Thursday, 25 January 2024

Satu Ons Pencegahan Bernilai Satu Pon Pengobatan.

           Populasi menua di dunia berlangsung cepat. Pada tahun 2020, 1 miliar orang di dunia berusia 60 tahun ke atas. Angka tersebut akan meningkat menjadi 1,4 miliar pada tahun 2030, mewakili satu dari enam orang secara global. Pada tahun 2050, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas akan meningkat dua kali lipat hingga mencapai 2,1 miliar. Jumlah penduduk berusia 80 tahun atau lebih diperkirakan meningkat tiga kali lipat antara tahun 2020 dan 2050 hingga mencapai 426 juta. 

Pencegahan penyakit sering kali lebih baik daripada harus bergantung pada pengobatan. Orang lanjut usia mungkin dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah beberapa penyakit. Mereka bisa mendapatkan tes skrining dan vaksinasi serta menjalani gaya hidup sehat.    

Lansia sehat mampu melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit,
(Sumber: foto paguyuban pensiun purna)

Benjamin Franklin terkenal dengan ucapannya “Satu ons pencegahan bernilai satu pon pengobatan.” "Pencegahan lebih baik daripada pengobatan" adalah prinsip yang menekankan pentingnya mencegah suatu masalah atau penyakit daripada mengobatinya setelah terjadi. Prinsip ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk kesehatan, keamanan, dan manajemen risiko. Dalam konteks kesehatan, prinsip ini mengacu pada upaya untuk mencegah timbulnya penyakit atau kondisi kesehatan buruk sebelum mereka terjadi, daripada hanya mengobati gejala atau kondisi setelah muncul.

Beberapa alasan mengapa pencegahan diutamakan dibandingkan pengobatan antara lain:

Efektivitas Biaya: 
Pencegahan seringkali lebih ekonomis daripada pengobatan. Biaya untuk merawat penyakit atau kondisi kesehatan seringkali lebih tinggi daripada biaya pencegahan.

Kualitas Hidup: 
Mencegah penyakit dapat meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan karena mengurangi risiko dan dampak negatif pada kesehatan.

Keselamatan: 
Pencegahan dapat membantu mengurangi risiko terjadinya kecelakaan atau insiden yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan seseorang.

Keberlanjutan Kesehatan:
Upaya pencegahan dapat mendukung kesehatan jangka panjang dan mencegah perkembangan penyakit kronis atau kondisi yang memerlukan perawatan jangka panjang.

Mengurangi Beban Sistem Kesehatan: 
Mencegah penyakit dapat membantu mengurangi beban pada sistem kesehatan karena mengurangi jumlah kasus yang memerlukan perawatan intensif.

💬 Meskipun pencegahan sangat penting, pengobatan tetap diperlukan untuk kondisi yang tidak dapat dihindari atau yang mungkin sudah ada. Kombinasi antara pencegahan dan pengobatan yang tepat adalah pendekatan yang komprehensif untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan.

       Lansia atau orang tua rentan terhadap berbagai penyakit karena sistem kekebalan tubuh cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Pencegahan penyakit pada lansia melibatkan gaya hidup sehat, vaksinasi, dan pemantauan kesehatan secara berkala. 

Beberapa penyakit yang dapat dicegah atau dikendalikan melalui upaya pencegahan pada lansia:

Penyakit Jantung Koroner: 
Dengan menjaga pola makan sehat, olahraga teratur, dan mengelola stres.
Penyakit jantung banyak menyerang lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Stroke: 
Dengan kontrol tekanan darah, menghindari merokok, dan menjaga berat badan yang sehat.

Diabetes Tipe 2:
Dengan mengonsumsi makanan sehat, berolahraga, dan memantau kadar gula darah secara teratur.

Osteoporosis: 
Dengan asupan kalsium yang memadai, vitamin D, dan latihan tulang.

Kanker: 
Melalui pola makan sehat, menghindari paparan zat berbahaya, dan pemeriksaan kesehatan rutin.

Artritis: 
Dengan latihan fisik yang teratur dan menjaga berat badan yang sehat.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK): 
Dengan berhenti merokok dan menghindari asap rokok.

Gangguan Keseimbangan dan Jatuh: 
Melalui latihan fisik yang meningkatkan kekuatan dan keseimbangan.
Gangguan keseimbangan membuat lansia jatuh dan sangat berbahaya.
(Sumber: foto canva.com)
Demensia dan Alzheimer: 
Dengan menjaga kesehatan otak melalui aktivitas kognitif dan sosial.

Depresi: 
Dengan memaintain kesehatan mental, terlibat dalam kegiatan sosial, dan mendapatkan dukungan psikologis.

Infeksi Saluran Pernapasan Atas: 
Dengan vaksinasi dan menjaga kebersihan pribadi.

Gangguan Penglihatan:
Melalui pemeriksaan mata secara teratur dan penggunaan kacamata yang sesuai.

Gangguan Pendengaran: 
Dengan menjaga telinga dari kebisingan berlebihan dan pemeriksaan pendengaran.

Hipertensi: 
Dengan mengontrol asupan garam, menjaga berat badan, dan berolahraga.

Penyakit Gigi dan Mulut: 
Melalui kebersihan mulut yang baik dan perawatan gigi rutin.

Kolesterol Tinggi:
Melalui pola makan sehat dan olahraga teratur.

Pneumonia: 
Dengan vaksinasi dan menjaga kebersihan pernafasan.

Masalah Pencernaan: 
Dengan pola makan sehat dan cukup serat.

Anemia: 
Melalui asupan zat besi yang cukup dan makanan bergizi.

Gangguan Kelenjar Tiroid: 
Melalui pemantauan dan pengobatan yang sesuai.
Gangguan kelenjar tiroid dapat menyerang segala usia.
(Sumber: foto canva.com)
Penyakit Ginjal: 
Dengan mengontrol tekanan darah dan asupan cairan.

Katarak: 
Melalui pencegahan kerusakan mata akibat paparan sinar UV.

Radang Sendi: 
Dengan menjaga berat badan dan berolahraga secara teratur.

Masalah Prostat: 
Melalui pemeriksaan rutin dan pola hidup sehat.

Gangguan Kognitif Ringan: 
Dengan stimulasi kognitif dan hidup aktif.

Asma: 
Dengan menghindari pemicu asma dan pengobatan yang tepat.

Infeksi Saluran Kemih:
Dengan menjaga kebersihan pribadi dan minum cukup air.

Gagal Jantung Kongestif: 
Dengan mengontrol tekanan darah dan mengikuti pengobatan yang diresepkan.

Kebutaan Terkait Usia: 
Melalui pemeriksaan mata secara teratur dan menjaga kesehatan mata.

Masalah Gigi dan Gusi: 
Dengan kebersihan mulut yang baik dan perawatan gigi rutin.

💬Mencegah penyakit pada lansia melibatkan kerjasama antara individu, keluarga, dan profesional kesehatan. Konsultasikan dengan dokter atau ahli kesehatan untuk perencanaan pencegahan yang sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing.

        Penyakit mental pada lansia dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik, lingkungan, dan kesehatan mental sepanjang hidup. Pencegahan penyakit mental pada lansia melibatkan perhatian pada kesehatan mental sepanjang hidup, aktivitas sosial, dan dukungan emosional. 

Beberapa kondisi kesehatan mental yang sering terkait dengan lansia dan upaya-upaya pencegahannya:

Depresi: 
Melalui dukungan sosial, konseling, dan terapi.

Kecemasan: 
Dengan manajemen stres, meditasi, dan aktivitas relaksasi.
Manejemen stres yang baik, lansia dapat melalui kecemasan.
(Sumber: foto canva.com)
Demensia: 
Dengan stimulasi kognitif, aktivitas fisik, dan menjaga kesehatan otak.

Gangguan Bipolar: 
Melalui pengelolaan stres dan konseling.

Skizofrenia: 
Dengan pengobatan dan dukungan psikososial.

Gangguan Psikotik: 
Melalui intervensi psikososial dan obat-obatan.

Gangguan Kecemasan Obsesif Komulsif (OCD): 
Dengan terapi perilaku kognitif dan obat-obatan.

Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD): 
Melalui terapi trauma dan dukungan sosial.

Gangguan Panik: 
Dengan terapi kognitif perilaku dan manajemen stres.
Gangguan panik pada lansia dengan terapi perilaku.
(Sumber: foto canva.com)
Gangguan Kepribadian: 
Melalui terapi psikososial dan dukungan sosial.

Gangguan Makan: 
Dengan pendekatan terapeutik dan dukungan nutrisi.

Insomnia: 
Dengan tidur yang teratur, rutin, dan menciptakan lingkungan tidur yang nyaman.

Gangguan Tidur Rapid Eye Movement (REM): 
Melalui manajemen tidur dan konseling.

Gangguan Stase Malam: 
Dengan regulasi rutin kegiatan harian dan manajemen stres.

Gangguan Penggunaan Zat: 
Melalui dukungan rehabilitasi dan konseling.

Gangguan Kesehatan Mental karena Kondisi Medis: 
Dengan pengobatan penyakit fisik yang mendasarinya.

Gangguan Adaptasi: 
Dengan dukungan sosial dan terapi kognitif perilaku.

Gangguan Identitas Kepribadian: 
Melalui terapi dan dukungan mental.

Gangguan Kepribadian Paranoid: 
Dengan terapi kognitif perilaku dan dukungan sosial.

Gangguan Kepribadian Histrionik: 
Melalui terapi interpersonal dan dukungan sosial.

Gangguan Kepribadian Anti-Sosial: 
Melalui intervensi psikososial dan dukungan keluarga.

Gangguan Kepribadian Ambang: 
Dengan terapi perilaku dan dukungan sosial.

Gangguan Kepribadian Tergantung: 
Melalui terapi kognitif perilaku dan penguatan diri.

Gangguan Kepribadian Kecenderungan Menarik Diri:
Dengan terapi interpersonal dan dukungan keluarga.

Gangguan Kepribadian Paranoid: 
Melalui terapi kognitif perilaku dan dukungan sosial.

Gangguan Kepribadian Skizoid: 
Dengan terapi individual dan dukungan sosial.

Gangguan Kepribadian Antisosial: 
Melalui intervensi psikososial dan dukungan keluarga.

Gangguan Kepribadian Ambang: 
Dengan terapi perilaku dan dukungan sosial.

Gangguan Kepribadian Tergantung: 
Melalui terapi kognitif perilaku dan penguatan diri.

Gangguan Kepribadian Kecenderungan Menarik Diri: 
Dengan terapi interpersonal dan dukungan keluarga.

Pencegahan penyakit fisik dan mental pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup perawatan fisik dan mental, dukungan sosial, dan kegiatan yang merangsang kognisi dan emosi. Penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental untuk perencanaan pencegahan yang sesuai dengan kebutuhan individu.



Sumber:

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-of-older-adults

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4539154/

https://www.lybrate.com/topic/how-to-prevent-mental-disorders-at-old-age- 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9453913/

https://www.cdc.gov/aging/olderadultsandhealthyaging/mental-health-and-aging.html

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3523558/

https://www.msdmanuals.com/professional/geriatrics/prevention-of-disease-and-disability-in-older-adults/prevention-of-disease-in-older-adults

https://health.gov/healthypeople/custom-list?list=odphps-healthy-aging-custom-list

Wednesday, 24 January 2024

Gejala Memburuk Menjelang Malam, Normal pada Pagi Hari.

        Kecemasan di malam hari sering terjadi pada lansia. Penyebab pastinya belum diketahui, namun tampaknya dipicu oleh memudarnya cahaya siang hari. Gejalanya memburuk seiring berlalunya malam, dan lansia biasanya kembali ke perilaku normal di pagi hari.

Kecemasan pada malam hari pada lansia dapat merujuk pada gejala kecemasan atau ketidaknyamanan psikologis yang khususnya muncul atau intensif pada waktu malam. Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan hormon, gangguan tidur, isolasi sosial, atau masalah kesehatan fisik yang mungkin lebih terasa pada malam hari.

Lansia mengalami kecemasan menjelang malam hari.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kecemasan malam pada lansia meliputi:

Gangguan Tidur: 
Lansia cenderung mengalami perubahan pola tidur dan lebih rentan mengalami gangguan tidur. Kurang tidur atau tidur yang tidak nyenyak dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan memperburuk gejala kecemasan.

Peningkatan Sensitivitas: 
Lansia mungkin menjadi lebih rentan terhadap perasaan kecemasan di malam hari karena peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suasana hati, kelelahan, atau ketidaknyamanan fisik yang mungkin terjadi pada malam hari.

Isolasi Sosial: 
Keterbatasan mobilitas atau kurangnya interaksi sosial pada malam hari dapat menyebabkan perasaan kesepian atau terisolasi, yang dapat berkontribusi pada kecemasan.

Kesehatan Fisik: 
Gejala kesehatan fisik yang lebih terasa pada malam hari, seperti nyeri atau ketidaknyamanan, dapat menyebabkan kecemasan.

Penyakit Neurologis:
Lansia dengan penyakit neurologis tertentu, seperti demensia, mungkin mengalami perubahan perilaku dan kecemasan yang lebih terasa pada malam hari.
Penyakit neurologis mengalami perubahan perilaku pada malam hari.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa ciri yang mungkin muncul pada lansia yang mengalami kecemasan pada malam hari:
Kesulitan Tidur: 
Kesulitan memulai tidur, sering terbangun selama malam, atau mengalami tidur yang tidak nyenyak adalah tanda umum kecemasan pada malam hari.

Peningkatan Gelisah: 
Lansia yang cemas mungkin menjadi lebih gelisah atau tidak tenang, terutama ketika mendekati waktu tidur. Mereka bisa merasa sulit untuk rileks atau meredakan pikiran yang mengganggu.

Peningkatan Pikiran Negatif: 
Pada malam hari, pikiran negatif atau kekhawatiran dapat menjadi lebih intens. Lansia mungkin terpaku pada masalah atau kekhawatiran yang mungkin tidak sebesar itu pada siang hari.

Gejala Fisik:
Kecemasan pada malam hari juga bisa disertai dengan gejala fisik seperti detak jantung yang meningkat, keringat dingin, gemetar, atau perasaan tegang pada otot.

Kesulitan Bernapas: 
Beberapa lansia mungkin mengalami kesulitan bernapas atau sesak napas, terutama jika kecemasan mereka terkait dengan masalah kesehatan fisik.

Peningkatan Kecenderungan Menangis:
Lansia yang mengalami kecemasan di malam hari mungkin lebih cenderung menangis atau mengekspresikan perasaan sedih.

Perubahan Perilaku:
Kecemasan dapat mempengaruhi perilaku lansia, seperti menghindari situasi atau aktivitas tertentu yang terkait dengan kecemasan, bahkan jika itu hanya terjadi pada malam hari.

💬 Gejala kecemasan dapat bervariasi antar individu, dan beberapa lansia mungkin tidak menunjukkan gejala yang sama. 

       Mencegah kecemasan malam hari pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang mencakup aspek-aspek kesehatan fisik, mental, dan sosial. 

Beberapa saran yang mungkin membantu cegah kecemasan:

Rutin Tidur yang Teratur:
Membentuk rutinitas tidur yang teratur dapat membantu menjaga pola tidur yang stabil. Pastikan lansia memiliki jadwal tidur yang konsisten dan lingkungan tidur yang nyaman.
Lansia harus membentuk rutinitas tidur yang stabil.
(Sumber: foto canva.com)
Aktivitas Fisik: 
Latihan fisik secara teratur dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kualitas tidur. Namun, hindari aktivitas fisik yang terlalu intensif menjelang waktu tidur.

Manajemen Stres: 
Ajarkan teknik-teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga. Ini dapat membantu lansia mengelola stres dan kecemasan sepanjang hari, termasuk di malam hari.

Sosialisasi: 
Pertahankan interaksi sosial yang sehat. Lansia yang merasa terhubung dengan orang lain cenderung memiliki dukungan emosional yang lebih baik, yang dapat membantu mengurangi kecemasan.

Hindari Stimulan Malam Hari: 
Batasi konsumsi kafein dan hindari minuman berkafein atau stimulan lainnya di malam hari. Hal ini dapat membantu mencegah gangguan tidur.

Pengaturan Lingkungan Tidur: 
Pastikan ruang tidur nyaman dan gelap. Hindari paparan cahaya biru dari perangkat elektronik sebelum tidur, karena dapat mengganggu produksi melatonin.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan: 
Jika lansia mengalami kecemasan yang signifikan di malam hari, berkonsultasilah dengan dokter atau profesional kesehatan mental. Mereka dapat membantu mengevaluasi situasi dan memberikan saran atau intervensi yang sesuai.

Pemeriksaan Kesehatan Rutin: 
Pastikan lansia menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Beberapa masalah kesehatan fisik dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan malam hari.

Pemantauan Obat: 
Jika lansia mengonsumsi obat-obatan tertentu, pastikan untuk memantau efek samping yang mungkin termasuk kecemasan atau gangguan tidur.

Dukungan Keluarga dan Sosial:
Dukungan dari keluarga dan teman-teman sangat penting. Pastikan lansia merasa didukung dan dapat berbicara tentang perasaan atau kekhawatiran mereka.

Beberapa kiat mengatasi rasa cemas menjelang tidur, antara lain:

  • Mempraktikkan kebersihan tidur yang baik
  • Berlatih meditasi
  • Berolahraga
  • Sisihkan waktu untuk bersantai
  • Menghindari aktivitas yang membuat stres sebelum tidur
  • Tuliskan kekhawatiran Anda di atas kertas
  • Menghindari berbaring di tempat tidur dalam keadaan terjaga     

       Pengobatan kecemasan pada lansia, termasuk yang terjadi di malam hari, dapat melibatkan berbagai pendekatan, termasuk intervensi medis dan nonmedis. Penting untuk dicatat bahwa pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lansia tersebut. 

Lansia menghindari berbaring di tempat tidur bila terjaga.
(Sumber: foto canva.com)

Beberapa strategi yang dapat digunakan:

Konseling atau Terapi Psikologis:
  • Terapi kognitif perilaku (CBT) dapat membantu lansia mengidentifikasi dan mengatasi pola pikir yang negatif.
  • Terapi pendekatan psikodinamis atau terapi pembicaraan juga bisa efektif untuk mengatasi penyebab kecemasan yang mungkin lebih dalam.
Obat-obatan:
Dokter dapat meresepkan obat-obatan anxiolytic (pengurang kecemasan) jika diperlukan. Namun, pemilihan obat harus hati-hati karena efek samping tertentu bisa mempengaruhi tidur atau menyebabkan kebingungan pada lansia.

Teknik Relaksasi dan Meditasi:
Melibatkan lansia dalam latihan pernapasan dalam, meditasi, atau yoga dapat membantu meredakan kecemasan dan meningkatkan relaksasi.

Pengaturan Pola Tidur:
Membantu lansia menjaga pola tidur yang teratur dan membuat rutinitas sebelum tidur dapat membantu meredakan kecemasan di malam hari.

Partisipasi dalam Aktivitas Sosial:
Sosialisasi dan interaksi dengan orang lain dapat membantu mengurangi isolasi sosial dan memberikan dukungan emosional.

Pengurangan Stimulan:
Hindari konsumsi stimulan seperti kafein dan nikotin menjelang waktu tidur, karena hal ini dapat memperburuk kecemasan dan mengganggu tidur.

Terapi Cahaya:
Pemaparan terhadap cahaya pagi hari atau terapi cahaya dapat membantu mengatur ritme sirkadian dan meningkatkan kualitas tidur pada malam hari.

Konsultasi dengan Dokter:
Berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan adalah langkah penting untuk menentukan strategi pengobatan yang paling sesuai. Mereka dapat mengevaluasi kondisi kesehatan secara menyeluruh dan meresepkan pengobatan jika diperlukan.

Pemantauan Obat:
Jika lansia sedang mengonsumsi obat-obatan, pastikan untuk memantau efek samping yang mungkin terkait dengan kecemasan atau gangguan tidur.

Keterlibatan keluarga dan tim perawatan kesehatan dalam proses pengobatan. Dukungan sosial dan pemahaman dari lingkungan sekitar dapat memainkan peran penting dalam membantu lansia mengatasi kecemasan di malam hari.


Sumber:

https://www.homecare-aid.com/anxiety-in-seniors-at-night/

https://www.visitingangels.com/knowledge-center/why-in-home-care/how-caregivers-can-help-reduce-elderly-anxiety-at-night/388

https://www.considracare.com/10-ways-to-manage-anxiety-in-elderly-at-night/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4467743/

https://www.webmd.com/healthy-aging/what-to-know-about-anxiety-in-older-adults

https://www.afcsnc.com/how-seniors-can-relieve-night-time-anxiety/

Impostor syndrome, Lansia Merasa Sukses karena Keberuntungan saja.

      Impostor syndrome (Sindrom penipu) merupakan hal yang nyata. Dan, jika Anda pernah mengucapkan atau memikirkan kata-kata, "Saya membodohi semua orang. Saya merasa seperti seorang penipu," Anda sudah mempunyai pengalaman dengan hal tersebut.

Sindrom penipu (juga dikenal sebagai fenomena penipu, sindrom penipuan, persepsi penipuan, atau pengalaman penipu) menggambarkan individu berprestasi tinggi yang, meskipun sukses secara objektif, gagal menginternalisasi pencapaian mereka dan terus-menerus merasa ragu dan takut terungkap sebagai penipu. 

Impostor syndrome merupakan hal yang nyata terjadi.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Orang dengan sindrom penipu kesulitan menghubungkan kinerja mereka dengan kompetensi aktual mereka secara akurat (misalnya, mereka menghubungkan kesuksesan dengan faktor eksternal seperti keberuntungan atau menerima bantuan dari orang lain dan mengaitkan kemunduran sebagai bukti ketidakmampuan profesional mereka).

Impostor syndrome atau sindrom penipu adalah kondisi psikologis di mana seseorang, meskipun memiliki prestasi dan kualifikasi yang nyata, merasa seperti mereka tidak pantas atau tidak layak atas kesuksesan atau posisi yang mereka capai.

Orang yang mengalami impostor syndrome cenderung merasa bahwa mereka hanyalah "penipu" atau "palsu" dan bahwa sukses mereka hanyalah hasil dari keberuntungan atau kesalahpahaman orang lain.

Beberapa ciri umum dari orang yang mengalami impostor syndrome meliputi:

Ketidakpercayaan Terhadap Prestasi Sendiri: 
Orang dengan impostor syndrome sering meragukan kemampuan dan prestasi mereka sendiri, bahkan ketika bukti empiris menunjukkan sebaliknya.
Ketidakpercayaan dengan prestasi sendiri.
(Sumber: foto canva.com)
Ketakutan Ditemukan: 
Mereka merasa takut bahwa suatu saat orang lain akan "menemukan" bahwa mereka sebenarnya tidak kompeten atau tidak layak.

Meremehkan Prestasi Sendiri: 
Meskipun memiliki prestasi yang signifikan, mereka cenderung meremehkan pencapaian mereka sendiri dan menyalahkan faktor eksternal seperti keberuntungan.

Perasaan Tertekan oleh Standar Tinggi: 
Mereka sering menetapkan standar yang sangat tinggi untuk diri sendiri dan merasa tidak pernah mencapai standar tersebut.

Komparasi Diri dengan Orang Lain: 
Orang yang mengalami impostor syndrome sering membandingkan diri mereka dengan orang lain yang dianggap lebih sukses atau lebih kompeten, tanpa memperhatikan prestasi mereka sendiri.

Menyembunyikan Kesulitan: 
Mereka mungkin cenderung menyembunyikan kesulitan atau ketidakpastian mereka, karena takut akan penilaian negatif.

Impostor syndrome dapat mempengaruhi siapa saja, terlepas dari tingkat prestasi atau keberhasilan yang telah dicapai. Faktor-faktor seperti kecenderungan perfeksionisme, kurangnya dukungan sosial, atau pengalaman trauma masa lalu dapat berperan dalam perkembangan sindrom ini. Penting untuk menyadari adanya impostor syndrome dan bekerja untuk mengatasi perasaan negatif ini dengan bantuan dukungan sosial, pembinaan diri, dan, jika diperlukan, bantuan profesional.

       Impostor syndrome pada lansia bisa terjadi dengan karakteristik yang mirip dengan yang dialami oleh orang di berbagai rentang usia. 

Beberapa aspek yang mungkin membedakan pengalaman impostor syndrome pada lansia.

Keterkaitan dengan Penuaan: 
Lansia mungkin mengalami perasaan impostor syndrome terkait dengan aspek-aspek penuaan, seperti perubahan fisik, penurunan kesehatan, atau perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat.

Keterbatasan Fisik dan Kognitif: 
Lansia sering menghadapi keterbatasan fisik dan kognitif, yang dapat menyebabkan perasaan tidak kompeten atau tidak berdaya. Mereka mungkin merasa seperti mereka bukanlah versi terbaik dari diri mereka yang dulu.

Pensiun dan Identitas:
Pensiun dapat menjadi faktor yang memicu impostor syndrome pada lansia. Setelah pensiun, mereka mungkin merasa kehilangan identitas yang terkait dengan pekerjaan atau peran spesifik yang mereka jalani selama bertahun-tahun.
Pensiun menjadi pemicu impostor syndrome.
(Sumber: foto canva,com)
Perasaan Kurang Berguna atau Tidak Diperlukan: 
Lansia mungkin mengalami perasaan kurang berguna atau tidak diperlukan, terutama jika mereka mengalami isolasi sosial atau kehilangan jaringan dukungan.

Refleksi atas Kehidupan yang Sudah Berlalu: 
Pada tahap-tahap akhir kehidupan, lansia mungkin merenungkan pencapaian dan keputusan yang telah mereka buat sepanjang hidup mereka. Impostor syndrome bisa muncul ketika mereka meragukan nilai atau arti dari apa yang telah mereka lakukan.

Ketergantungan pada Orang Lain: 
Lansia yang bergantung pada perawatan atau dukungan dari orang lain mungkin merasa seperti mereka tidak mampu berdiri sendiri, menggambarkan perasaan "penipu."

       Impostor syndrome dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memainkan peran dalam pengembangan dan memperkuat pengalaman ini. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap impostor syndrome:

Perfectionisme: 
Orang yang memiliki standar yang sangat tinggi untuk diri sendiri dan cenderung menilai diri mereka sendiri berdasarkan kesalahan atau kekurangan mungkin lebih rentan terhadap impostor syndrome. Mereka mungkin merasa tidak puas meskipun mencapai sukses.

Kurangnya Dukungan Sosial:
Isolasi sosial atau kurangnya dukungan dari teman, keluarga, atau rekan kerja dapat meningkatkan perasaan penipuan. Rasa terisolasi dapat membuat seseorang meragukan kemampuan dan prestasinya.

Trauma atau Pengalaman Negatif Masa Lalu:
Pengalaman trauma atau pengalaman negatif lainnya dalam masa lalu dapat membentuk pandangan diri yang negatif dan mendalam, memicu impostor syndrome.

Pembandingan Sosial yang Berlebihan: 
Membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih sukses atau lebih kompeten dapat meningkatkan perasaan kurang berharga dan tidak pantas.
Membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap sukses.
(sumber: foto canva.com)
Keterbatasan Identitas: 
Perubahan dalam peran atau identitas, seperti setelah pensiun atau perubahan signifikan dalam kehidupan, dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan identitas dan nilai diri.

Citra Diri yang Rendah:
Kurangnya keyakinan dalam kemampuan dan nilai diri dapat memicu impostor syndrome. Orang yang memiliki citra diri yang rendah cenderung meragukan pencapaian positif mereka.

Kurangnya Pengakuan atau Umpan Balik Positif:
Kurangnya umpan balik positif atau pengakuan atas prestasi dapat membuat seseorang merasa bahwa mereka hanya beruntung dan bukan karena kemampuan atau usaha mereka sendiri.

Budaya Perusahaan atau Lingkungan Kerja: 
Lingkungan kerja yang sangat kompetitif atau mendukung persepsi bahwa keberhasilan hanya bisa dicapai melalui standar yang sangat tinggi dapat memicu impostor syndrome.

Pengalaman Diskriminasi atau Prasangka:
Orang yang telah mengalami diskriminasi atau prasangka mungkin merasa bahwa keberhasilan mereka dianggap sebagai hasil dari kebijakan afirmatif atau faktor lainnya, bukan karena kompetensi mereka.

       Mencegah impostor syndrome pada lansia melibatkan kombinasi upaya individu dan dukungan sosial. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mencegah atau mengatasi impostor syndrome pada lansia:

Peningkatan Kesadaran Diri:
  • Lansia dapat mengembangkan kesadaran diri yang lebih baik terkait dengan pencapaian, keterampilan, dan nilai mereka.
  • Merefleksikan peran dan kontribusi yang telah mereka berikan dalam keluarga, komunitas, dan kehidupan secara keseluruhan.
Peningkatan kesadaran diri atas segala pencapaiannya..
(Sumber : foto canva,com)
Berpikir Positif:
  • Mendorong pemikiran positif dan menggantikan pikiran negatif dengan afirmasi positif.
  • Menilai pencapaian dan kontribusi mereka secara realistis tanpa meremehkan diri sendiri.

Pengembangan Keterampilan Adaptasi:
  • Mengembangkan keterampilan adaptasi untuk mengatasi perubahan yang terkait dengan penuaan, seperti kesehatan yang menurun atau pensiun.
  • Menyadari bahwa kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dapat tetap ada sepanjang hidup.

Dukungan Sosial:
  • Membangun dan memelihara jaringan sosial yang sehat dengan teman, keluarga, dan masyarakat.
  • Terlibat dalam kegiatan sosial untuk menghindari isolasi dan merasa kurang berguna.

Menerima Keterbatasan:
  • Menerima keterbatasan fisik dan kognitif sebagai bagian dari penuaan normal.
  • Fokus pada aspek-aspek positif dan nilai-nilai yang masih dapat mereka kontribusikan.

Pengakuan Diri dan Penghargaan:
  • Mengenali prestasi dan kontribusi mereka sendiri.
  • Menerima penghargaan dan pengakuan dari orang lain tanpa merasa tidak pantas.

Mengatasi Perfeksionisme:
  • Mengurangi tekanan untuk mencapai standar yang tidak realistis.
  • Mengakui bahwa tidak ada yang sempurna dan menghargai upaya yang telah dilakukan.

Melibatkan Diri dalam Kegiatan Positif:
  • Terlibat dalam kegiatan yang memberikan kepuasan dan meningkatkan perasaan kompetensi.
  • Mengejar hobi, minat, atau kegiatan sosial yang memberikan kegembiraan dan rasa prestasi.

Bantuan Profesional:
Jika perasaan impostor syndrome berlanjut atau sangat mempengaruhi kesejahteraan mental, mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau konselor dapat menjadi pilihan yang baik.

💬Menciptakan lingkungan yang mendukung dan membangun kesadaran diri yang sehat dapat membantu lansia mengatasi atau mencegah impostor syndrome. Dukungan dari keluarga, teman, dan tenaga kesehatan dapat memainkan peran penting dalam membantu mereka menghargai diri sendiri dan merasa bermanfaat dalam tahap-tahap akhir kehidupan mereka.

       Impostor syndrome adalah tantangan psikologis, dan pengobatannya melibatkan serangkaian strategi dan pendekatan yang dapat membantu seseorang mengatasi perasaan dan pikiran negatif yang terkait dengan rasa penipuan atau tidak berdaya. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengelola dan mengatasi kondisi ini:

Peningkatan Kesadaran Diri:
  • Membangun kesadaran diri tentang perasaan dan pikiran negatif yang muncul terkait dengan impostor syndrome.
  • Menyadari bahwa perasaan tersebut mungkin tidak selalu mencerminkan kenyataan dan bisa disesuaikan.

Pembinaan Diri:
  • Mendorong pemikiran positif dan mengenali prestasi dan kemampuan pribadi.
  • Membangun keyakinan diri dan menggantikan pemikiran negatif dengan afirmasi positif.

Penerimaan Keterbatasan:
  • Menerima bahwa tidak ada yang sempurna dan bahwa setiap orang memiliki keterbatasan atau kelemahan.
  • Fokus pada pencapaian dan potensi positif, sambil mengakui area di mana perbaikan mungkin diperlukan.

Mengenali Peran Eksternal:
  • Mengenali bahwa faktor eksternal seperti keberuntungan, dukungan sosial, atau peluang dapat memengaruhi kesuksesan.
  • Mencegah diri dari menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.

Pencarian Dukungan Sosial:
  • Berbicara dengan teman, keluarga, atau rekan kerja tentang perasaan dan pengalaman yang terkait dengan impostor syndrome.
  • Memperoleh dukungan sosial dapat membantu mengurangi isolasi dan meningkatkan rasa nilai diri.

Mengatasi Perfeksionisme:
  • Mengurangi tekanan untuk mencapai standar yang sangat tinggi.
  • Fokus pada upaya yang memadai dan mencapai tujuan, tanpa menuntut kesempurnaan.

Bantuan Profesional:
  • Jika perasaan impostor syndrome berlanjut dan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, mempertimbangkan untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog atau konselor.
  • Terapi kognitif atau terapi perilaku kognitif (CBT) dapat membantu mengubah pola pikir negatif.

Pelatihan Keterampilan Sosial dan Kepemimpinan:
Meningkatkan keterampilan sosial dan kepemimpinan untuk membangun rasa percaya diri dan kenyamanan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Pendidikan dan Pelatihan Lanjutan:
Melanjutkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri.

Mengatasi impostor syndrome memerlukan waktu, kesabaran, dan dedikasi. Kombinasi berbagai strategi ini dapat membantu seseorang mengubah persepsi diri dan mengembangkan kesejahteraan mental yang lebih baik. Penting untuk diingat bahwa setiap orang bergerak melalui tantangan ini dengan cara yang berbeda, dan jika diperlukan, bantuan profesional dapat memberikan panduan dan dukungan tambahan.




Sumber:

https://www.psycom.net/imposter-syndrome

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7174434/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4048136/

https://www.medicalnewstoday.com/articles/321730

https://www.ynetnews.com/health_science/article/h1fw7g009n

https://academic.oup.com/ajhp/article-abstract/79/6/421/6422615