Wednesday, 28 February 2024

Sindrom Diogenes pada Lansia, Rumah tidak Terawat.

       Penimbunan sampah dan barang-barang yang tampaknya acak secara kompulsif adalah ciri utama  Sindrom Diogenes, yang terutama terjadi pada orang lanjut usia dan berhubungan dengan demensia progresif. Ciri-ciri lainnya termasuk pengabaian diri yang ekstrim, sikap apatis, penarikan diri dari pergaulan, dan kurangnya rasa malu.

Sindrom ini merupakan istilah yang keliru, karena namanya diambil dari nama filsuf Yunani Diogenes dari Sinope. Diogenes adalah seorang Sinis yang, menurut filosofi yang ia bantu temukan, menolak keinginan akan kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, memilih untuk hidup bebas dari semua harta benda. Dia menemukan kebajikan dalam kemiskinan, tidur di toples keramik besar, dan mencari interaksi.

Lansia perlu mewaspadai sindrom Diogenes.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Sindrom Diogenes adalah suatu kondisi psikologis yang biasanya ditemukan pada lansia di mana individu tersebut menunjukkan perilaku yang ekstrim dalam penolakan terhadap perawatan diri dan  kebersihan, serta isolasi sosial yang signifikan. Orang yang mengalami sindrom Diogenes sering kali tinggal dalam kondisi lingkungan yang sangat tidak sehat atau kumuh, menumpuk sampah atau barang-barang yang tidak berguna di sekitar mereka, dan sering kali menolak bantuan dari orang lain.

Sindrom Diogenes sering dikaitkan dengan masalah kesehatan mental seperti gangguan kepribadian, demensia, atau depresi pada lansia. Perilaku ini dapat sangat merugikan bagi individu yang mengalaminya, karena dapat menyebabkan risiko kesehatan fisik yang serius akibat kekurangan kebersihan, dan juga dapat menyebabkan isolasi sosial yang berdampak negatif pada kualitas hidup mereka.

Sindrom Diogenes bukanlah diagnosa medis resmi, tetapi lebih merupakan deskripsi perilaku yang sangat mengganggu dan memerlukan intervensi profesional, termasuk intervensi medis dan psikologis, untuk membantu individu yang terpengaruh.

Beberapa ciri khas Sindrom Diogenes pada lansia, yang meliputi:

Penolakan Terhadap Perawatan Diri: 
Individu dengan sindrom Diogenes cenderung menolak perawatan diri yang baik, termasuk mandi, mengganti pakaian, atau menjaga kebersihan pribadi lainnya. Mereka mungkin terlihat kumuh dan tidak terurus.

Rumah Tidak Terawat: 
Lingkungan tempat tinggal individu yang mengalami sindrom Diogenes sering kali sangat tidak terawat. Rumah mereka mungkin penuh dengan sampah, barang-barang tidak berguna, atau benda-benda yang menumpuk, menyebabkan kondisi yang tidak higienis.

Lansia yang sindrom Diogenes lingkungannya jorok dan kotor.
(Sumber: foto canva.com)
Isolasi Sosial: 
Mereka cenderung menghindari kontak sosial dengan orang lain dan sering kali hidup dalam isolasi yang ekstrem. Mereka mungkin menolak bantuan dari keluarga, teman, atau tenaga medis.

Kegagalan dalam Merawat Kesehatan: 
Individu dengan sindrom Diogenes sering kali tidak memperhatikan kebutuhan kesehatan mereka sendiri, seperti minum obat secara teratur atau menjalani pemeriksaan medis yang diperlukan.

Perilaku Paranoia atau Keengganan:
Mereka mungkin menunjukkan perilaku paranoid terhadap orang lain atau keengganan untuk menerima bantuan, bahkan ketika mereka membutuhkannya.

Lansia enggan menerima bantuan dan perilaku paranoid.
(Sumber: foto canva.com)

Kehilangan Keteraturan dalam Kehidupan Sehari-hari:
Mereka cenderung kehilangan struktur dan keteraturan dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti tidak memiliki jadwal yang tetap untuk makan atau tidur.

Pengumpulan Barang-Barang Tidak Berguna:
Individu mungkin cenderung mengumpulkan barang-barang yang tidak berguna atau tidak relevan, yang seringkali menumpuk dan menyebabkan kekacauan di sekitar mereka.

Pengabaian terhadap Kondisi Lingkungan yang Tidak Sehat: 
Mereka mungkin tidak sadar atau tidak peduli dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat di sekitar mereka, seperti kelembaban tinggi, jamur, atau kehadiran hama.

Ciri-ciri ini bisa bervariasi dari individu ke individu, dan tidak semua individu dengan sindrom Diogenes akan menunjukkan semua ciri ini. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap sindrom Diogenes pada lansia meliputi:

Masalah Kesehatan Mental: 
Gangguan kepribadian, depresi, kecemasan, atau demensia adalah faktor risiko yang signifikan. Gangguan kesehatan mental ini dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk merawat diri sendiri dan mengelola kehidupan sehari-hari dengan baik.

Keterbatasan Fisik: 
Lansia dengan keterbatasan fisik, seperti masalah mobilitas atau kelelahan kronis, mungkin mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, yang dapat menyebabkan penolakan terhadap perawatan diri dan isolasi sosial.

Keterbatasan fisik membuat lansia mengalami isolasi sosial..
(Sumber: foto canva.com)

Trauma Emosional atau Stres: 
Pengalaman traumatis, seperti kehilangan orang yang dicintai, pensiun, atau perubahan besar dalam kehidupan, dapat menyebabkan seseorang mengalami sindrom Diogenes sebagai mekanisme koping yang tidak sehat.

Kekurangan Dukungan Sosial: 
Kurangnya dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas dapat meningkatkan risiko isolasi sosial dan penolakan terhadap bantuan yang ditawarkan.

Keterbatasan Finansial:
Keterbatasan finansial atau masalah keuangan dapat menghalangi akses seseorang terhadap perawatan diri yang baik atau memperburuk kondisi lingkungan tempat tinggal mereka.

Kebiasaan Hidup yang Tidak Sehat: 
Gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurangnya aktivitas fisik, konsumsi alkohol yang berlebihan, atau kebiasaan merokok, dapat berkontribusi pada sindrom Diogenes dan masalah kesehatan mental lainnya.

Kurangnya Pengetahuan atau Pendidikan tentang Kesehatan: 
Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga kebersihan dan perawatan diri pada usia lanjut dapat menyebabkan seseorang mengabaikan aspek-aspek ini dari kesehatan mereka.

Ketidakmampuan untuk Menyadari Masalahnya Sendiri: 
Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan menyadari atau menerima bahwa mereka memiliki masalah perawatan diri atau lingkungan yang tidak sehat, yang membuat sulit untuk mencari bantuan atau perubahan.

Faktor-faktor ini dapat berinteraksi satu sama lain dan memperburuk sindrom Diogenes pada lansia. Penting bagi individu dan keluarga mereka untuk menyadari faktor-faktor risiko ini dan mencari bantuan profesional jika diperlukan.

       Mencegah sindrom Diogenes pada lansia melibatkan beberapa pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, serta mempromosikan kemandirian dan kualitas hidup yang baik. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah sindrom Diogenes pada lansia:

Pendidikan dan Kesadaran: 
Penting untuk memberikan pendidikan dan informasi kepada lansia dan keluarganya tentang pentingnya merawat diri, menjaga kebersihan, dan memperhatikan lingkungan tempat tinggal. Kesadaran akan risiko sindrom Diogenes dan tanda-tanda peringatannya penting untuk mencegahnya.

Kesehatan Mental dan Emosional:
Membantu lansia dalam menjaga kesehatan mental dan emosional mereka adalah kunci. Ini bisa mencakup memfasilitasi dukungan sosial, aktivitas sosial yang terstruktur, dan memberikan dukungan emosional selama periode transisi atau stres.

Perawatan Kesehatan Rutin: 
Penting untuk memastikan bahwa lansia menerima perawatan kesehatan rutin yang komprehensif, termasuk pemeriksaan fisik dan kesehatan mental. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini dan memberikan intervensi yang tepat.

Perawatan rutin penting untuk menjaga kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Kemandirian dan Keterlibatan: 
Mendorong kemandirian sebanyak mungkin adalah penting, tetapi juga penting untuk menawarkan bantuan dan dukungan yang sesuai ketika diperlukan. Melibatkan lansia dalam kegiatan sehari-hari dan memberikan tanggung jawab yang sesuai dapat membantu menjaga kemandirian mereka.

Pengelolaan Stres dan Trauma: 
Mengenali dan mengelola stres serta trauma emosional pada lansia sangat penting. Ini bisa melibatkan bantuan dari profesional kesehatan mental atau dukungan kelompok untuk membantu mereka menghadapi perubahan hidup atau pengalaman traumatis.

Lingkungan yang Aman dan Dukungan Keluarga: 
Menciptakan lingkungan tempat tinggal yang aman, bersih, dan terorganisir adalah kunci. Dukungan dari keluarga, teman, atau tetangga juga dapat membantu mencegah isolasi sosial dan memberikan bantuan jika diperlukan.

Aktivitas dan Hobi:
Mendorong lansia untuk tetap aktif fisik dan mental dengan terlibat dalam kegiatan dan hobi yang mereka nikmati dapat membantu menjaga kesejahteraan secara keseluruhan.

Edukasi tentang Pengelolaan Keuangan: 
Jika masalah keuangan menjadi faktor risiko, memberikan edukasi tentang pengelolaan keuangan yang baik dan membantu lansia dalam merencanakan keuangan mereka dapat membantu mengurangi stres dan risiko sindrom Diogenes.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik, jadi pendekatan pencegahan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi spesifik masing-masing individu. Dukungan keluarga dan intervensi profesional dapat sangat membantu dalam mencegah atau mengelola sindrom Diogenes pada lansia.

       Sindrom Diogenes pada lansia seringkali merupakan hasil dari berbagai faktor, termasuk masalah kesehatan mental, fisik, dan sosial. Pengobatan sindrom Diogenes pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik dan seringkali memerlukan campur tangan dari berbagai profesional kesehatan. 

Beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengobati sindrom Diogenes pada lansia:

Evaluasi Medis dan Psikologis: 
Langkah pertama adalah melakukan evaluasi medis dan psikologis menyeluruh oleh profesional kesehatan. Ini akan membantu dalam menilai kondisi fisik dan mental individu, serta mengidentifikasi masalah kesehatan yang mendasarinya.

Perawatan Kesehatan Mental: 
Jika sindrom Diogenes terkait dengan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian, perawatan kesehatan mental yang sesuai diperlukan. Ini bisa termasuk terapi bicara (psikoterapi), obat-obatan, atau kombinasi keduanya.

Perawatan Medis dan Rehabilitasi Fisik: 
Jika ada masalah kesehatan fisik yang mendasari, seperti keterbatasan mobilitas atau masalah kesehatan kronis, perawatan medis dan rehabilitasi fisik mungkin diperlukan. Ini bisa melibatkan terapi fisik, obat-obatan, atau intervensi medis lainnya.

Manajemen Kebutuhan Keseharian: 
Penting untuk membantu individu dalam memenuhi kebutuhan keseharian mereka, termasuk makanan, kebersihan pribadi, dan perawatan kesehatan. Ini bisa melibatkan bantuan dari anggota keluarga, perawat rumah, atau asisten pribadi.

Perubahan Lingkungan: 
Mengubah atau merapikan lingkungan tempat tinggal individu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini bisa melibatkan membersihkan rumah, menghilangkan barang-barang tidak berguna, dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

Lingkungan yang baik meningkatkan kesejahteraan lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Pendidikan dan Dukungan: 
Memberikan pendidikan tentang pentingnya merawat diri dan kesehatan pribadi serta memberikan dukungan emosional dan praktis dapat membantu individu dalam mengatasi sindrom Diogenes. Ini bisa melibatkan konseling, dukungan kelompok, atau bimbingan dari profesional kesehatan.

Pengawasan dan Pemantauan: 
Penting untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terus-menerus terhadap individu yang mengalami sindrom Diogenes untuk memastikan bahwa mereka menerima perawatan dan dukungan yang sesuai. Ini bisa melibatkan kerja sama dengan anggota keluarga, perawat, atau tenaga medis.

 Pengobatan sindrom Diogenes pada lansia seringkali merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang individualistik. Setiap individu akan memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik, dan pendekatan pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing individu. Dukungan keluarga dan kerja sama dengan berbagai profesional kesehatan juga sangat penting dalam proses pengobatan.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3553571 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2656295/

https://www.rightathome.net/palm-beach/blog/diogenes-syndrome-in-seniors

https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/diogenes-syndrome

https://www.cambridge.org/core/journals/bjpsych-open/article/diogenes-syndrome-in-dementia-a-case-report/11B794632EDC1B17819854134CF3375B

https://www.medicalnewstoday.com/articles/314595


Tuesday, 27 February 2024

Strategi Coping pada Lansia untuk Mengelola Stres

        Salah satu kunci untuk menjaga kesejahteraan di masa penuaan adalah penggunaan strategi coping yang efektif yang memfasilitasi adaptasi optimal lansia pada tahap ini. Mengetahui strategi mana yang dapat meningkatkan proses ini dan mengarah pada peningkatan kepuasan hidup. 

Coping didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang dimobilisasi untuk mengelola situasi stres internal dan eksternal. Menetapkan beberapa pedoman psikologis dan pribadi untuk keberhasilan penuaan dan merupakan indikator penting dari berfungsinya kesehatan mental secara positif, yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan kesehatan di negara-negara maju.

Coping adalah pikiran dan perilaku untuk mengelola situasi stres.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Lansia harus menghadapi berbagai perubahan selama penuaan yang dapat diartikan sebagai stres, dan penyesuaian yang baik terhadap perubahan ini menentukan apakah lansia dapat beradaptasi secara optimal terhadap penuaan, sehingga memperoleh kepuasan. Jenis strategi penanggulangan yang diaktifkan dalam situasi berbeda mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mental 

Coping stres pada lansia merujuk pada strategi atau cara-cara yang digunakan oleh orang lanjut usia (lansia) untuk menghadapi atau menanggulangi stres dan tekanan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Stres pada lansia bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan fisik dan kesehatan, kehilangan sosial, perubahan lingkungan, atau masalah keuangan.

Lansia harus memahami coping strategi stres.
(Sumber: foto canva.com)

Coping stres pada lansia melibatkan berbagai strategi, seperti:

Coping problem-focused: 
Melibatkan upaya untuk mengatasi masalah yang menjadi sumber stres, misalnya dengan mencari solusi praktis atau mencari bantuan dari orang lain.

Coping emotion-focused:
Melibatkan upaya untuk mengelola atau mengubah respons emosional terhadap situasi stres, misalnya dengan menerima situasi tersebut atau menggunakan teknik relaksasi.

Coping meaning-focused:
Melibatkan upaya untuk mencari makna atau pemahaman yang lebih dalam terhadap situasi stres, misalnya dengan memandang situasi tersebut sebagai suatu pelajaran atau pengalaman pertumbuhan pribadi.

Coping sosial: 
Melibatkan dukungan dari orang lain, baik dalam bentuk dukungan emosional maupun dukungan praktis, seperti bantuan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari.

Coping religius atau spiritual:
Melibatkan keyakinan dan praktik keagamaan atau spiritual untuk mengatasi stres, misalnya dengan berdoa, meditasi, atau mengikuti praktik keagamaan.

Strategi coping yang efektif bagi setiap individu lansia dapat bervariasi tergantung pada preferensi pribadi, kepercayaan, dan kondisi kesehatan mereka. Mendorong lansia untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping yang sesuai dapat membantu mereka menghadapi stres dengan lebih efektif dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Penyakit apa pun, baik fisik maupun mental, dapat memerlukan teknik coping. 

Beberapa penyakit yang sering kali memerlukan strategi coping yang efektif meliputi:

Penyakit Kronis:
Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, arthritis, atau penyakit autoimun memerlukan coping untuk mengelola gejala, menghadapi perubahan gaya hidup yang diperlukan, dan menjaga kualitas hidup yang optimal.

Kanker:
Diagnosis kanker dan perawatan yang terkait dengannya, seperti kemoterapi atau radioterapi, dapat sangat menantang secara emosional dan fisik. Coping dapat membantu pasien dan keluarganya menghadapi stres, mengelola efek samping, dan menjaga harapan dan kualitas hidup yang tinggi selama perjalanan pengobatan.

Gangguan Mental: 
Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, atau gangguan suasana hati memerlukan strategi coping untuk mengelola gejala, menghadapi stigmatisasi, dan mempertahankan kesehatan mental yang baik.

Penyakit Neurologis:
Penyakit neurologis seperti Alzheimer, Parkinson, atau multiple sclerosis (MS) dapat memerlukan coping untuk mengelola tantangan kognitif, fisik, dan emosional yang terkait dengan kondisi tersebut.

Penyakit Menular dan Pandemik:
Penyakit menular seperti influenza, HIV/AIDS, atau pandemi seperti COVID-19 dapat memerlukan coping untuk mengelola ketidakpastian, isolasi sosial, dan dampak fisik dan mental dari penyakit tersebut.

Penyakit yang Berkaitan dengan Gaya Hidup:
Penyakit yang terkait dengan gaya hidup seperti obesitas, penyakit jantung, atau diabetes tipe 2 memerlukan coping untuk mengubah perilaku dan kebiasaan hidup agar lebih sehat.

Penyakit yang terkait gaya hidup memerlukan coping untuk mengubah perilaku.
(Sumber: foto canva.com)

Penyakit yang Menyebabkan Disabilitas atau Keterbatasan:
Penyakit atau cedera yang menyebabkan disabilitas atau keterbatasan fisik memerlukan coping untuk mengatasi tantangan fisik, emosional, dan sosial yang terkait dengan kondisi tersebut.

Dalam semua kasus, teknik coping yang efektif dapat membantu individu dan keluarganya mengatasi tantangan yang terkait dengan penyakit, mengelola stres, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

        Menggunakan teknik coping pada lansia memerlukan pendekatan yang sensitif dan sesuai dengan kebutuhan dan preferensi individu. 

Beberapa langkah umum yang dapat membantu dalam menggunakan coping pada lansia:

Pemahaman tentang Kebutuhan Individu: 
Setiap lansia memiliki kebutuhan dan tantangan yang unik. Penting untuk memahami secara individu bagaimana mereka merespons stres, apa yang membuat mereka merasa tenang, dan bagaimana mereka ingin menghadapi masalah yang muncul.

Komunikasi Terbuka: 
Dukungan sosial dan dukungan dari anggota keluarga atau perawat sangat penting. Menyediakan saluran komunikasi terbuka di mana lansia merasa nyaman berbicara tentang perasaan mereka, tantangan yang mereka hadapi, dan cara mereka ingin ditolong adalah kunci.

Pilihan Strategi Coping yang Sesuai: 
Ada berbagai teknik coping yang dapat digunakan, termasuk tetapi tidak terbatas pada, teknik relaksasi, meditasi, latihan pernapasan, olahraga ringan, terapi bicara, atau mengikuti kegiatan yang memberikan kepuasan. Penting untuk menyesuaikan pilihan teknik coping dengan minat, kemampuan fisik, dan preferensi lansia.

Promosi Kemandirian: 
Mengajarkan lansia untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping mereka sendiri adalah penting untuk meningkatkan rasa kemandirian dan kontrol atas situasi yang mereka hadapi. Ini juga membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam mengatasi stres dan tantangan.

Ajarkan lansia mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping sendiri.
(Sumber: foto canva.com)
 
Jadwal dan Rutinitas yang Teratur:
Menciptakan rutinitas harian yang terstruktur dan konsisten dapat membantu lansia merasa lebih terkendali dan terorganisir, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan.

Dukungan dari Tenaga Kesehatan Profesional: 
Terapis, konselor, atau dokter dapat memberikan bimbingan dan dukungan tambahan dalam mengembangkan dan menerapkan strategi coping yang efektif. Mereka juga dapat membantu dalam mengelola perubahan fisik atau kesehatan mental yang mungkin terjadi pada lansia.

Mendorong Kegiatan Sosial dan Keterlibatan: 
Aktivitas sosial dan interaksi dengan orang lain dapat menjadi sumber dukungan emosional dan distraksi yang baik dari stres. Mendorong lansia untuk tetap terlibat dalam kegiatan sosial, seperti klub, kelompok gereja, atau kelas seni, dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Evaluasi dan Penyesuaian:
Penting untuk secara teratur mengevaluasi efektivitas teknik coping yang digunakan dan siap untuk menyesuaikan strategi jika diperlukan sesuai dengan perubahan kebutuhan atau situasi lansia.

Dengan memperhatikan kebutuhan individu dan menggunakan pendekatan yang holistik, dapat dibantu lansia untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari mereka dengan lebih baik menggunakan teknik coping yang sesuai.




Sumber:

https://www.goodtherapy.org/blog/coping-mechanisms/

https://www.verywellhealth.com/coping-mechanisms-5272135

https://psychologycompass.com/blog/coping-with-stress/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1948895/

https://bluemoonseniorcounseling.com/specialties/development-of-coping-skills/

Monday, 26 February 2024

5 Tahapan Penuaan Lansia, Apakah Anda dapat Melalui.

        Penuaan adalah proses yang panjang dan rumit, dan kebutuhan seseorang yang menua dapat berubah kapan saja. Dalam beberapa kasus, lansia relatif stabil dalam kesehatan fisik dan kognitif selama bertahun-tahun. Namun, di lain waktu, kesehatan mereka mungkin menurun drastis.

Theory of Gerotranscendence yang disusun oleh Tornstam adalah teori yang menggambarkan perjalanan psikologis yang mungkin dialami oleh sebagian lansia selama proses penuaan. Proses menuju gerotranscendence melibatkan perkembangan di mana individu secara bertahap mengubah konsepsi dasar mereka, sehingga mengakibatkan pergeseran definisi mereka tentang realitas dari pandangan dunia yang materialistis dan rasional ke pandangan yang lebih kosmis dan transendental, yang biasanya disertai dengan peningkatan kepuasan hidup.

Penuaan adalah proses panjang dan rumit, Tornstam membagi 5 tahapan.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Istilah gerotranscendence dipilih oleh Tornstam karena banyak perubahan terkait, krisis atau karakteristik perkembangan yang dijelaskan oleh ilmuwan dan ahli teori lain melibatkan berbagai cara di mana orang lanjut usia menerobos batas-batas atau melampaui krisis perkembangan ketika berpindah ke tahap baru dalam kehidupan. Dengan demikian, istilah gerotranscendence digunakan dalam pengertian sederhana ini, bukan dalam pengertian religius atau metafisik ( Tornstam, 2005 ). Istilah gerotranscendence digunakan untuk menggambarkan proses perkembangan dan tahap perkembangan akhir.

Tornstam (1997) mengusulkan gerotranscendence sebagai sebuah langkah perkembangan, di mana seseorang mengubah “perspektif mereka dari pandangan dunia yang materialistis dan pragmatis ke pandangan yang lebih transenden, biasanya disertai dengan peningkatan kepuasan hidup.

Berikut penjelasan singkat mengenai setiap tahapan:

Swasembada (Self-Sufficiency): 
Pada tahap ini, individu cenderung lebih fokus pada kebutuhan dan kegiatan pribadi mereka sendiri. Mereka berusaha untuk mempertahankan otonomi dan independensi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ini sering kali terjadi pada awal penuaan ketika kesehatan fisik masih relatif baik dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sendiri masih ada. Mereka hidup mandiri dan dapat menyelesaikan aktivitas sehari-hari dengan mudah, seperti  membersihkan rumah, dan mandi tidak menimbulkan kesulitan atau masalah keamanan yang serius.

Saling Ketergantungan (Interdependence):
Pada tahap ini, individu mulai memperhatikan pentingnya keterhubungan dengan orang lain dalam kehidupan mereka. Mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat mencapai segala sesuatu sendiri dan mulai mengandalkan dukungan dari orang lain, baik itu anggota keluarga, teman, atau masyarakat. Mereka membutuhkan perhatian dari keluarga atau teman. 

Lansia saling ketergantungan dengan keluarga, teman dan masyarakat.
(Sumber: foto canva.com)

Ketergantungan (Dependency):
Pada tahap ini, individu mengalami peningkatan ketergantungan pada orang lain dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Ini bisa disebabkan oleh penurunan kesehatan fisik atau mental yang signifikan yang membatasi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan eksternal. 
Lansia sudah tidak bisa lagi hidup sendiri dengan aman. Penurunan kognitif, masalah kesehatan fisik, atau kombinasi keduanya menimbulkan risiko keselamatan langsung atau menghalangi mereka menyelesaikan aktivitas sehari-hari.

Manajemen Krisis (Crisis Management): 
Pada tahap ini, individu menghadapi krisis atau tantangan besar yang terkait dengan penuaan, seperti masalah kesehatan yang serius, kehilangan orang yang dicintai, atau masalah keuangan. Mereka perlu mengatasi krisis ini dengan mengandalkan sumber daya internal dan eksternal untuk mencapai penyesuaian yang diperlukan. Tahap ini membutuhkan dukungan medis segera. Lansia harus tinggal di fasilitas perawatan terampil atau menerima perawatan profesional ekstensif di rumah. Terkadang, perawatan ini diperlukan karena penyakit fisik. Di lain waktu, lansia memerlukan perawatan memori karena Alzheimer atau demensia.

Akhir Kehidupan (End of Life):
Tahap ini adalah tahap akhir dari kehidupan, di mana individu menghadapi kematian. Pada tahap ini, fokus individu mungkin bergeser pada refleksi terhadap hidup yang telah mereka jalani, menerima kematian sebagai bagian alami dari siklus kehidupan, dan mencari makna dalam akhir kehidupan mereka. Beberapa lansia memilih untuk berhenti menerima perawatan medis dan memasuki perawatan rumah sakit, dan yang lainnya ingin terus menerima layanan yang sama. Namun secara keseluruhan, tujuan tahap ini adalah agar lansia merasa senyaman mungkin. Menerima akhir kehidupan bisa jadi sangat sulit bagi individu dan keluarga mereka. Hal ini sering kali merupakan pengalaman spiritual, namun sikap setiap orang terhadap proses tersebut berbeda-beda. 

Lansia refleksi terhadap hidup, menerima kematian bagian alami dari siklus kehidupan.
(Sumber: foto canva.com)

Beberapa lansia mungkin mengalami tahapan-tahapan ini secara bertahap seiring waktu, sementara yang lain mungkin mengalami sebagian atau bahkan tidak mengalami sama sekali. Faktor-faktor seperti kepribadian, pengalaman hidup, kesehatan fisik dan mental, dukungan sosial, dan lingkungan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons proses penuaan.

Beberapa ciri yang mungkin dimiliki oleh lansia yang mengalami tahapan-tahapan tersebut:

Peningkatan refleksi dan introspeksi: 
Lansia yang mengalami tahapan Gerotranscendence mungkin menunjukkan peningkatan dalam refleksi diri dan introspeksi. Mereka mungkin lebih sering memikirkan makna hidup, tujuan mereka, dan arti eksistensial.

Peningkatan rasa keterhubungan:
Mereka mungkin merasa lebih terhubung dengan alam semesta dan sesama manusia secara keseluruhan. Mereka dapat merasa bahwa ada kesadaran kolektif yang lebih besar di luar diri mereka sendiri.

Transendensi waktu dan ruang: 
Lansia pada tahap ini mungkin mengalami perasaan yang lebih besar akan kedekatan dengan masa lalu dan mungkin juga melihat masa depan dengan perspektif yang lebih luas. Mereka mungkin tidak lagi terlalu terikat pada keterbatasan waktu dan ruang yang konvensional.

Perubahan nilai dan prioritas: 
Mereka mungkin mengalami perubahan dalam nilai-nilai dan prioritas mereka, dengan mengutamakan hubungan yang bermakna, pertumbuhan pribadi, dan pencarian makna hidup daripada pencapaian material atau prestasi.

Penerimaan akan kematian: 
Lansia yang mengalami tahapan Gerotranscendence mungkin lebih mampu menerima dan menghadapi kenyataan kematian dengan damai. Mereka mungkin melihat kematian sebagai bagian alami dari siklus kehidupan dan mengalami kedamaian dalam mempersiapkan diri untuk tahap akhir kehidupan mereka.

Lansia lebih mampu menerima tahapan akhir kehidupan.
(Sumber: foto canva.com)

Meskipun Theory of Gerotranscendence menyajikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami perubahan psikologis yang mungkin terjadi pada sebagian lansia, tidak semua individu akan mengalami setiap tahapannya dengan cara yang sama atau bahkan tidak  mengalami tahapan tersebut sama sekali, karena langsung pada tahap akhir kehidupan (End of Life).




Sumber: