Thursday, 29 February 2024

Coping Religius dan Spiritual pada Lansia

        Beberapa penelitian menemukan bahwa lansia yang sangat religius dan menggunakan mekanisme penanggulangan yang religius memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi dan kecemasan serta memiliki rasa kesejahteraan psikologis yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak . Bahkan persepsi tentang disabilitas tampaknya berubah seiring dengan tingkat religiusitas mereka.

Lansia yang religius dan menggunakan coping religius tidak depresi.
(Sumber: foto paguyuban 209)

Coping religius dan spiritual pada lansia merujuk pada cara-cara tertentu yang digunakan oleh orang tua atau lansia untuk mengatasi stres, kesulitan, atau tantangan dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan sumber daya dan keyakinan spiritual atau religius mereka. 


Berikut adalah pengertian masing-masing dari kedua konsep tersebut:

Coping Religius:
 
Coping religius melibatkan penggunaan keyakinan, nilai-nilai, dan praktik-praktik keagamaan dalam menghadapi situasi-situasi yang menantang dalam kehidupan. Ini bisa mencakup doa, meditasi, ritual keagamaan, atau keterlibatan dalam kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk menenangkan pikiran, mencari ketenangan batin, atau menemukan makna dalam pengalaman hidup. Coping religius sering kali berfungsi sebagai sumber kekuatan dan ketenangan bagi individu dalam menghadapi stres dan kesulitan.

Coping Spiritual: 
Coping spiritual melibatkan pencarian dan pengalaman individu terhadap makna, tujuan hidup, dan koneksi dengan yang lebih besar atau transenden. Ini bisa mencakup refleksi diri, pencarian makna dalam penderitaan, atau penemuan kekuatan dalam keyakinan akan keberadaan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Coping spiritual juga dapat melibatkan pencarian kepuasan dalam hubungan interpersonal, pengalaman alam, atau ekspresi seni yang mendalam.

Bagi lansia, coping religius dan spiritual sering kali menjadi sumber daya yang signifikan dalam menghadapi perubahan fisik, sosial, dan emosional yang terkait dengan penuaan. Ini bisa membantu mereka dalam mencari makna dalam pengalaman hidup mereka, menemukan ketenangan dalam menghadapi keterbatasan fisik atau sosial, serta merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dengan demikian, coping religius dan spiritual dapat menjadi aspek penting dalam perawatan holistik bagi lansia.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan coping religius dan spiritual pada lansia:

Keyakinan dan Nilai-Nilai Agama: 
Lansia yang memiliki keyakinan agama yang kuat cenderung menggunakan coping religius dan spiritual sebagai cara untuk menghadapi stres dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Keyakinan dan nilai-nilai agama ini menjadi sumber kekuatan dan ketenangan bagi mereka.

Pengalaman Hidup dan Pendidikan Agama: 
Pengalaman hidup dan tingkat pendidikan agama juga mempengaruhi penggunaan coping religius dan spiritual. Lansia yang telah terlibat dalam praktik keagamaan sepanjang hidup mereka atau yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ajaran agama cenderung lebih mungkin menggunakan coping religius dan spiritual.

Pendidikan agama mempengaruhi penggunaan coping religius.
(Sumber: foto canva.com)
Dukungan Sosial dari Komunitas Keagamaan:
Dukungan sosial dari komunitas keagamaan juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi penggunaan coping religius dan spiritual pada lansia. Lansia yang terlibat secara aktif dalam komunitas keagamaan mereka mungkin merasa lebih didukung dan terhubung, yang dapat memperkuat penggunaan coping religius dan spiritual.

Keterbatasan Fisik dan Kesehatan: 
Lansia yang mengalami keterbatasan fisik atau masalah kesehatan tertentu mungkin cenderung mencari dukungan dalam coping religius dan spiritual. Praktik-praktik seperti meditasi, doa, atau refleksi spiritual dapat membantu mereka mengatasi rasa sakit, kelelahan, atau keterbatasan fisik lainnya.

Perubahan dalam Kehidupan Sosial:
Perubahan dalam kehidupan sosial, seperti pensiun, kehilangan pasangan hidup, atau terpisah dari keluarga, dapat mendorong lansia untuk mencari makna dan ketenangan dalam coping religius dan spiritual.

Penerimaan akan Kematian dan Ketidakpastian:
Lansia yang semakin menyadari keterbatasan usia dan kematian juga mungkin menggunakan coping religius dan spiritual sebagai cara untuk mencari makna dalam kehidupan mereka dan menghadapi ketidakpastian yang terkait dengan masa depan.

Faktor-faktor ini secara bersama-sama mempengaruhi bagaimana lansia menggunakan coping religius dan spiritual sebagai cara untuk menghadapi tantangan dan stres dalam kehidupan mereka.

       Tanda-tanda bahwa seorang lansia membutuhkan coping religius dan spiritual dapat bervariasi tergantung pada individu dan situasi mereka. 

Berapa ciri umum yang menunjukkan bahwa seorang lansia mungkin membutuhkan coping religius dan spiritual meliputi:

Peningkatan Stres atau Kecemasan:
Lansia yang mengalami peningkatan stres atau kecemasan dalam kehidupan sehari-hari mungkin mencari dukungan dalam praktik-praktik spiritual atau religius untuk menenangkan pikiran dan mencari ketenangan batin.

Lansia yang mengalami stres mencari dukungan praktik spiritual.
(Sumber: foto canva.com)

Krisis Identitas atau Makna:
Lansia yang menghadapi krisis identitas atau mencari makna dalam kehidupan mereka pada tahap-tahap akhir kehidupan mungkin merasa tertarik pada pencarian spiritual atau religius untuk menemukan arti yang lebih dalam.

Pengalaman Kehilangan atau Kesedihan:
Lansia yang mengalami kehilangan signifikan, seperti kematian pasangan hidup atau kehilangan kemampuan fisik atau mental, mungkin mencari dukungan dalam iman dan keyakinan spiritual mereka.

Keterbatasan Fisik atau Kesehatan:
Lansia yang mengalami keterbatasan fisik atau masalah kesehatan tertentu mungkin mencari dukungan dalam praktik-praktik spiritual atau religius untuk mengatasi rasa sakit, kelelahan, atau ketidaknyamanan fisik.

Pertanyaan tentang Kematian dan Kehidupan Setelahnya: 
Lansia yang mulai mempertanyakan makna hidup, tujuan, dan eksistensi mereka mungkin mencari jawaban dalam keyakinan spiritual atau religius mereka tentang kematian dan kehidupan setelahnya.

Kesepian atau Isolasi Sosial: 
Lansia yang merasa kesepian atau terisolasi secara sosial mungkin mencari dukungan dalam komunitas keagamaan atau praktik-praktik spiritual untuk merasa terhubung dengan orang lain dan merasa didukung.

Perubahan Dalam Kehidupan Sosial atau Lingkungan: 
Perubahan dalam kehidupan sosial atau lingkungan, seperti pensiun, pindah tempat tinggal, atau perubahan besar dalam rutinitas sehari-hari, dapat mendorong lansia untuk mencari dukungan dalam keyakinan spiritual atau religius mereka.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik dalam hal spiritualitas dan religiusitas mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan menghormati kebutuhan individu saat mencari dukungan dalam coping religius dan spiritual.

        Cara menggunakan coping religius dan spiritual pada lansia dapat bervariasi tergantung pada preferensi dan keyakinan individu.

Beberapa cara umum yang dapat membantu lansia menggunakan coping religius dan spiritual:

Doa dan Meditasi: 
Lansia dapat menggunakan doa atau meditasi sebagai cara untuk mencari ketenangan batin, merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, dan menenangkan pikiran mereka dalam menghadapi stres atau kesulitan.

Lansia mencari ketenangan batin dengan berdoa.
(Sumber: canva.com)
Partisipasi dalam Kegiatan Keagamaan:
Lansia dapat terlibat dalam kegiatan keagamaan seperti ibadah, perayaan keagamaan, atau kelompok doa sebagai cara untuk merasa terhubung dengan komunitas keagamaan mereka dan mendapatkan dukungan sosial dari sesama umat.

Pembacaan atau Studi Teks Keagamaan:
Membaca atau mempelajari teks-teks keagamaan dapat membantu lansia menemukan ketenangan batin, mendapatkan wawasan tentang makna hidup, dan menemukan dukungan dalam keyakinan spiritual mereka.

Mendiskusikan Isu-Isu Spiritual dengan Orang Lain:
Lansia dapat mencari dukungan dalam berbicara dengan anggota komunitas keagamaan mereka, teman-teman, atau anggota keluarga tentang isu-isu spiritual atau religius yang mereka hadapi.

Mengembangkan Rutinitas Spiritual: 
Membuat rutinitas spiritual seperti waktu harian untuk berdoa, meditasi, atau refleksi spiritual dapat membantu lansia menjaga kesehatan mental dan emosional mereka.

Mengikuti Konseling atau Pendampingan Spiritual: 
Lansia dapat mencari bimbingan dari seorang konselor atau pendeta/pemimpin agama untuk membantu mereka menjelajahi masalah spiritual atau religius yang mungkin mereka hadapi dalam proses penuaan.

Menyumbang atau Melayani Komunitas: 
Melakukan amal atau melayani komunitas dalam kerangka keagamaan mereka dapat menjadi cara bagi lansia untuk merasa terhubung dengan orang lain dan menemukan makna dalam pengalaman hidup mereka.

Pengembangan Koneksi Emosional: 
Lansia dapat mencari dukungan dalam membangun dan memelihara hubungan emosional dengan sesama umat atau keluarga yang membagikan keyakinan spiritual mereka.

Penggunaan coping religius dan spiritual harus disesuaikan dengan preferensi dan keyakinan individu masing-masing. Selain itu, lansia juga dapat mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau agama jika mereka merasa perlu bantuan tambahan dalam mengatasi stres atau kesulitan yang mereka hadapi.




Sumber:

https://www.snydervillage.com/spiritual-needs-older-adults/

https://www.msdmanuals.com/professional/geriatrics/social-issues-in-older-adults/religion-and-spirituality-in-older-adults

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36991287/

https://www.researchgate.net/publication/286444901_Spiritual_Religious_Coping_is_Associated_with_Quality_of_Life_in_Institutionalized_Older_Adults

https://www.intechopen.com/chapters/40016

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0197457217301520

Wednesday, 28 February 2024

Sindrom Diogenes pada Lansia, Rumah tidak Terawat.

       Penimbunan sampah dan barang-barang yang tampaknya acak secara kompulsif adalah ciri utama  Sindrom Diogenes, yang terutama terjadi pada orang lanjut usia dan berhubungan dengan demensia progresif. Ciri-ciri lainnya termasuk pengabaian diri yang ekstrim, sikap apatis, penarikan diri dari pergaulan, dan kurangnya rasa malu.

Sindrom ini merupakan istilah yang keliru, karena namanya diambil dari nama filsuf Yunani Diogenes dari Sinope. Diogenes adalah seorang Sinis yang, menurut filosofi yang ia bantu temukan, menolak keinginan akan kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, memilih untuk hidup bebas dari semua harta benda. Dia menemukan kebajikan dalam kemiskinan, tidur di toples keramik besar, dan mencari interaksi.

Lansia perlu mewaspadai sindrom Diogenes.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Sindrom Diogenes adalah suatu kondisi psikologis yang biasanya ditemukan pada lansia di mana individu tersebut menunjukkan perilaku yang ekstrim dalam penolakan terhadap perawatan diri dan  kebersihan, serta isolasi sosial yang signifikan. Orang yang mengalami sindrom Diogenes sering kali tinggal dalam kondisi lingkungan yang sangat tidak sehat atau kumuh, menumpuk sampah atau barang-barang yang tidak berguna di sekitar mereka, dan sering kali menolak bantuan dari orang lain.

Sindrom Diogenes sering dikaitkan dengan masalah kesehatan mental seperti gangguan kepribadian, demensia, atau depresi pada lansia. Perilaku ini dapat sangat merugikan bagi individu yang mengalaminya, karena dapat menyebabkan risiko kesehatan fisik yang serius akibat kekurangan kebersihan, dan juga dapat menyebabkan isolasi sosial yang berdampak negatif pada kualitas hidup mereka.

Sindrom Diogenes bukanlah diagnosa medis resmi, tetapi lebih merupakan deskripsi perilaku yang sangat mengganggu dan memerlukan intervensi profesional, termasuk intervensi medis dan psikologis, untuk membantu individu yang terpengaruh.

Beberapa ciri khas Sindrom Diogenes pada lansia, yang meliputi:

Penolakan Terhadap Perawatan Diri: 
Individu dengan sindrom Diogenes cenderung menolak perawatan diri yang baik, termasuk mandi, mengganti pakaian, atau menjaga kebersihan pribadi lainnya. Mereka mungkin terlihat kumuh dan tidak terurus.

Rumah Tidak Terawat: 
Lingkungan tempat tinggal individu yang mengalami sindrom Diogenes sering kali sangat tidak terawat. Rumah mereka mungkin penuh dengan sampah, barang-barang tidak berguna, atau benda-benda yang menumpuk, menyebabkan kondisi yang tidak higienis.

Lansia yang sindrom Diogenes lingkungannya jorok dan kotor.
(Sumber: foto canva.com)
Isolasi Sosial: 
Mereka cenderung menghindari kontak sosial dengan orang lain dan sering kali hidup dalam isolasi yang ekstrem. Mereka mungkin menolak bantuan dari keluarga, teman, atau tenaga medis.

Kegagalan dalam Merawat Kesehatan: 
Individu dengan sindrom Diogenes sering kali tidak memperhatikan kebutuhan kesehatan mereka sendiri, seperti minum obat secara teratur atau menjalani pemeriksaan medis yang diperlukan.

Perilaku Paranoia atau Keengganan:
Mereka mungkin menunjukkan perilaku paranoid terhadap orang lain atau keengganan untuk menerima bantuan, bahkan ketika mereka membutuhkannya.

Lansia enggan menerima bantuan dan perilaku paranoid.
(Sumber: foto canva.com)

Kehilangan Keteraturan dalam Kehidupan Sehari-hari:
Mereka cenderung kehilangan struktur dan keteraturan dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti tidak memiliki jadwal yang tetap untuk makan atau tidur.

Pengumpulan Barang-Barang Tidak Berguna:
Individu mungkin cenderung mengumpulkan barang-barang yang tidak berguna atau tidak relevan, yang seringkali menumpuk dan menyebabkan kekacauan di sekitar mereka.

Pengabaian terhadap Kondisi Lingkungan yang Tidak Sehat: 
Mereka mungkin tidak sadar atau tidak peduli dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat di sekitar mereka, seperti kelembaban tinggi, jamur, atau kehadiran hama.

Ciri-ciri ini bisa bervariasi dari individu ke individu, dan tidak semua individu dengan sindrom Diogenes akan menunjukkan semua ciri ini. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap sindrom Diogenes pada lansia meliputi:

Masalah Kesehatan Mental: 
Gangguan kepribadian, depresi, kecemasan, atau demensia adalah faktor risiko yang signifikan. Gangguan kesehatan mental ini dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk merawat diri sendiri dan mengelola kehidupan sehari-hari dengan baik.

Keterbatasan Fisik: 
Lansia dengan keterbatasan fisik, seperti masalah mobilitas atau kelelahan kronis, mungkin mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, yang dapat menyebabkan penolakan terhadap perawatan diri dan isolasi sosial.

Keterbatasan fisik membuat lansia mengalami isolasi sosial..
(Sumber: foto canva.com)

Trauma Emosional atau Stres: 
Pengalaman traumatis, seperti kehilangan orang yang dicintai, pensiun, atau perubahan besar dalam kehidupan, dapat menyebabkan seseorang mengalami sindrom Diogenes sebagai mekanisme koping yang tidak sehat.

Kekurangan Dukungan Sosial: 
Kurangnya dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas dapat meningkatkan risiko isolasi sosial dan penolakan terhadap bantuan yang ditawarkan.

Keterbatasan Finansial:
Keterbatasan finansial atau masalah keuangan dapat menghalangi akses seseorang terhadap perawatan diri yang baik atau memperburuk kondisi lingkungan tempat tinggal mereka.

Kebiasaan Hidup yang Tidak Sehat: 
Gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurangnya aktivitas fisik, konsumsi alkohol yang berlebihan, atau kebiasaan merokok, dapat berkontribusi pada sindrom Diogenes dan masalah kesehatan mental lainnya.

Kurangnya Pengetahuan atau Pendidikan tentang Kesehatan: 
Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga kebersihan dan perawatan diri pada usia lanjut dapat menyebabkan seseorang mengabaikan aspek-aspek ini dari kesehatan mereka.

Ketidakmampuan untuk Menyadari Masalahnya Sendiri: 
Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan menyadari atau menerima bahwa mereka memiliki masalah perawatan diri atau lingkungan yang tidak sehat, yang membuat sulit untuk mencari bantuan atau perubahan.

Faktor-faktor ini dapat berinteraksi satu sama lain dan memperburuk sindrom Diogenes pada lansia. Penting bagi individu dan keluarga mereka untuk menyadari faktor-faktor risiko ini dan mencari bantuan profesional jika diperlukan.

       Mencegah sindrom Diogenes pada lansia melibatkan beberapa pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, serta mempromosikan kemandirian dan kualitas hidup yang baik. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah sindrom Diogenes pada lansia:

Pendidikan dan Kesadaran: 
Penting untuk memberikan pendidikan dan informasi kepada lansia dan keluarganya tentang pentingnya merawat diri, menjaga kebersihan, dan memperhatikan lingkungan tempat tinggal. Kesadaran akan risiko sindrom Diogenes dan tanda-tanda peringatannya penting untuk mencegahnya.

Kesehatan Mental dan Emosional:
Membantu lansia dalam menjaga kesehatan mental dan emosional mereka adalah kunci. Ini bisa mencakup memfasilitasi dukungan sosial, aktivitas sosial yang terstruktur, dan memberikan dukungan emosional selama periode transisi atau stres.

Perawatan Kesehatan Rutin: 
Penting untuk memastikan bahwa lansia menerima perawatan kesehatan rutin yang komprehensif, termasuk pemeriksaan fisik dan kesehatan mental. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini dan memberikan intervensi yang tepat.

Perawatan rutin penting untuk menjaga kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Kemandirian dan Keterlibatan: 
Mendorong kemandirian sebanyak mungkin adalah penting, tetapi juga penting untuk menawarkan bantuan dan dukungan yang sesuai ketika diperlukan. Melibatkan lansia dalam kegiatan sehari-hari dan memberikan tanggung jawab yang sesuai dapat membantu menjaga kemandirian mereka.

Pengelolaan Stres dan Trauma: 
Mengenali dan mengelola stres serta trauma emosional pada lansia sangat penting. Ini bisa melibatkan bantuan dari profesional kesehatan mental atau dukungan kelompok untuk membantu mereka menghadapi perubahan hidup atau pengalaman traumatis.

Lingkungan yang Aman dan Dukungan Keluarga: 
Menciptakan lingkungan tempat tinggal yang aman, bersih, dan terorganisir adalah kunci. Dukungan dari keluarga, teman, atau tetangga juga dapat membantu mencegah isolasi sosial dan memberikan bantuan jika diperlukan.

Aktivitas dan Hobi:
Mendorong lansia untuk tetap aktif fisik dan mental dengan terlibat dalam kegiatan dan hobi yang mereka nikmati dapat membantu menjaga kesejahteraan secara keseluruhan.

Edukasi tentang Pengelolaan Keuangan: 
Jika masalah keuangan menjadi faktor risiko, memberikan edukasi tentang pengelolaan keuangan yang baik dan membantu lansia dalam merencanakan keuangan mereka dapat membantu mengurangi stres dan risiko sindrom Diogenes.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik, jadi pendekatan pencegahan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi spesifik masing-masing individu. Dukungan keluarga dan intervensi profesional dapat sangat membantu dalam mencegah atau mengelola sindrom Diogenes pada lansia.

       Sindrom Diogenes pada lansia seringkali merupakan hasil dari berbagai faktor, termasuk masalah kesehatan mental, fisik, dan sosial. Pengobatan sindrom Diogenes pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik dan seringkali memerlukan campur tangan dari berbagai profesional kesehatan. 

Beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengobati sindrom Diogenes pada lansia:

Evaluasi Medis dan Psikologis: 
Langkah pertama adalah melakukan evaluasi medis dan psikologis menyeluruh oleh profesional kesehatan. Ini akan membantu dalam menilai kondisi fisik dan mental individu, serta mengidentifikasi masalah kesehatan yang mendasarinya.

Perawatan Kesehatan Mental: 
Jika sindrom Diogenes terkait dengan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian, perawatan kesehatan mental yang sesuai diperlukan. Ini bisa termasuk terapi bicara (psikoterapi), obat-obatan, atau kombinasi keduanya.

Perawatan Medis dan Rehabilitasi Fisik: 
Jika ada masalah kesehatan fisik yang mendasari, seperti keterbatasan mobilitas atau masalah kesehatan kronis, perawatan medis dan rehabilitasi fisik mungkin diperlukan. Ini bisa melibatkan terapi fisik, obat-obatan, atau intervensi medis lainnya.

Manajemen Kebutuhan Keseharian: 
Penting untuk membantu individu dalam memenuhi kebutuhan keseharian mereka, termasuk makanan, kebersihan pribadi, dan perawatan kesehatan. Ini bisa melibatkan bantuan dari anggota keluarga, perawat rumah, atau asisten pribadi.

Perubahan Lingkungan: 
Mengubah atau merapikan lingkungan tempat tinggal individu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini bisa melibatkan membersihkan rumah, menghilangkan barang-barang tidak berguna, dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

Lingkungan yang baik meningkatkan kesejahteraan lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Pendidikan dan Dukungan: 
Memberikan pendidikan tentang pentingnya merawat diri dan kesehatan pribadi serta memberikan dukungan emosional dan praktis dapat membantu individu dalam mengatasi sindrom Diogenes. Ini bisa melibatkan konseling, dukungan kelompok, atau bimbingan dari profesional kesehatan.

Pengawasan dan Pemantauan: 
Penting untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terus-menerus terhadap individu yang mengalami sindrom Diogenes untuk memastikan bahwa mereka menerima perawatan dan dukungan yang sesuai. Ini bisa melibatkan kerja sama dengan anggota keluarga, perawat, atau tenaga medis.

 Pengobatan sindrom Diogenes pada lansia seringkali merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang individualistik. Setiap individu akan memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik, dan pendekatan pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing individu. Dukungan keluarga dan kerja sama dengan berbagai profesional kesehatan juga sangat penting dalam proses pengobatan.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3553571 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2656295/

https://www.rightathome.net/palm-beach/blog/diogenes-syndrome-in-seniors

https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/diogenes-syndrome

https://www.cambridge.org/core/journals/bjpsych-open/article/diogenes-syndrome-in-dementia-a-case-report/11B794632EDC1B17819854134CF3375B

https://www.medicalnewstoday.com/articles/314595


Tuesday, 27 February 2024

Strategi Coping pada Lansia untuk Mengelola Stres

        Salah satu kunci untuk menjaga kesejahteraan di masa penuaan adalah penggunaan strategi coping yang efektif yang memfasilitasi adaptasi optimal lansia pada tahap ini. Mengetahui strategi mana yang dapat meningkatkan proses ini dan mengarah pada peningkatan kepuasan hidup. 

Coping didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang dimobilisasi untuk mengelola situasi stres internal dan eksternal. Menetapkan beberapa pedoman psikologis dan pribadi untuk keberhasilan penuaan dan merupakan indikator penting dari berfungsinya kesehatan mental secara positif, yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan kesehatan di negara-negara maju.

Coping adalah pikiran dan perilaku untuk mengelola situasi stres.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Lansia harus menghadapi berbagai perubahan selama penuaan yang dapat diartikan sebagai stres, dan penyesuaian yang baik terhadap perubahan ini menentukan apakah lansia dapat beradaptasi secara optimal terhadap penuaan, sehingga memperoleh kepuasan. Jenis strategi penanggulangan yang diaktifkan dalam situasi berbeda mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mental 

Coping stres pada lansia merujuk pada strategi atau cara-cara yang digunakan oleh orang lanjut usia (lansia) untuk menghadapi atau menanggulangi stres dan tekanan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Stres pada lansia bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan fisik dan kesehatan, kehilangan sosial, perubahan lingkungan, atau masalah keuangan.

Lansia harus memahami coping strategi stres.
(Sumber: foto canva.com)

Coping stres pada lansia melibatkan berbagai strategi, seperti:

Coping problem-focused: 
Melibatkan upaya untuk mengatasi masalah yang menjadi sumber stres, misalnya dengan mencari solusi praktis atau mencari bantuan dari orang lain.

Coping emotion-focused:
Melibatkan upaya untuk mengelola atau mengubah respons emosional terhadap situasi stres, misalnya dengan menerima situasi tersebut atau menggunakan teknik relaksasi.

Coping meaning-focused:
Melibatkan upaya untuk mencari makna atau pemahaman yang lebih dalam terhadap situasi stres, misalnya dengan memandang situasi tersebut sebagai suatu pelajaran atau pengalaman pertumbuhan pribadi.

Coping sosial: 
Melibatkan dukungan dari orang lain, baik dalam bentuk dukungan emosional maupun dukungan praktis, seperti bantuan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari.

Coping religius atau spiritual:
Melibatkan keyakinan dan praktik keagamaan atau spiritual untuk mengatasi stres, misalnya dengan berdoa, meditasi, atau mengikuti praktik keagamaan.

Strategi coping yang efektif bagi setiap individu lansia dapat bervariasi tergantung pada preferensi pribadi, kepercayaan, dan kondisi kesehatan mereka. Mendorong lansia untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping yang sesuai dapat membantu mereka menghadapi stres dengan lebih efektif dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Penyakit apa pun, baik fisik maupun mental, dapat memerlukan teknik coping. 

Beberapa penyakit yang sering kali memerlukan strategi coping yang efektif meliputi:

Penyakit Kronis:
Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, arthritis, atau penyakit autoimun memerlukan coping untuk mengelola gejala, menghadapi perubahan gaya hidup yang diperlukan, dan menjaga kualitas hidup yang optimal.

Kanker:
Diagnosis kanker dan perawatan yang terkait dengannya, seperti kemoterapi atau radioterapi, dapat sangat menantang secara emosional dan fisik. Coping dapat membantu pasien dan keluarganya menghadapi stres, mengelola efek samping, dan menjaga harapan dan kualitas hidup yang tinggi selama perjalanan pengobatan.

Gangguan Mental: 
Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, atau gangguan suasana hati memerlukan strategi coping untuk mengelola gejala, menghadapi stigmatisasi, dan mempertahankan kesehatan mental yang baik.

Penyakit Neurologis:
Penyakit neurologis seperti Alzheimer, Parkinson, atau multiple sclerosis (MS) dapat memerlukan coping untuk mengelola tantangan kognitif, fisik, dan emosional yang terkait dengan kondisi tersebut.

Penyakit Menular dan Pandemik:
Penyakit menular seperti influenza, HIV/AIDS, atau pandemi seperti COVID-19 dapat memerlukan coping untuk mengelola ketidakpastian, isolasi sosial, dan dampak fisik dan mental dari penyakit tersebut.

Penyakit yang Berkaitan dengan Gaya Hidup:
Penyakit yang terkait dengan gaya hidup seperti obesitas, penyakit jantung, atau diabetes tipe 2 memerlukan coping untuk mengubah perilaku dan kebiasaan hidup agar lebih sehat.

Penyakit yang terkait gaya hidup memerlukan coping untuk mengubah perilaku.
(Sumber: foto canva.com)

Penyakit yang Menyebabkan Disabilitas atau Keterbatasan:
Penyakit atau cedera yang menyebabkan disabilitas atau keterbatasan fisik memerlukan coping untuk mengatasi tantangan fisik, emosional, dan sosial yang terkait dengan kondisi tersebut.

Dalam semua kasus, teknik coping yang efektif dapat membantu individu dan keluarganya mengatasi tantangan yang terkait dengan penyakit, mengelola stres, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

        Menggunakan teknik coping pada lansia memerlukan pendekatan yang sensitif dan sesuai dengan kebutuhan dan preferensi individu. 

Beberapa langkah umum yang dapat membantu dalam menggunakan coping pada lansia:

Pemahaman tentang Kebutuhan Individu: 
Setiap lansia memiliki kebutuhan dan tantangan yang unik. Penting untuk memahami secara individu bagaimana mereka merespons stres, apa yang membuat mereka merasa tenang, dan bagaimana mereka ingin menghadapi masalah yang muncul.

Komunikasi Terbuka: 
Dukungan sosial dan dukungan dari anggota keluarga atau perawat sangat penting. Menyediakan saluran komunikasi terbuka di mana lansia merasa nyaman berbicara tentang perasaan mereka, tantangan yang mereka hadapi, dan cara mereka ingin ditolong adalah kunci.

Pilihan Strategi Coping yang Sesuai: 
Ada berbagai teknik coping yang dapat digunakan, termasuk tetapi tidak terbatas pada, teknik relaksasi, meditasi, latihan pernapasan, olahraga ringan, terapi bicara, atau mengikuti kegiatan yang memberikan kepuasan. Penting untuk menyesuaikan pilihan teknik coping dengan minat, kemampuan fisik, dan preferensi lansia.

Promosi Kemandirian: 
Mengajarkan lansia untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping mereka sendiri adalah penting untuk meningkatkan rasa kemandirian dan kontrol atas situasi yang mereka hadapi. Ini juga membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam mengatasi stres dan tantangan.

Ajarkan lansia mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping sendiri.
(Sumber: foto canva.com)
 
Jadwal dan Rutinitas yang Teratur:
Menciptakan rutinitas harian yang terstruktur dan konsisten dapat membantu lansia merasa lebih terkendali dan terorganisir, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan.

Dukungan dari Tenaga Kesehatan Profesional: 
Terapis, konselor, atau dokter dapat memberikan bimbingan dan dukungan tambahan dalam mengembangkan dan menerapkan strategi coping yang efektif. Mereka juga dapat membantu dalam mengelola perubahan fisik atau kesehatan mental yang mungkin terjadi pada lansia.

Mendorong Kegiatan Sosial dan Keterlibatan: 
Aktivitas sosial dan interaksi dengan orang lain dapat menjadi sumber dukungan emosional dan distraksi yang baik dari stres. Mendorong lansia untuk tetap terlibat dalam kegiatan sosial, seperti klub, kelompok gereja, atau kelas seni, dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Evaluasi dan Penyesuaian:
Penting untuk secara teratur mengevaluasi efektivitas teknik coping yang digunakan dan siap untuk menyesuaikan strategi jika diperlukan sesuai dengan perubahan kebutuhan atau situasi lansia.

Dengan memperhatikan kebutuhan individu dan menggunakan pendekatan yang holistik, dapat dibantu lansia untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari mereka dengan lebih baik menggunakan teknik coping yang sesuai.




Sumber:

https://www.goodtherapy.org/blog/coping-mechanisms/

https://www.verywellhealth.com/coping-mechanisms-5272135

https://psychologycompass.com/blog/coping-with-stress/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1948895/

https://bluemoonseniorcounseling.com/specialties/development-of-coping-skills/