma, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang sedang dialami, dapat berdampak pada kesejahteraan emosional dan menyebabkan anhedonia pada lansia.

Efek Obat-obatan: 
Penggunaan obat-obatan tertentu, terutama obat-obatan yang memengaruhi sistem saraf pusat, dapat memiliki efek samping yang menyebabkan anhedonia atau penurunan respon terhadap kegiatan yang menyenangkan.

       Mencegah anhedonia pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup aspek-aspek fisik, mental, dan sosial dari kesehatan mereka. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu mencegah atau mengatasi anhedonia pada lansia:

Aktivitas Fisik: 
Mendorong lansia untuk menjalani gaya hidup yang aktif secara fisik dapat membantu meningkatkan kesehatan mental dan emosional. Aktivitas fisik teratur telah terbukti memiliki dampak positif pada mood dan dapat membantu mencegah atau mengurangi gejala anhedonia.

Kegiatan Sosial:
Mempromosikan interaksi sosial dan partisipasi dalam kegiatan kelompok dapat membantu mengurangi rasa isolasi sosial. Lansia dapat bergabung dengan klub atau organisasi yang sesuai dengan minat mereka, menghadiri acara sosial, atau menjalin hubungan dengan teman dan keluarga.

Kegiatan sosial membantu mengurangi isolasi lansia.
(Sumber: pens 49 ceria)

Pertahankan Hubungan Sosial: 
Menjaga hubungan sosial yang positif dan mendukung dapat membantu melawan perasaan kesepian dan kehilangan minat pada aktivitas. Berkumpul dengan teman, keluarga, atau tetangga secara teratur dapat memberikan dukungan emosional yang penting.

Pertahankan Hobi dan Kegiatan Kesukaan: 
Mendorong lansia untuk tetap terlibat dalam hobi atau aktivitas yang mereka nikmati dapat membantu mempertahankan minat dan kegembiraan dalam hidup.

Perhatian terhadap Kesehatan Mental: 
Pemantauan kesehatan mental secara berkala dapat membantu mendeteksi dini gejala depresi atau gangguan mood lainnya. Jika ditemukan gejala, segera mencari bantuan profesional.

Nutrisi yang Seimbang:
Memastikan asupan nutrisi yang seimbang dapat berdampak positif pada kesehatan mental. Gizi yang baik dapat mendukung fungsi otak dan mood yang stabil.

Manajemen Stres: 
Memberikan strategi manajemen stres, seperti relaksasi, meditasi, atau yoga, dapat membantu lansia mengatasi tekanan hidup dan mencegah anhedonia.

Pentingnya Rutinitas dan Struktur: 
Menjaga rutinitas harian dan memberikan struktur pada kehidupan sehari-hari dapat membantu lansia merasa lebih terorganisir dan dapat meningkatkan kepuasan hidup.

Konsultasi Profesional:
Jika anhedonia atau gejala depresi lainnya muncul, segera mencari bantuan dari profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater, untuk evaluasi dan perawatan yang sesuai.

       Mengobati anhedonia pada lansia melibatkan pendekatan yang komprehensif dan dapat melibatkan berbagai jenis perawatan. Penting untuk dicatat bahwa setiap individu memiliki kebutuhan yang unik, dan rencana pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan preferensi individu. 

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengobati anhedonia pada lansia:

Konseling atau Terapi Psikologis: 
Terapi kognitif perilaku (CBT) atau terapi psikologis lainnya dapat membantu lansia mengidentifikasi pola pikir negatif dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih positif. Terapis juga dapat memberikan dukungan emosional dan membantu mengatasi faktor-faktor psikososial yang dapat menyebabkan anhedonia.

Terapi Obat: 
Pada beberapa kasus, terapi obat dapat direkomendasikan, terutama jika anhedonia terkait dengan gangguan mood seperti depresi. Psikiater dapat meresepkan obat-obatan seperti antidepresan untuk membantu mengatasi gejala depresi.

Aktivitas Fisik Rutin: 
Melibatkan diri dalam aktivitas fisik rutin dapat merangsang pelepasan endorfin, neurotransmitter yang dapat meningkatkan mood dan kebahagiaan. Program latihan yang sesuai dengan kemampuan fisik lansia dapat membantu meningkatkan kesejahteraan emosional.

Intervensi Sosial: 
Meningkatkan interaksi sosial dapat membantu mengurangi rasa kesepian dan merangsang perasaan kebahagiaan. Lansia dapat mengikuti kegiatan kelompok, bergabung dengan klub atau organisasi, atau menjalin hubungan dengan teman dan keluarga.

Nutrisi Seimbang: 
Asupan nutrisi yang baik dapat memainkan peran penting dalam kesehatan mental. Pastikan lansia mendapatkan makanan seimbang yang mencakup nutrisi yang diperlukan untuk kesehatan otak.

Manajemen Stres: 
Teknik-teknik manajemen stres seperti relaksasi, meditasi, atau biofeedback dapat membantu mengurangi tingkat stres yang dapat memperburuk anhedonia.

Pentingnya Tidur yang Cukup: 
Tidur yang cukup dan berkualitas memiliki dampak besar pada kesejahteraan mental. Pastikan lansia mendapatkan waktu tidur yang cukup setiap malam.

Perawatan Kesehatan Primer: 
Mengatasi kondisi kesehatan fisik yang mendasari juga penting. Kondisi medis yang tidak terkendali dapat memperburuk gejala anhedonia.

Dukungan Sosial: 
Mendorong dan memberikan dukungan sosial yang positif dapat membantu lansia merasa terhubung dan didukung, mengurangi rasa kesepian, dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Berkonsultasi dengan profesional kesehatan, seperti dokter atau psikolog, untuk mendiskusikan opsi perawatan yang sesuai dengan keadaan khusus lansia. Rencana pengobatan yang efektif mungkin melibatkan kombinasi beberapa strategi untuk mencapai hasil yang optimal.



Sumber:

https://my.clevelandclinic.org/health/symptoms/25155-anhedonia 

https://hcp.hms.harvard.edu/news/mental-illnesses-are-common-care-lacking

https://www.webmd.com/depression/what-is-anhedonia

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3766414/

https://compassionstl.com/loved-ones-with-anhedonia/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6710416/


Gangguan Avoidant, Lansia Cenderung Mengurangi Partisipasi.

       Gangguan kepribadian mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, tanpa memandang usia. Namun penting untuk memahami perubahan spesifik gangguan kepribadian pada orang lanjut usia, karena penuaan dapat berdampak besar pada kesehatan mental.

Gangguan kepribadian banyak menimpa lansia karena proses penuaan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Lansia yang memiliki gangguan kepribadian dapat mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental yang dapat berujung pada gangguan kepribadian. Misalnya, gangguan kepribadian bisa terjadi karena penurunan kognitif atau perubahan hormon yang berhubungan dengan penuaan.

Gangguan avoidant ditandai dengan perasaan hambatan sosial yang ekstrem, ketidakmampuan, dan kepekaan terhadap kritik dan penolakan negatif. Namun gejalanya tidak hanya sekedar rasa malu atau canggung dalam pergaulan. Gangguan avoidant menyebabkan masalah signifikan yang memengaruhi kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan menjaga hubungan dalam kehidupan sehari-hari. 

Gangguan avoidant pada lansia dapat disebut sebagai "Avoidant Personality Disorder (APD)" pada tingkat umum. APD adalah gangguan kepribadian yang dicirikan oleh pola perilaku menghindar, perasaan rendah diri, dan ketidakmampuan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain dengan nyaman.

Istilah "Avoidant Personality Disorder" biasanya lebih terkait dengan gangguan kepribadian yang berkembang pada masa dewasa. Pada lansia, pengalaman atau gejala serupa dapat termanifestasi sebagai bagian dari tantangan kesehatan mental yang mereka hadapi, tetapi mungkin tidak selalu diidentifikasi secara khusus sebagai "Avoidant Personality Disorder."

APD pada lansia tidak selalu diidentifikasi secara khusus.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan avoidant pada lansia adalah kondisi psikologis di mana seseorang dalam kelompok usia lanjut mengalami ketidaknyamanan, kecemasan, atau ketakutan yang berlebihan terhadap interaksi sosial, hubungan interpersonal, atau situasi yang melibatkan kontak dengan orang lain. Orang yang mengalami gangguan avoidant cenderung menghindari situasi-situasi sosial atau mengurangi keterlibatan dalam aktivitas kelompok.

       Pada lansia, gangguan avoidant bisa menjadi lebih rumit karena faktor-faktor seperti perasaan kesepian, penurunan fungsi fisik atau kesehatan, kehilangan teman atau pasangan hidup, dan perubahan dalam lingkungan sosial mereka. 

Beberapa gejala gangguan avoidant pada lansia mungkin melibatkan:

Ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan hubungan sosial: 
Lansia dengan gangguan avoidant mungkin sulit membangun atau menjaga hubungan dengan orang lain, baik teman sebaya maupun keluarga.

Menghindari pertemuan sosial atau aktivitas kelompok: 
Orang dengan gangguan avoidant pada lansia cenderung menghindari situasi di mana mereka perlu berinteraksi secara sosial, seperti pertemuan keluarga, acara sosial, atau kegiatan kelompok.

Rasa cemas yang berlebihan terkait dengan evaluasi sosial: 
Lansia dengan gangguan avoidant mungkin merasa sangat cemas atau khawatir tentang bagaimana orang lain menilai mereka, bahkan jika evaluasi tersebut mungkin tidak sesuai dengan kenyataan.

Isolasi diri: 
Orang dengan gangguan avoidant pada lansia dapat mengalami isolasi diri karena mereka cenderung mengurangi partisipasi dalam kehidupan sosial dan aktivitas komunitas.
Orang dengan avoidant cenderung isolasi diri karena mengurangi partisipasi.
( Sumber: foto cnava.com)
Rendahnya harga diri dan kepercayaan diri: 
Gangguan avoidant pada lansia dapat mempengaruhi harga diri dan kepercayaan diri, karena mereka mungkin merasa tidak mampu atau tidak layak untuk terlibat dalam hubungan sosial.

        Beberapa faktor penyebab yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan gangguan avoidant pada lansia, meliputi:

Pengalaman Traumatik di Masa Lalu: 
Lansia yang pernah mengalami pengalaman traumatis seperti pelecehan, kehilangan yang mendalam, atau kekerasan dalam hubungan sosialnya, mungkin mengembangkan pola menghindar sebagai cara untuk melindungi diri dari potensi penderitaan lebih lanjut.

Keterbatasan Fisik atau Kesehatan: 
Penurunan kesehatan atau keterbatasan fisik pada lansia dapat menyebabkan perubahan dalam gaya hidup dan ketergantungan pada bantuan orang lain. Hal ini dapat memicu perasaan tidak nyaman atau rendah diri, yang mungkin membuat mereka menghindari situasi sosial.

Kehilangan Signifikan: 
Lansia yang mengalami kehilangan pasangan hidup, teman dekat, atau orang-orang yang berarti dalam hidup mereka dapat mengalami kesedihan yang mendalam dan kemungkinan isolasi sosial sebagai respons terhadap kehilangan tersebut.

Perubahan Lingkungan Sosial: 
Perubahan dalam lingkungan sosial, seperti pindah ke tempat tinggal yang baru atau kehilangan hubungan yang signifikan, dapat menjadi faktor pemicu dalam perkembangan gangguan avoidant pada lansia.

Gangguan Kesehatan Mental Sebelumnya: 
Riwayat gangguan mental seperti gangguan kecemasan atau depresi pada masa muda atau dewasa dapat meningkatkan risiko seseorang mengembangkan gangguan avoidant pada tahap selanjutnya dalam hidupnya.

Keterbatasan Keterampilan Sosial: 
Lansia yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi atau kurangnya keterampilan sosial mungkin merasa tidak nyaman atau cemas dalam situasi sosial, sehingga cenderung menghindar.

Faktor Genetik dan Biologis: 
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dan biologis juga dapat memainkan peran dalam rentan seseorang terhadap gangguan avoidant atau kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial.

        Mencegah gangguan avoidant pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik terhadap kesejahteraan mental dan sosial mereka. 

Beberapa strategi yang dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi kemungkinan perkembangan gangguan avoidant pada lansia:

Mempertahankan Koneksi Sosial:

  • Dorong partisipasi dalam aktivitas sosial dan kelompok.
  • Ajak lansia untuk terlibat dalam kegiatan komunitas atau klub yang sesuai dengan minat mereka.
  • Pertahankan hubungan dengan teman, keluarga, dan tetangga.

Mempertakan koneksi sosial mencegah gangguan avoidant.
(Sumber: foto canva.com)

Dukungan Psikososial:

  • Berikan dukungan emosional dan psikososial kepada lansia, terutama dalam menghadapi perubahan hidup atau kehilangan yang signifikan.
  • Sediakan ruang untuk berbicara tentang perasaan dan kekhawatiran mereka.

Pemeliharaan Kesehatan Mental:

  • Fasilitasi akses lansia ke layanan kesehatan mental jika diperlukan.
  • Edukasi tentang pentingnya perawatan diri dan kesehatan mental secara umum.

Aktivitas Fisik dan Kesehatan Tubuh:

  • Dorong kegiatan fisik yang sesuai dengan kondisi kesehatan lansia.
  • Pastikan pola makan yang seimbang untuk mendukung kesehatan fisik dan mental.

Manajemen Stres:

  • Ajarkan teknik relaksasi, meditasi, atau latihan pernapasan untuk membantu mengelola stres.
  • Identifikasi faktor-faktor pemicu stres dan temukan strategi untuk mengatasinya.

Promosi Keterampilan Sosial:

  • Berikan pelatihan atau dukungan untuk meningkatkan keterampilan sosial lansia.
  • Fasilitasi keikutsertaan mereka dalam program-program pembelajaran atau kegiatan sosial.

Mendorong Kemandirian:

  • Dukung lansia untuk tetap mandiri sebanyak mungkin.
  • Berikan dukungan dalam mengatasi tantangan fisik atau kesehatan yang mungkin mereka alami.

Keterlibatan Dalam Masyarakat:

  • Dorong partisipasi dalam kegiatan masyarakat dan kegiatan sukarela.
  • Fasilitasi keterlibatan mereka dalam proyek-proyek atau inisiatif yang dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan makna hidup.

Pantau Perubahan Perilaku:

  • Perhatikan perubahan dalam perilaku atau mood yang mungkin menjadi tanda-tanda awal gangguan avoidant.
  • Lakukan evaluasi kesehatan mental secara berkala.

       Pengobatan gangguan avoidant pada lansia biasanya melibatkan pendekatan yang holistik dan dapat melibatkan kombinasi terapi psikologis, dukungan sosial, dan dalam beberapa kasus, penggunaan obat-obatan. 

Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengobati gangguan avoidant pada lansia:

Terapi Kognitif-Perilaku (CBT):

  • Terapi ini dapat membantu lansia mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku menghindar.
  • Fokusnya pada pemahaman diri, pengelolaan stres, dan pengembangan keterampilan sosial.

Terapi Dukungan Sosial:

Memfasilitasi koneksi sosial dan dukungan dari teman, keluarga, atau kelompok dukungan dapat membantu mengurangi isolasi dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Terapi Kelompok:

  • Terapi kelompok dapat memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan orang lain yang mengalami tantangan serupa.
  • Mendorong interaksi sosial dan membangun keterampilan sosial melalui situasi yang terkendali.

Latihan Pemaparan Sosial:

  • Terapis dapat menggunakan teknik pemaparan untuk membantu lansia menghadapi dan mengatasi ketakutan atau kecemasan sosial secara bertahap.
  • Pendekatan ini membantu melatih individu untuk menghadapi situasi yang mereka hindari.

Dukungan Medikasi:

  • Dalam beberapa kasus, dokter dapat meresepkan obat anti-kecemasan atau antidepresan untuk membantu mengatasi gejala gangguan avoidant.
  • Penggunaan obat-obatan harus diawasi secara ketat oleh profesional kesehatan.

Pendidikan dan Keterlibatan Keluarga:

  • Mengedukasi keluarga dan teman-teman tentang gangguan avoidant dapat membantu mereka memberikan dukungan yang lebih baik.
  • Mendorong partisipasi keluarga dalam proses penyembuhan.

Promosi Kesehatan Mental Umum:

Menggalakkan gaya hidup sehat termasuk olahraga, pola makan seimbang, dan cukup istirahat dapat mendukung kesehatan mental secara keseluruhan.

Intervensi Sosial dan Komunitas:

Melibatkan lansia dalam kegiatan sosial dan komunitas dapat membantu mereka merasa lebih terhubung dan dihargai.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan respons yang unik terhadap terapi. Pengobatan terbaik dapat ditentukan melalui kerjasama antara lansia, keluarga, dan tim perawatan kesehatan. Konsultasikan dengan profesional kesehatan mental untuk menilai kebutuhan individu dan merancang rencana pengobatan yang sesuai.



Sumber:

https://www.healthdirect.gov.au/avoidant-personality-disorder

https://www.webmd.com/mental-health/avoidant-personality-disorders

https://www.cambridge.org/core/journals/international-psychogeriatrics/article/psychotherapy-of-an-older-adult-with-an-avoidant-personality-disorder 

https://www.psycom.net/avoidant-personality-disorder/avpd-diagnosis

https://www.forbes.com/health/mind/avoidant-personality-disorder/

https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2023.1248617