Monday, 19 February 2024

Isolasi Sosial pada Lansia, Peningkatan Risiko kematian Dini.

         Isolasi sosial umumnya didefinisikan sebagai rendahnya kuantitas dan kualitas kontak dengan orang lain. Situasi isolasi sosial melibatkan sedikit kontak sosial dan sedikit peran sosial, serta tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesehatan yang buruk, kesepian, tekanan emosional dan dampak negatif lainnya.

Tidak semua lansia yang terisolasi secara sosial menderita akibat negatif dari isolasi sosial. Misalnya, beberapa lansia mungkin lebih suka menyendiri dan tidak mengalami kesepian. Di sisi lain, karena kesepian adalah pengalaman subjektif, beberapa lansia yang aktif secara sosial mungkin merasa kesepian.

Lansia dalam suatu komunitas mengurangi risiko isolasi sosial.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Isolasi sosial berbeda dengan perasaan kesepian, meski keduanya sering kali berkaitan. Kesepian adalah penderitaan yang diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang ideal dan yang dirasakan. Perspektif kesenjangan ini memperjelas bahwa kesepian tidak identik dengan kesendirian, dan kebersamaan dengan orang lain juga tidak menjamin perlindungan dari perasaan kesepian. Sebaliknya, kesepian adalah perasaan tertekan yang terjadi ketika hubungan sosial seseorang dianggap kurang memuaskan dibandingkan yang diinginkan.

Beberapa faktor dapat menempatkan lansia pada risiko isolasi sosial dan kesepian, antara lain:

Kesehatan Fisik: 
Masalah kesehatan fisik seperti gangguan mobilitas, penurunan fungsi sensorik (penglihatan dan pendengaran), atau penyakit kronis dapat membatasi kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara sosial. Hal ini dapat membuat lansia merasa sulit untuk keluar rumah atau berpartisipasi dalam aktivitas sosial.

Kehilangan Pasangan Hidup:
Kematian pasangan hidup atau teman-teman sebaya dapat meninggalkan lansia dalam situasi isolasi sosial. Pasangan hidup sering kali merupakan sumber dukungan sosial yang kuat, dan kehilangan mereka dapat meninggalkan lansia merasa terisolasi secara emosional dan sosial.

Mobilitas Terbatas:
Lansia yang mengalami penurunan mobilitas, baik karena masalah kesehatan fisik atau kendala transportasi, mungkin tidak dapat dengan mudah melakukan aktivitas sosial di luar rumah mereka. Ini dapat menyebabkan isolasi sosial karena mereka tidak dapat mengakses kegiatan sosial di masyarakat.

Keterbatasan Finansial:
Keterbatasan finansial dapat menjadi hambatan bagi lansia untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial. Biaya transportasi, keanggotaan klub, atau bahkan biaya makan di luar rumah dapat menjadi penghalang bagi lansia yang memiliki pendapatan terbatas.

Keterbatasan finasial menjadi hambatab lansia beraktivitas sosial.
(Sumber: foto canva.com)

Stigma Sosial: 
Beberapa lansia mungkin mengalami isolasi sosial karena stigma sosial terkait usia tua, usia 80 tahun atau lebih. Stigma ini dapat mendorong mereka untuk menghindari interaksi sosial karena merasa tidak dihargai atau tidak relevan dalam lingkungan sosial yang lebih muda.

Kehilangan Kemandirian: 
Lansia yang kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari mungkin merasa malu atau tidak nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain. Rasa rendah diri ini dapat menyebabkan mereka menarik diri dari situasi sosial.

Kehilangan Jaringan Sosial: 
Lansia yang mengalami kehilangan teman-teman atau keluarga dekat dalam jumlah besar, misalnya karena kematian, pindah, atau pertengkaran, dapat merasa kehilangan dukungan sosial yang penting. Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial karena mereka merasa tidak memiliki jaringan sosial yang kuat lagi.

Perubahan Lingkungan:
Perubahan lingkungan seperti pindah ke tempat tinggal yang baru atau masalah aksesibilitas dalam lingkungan tempat tinggal lama juga dapat menyebabkan isolasi sosial bagi lansia.

Kesadaran terhadap layanan dan program masyarakat: 
Lansia kurang kesadaran atau akses terhadap layanan dan program masyarakat, seperti posyandu lansia.

Beberapa akibat yang timbul dari isolasi dan pengucilan sosial, antara lain: 

Penurunan Kesehatan Mental:
Isolasi sosial dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan stres pada lansia. Kurangnya interaksi sosial dapat menyebabkan perasaan kesepian, rendah diri, dan kurangnya dukungan emosional, yang semuanya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.

Penurunan Kesehatan Fisik:
Lansia yang mengalami isolasi sosial cenderung kurang aktif secara fisik. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, diabetes, dan kondisi kesehatan fisik lainnya. Selain itu, kurangnya dukungan sosial juga dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan.

Keterbatasan fisik cenderung mengalami isolasi sosial.
(Sumber: foto canva.com)
Penurunan Kognitif:
Interaksi sosial dapat memiliki dampak positif pada kognisi dan fungsi otak. Isolasi sosial pada lansia dapat meningkatkan risiko penurunan kognitif dan perkembangan penyakit seperti demensia dan Alzheimer.

Penurunan Kualitas Hidup:
Kurangnya interaksi sosial dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Lansia yang merasa terisolasi mungkin mengalami kesulitan dalam menemukan arti dan tujuan dalam kehidupan sehari-hari, serta kesulitan dalam menikmati aktivitas dan hobi yang mereka nikmati.

Penurunan Keterlibatan Sosial:
Isolasi sosial dapat menyebabkan lansia merasa terputus dari masyarakat dan kurang terlibat dalam kegiatan sosial yang bermanfaat. Ini dapat mengurangi rasa keterlibatan dan keterikatan dengan masyarakat, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan sosial mereka.

Peningkatan Risiko Kematian Dini: 
Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara isolasi sosial pada lansia dengan peningkatan risiko kematian dini. Lansia yang merasa terisolasi secara sosial cenderung memiliki harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang memiliki jaringan sosial yang kuat.

Kesulitan dalam Penyesuaian Perubahan: 
Isolasi sosial dapat membuat lansia lebih sulit menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kehidupan mereka, seperti kehilangan pasangan hidup, perubahan kondisi kesehatan, atau transisi ke tahap kehidupan yang baru.

Perasaan Terabaikan dan Tidak Diakui: 
Lansia yang merasa terisolasi sosial mungkin mengalami perasaan tidak diakui atau terabaikan oleh keluarga, teman, atau masyarakat secara umum. Hal ini dapat meningkatkan perasaan kesepian dan merugikan kesejahteraan emosional mereka.

Peningkatan jumlah jatuh:
Lansia yang mengalami isolasi sosial cenderung kurang aktif secara fisik karena mereka memiliki sedikit kesempatan untuk bergerak dan berinteraksi dengan orang lain. Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot, keseimbangan, dan koordinasi, yang merupakan faktor risiko utama untuk jatuh.

Beberapa faktor, sifat, situasi atau keadaan tertentu  dapat membantu lansia untuk berintegrasi secara sosial dan mengurangi risiko isolasi sosial:    
 
Mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi:
Lansia dengan pendidikan tinggi mungkin memiliki minat yang lebih besar dalam kegiatan intelektual dan budaya, seperti diskusi kelompok, pertunjukan seni, atau kursus pendidikan lanjutan. Partisipasi dalam kegiatan semacam itu dapat membantu mereka tetap terlibat dalam masyarakat dan mencegah isolasi sosial.

Memiliki pendapatan yang cukup :
Memiliki pendapatan yang cukup memungkinkan lansia untuk mengikuti kegiatan sosial dan rekreasi yang memerlukan biaya, seperti bergabung dengan klub, menghadiri acara budaya atau olahraga, atau berpartisipasi dalam tur dan perjalanan kelompok. Ini membantu mereka untuk tetap aktif dan terlibat dalam masyarakat.

Berada dalam kondisi kesehatan fisik yang baik: 
Kemampuan fisik yang baik memungkinkan lansia untuk tetap aktif dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial dan rekreasi. Lansia yang memiliki mobilitas yang baik dan keseimbangan yang stabil akan lebih mungkin terlibat dalam kegiatan di luar rumah dan berinteraksi dengan orang lain.

Mempertahankan Koneksi Sosial:
Penting untuk mendorong lansia untuk tetap terhubung dengan teman, keluarga, dan komunitas mereka. Ini bisa dilakukan melalui panggilan telepon, obrolan video, atau pertemuan langsung jika memungkinkan.

Mendorong Partisipasi dalam Kegiatan Sosial:
Lansia harus didorong untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan rekreasi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Ini bisa termasuk klub buku, kelompok seni, atau klub olahraga.

Mengadakan Program Komunitas: 
Membangun program komunitas yang dirancang khusus untuk lansia dapat membantu menciptakan kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama dan membangun jaringan sosial yang kuat.

Mempromosikan Transportasi yang Ramah Lansia:
Memastikan aksesibilitas transportasi yang mudah bagi lansia dapat membantu mereka tetap terlibat dalam kegiatan sosial di luar rumah.

Menyediakan Dukungan Kesehatan Mental: 
Penting untuk menawarkan dukungan kesehatan mental kepada lansia yang mengalami kesulitan emosional atau psikologis. Ini bisa berupa konseling, dukungan kelompok, atau akses ke layanan kesehatan mental.

Menyediakan Akses ke Layanan Perawatan Diri: 
Membantu lansia untuk tetap merawat diri mereka sendiri dengan baik dapat membantu mereka merasa lebih percaya diri dan independen. Ini bisa meliputi akses ke layanan perawatan pribadi di rumah atau di komunitas.

Membangun Kesadaran akan Isolasi Sosial: 
Pendidikan dan kesadaran tentang risiko isolasi sosial pada lansia dapat membantu masyarakat dan penyedia layanan kesehatan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah ini.

Menggunakan Teknologi Secara Efektif:
Mendorong penggunaan teknologi seperti komputer, tablet, atau ponsel pintar dapat membantu lansia tetap terhubung dengan teman dan keluarga, serta memperluas jaringan sosial mereka.

Mendorong Keterlibatan dalam Pekerjaan Sukarela:
Menyediakan kesempatan untuk terlibat dalam pekerjaan sukarela dapat membantu lansia merasa terhubung dengan masyarakat dan memberikan perasaan memiliki tujuan dan kontribusi yang berarti.

Membangun Lingkungan yang Dukung lansia: 
Membangun lingkungan sosial yang inklusif dan mendukung di komunitas dan tempat tinggal dapat membantu mencegah isolasi sosial pada lansia.

Lingkungan yang mendukung lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Dengan mengambil langkah-langkah ini, Anda dapat mengurangi risiko isolasi sosial pada lansia dan meningkatkan kesejahteraan sosial, emosional, dan fisik mereka. Bergabung dengan posyandu lansia dan komunikasi dengan tenaga kesehatan atau dokter.



Sumber:

https://www.canada.ca/en/employment-social-development/corporate/partners/seniors-forum/social-isolation-toolkit-vol1.html

https://bluemoonseniorcounseling.com/10-ways-to-help-seniors-avoid-social-isolation/

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28515187/

https://www.aplaceformom.com/caregiver-resources/articles/social-isolation

https://www.who.int/activities/reducing-social-isolation-and-loneliness-among-older-people/1000

https://www.ncoa.org/article/staying-socially-connected-can-stave-off-isolation-and-loneliness



Sunday, 18 February 2024

Cara Kelola Pikiran Negatif bukan Memanipulasi.

         Pikiran negatif adalah jenis pikiran yang cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal yang buruk, merugikan, atau tidak menyenangkan. Ini bisa berupa kekhawatiran, keraguan diri, kecemasan, atau rasa putus asa. Pikiran negatif sering kali memengaruhi suasana hati seseorang dan dapat mengganggu kesejahteraan mental serta emosional mereka. 

Pikiran ini juga dapat memengaruhi persepsi dan pandangan seseorang terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya secara keseluruhan. Dalam beberapa kasus, pikiran negatif dapat menjadi pola pikir yang terpaku dan mempengaruhi cara seseorang menanggapi dan mengatasi berbagai situasi hidup.

Lansia harus mampu mengelola pikiran negatif.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Pikiran negatif adalah hal yang alami dan umum dalam pengalaman manusia, namun, pengelolaannya dengan cara yang sehat dan produktif dapat membantu seseorang merasa lebih baik secara keseluruhan. 

Memanipulasi pikiran negatif tidaklah disarankan atau seharusnya tidak dilakukan. Memanipulasi atau menekan pikiran negatif secara tidak sehat tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kesehatan mental seseorang. Sebaliknya, penting untuk menghadapi dan mengelola pikiran negatif dengan cara-cara yang sehat dan efektif. 

Beberapa ciri pikiran negatif pada lansia meliputi:

Peningkatan Kecemasan:
Lansia cenderung mengalami kecemasan yang lebih tinggi daripada kelompok usia yang lebih muda. Mereka mungkin cemas akan kesehatan mereka, keuangan, kesepian, atau masa depan mereka.

Lansia cenderung mengalami kecemasan yang tinggi.
(Sumber: foto canva.com)
Peningkatan Depresi: 
Lansia rentan terhadap depresi karena berbagai faktor, termasuk perubahan fisik, sosial, dan psikologis yang terkait dengan penuaan. Mereka mungkin merasa sedih, kehilangan minat pada kegiatan yang dahulu mereka nikmati, dan kehilangan harapan akan masa depan.

Persepsi Negatif terhadap Penuaan:
Beberapa lansia mungkin memiliki pandangan negatif terhadap proses penuaan dan mengasosiasikannya dengan kelemahan, kehilangan, atau ketidakberdayaan. Pandangan negatif semacam ini dapat memengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Isolasi Sosial: 
Lansia yang mengalami pikiran negatif mungkin cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan aktivitas luar rumah. Mereka mungkin merasa tidak dihargai atau merasa bahwa tidak ada yang peduli tentang keberadaan mereka.

Ketergantungan Berlebihan:
Beberapa lansia mungkin menjadi terlalu tergantung pada orang lain atau institusi seperti rumah sakit atau panti jompo karena merasa tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri.

Pikiran yang Berputar-putar:
Lansia dengan pikiran negatif mungkin cenderung terjebak dalam pola pikir yang berputar-putar tentang hal-hal yang tidak menyenangkan atau mengkhawatirkan.

Pengabaian Kesehatan: 
Pikiran negatif dapat mempengaruhi perilaku kesehatan lansia, seperti kurangnya motivasi untuk berolahraga, makan dengan baik, atau menjaga perawatan medis yang tepat.

Penurunan Kualitas Hidup:
Keseluruhan, pikiran negatif pada lansia dapat mengarah pada penurunan kualitas hidup mereka karena mempengaruhi suasana hati, hubungan sosial, dan kesejahteraan fisik dan mental mereka secara keseluruhan.

Beberapa faktor penyebab pikiran negatif pada lansia, antara lain:

Perubahan Fisik:
Proses penuaan seringkali disertai dengan berbagai perubahan fisik seperti penurunan daya ingat, penurunan kemampuan fisik, atau timbulnya penyakit kronis. Perubahan ini dapat menyebabkan rasa frustasi, kekhawatiran, atau perasaan tidak berdaya yang dapat memicu pikiran negatif.

Perubahan Sosial:
Lansia sering mengalami perubahan dalam struktur sosial mereka, termasuk pensiun dari pekerjaan, kehilangan pasangan hidup, atau pemindahan ke fasilitas perawatan jangka panjang. Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan perasaan kesepian, isolasi, atau kehilangan identitas, yang dapat menyebabkan pikiran negatif.

Masalah Kesehatan Mental dan Fisik:
Gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan, serta penyakit fisik seperti penyakit kronis atau kecacatan fisik, dapat menjadi faktor penyebab pikiran negatif pada lansia.

Stigma dan Stereotip Penuaan: 
Lansia mungkin menginternalisasi stigma dan stereotip negatif yang ada terkait dengan penuaan, seperti merasa tidak berguna atau diabaikan oleh masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi diri mereka dan menyebabkan pikiran negatif.

Lansia merasa tidak berguna atau diabaikan masyarakat.
(Sumber: foto canva.com)
Kehilangan Orang Terkasih:
Kehilangan orang terkasih, baik karena kematian atau penyakit serius, dapat menyebabkan kesedihan, kesepian, dan kekhawatiran tentang masa depan, yang semuanya dapat memicu pikiran negatif.

Keterbatasan Finansial:
Lansia yang mengalami keterbatasan finansial atau kekhawatiran tentang keuangan masa depan mereka dapat mengalami stres dan kecemasan yang dapat menyebabkan pikiran negatif.

Keterbatasan Mobilitas: 
Lansia yang mengalami keterbatasan mobilitas atau kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari mungkin merasa frustrasi atau tidak berdaya, yang dapat memicu pikiran negatif.

Kehilangan Kemandirian:
Lansia mungkin mengalami penurunan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, atau mengemudi. Kehilangan kemandirian ini dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya atau putus asa yang dapat memicu pikiran negatif.

Beberapa strategi yang dapat membantu mengelola pikiran negatif:

Mindfulness (kesadaran diri):
 
Praktik mindfulness membantu seseorang menjadi lebih sadar akan pikiran, perasaan, dan sensasi fisik mereka tanpa menilainya. Ini membantu seseorang untuk menerima pikiran negatif tanpa terjebak di dalamnya.

Terapi Kognitif Perilaku (CBT): 
Terapi ini fokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikiran negatif menjadi pola pikiran yang lebih positif dan realistis. Ini melibatkan memeriksa bukti-bukti yang mendukung atau menentang pikiran negatif dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih sehat.

Menggantikan Pikiran Negatif dengan Positif:
Menggantikan pikiran negatif dengan pikiran positif yang lebih realistis dan membangun dapat membantu mengubah pola pikiran yang merugikan.

Mengganti pikiran negatif dengan pikiran positif.
(Sumber: foto canva.com)
Jurnal Kesehatan Pikiran: 
Menulis tentang pikiran negatif dan mencoba menemukan alternatif yang lebih sehat dan positif bisa membantu dalam mengatasi pola pikiran negatif.

Aktivitas yang Menyenangkan:
Melakukan aktivitas yang menyenangkan atau relaksasi seperti olahraga, seni, atau meditasi dapat membantu mengalihkan pikiran dari hal-hal negatif dan meningkatkan suasana hati.

Penerimaan dan Komitmen:
Memahami bahwa pikiran negatif adalah bagian dari pengalaman manusia yang normal dan memahami bahwa kita tidak selalu bisa mengontrol pikiran tersebut. Yang penting adalah bagaimana kita meresponsnya dan tetap komitmen untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang penting bagi kita.

Tantang pikiran negatif: 
Akui perasaan dan pikiran Anda, tapi jangan menekannya. Ketika pikiran negatif muncul, mundurlah dan periksalah.

Pilih pemikiran Anda: 
Gantikan pemikiran yang tidak membantu dengan pemikiran yang bermanfaat. Anda dapat membuat jurnal pemikiran Anda untuk membantu Anda berhenti, bertanya, dan memilih pemikiran Anda.

Gunakan afirmasi:
Ulangi pernyataan positif pada diri sendiri untuk melatih pikiran agar fokus pada hal terpenting bagi Anda.

Hitung berkah Anda:
Latihlah rasa syukur untuk bersyukur atas hal-hal baik yang Anda miliki.
Fokus pada saat ini: Berfokus pada saat ini dapat membantu Anda mengelola pikiran dan emosi.

Carilah dukungan profesional:
Konseling dan terapi dapat membantu Anda menghadapi perubahan hidup, mengurangi penderitaan emosional, dan mengalami pertumbuhan diri.

Buatlah jurnal positif: 
Menulis jurnal adalah cara bagi orang lanjut usia untuk mengekspresikan emosi dan perasaan mereka. Peneliti geriatri merekomendasikan penjurnalan untuk membantu menghilangkan emosi negatif. 

Beberapa cara  untuk membalikkan pemikiran negatif meliputi:

Membaca tentang kesuksesan orang lain: 
Membaca tentang kesuksesan orang lain dapat membantu seseorang melihat sisi positif dari kehidupan dan mengalihkan fokus dari pikiran negatif. Ini dapat membantu mengubah pola pikir negatif menjadi pola pikir yang lebih positif dan optimis.

Membaca kesuksesan orang lain membantu berpikir positif.
(Sumber: foto canva.com)
Menulis apa yang menyenangkan: 
Menulis memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dan memproses emosi mereka dengan cara yang kreatif. Ini bisa membantu mengeluarkan pikiran negatif dari dalam diri dan memberikan kesempatan untuk merenungkan perasaan mereka dengan lebih baik.

Membuat jurnal dan mendiskusikannya :
Menulis dalam jurnal memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dan memproses emosi mereka dengan cara yang aman dan pribadi. Ini bisa membantu dalam menghadapi dan meredakan pikiran negatif yang mungkin mereka alami.

Memahami pikiran negatif :
Dengan memahami pikiran negatif, seseorang dapat mengidentifikasi pola pikir yang tidak sehat atau tidak produktif. Ini bisa berupa kata-kata atau frasa yang sering muncul dalam pikiran, atau situasi tertentu yang memicu pikiran negatif.

Memastikan lansia tahu bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa ada orang-orang yang peduli tentang kesejahteraan mereka. Dorong mereka untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional kesehatan mental jika mereka merasa kesulitan mengatasi pikiran negatif mereka sendiri.


Sumber:

https://applewoodourhouse.com/7-ways-turn-around-negative-thinking-elderly/

https://assistinghands.com/38/texas/prestonhollow/blog/what-to-do-if-your-elderly-parents-have-a-negative-attitude/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1948895/

https://neurosciencenews.com/emotion-brain-aging-22250/

https://www.mcleanhospital.org/essential/negative-thinking

https://australiancarersguide.com.au/tips-for-carers-to-deal-with-negative-parents/


 

Saturday, 17 February 2024

Orang Berusia 65 ke atas Banyak Mengidap Pradiabetes.

        Pradiabetes umum terjadi pada orang lanjut usia, dengan lebih dari 26 juta orang berusia 65 tahun ke atas mengidapnya. Pradiabetes adalah kondisi dimana kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari normal tetapi belum cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes. Pada lansia, pradiabetes dapat terjadi ketika tubuh mulai mengalami resistensi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin dengan efektif seperti yang terjadi pada diabetes tipe 2. 

Lansia di atas usia 65 tahun banyak mengidap pradiabetes.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Kadar gula darah 140–199 mg/dL dianggap sedang, dan merupakan tanda pradiabetes atau gangguan toleransi glukosa. Nilai kurang dari 140 mg/dL dianggap normal. Penelitian mengkonfirmasi adanya interaksi antara usia dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi, yang mungkin penting dalam menjelaskan perbedaan faktor risiko diabetes dan pradiabetes pada populasi paruh baya dan lanjut usia.

Pradiabetes pada lansia bisa menjadi tanda peringatan bahwa mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan diabetes tipe 2 di masa depan, dan ini merupakan kesempatan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan seperti perubahan gaya hidup dan diet yang sehat serta pemantauan teratur oleh tenaga medis.

       Pradiabetes pada lansia memiliki beberapa ciri yang mirip dengan diabetes tipe 2, meskipun gejalanya mungkin lebih ringan atau tidak terlihat sama sekali. 

Beberapa ciri pradiabetes pada lansia meliputi:

Kadar Glukosa Darah yang Tinggi: 
Kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal tetapi belum mencapai level yang menandakan diabetes.

Resistensi Insulin: 
Tubuh mengalami resistensi terhadap insulin, yaitu hormon yang mengatur kadar glukosa darah.

Gejala Tidak Spesifik: 
Gejala pradiabetes pada lansia mungkin tidak spesifik atau tidak terlihat jelas, tetapi dapat mencakup kelelahan, peningkatan rasa haus, dan sering berkemih.

Tingkat Kegemukan atau Obesitas: 
Lansia dengan pradiabetes mungkin memiliki kelebihan berat badan atau obesitas, terutama di sekitar pinggang.

Obesitas pada lansia dapat menyebabkan pradiabetes.
(Sumber: canva.com)

Riwayat Keluarga:
Riwayat diabetes tipe 2 dalam keluarga juga bisa menjadi faktor risiko untuk pradiabetes pada lansia.

Riwayat Kesehatan: 
Riwayat kesehatan pribadi seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, atau sindrom metabolik juga dapat berkontribusi terhadap pradiabetes.

Pemeriksaan Medis:
Pradiabetes pada lansia sering kali dideteksi melalui tes darah rutin yang menunjukkan kadar glukosa darah yang tinggi tetapi belum mencapai ambang batas diabetes.

Meskipun tidak semua lansia dengan pradiabetes akan menunjukkan gejala, penting untuk mendeteksinya sedini mungkin agar tindakan pencegahan dan pengelolaan yang tepat dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terkena diabetes tipe 2 dan komplikasi yang terkait.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko pradiabetes pada lansia meliputi:

Usia: 
Proses penuaan alami dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme tubuh, termasuk resistensi insulin, yang dapat meningkatkan risiko pradiabetes.

Obesitas atau Kelebihan Berat Badan: 
Kegemukan atau obesitas adalah faktor risiko utama untuk pradiabetes pada lansia karena lemak tubuh yang berlebihan dapat mengganggu fungsi insulin.

Kurangnya Aktivitas Fisik: 
Gaya hidup yang kurang aktif atau tidak aktif meningkatkan risiko pradiabetes pada lansia karena kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan resistensi insulin.

Keturunan dan Riwayat Keluarga: 
Jika ada anggota keluarga dengan riwayat diabetes tipe 2, risiko pradiabetes pada lansia akan meningkat.

Diet Tidak Sehat: 
Pola makan yang kaya akan gula dan karbohidrat sederhana serta rendah serat dapat menyebabkan lonjakan kadar glukosa darah, yang mempengaruhi risiko pradiabetes.

Sindrom Metabolik: 
Lansia dengan sindrom metabolik, yang mencakup kombinasi faktor risiko seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan obesitas abdominal, memiliki risiko lebih tinggi untuk pradiabetes.

Stres:
Stres kronis atau tekanan emosional juga dapat berkontribusi pada resistensi insulin dan peningkatan risiko pradiabetes pada lansia.

Pola Tidur yang Tidak Teratur:
Pola tidur yang tidak teratur atau kurang tidur dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko pradiabetes.

Kurang tidur pada lansia meningkatkan risiko pradiabetes.
(Sumber: foto canva.com)
Kondisi Kesehatan Lainnya: 
Beberapa kondisi kesehatan seperti penyakit jantung, penyakit hati, dan sindrom ovarium polikistik juga dapat meningkatkan risiko pradiabetes pada lansia.

Mengenali faktor-faktor ini dan mengadopsi gaya hidup sehat serta melakukan tindakan pencegahan yang sesuai dapat membantu menurunkan risiko pradiabetes pada lansia.

       Mencegah pradiabetes pada lansia melibatkan adopsi gaya hidup sehat dan melakukan tindakan pencegahan yang dapat membantu mengendalikan faktor risiko. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah pradiabetes pada lansia:

Pola Makan Sehat:
Konsumsi makanan yang seimbang dengan fokus pada buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, protein tanpa lemak, dan lemak sehat. Hindari makanan yang tinggi gula dan karbohidrat sederhana.

Berolahraga secara Teratur:
Lakukan aktivitas fisik secara teratur, setidaknya 30 menit setiap hari, seperti berjalan kaki, berenang, bersepeda, atau latihan kekuatan. Aktivitas fisik membantu meningkatkan sensitivitas insulin dan mengendalikan berat badan.

Menjaga Berat Badan yang Sehat:
Usahakan untuk menjaga berat badan yang sehat sesuai dengan indeks massa tubuh (BMI) yang disarankan oleh dokter.

Hindari Kebiasaan Merokok dan Minum Alkohol yang Berlebihan:
Merokok dan konsumsi alkohol berlebihan dapat meningkatkan risiko resistensi insulin dan pradiabetes.

Pemantauan Kesehatan Reguler: 
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur untuk memantau kadar gula darah, tekanan darah, dan kolesterol. Hal ini penting untuk mendeteksi pradiabetes atau masalah kesehatan lainnya dengan cepat.

Manajemen Stres: 
Temukan cara-cara untuk mengelola stres seperti meditasi, yoga, atau kegiatan relaksasi lainnya. Stres kronis dapat memengaruhi kadar gula darah dan meningkatkan risiko pradiabetes.

Tidur yang Cukup:
Pastikan untuk mendapatkan tidur yang cukup setiap malam. Kekurangan tidur dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko pradiabetes.

Pengelolaan Kondisi Kesehatan yang Ada: 
Jika ada kondisi kesehatan lain seperti tekanan darah tinggi atau kadar kolesterol tinggi, penting untuk mengelolanya dengan baik dengan bantuan dokter.

Edukasi dan Dukungan: 
Dapatkan informasi yang akurat tentang pradiabetes dan dukungan dari profesional kesehatan untuk membantu dalam pencegahan dan manajemen kondisi ini.

Dengan mengadopsi gaya hidup sehat dan melakukan tindakan pencegahan yang sesuai, lansia dapat mengurangi risiko pradiabetes dan mempertahankan kesehatan yang baik.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9843502 

https://www.health.harvard.edu/blog/prediabetes-diagnosis-as-an-older-adult-what-does-it-really-mean-202106142481

https://kffhealthnews.org/news/article/seniors-with-prediabetes- 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7871207/

https://www.washingtonpost.com/health/2022/07/24/seniors-prediabetes-eating-well/