Sunday, 18 February 2024

Cara Kelola Pikiran Negatif bukan Memanipulasi.

         Pikiran negatif adalah jenis pikiran yang cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal yang buruk, merugikan, atau tidak menyenangkan. Ini bisa berupa kekhawatiran, keraguan diri, kecemasan, atau rasa putus asa. Pikiran negatif sering kali memengaruhi suasana hati seseorang dan dapat mengganggu kesejahteraan mental serta emosional mereka. 

Pikiran ini juga dapat memengaruhi persepsi dan pandangan seseorang terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya secara keseluruhan. Dalam beberapa kasus, pikiran negatif dapat menjadi pola pikir yang terpaku dan mempengaruhi cara seseorang menanggapi dan mengatasi berbagai situasi hidup.

Lansia harus mampu mengelola pikiran negatif.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Pikiran negatif adalah hal yang alami dan umum dalam pengalaman manusia, namun, pengelolaannya dengan cara yang sehat dan produktif dapat membantu seseorang merasa lebih baik secara keseluruhan. 

Memanipulasi pikiran negatif tidaklah disarankan atau seharusnya tidak dilakukan. Memanipulasi atau menekan pikiran negatif secara tidak sehat tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kesehatan mental seseorang. Sebaliknya, penting untuk menghadapi dan mengelola pikiran negatif dengan cara-cara yang sehat dan efektif. 

Beberapa ciri pikiran negatif pada lansia meliputi:

Peningkatan Kecemasan:
Lansia cenderung mengalami kecemasan yang lebih tinggi daripada kelompok usia yang lebih muda. Mereka mungkin cemas akan kesehatan mereka, keuangan, kesepian, atau masa depan mereka.

Lansia cenderung mengalami kecemasan yang tinggi.
(Sumber: foto canva.com)
Peningkatan Depresi: 
Lansia rentan terhadap depresi karena berbagai faktor, termasuk perubahan fisik, sosial, dan psikologis yang terkait dengan penuaan. Mereka mungkin merasa sedih, kehilangan minat pada kegiatan yang dahulu mereka nikmati, dan kehilangan harapan akan masa depan.

Persepsi Negatif terhadap Penuaan:
Beberapa lansia mungkin memiliki pandangan negatif terhadap proses penuaan dan mengasosiasikannya dengan kelemahan, kehilangan, atau ketidakberdayaan. Pandangan negatif semacam ini dapat memengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Isolasi Sosial: 
Lansia yang mengalami pikiran negatif mungkin cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan aktivitas luar rumah. Mereka mungkin merasa tidak dihargai atau merasa bahwa tidak ada yang peduli tentang keberadaan mereka.

Ketergantungan Berlebihan:
Beberapa lansia mungkin menjadi terlalu tergantung pada orang lain atau institusi seperti rumah sakit atau panti jompo karena merasa tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri.

Pikiran yang Berputar-putar:
Lansia dengan pikiran negatif mungkin cenderung terjebak dalam pola pikir yang berputar-putar tentang hal-hal yang tidak menyenangkan atau mengkhawatirkan.

Pengabaian Kesehatan: 
Pikiran negatif dapat mempengaruhi perilaku kesehatan lansia, seperti kurangnya motivasi untuk berolahraga, makan dengan baik, atau menjaga perawatan medis yang tepat.

Penurunan Kualitas Hidup:
Keseluruhan, pikiran negatif pada lansia dapat mengarah pada penurunan kualitas hidup mereka karena mempengaruhi suasana hati, hubungan sosial, dan kesejahteraan fisik dan mental mereka secara keseluruhan.

Beberapa faktor penyebab pikiran negatif pada lansia, antara lain:

Perubahan Fisik:
Proses penuaan seringkali disertai dengan berbagai perubahan fisik seperti penurunan daya ingat, penurunan kemampuan fisik, atau timbulnya penyakit kronis. Perubahan ini dapat menyebabkan rasa frustasi, kekhawatiran, atau perasaan tidak berdaya yang dapat memicu pikiran negatif.

Perubahan Sosial:
Lansia sering mengalami perubahan dalam struktur sosial mereka, termasuk pensiun dari pekerjaan, kehilangan pasangan hidup, atau pemindahan ke fasilitas perawatan jangka panjang. Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan perasaan kesepian, isolasi, atau kehilangan identitas, yang dapat menyebabkan pikiran negatif.

Masalah Kesehatan Mental dan Fisik:
Gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, serta penyakit fisik seperti penyakit kronis atau kecacatan fisik, dapat menjadi faktor penyebab pikiran negatif pada lansia.

Stigma dan Stereotip Penuaan: 
Lansia mungkin menginternalisasi stigma dan stereotip negatif yang ada terkait dengan penuaan, seperti merasa tidak berguna atau diabaikan oleh masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi diri mereka dan menyebabkan pikiran negatif.

Lansia merasa tidak berguna atau diabaikan masyarakat.
(Sumber: foto canva.com)
Kehilangan Orang Terkasih:
Kehilangan orang terkasih, baik karena kematian atau penyakit serius, dapat menyebabkan kesedihan, kesepian, dan kekhawatiran tentang masa depan, yang semuanya dapat memicu pikiran negatif.

Keterbatasan Finansial:
Lansia yang mengalami keterbatasan finansial atau kekhawatiran tentang keuangan masa depan mereka dapat mengalami stres dan kecemasan yang dapat menyebabkan pikiran negatif.

Keterbatasan Mobilitas: 
Lansia yang mengalami keterbatasan mobilitas atau kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari mungkin merasa frustrasi atau tidak berdaya, yang dapat memicu pikiran negatif.

Kehilangan Kemandirian:
Lansia mungkin mengalami penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, atau mengemudi. Kehilangan kemandirian ini dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya atau putus asa yang dapat memicu pikiran negatif.

Beberapa strategi yang dapat membantu mengelola pikiran negatif:

Mindfulness (kesadaran diri):
 
Praktik mindfulness membantu seseorang menjadi lebih sadar akan pikiran, perasaan, dan sensasi fisik mereka tanpa menilainya. Ini membantu seseorang untuk menerima pikiran negatif tanpa terjebak di dalamnya.

Terapi Kognitif Perilaku (CBT): 
Terapi ini fokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikiran negatif menjadi pola pikiran yang lebih positif dan realistis. Ini melibatkan memeriksa bukti-bukti yang mendukung atau menentang pikiran negatif dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih sehat.

Menggantikan Pikiran Negatif dengan Positif:
Menggantikan pikiran negatif dengan pikiran positif yang lebih realistis dan membangun dapat membantu mengubah pola pikiran yang merugikan.

Mengganti pikiran negatif dengan pikiran positif.
(Sumber: foto canva.com)
Jurnal Kesehatan Pikiran: 
Menulis tentang pikiran negatif dan mencoba menemukan alternatif yang lebih sehat dan positif bisa membantu dalam mengatasi pola pikiran negatif.

Aktivitas yang Menyenangkan:
Melakukan aktivitas yang menyenangkan atau relaksasi seperti olahraga, seni, atau meditasi dapat membantu mengalihkan pikiran dari hal-hal negatif dan meningkatkan suasana hati.

Penerimaan dan Komitmen:
Memahami bahwa pikiran negatif adalah bagian dari pengalaman manusia yang normal dan memahami bahwa kita tidak selalu bisa mengontrol pikiran tersebut. Yang penting adalah bagaimana kita meresponsnya dan tetap komitmen untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang penting bagi kita.

Tantang pikiran negatif: 
Akui perasaan dan pikiran Anda, tapi jangan menekannya. Ketika pikiran negatif muncul, mundurlah dan periksalah.

Pilih pemikiran Anda: 
Gantikan pemikiran yang tidak membantu dengan pemikiran yang bermanfaat. Anda dapat membuat jurnal pemikiran Anda untuk membantu Anda berhenti, bertanya, dan memilih pemikiran Anda.

Gunakan afirmasi:
Ulangi pernyataan positif pada diri sendiri untuk melatih pikiran agar fokus pada hal terpenting bagi Anda.

Hitung berkah Anda:
Latihlah rasa syukur untuk bersyukur atas hal-hal baik yang Anda miliki.
Fokus pada saat ini: Berfokus pada saat ini dapat membantu Anda mengelola pikiran dan emosi.

Carilah dukungan profesional:
Konseling dan terapi dapat membantu Anda menghadapi perubahan hidup, mengurangi penderitaan emosional, dan mengalami pertumbuhan diri.

Buatlah jurnal positif: 
Menulis jurnal adalah cara bagi orang lanjut usia untuk mengekspresikan emosi dan perasaan mereka. Peneliti geriatri merekomendasikan penjurnalan untuk membantu menghilangkan emosi negatif. 

Beberapa cara  untuk membalikkan pemikiran negatif meliputi:

Membaca tentang kesuksesan orang lain: 
Membaca tentang kesuksesan orang lain dapat membantu seseorang melihat sisi positif dari kehidupan dan mengalihkan fokus dari pikiran negatif. Ini dapat membantu mengubah pola pikir negatif menjadi pola pikir yang lebih positif dan optimis.

Membaca kesuksesan orang lain membantu berpikir positif.
(Sumber: foto canva.com)
Menulis apa yang menyenangkan: 
Menulis memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dan memproses emosi mereka dengan cara yang kreatif. Ini bisa membantu mengeluarkan pikiran negatif dari dalam diri dan memberikan kesempatan untuk merenungkan perasaan mereka dengan lebih baik.

Membuat jurnal dan mendiskusikannya :
Menulis dalam jurnal memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dan memproses emosi mereka dengan cara yang aman dan pribadi. Ini bisa membantu dalam menghadapi dan meredakan pikiran negatif yang mungkin mereka alami.

Memahami pikiran negatif :
Dengan memahami pikiran negatif, seseorang dapat mengidentifikasi pola pikir yang tidak sehat atau tidak produktif. Ini bisa berupa kata-kata atau frasa yang sering muncul dalam pikiran, atau situasi tertentu yang memicu pikiran negatif.

Memastikan lansia tahu bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa ada orang-orang yang peduli tentang kesejahteraan mereka. Dorong mereka untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional kesehatan mental jika mereka merasa kesulitan mengatasi pikiran negatif mereka sendiri.


Sumber:

https://applewoodourhouse.com/7-ways-turn-around-negative-thinking-elderly/

https://assistinghands.com/38/texas/prestonhollow/blog/what-to-do-if-your-elderly-parents-have-a-negative-attitude/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1948895/

https://neurosciencenews.com/emotion-brain-aging-22250/

https://www.mcleanhospital.org/essential/negative-thinking

https://australiancarersguide.com.au/tips-for-carers-to-deal-with-negative-parents/


 

Saturday, 17 February 2024

Orang Berusia 65 ke atas Banyak Mengidap Pradiabetes.

        Pradiabetes umum terjadi pada orang lanjut usia, dengan lebih dari 26 juta orang berusia 65 tahun ke atas mengidapnya. Pradiabetes adalah kondisi dimana kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari normal tetapi belum cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes. Pada lansia, pradiabetes dapat terjadi ketika tubuh mulai mengalami resistensi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin dengan efektif seperti yang terjadi pada diabetes tipe 2. 

Lansia di atas usia 65 tahun banyak mengidap pradiabetes.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Kadar gula darah 140–199 mg/dL dianggap sedang, dan merupakan tanda pradiabetes atau gangguan toleransi glukosa. Nilai kurang dari 140 mg/dL dianggap normal. Penelitian mengkonfirmasi adanya interaksi antara usia dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi, yang mungkin penting dalam menjelaskan perbedaan faktor risiko diabetes dan pradiabetes pada populasi paruh baya dan lanjut usia.

Pradiabetes pada lansia bisa menjadi tanda peringatan bahwa mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan diabetes tipe 2 di masa depan, dan ini merupakan kesempatan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan seperti perubahan gaya hidup dan diet yang sehat serta pemantauan teratur oleh tenaga medis.

       Pradiabetes pada lansia memiliki beberapa ciri yang mirip dengan diabetes tipe 2, meskipun gejalanya mungkin lebih ringan atau tidak terlihat sama sekali. 

Beberapa ciri pradiabetes pada lansia meliputi:

Kadar Glukosa Darah yang Tinggi: 
Kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal tetapi belum mencapai level yang menandakan diabetes.

Resistensi Insulin: 
Tubuh mengalami resistensi terhadap insulin, yaitu hormon yang mengatur kadar glukosa darah.

Gejala Tidak Spesifik: 
Gejala pradiabetes pada lansia mungkin tidak spesifik atau tidak terlihat jelas, tetapi dapat mencakup kelelahan, peningkatan rasa haus, dan sering berkemih.

Tingkat Kegemukan atau Obesitas: 
Lansia dengan pradiabetes mungkin memiliki kelebihan berat badan atau obesitas, terutama di sekitar pinggang.

Obesitas pada lansia dapat menyebabkan pradiabetes.
(Sumber: canva.com)

Riwayat Keluarga:
Riwayat diabetes tipe 2 dalam keluarga juga bisa menjadi faktor risiko untuk pradiabetes pada lansia.

Riwayat Kesehatan: 
Riwayat kesehatan pribadi seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, atau sindrom metabolik juga dapat berkontribusi terhadap pradiabetes.

Pemeriksaan Medis:
Pradiabetes pada lansia sering kali dideteksi melalui tes darah rutin yang menunjukkan kadar glukosa darah yang tinggi tetapi belum mencapai ambang batas diabetes.

Meskipun tidak semua lansia dengan pradiabetes akan menunjukkan gejala, penting untuk mendeteksinya sedini mungkin agar tindakan pencegahan dan pengelolaan yang tepat dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terkena diabetes tipe 2 dan komplikasi yang terkait.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko pradiabetes pada lansia meliputi:

Usia: 
Proses penuaan alami dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme tubuh, termasuk resistensi insulin, yang dapat meningkatkan risiko pradiabetes.

Obesitas atau Kelebihan Berat Badan: 
Kegemukan atau obesitas adalah faktor risiko utama untuk pradiabetes pada lansia karena lemak tubuh yang berlebihan dapat mengganggu fungsi insulin.

Kurangnya Aktivitas Fisik: 
Gaya hidup yang kurang aktif atau tidak aktif meningkatkan risiko pradiabetes pada lansia karena kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan resistensi insulin.

Keturunan dan Riwayat Keluarga: 
Jika ada anggota keluarga dengan riwayat diabetes tipe 2, risiko pradiabetes pada lansia akan meningkat.

Diet Tidak Sehat: 
Pola makan yang kaya akan gula dan karbohidrat sederhana serta rendah serat dapat menyebabkan lonjakan kadar glukosa darah, yang mempengaruhi risiko pradiabetes.

Sindrom Metabolik: 
Lansia dengan sindrom metabolik, yang mencakup kombinasi faktor risiko seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan obesitas abdominal, memiliki risiko lebih tinggi untuk pradiabetes.

Stres:
Stres kronis atau tekanan emosional juga dapat berkontribusi pada resistensi insulin dan peningkatan risiko pradiabetes pada lansia.

Pola Tidur yang Tidak Teratur:
Pola tidur yang tidak teratur atau kurang tidur dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko pradiabetes.

Kurang tidur pada lansia meningkatkan risiko pradiabetes.
(Sumber: foto canva.com)
Kondisi Kesehatan Lainnya: 
Beberapa kondisi kesehatan seperti penyakit jantung, penyakit hati, dan sindrom ovarium polikistik juga dapat meningkatkan risiko pradiabetes pada lansia.

Mengenali faktor-faktor ini dan mengadopsi gaya hidup sehat serta melakukan tindakan pencegahan yang sesuai dapat membantu menurunkan risiko pradiabetes pada lansia.

       Mencegah pradiabetes pada lansia melibatkan adopsi gaya hidup sehat dan melakukan tindakan pencegahan yang dapat membantu mengendalikan faktor risiko. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah pradiabetes pada lansia:

Pola Makan Sehat:
Konsumsi makanan yang seimbang dengan fokus pada buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, protein tanpa lemak, dan lemak sehat. Hindari makanan yang tinggi gula dan karbohidrat sederhana.

Berolahraga secara Teratur:
Lakukan aktivitas fisik secara teratur, setidaknya 30 menit setiap hari, seperti berjalan kaki, berenang, bersepeda, atau latihan kekuatan. Aktivitas fisik membantu meningkatkan sensitivitas insulin dan mengendalikan berat badan.

Menjaga Berat Badan yang Sehat:
Usahakan untuk menjaga berat badan yang sehat sesuai dengan indeks massa tubuh (BMI) yang disarankan oleh dokter.

Hindari Kebiasaan Merokok dan Minum Alkohol yang Berlebihan:
Merokok dan konsumsi alkohol berlebihan dapat meningkatkan risiko resistensi insulin dan pradiabetes.

Pemantauan Kesehatan Reguler: 
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur untuk memantau kadar gula darah, tekanan darah, dan kolesterol. Hal ini penting untuk mendeteksi pradiabetes atau masalah kesehatan lainnya dengan cepat.

Manajemen Stres: 
Temukan cara-cara untuk mengelola stres seperti meditasi, yoga, atau kegiatan relaksasi lainnya. Stres kronis dapat memengaruhi kadar gula darah dan meningkatkan risiko pradiabetes.

Tidur yang Cukup:
Pastikan untuk mendapatkan tidur yang cukup setiap malam. Kekurangan tidur dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko pradiabetes.

Pengelolaan Kondisi Kesehatan yang Ada: 
Jika ada kondisi kesehatan lain seperti tekanan darah tinggi atau kadar kolesterol tinggi, penting untuk mengelolanya dengan baik dengan bantuan dokter.

Edukasi dan Dukungan: 
Dapatkan informasi yang akurat tentang pradiabetes dan dukungan dari profesional kesehatan untuk membantu dalam pencegahan dan manajemen kondisi ini.

Dengan mengadopsi gaya hidup sehat dan melakukan tindakan pencegahan yang sesuai, lansia dapat mengurangi risiko pradiabetes dan mempertahankan kesehatan yang baik.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9843502 

https://www.health.harvard.edu/blog/prediabetes-diagnosis-as-an-older-adult-what-does-it-really-mean-202106142481

https://kffhealthnews.org/news/article/seniors-with-prediabetes- 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7871207/

https://www.washingtonpost.com/health/2022/07/24/seniors-prediabetes-eating-well/

Friday, 16 February 2024

Dampak Kekalahan Pemilihan pada Lansia.

       Pemilu merupakan bagian integral dari demokrasi. Pemilu memberikan kesempatan kepada warga negara untuk memilih pemimpinnya. Namun, pemilu merupakan sebuah kontes dan sering kali memunculkan konflik yang tidak aktif, terutama jika terdapat kandidat yang agresif atau memecah belah, karena itu pemilu mempunyai konsekuensi kesehatan yang sama dengan pemicu stres lainnya. Terdapat dua sumber tekanan terkait pemilu:
1) ketidakpastian terkait pemilu dan 
2) hasil pemilu yang merugikan (kekalahan partisan)

Penelitian menunjukkan bahwa pemilu dapat merugikan kesehatan fisik dan mental. Beberapa terapis menyebut hal ini sebagai ' gangguan stres pemilu '. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemilih menunjukkan peningkatan kortisol dan testosteron menjelang pemilu. Telah diketahui bahwa hormon-hormon ini berhubungan dengan kecemasan dan depresi.

Pemilu dapat merugikan kesehatan fisik dan mental lansia.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Belum ada istilah medis yang secara khusus merujuk pada dampak kekalahan dalam pemilihan pada lansia. Namun, dampak psikologis dan emosional dari kekalahan dalam konteks politik dapat tercermin dalam kondisi medis yang sudah ada, seperti depresi, kecemasan, stres, dan isolasi sosial. Dalam konteks kesehatan mental, beberapa istilah yang mungkin relevan termasuk:

Reaksi Stres Post-Trauma (Post-Traumatic Stress Reaction): 
Ini mungkin muncul jika kekalahan dalam pemilihan menyebabkan stres yang signifikan dan menimbulkan reaksi yang berkelanjutan.

Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorders): 
Lansia yang mengalami kekalahan dalam pemilihan juga mungkin mengalami gejala gangguan kecemasan seperti kegelisahan yang berlebihan, ketegangan, dan ketakutan yang tidak rasional.

Gangguan Depresif (Depressive Disorders): 
Kekalahan dalam pemilihan dapat memicu gejala depresi pada lansia, seperti perasaan sedih yang berkepanjangan, hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas, serta perubahan berat badan atau pola tidur.

Isolasi Sosial (Social Isolation): 
Jika kekalahan dalam pemilihan membuat lansia merasa terisolasi secara sosial, mereka mungkin mengalami dampak negatif pada kesehatan mental mereka, termasuk peningkatan risiko depresi dan kecemasan.

Meskipun tidak ada istilah medis spesifik untuk dampak kekalahan dalam pemilihan pada lansia, penting untuk memahami bahwa kesejahteraan psikologis dan emosional mereka dapat dipengaruhi secara signifikan oleh pengalaman ini.
Kekalahan pada lansia dalam suatu pemilihan bisa memiliki dampak yang signifikan, terutama dari segi kesejahteraan emosional dan psikologis mereka. 

Kekalahan dalam pemilihan pada lansia berdampak buruk.
(Sumber: foto canva.com)

Beberapa dampak yang mungkin terjadi termasuk:

Penurunan Kesejahteraan Emosional: 
Kekalahan dalam pemilihan bisa menyebabkan stres dan kekecewaan yang mendalam pada lansia. Mereka mungkin merasa tidak dihargai atau tidak memiliki pengaruh dalam proses politik.

Gangguan Kesehatan Mental: 
Kekalahan yang mengecewakan dapat memicu gejala stres, kecemasan, atau bahkan depresi pada lansia. Ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

Isolasi Sosial: 
Perasaan kekecewaan dan ketidakpuasan akibat kekalahan dalam pemilihan dapat membuat lansia merasa terisolasi secara sosial. Mereka mungkin merasa tidak termasuk atau diabaikan oleh masyarakat atau kelompok politik tertentu.

Penurunan Kepercayaan pada Sistem Politik: 
Kekalahan yang mengecewakan bisa membuat lansia kehilangan kepercayaan pada sistem politik secara keseluruhan. Mereka mungkin menjadi skeptis terhadap proses pemilihan dan keyakinan politik mereka bisa terpengaruh.

Penurunan Motivasi untuk Terlibat: 
Kekalahan dalam pemilihan dapat mengurangi motivasi lansia untuk terlibat dalam kegiatan politik atau masyarakat. Mereka mungkin merasa bahwa partisipasi mereka tidak berarti atau tidak efektif.

Dampak pada Kesehatan Fisik: 
Stres dan ketidakpuasan yang berkepanjangan akibat kekalahan dalam pemilihan dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik lansia. Ini dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan tidur, dan masalah kesehatan lainnya.

Perubahan Persepsi Terhadap Masa Depan: 
Kekalahan dalam pemilihan bisa mengubah persepsi lansia tentang masa depan mereka dan mungkin mengurangi optimisme mereka tentang kemungkinan perubahan yang positif.

       Kekalahan dalam pemilihan politik dapat memicu berbagai dampak kesehatan, baik secara mental maupun fisik, terutama jika seseorang mengalami stres yang signifikan atau bereaksi secara emosional terhadap hasil pemilihan tersebut. 

Beberapa penyakit mental atau fisik yang dapat muncul atau diperburuk oleh kekalahan dalam pemilihan:

Gangguan Kesehatan Mental:

Depresi: Perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat atau kesenangan pada aktivitas yang biasanya dinikmati, perubahan berat badan, gangguan tidur, dan pemikiran negatif yang persisten.

Kecemasan: Rasa cemas yang berlebihan, kekhawatiran kronis, ketegangan otot, serta gejala fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, atau masalah tidur.

Kecemasan dapat muncul pada lansia yang mengalami kekalahan.
(Sumber: foto canva.com)

Stres Pasca Trauma: Reaksi yang intens terhadap peristiwa traumatis, yang mungkin termasuk mimpi buruk, ketegangan otot, penghindaran tempat atau situasi tertentu, serta perasaan cemas atau terkejut yang berlebihan.

Gangguan Fisik:

Gangguan kardiovaskular: Stres yang tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan masalah kardiovaskular lainnya.

Gangguan pencernaan: Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan gejala seperti gangguan pencernaan, diare, atau konstipasi.

Gangguan tidur: Kekalahan dalam pemilihan dapat mengganggu pola tidur seseorang, mengakibatkan insomnia atau tidur yang tidak nyenyak, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kesehatan fisik secara keseluruhan.

       Mengobati kekalahan pada lansia melibatkan pendekatan holistik yang memperhatikan aspek fisik, mental, dan emosional. 

Beberapa strategi yang dapat membantu mengatasi dan mengobati kekalahan pada lansia:

Dukungan Emosional: 
Lansia perlu merasa didukung dan didengar setelah mengalami kekalahan. Memberikan dukungan emosional yang hangat dan berempati dapat membantu mereka merasa dihargai dan tidak sendirian dalam pengalaman mereka.

Penerimaan Emosi: 
Penting bagi lansia untuk memperbolehkan diri mereka merasakan emosi yang muncul akibat kekalahan, termasuk kesedihan, kecewa, atau marah. Memiliki ruang untuk mengungkapkan dan memproses emosi ini dapat membantu dalam proses penyembuhan.

Membangun Kembali Kepercayaan Diri:
Mendorong lansia untuk mengidentifikasi dan menyoroti pencapaian mereka di luar politik, serta mengakui kontribusi mereka dalam masyarakat dan keluarga, dapat membantu membangun kembali kepercayaan diri mereka.

Mengaktifkan Keterlibatan Sosial: 
Mendorong lansia untuk tetap terlibat dalam kegiatan sosial dan komunitas dapat membantu mengurangi perasaan isolasi dan meningkatkan kesejahteraan mental mereka. Ini bisa termasuk bergabung dengan kelompok seni, klub buku, atau program sukarela.

Mencari Dukungan Profesional: 
Lansia yang merasa kesulitan untuk mengatasi kekalahan secara mandiri dapat mempertimbangkan untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau konselor. Terapi kognitif perilaku atau terapi bicara dapat membantu mereka mengelola stres dan mengatasi emosi negatif.

Aktivitas Fisik dan Kesehatan: 
Mendorong lansia untuk menjaga kebugaran fisik mereka melalui olahraga ringan atau aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi mereka dapat membantu meningkatkan suasana hati dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Aktivitas fisik yang sesuai dapat meningkatkan suasana hati.
(Sumber: foto canva.com)

Perencanaan Masa Depan: 
Bantu lansia untuk merencanakan aktivitas atau proyek baru yang dapat memberikan tujuan dan fokus baru setelah kekalahan. Hal ini dapat membantu mereka merasa lebih optimis tentang masa depan.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang berbeda, jadi pendekatan yang efektif dapat bervariasi. Mendukung lansia untuk menemukan strategi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka adalah kunci dalam membantu mereka mengatasi kekalahan dan memulihkan kesejahteraan mereka.




Sumber: