Showing posts with label Obat-obatan. Show all posts
Showing posts with label Obat-obatan. Show all posts

Wednesday, 14 August 2024

Ini Serius dan bukan Bercanda: "Salah Minum Obat"

        Salah minum obat adalah situasi di mana seseorang mengonsumsi obat dengan cara yang tidak sesuai dengan instruksi yang telah diberikan oleh dokter, apoteker, atau yang tercantum pada label obat. Ini bisa mencakup berbagai jenis kesalahan, seperti:
  • Dosis yang Salah: Mengonsumsi jumlah obat yang lebih banyak atau lebih sedikit dari yang direkomendasikan.
  • Waktu yang Salah: Mengambil obat pada waktu yang salah, misalnya meminumnya di pagi hari ketika seharusnya diminum pada malam hari, atau sebelum makan ketika seharusnya setelah makan.
  • Cara yang Salah: Mengonsumsi obat dengan cara yang tidak tepat, misalnya memecah tablet yang seharusnya ditelan utuh, mengunyah tablet yang tidak boleh dikunyah, atau menelan obat yang seharusnya digunakan secara topikal (dioleskan).
  • Obat yang Salah: Mengambil obat yang salah, seperti tertukar dengan obat lain karena kemasan yang mirip atau karena kebingungan dalam membaca label.
  • Penggunaan yang Tidak Sesuai: Menggunakan obat untuk tujuan yang tidak sesuai, seperti menggunakan antibiotik untuk infeksi virus atau menggunakan obat untuk orang lain yang memiliki resep berbeda.
  • Penghentian Obat yang Tidak Tepat: Menghentikan penggunaan obat tanpa saran dari dokter, yang bisa mengakibatkan kondisi tidak terkontrol atau kambuh.
Salah minum obat bisa berakibat ringan hingga serius, tergantung pada jenis kesalahan yang dilakukan dan kondisi kesehatan individu. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu mengikuti instruksi pengobatan dengan cermat.

Semoga lansia terjaga dari salah minum obat.
(Sumber: foto Rozali)
Beberapa penyebab umum terjadinya salah minum obat:

Kurangnya Pemahaman tentang Petunjuk Penggunaan:
Jika seseorang tidak membaca atau tidak memahami petunjuk pada label obat, mereka bisa mengambil dosis yang salah, waktu yang salah, atau cara minum yang salah (misalnya, diminum saat perut kosong padahal harusnya setelah makan).

Kebingungan dengan Obat yang Serupa:
Banyak obat yang memiliki nama, bentuk, atau kemasan yang mirip, yang dapat menyebabkan kebingungan dan pengambilan obat yang salah.

Penggunaan Tanpa Rekomendasi atau Resep:
Mengonsumsi obat tanpa resep atau saran dari dokter atau apoteker, terutama jika seseorang menggunakan obat milik orang lain atau obat yang lama, dapat meningkatkan risiko salah minum obat.

Mengabaikan Kondisi Kesehatan:
Jika seseorang tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan mereka (seperti alergi, penyakit ginjal, atau hati), mereka mungkin minum obat yang berbahaya atau tidak cocok untuk kondisi mereka.

Keterbatasan Bahasa atau Literasi:
Orang yang tidak fasih dalam bahasa yang digunakan pada label obat atau memiliki tingkat literasi yang rendah mungkin kesulitan memahami cara penggunaan yang benar.

Kurangnya Informasi dari Penyedia Kesehatan:
Jika dokter atau apoteker tidak memberikan penjelasan yang cukup atau jika informasi yang diberikan tidak dipahami dengan baik, hal ini dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan obat.

Terlalu Banyak Obat (Polifarmasi):
Orang yang mengonsumsi banyak obat sekaligus (sering terjadi pada lansia) mungkin bingung dengan jadwal atau dosis obat, sehingga terjadi kesalahan dalam minum obat.

Lupa atau Kesalahan Ingatan:
Lupa apakah sudah mengambil obat atau belum, atau ingatan yang salah mengenai dosis dan waktu, bisa menyebabkan salah minum obat.

Tidak Mengikuti Instruksi Tertentu (Non-Kepatuhan):
Beberapa orang mungkin sengaja mengabaikan petunjuk, misalnya dengan berpikir bahwa mengambil dosis yang lebih besar akan mempercepat penyembuhan, padahal ini berbahaya.

Interaksi dengan Makanan atau Obat Lain:
Mengonsumsi obat tanpa mempertimbangkan interaksi dengan makanan atau obat lain yang dikonsumsi bisa menyebabkan obat tidak bekerja dengan benar atau menimbulkan efek samping yang berbahaya.

Mencegah salah minum obat melibatkan memahami dan mengikuti petunjuk dengan cermat, berkonsultasi dengan dokter atau apoteker jika ada keraguan, dan memastikan semua obat disimpan dan diberi label dengan jelas.

        Lansia sering salah minum obat karena beberapa faktor yang berhubungan dengan usia, kesehatan, dan kondisi psikososial mereka. 

Beberapa alasan utama lansia, salah minum obat:

Penurunan Daya Ingat dan Kognisi:
Seiring bertambahnya usia, kemampuan kognitif dan daya ingat sering menurun. Lansia mungkin lupa apakah mereka sudah minum obat atau tidak, atau lupa instruksi yang diberikan oleh dokter atau apoteker.

Polifarmasi (Penggunaan Banyak Obat Sekaligus):
Lansia sering mengonsumsi banyak obat sekaligus untuk berbagai kondisi kesehatan. Mengelola jadwal dan dosis yang rumit bisa membingungkan, yang meningkatkan risiko salah minum obat.

Masalah Penglihatan:
Penglihatan yang menurun dapat membuat lansia sulit membaca label obat atau melihat perbedaan antara obat yang satu dengan yang lain, terutama jika obat memiliki bentuk atau warna yang mirip.

Gangguan Pendengaran:
Gangguan pendengaran dapat menyebabkan lansia tidak sepenuhnya memahami instruksi lisan yang diberikan oleh dokter atau apoteker.

Kesulitan dalam Pengelolaan Obat:
Lansia mungkin kesulitan membuka botol obat, menghitung dosis dengan benar, atau menggunakan alat bantu seperti inhaler atau jarum suntik.

Kompleksitas Instruksi Obat:
Instruksi obat yang kompleks, seperti mengatur waktu tertentu untuk minum obat, atau instruksi khusus seperti "minum dengan makanan" atau "hindari sinar matahari", dapat sulit diikuti oleh lansia.

Depresi atau Kecemasan:
Kondisi mental seperti depresi atau kecemasan bisa membuat lansia kurang fokus atau kurang termotivasi untuk mengikuti jadwal pengobatan yang benar.

Interaksi dengan Pengasuh atau Anggota Keluarga:
Jika pengasuh atau anggota keluarga tidak terlibat secara aktif atau tidak memahami pengobatan yang diperlukan, lansia mungkin tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk mengelola obat dengan benar.

Kondisi Kesehatan Lainnya:
Beberapa kondisi medis, seperti penyakit Alzheimer atau demensia, dapat mengganggu kemampuan lansia untuk memahami dan mengikuti instruksi obat.

Kurangnya Edukasi tentang Obat:
Lansia mungkin tidak menerima atau tidak memahami penjelasan yang memadai tentang obat-obatan mereka dari dokter atau apoteker, sehingga mereka tidak tahu kapan atau bagaimana cara minum obat dengan benar.

         Salah minum obat dapat memiliki berbagai dampak, yang bisa bervariasi dari efek samping ringan hingga komplikasi serius yang mengancam jiwa. 

Beberapa dampak potensial dari salah minum obat:

1. Efek Samping Ringan
  • Mual, Muntah, atau Sakit Perut: Salah minum obat (misalnya, mengambil obat tertentu tanpa makan padahal seharusnya diminum setelah makan) dapat menyebabkan mual atau gangguan pencernaan.
  • Sakit Kepala atau Pusing: Mengonsumsi obat pada waktu yang salah atau dosis yang salah bisa menyebabkan pusing atau sakit kepala.
2. Penurunan Efektivitas Pengobatan
  • Obat Tidak Bekerja Sesuai Harapan: Mengonsumsi obat pada waktu yang salah atau dalam kondisi yang tidak tepat bisa menyebabkan obat tidak diserap dengan baik, sehingga efektivitasnya menurun. Ini bisa memperburuk kondisi kesehatan yang sedang dirawat.
3. Overdosis
  • Keracunan: Mengonsumsi dosis obat yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan bisa menyebabkan overdosis, yang dapat mengakibatkan kerusakan organ, kejang, atau bahkan kematian, tergantung pada jenis obatnya.
  • Gejala Overdosis: Gejalanya bisa termasuk kebingungan, detak jantung yang cepat, kejang, atau hilangnya kesadaran.
4. Reaksi Alergi
  • Reaksi Alergi Ringan hingga Parah: Salah minum obat yang mengandung bahan yang seseorang alergi terhadapnya dapat menyebabkan reaksi alergi, yang bervariasi dari ruam kulit ringan hingga reaksi anafilaksis yang mengancam jiwa.
5. Interaksi Obat yang Berbahaya
  • Efek Toksik: Menggabungkan obat yang tidak kompatibel atau mengonsumsi obat bersamaan dengan makanan tertentu bisa menyebabkan interaksi obat yang berbahaya, yang bisa menyebabkan keracunan atau penurunan fungsi organ.
  • Efek Penggandaan atau Pengurangan: Beberapa obat bisa meningkatkan atau menurunkan efek satu sama lain, yang bisa menyebabkan penurunan efektivitas pengobatan atau peningkatan risiko efek samping.
6. Perburukan Kondisi Kesehatan
  • Kondisi Tidak Terkendali: Jika obat yang seharusnya dikonsumsi secara rutin terlewatkan atau diambil pada waktu yang salah, kondisi medis yang sedang dirawat (misalnya, hipertensi, diabetes) bisa menjadi tidak terkendali, yang bisa menyebabkan komplikasi jangka panjang.
7. Kerusakan Organ
  • Kerusakan Hati atau Ginjal: Beberapa obat sangat berat pada hati atau ginjal, dan mengonsumsi obat dengan dosis yang salah atau dalam kondisi yang salah bisa menyebabkan kerusakan organ ini.
  • Masalah Jantung: Obat-obatan tertentu yang salah digunakan bisa mempengaruhi ritme jantung, yang dapat menyebabkan aritmia atau gagal jantung.
8. Masalah Mental dan Psikologis
  • Kebingungan atau Halusinasi: Mengonsumsi obat yang salah atau overdosis bisa menyebabkan efek psikologis seperti kebingungan, kecemasan, atau halusinasi.
9. Kematian
  • Kegagalan Organ atau Overdosis Fatal: Dalam kasus yang ekstrem, salah minum obat bisa menyebabkan kematian, terutama jika berkaitan dengan overdosis, reaksi alergi parah, atau interaksi obat yang berbahaya.
10. Penundaan Pemulihan
  • Pemulihan yang Lebih Lama: Salah minum obat bisa menunda pemulihan dari penyakit atau kondisi yang sedang dirawat, karena obat mungkin tidak bekerja sebagaimana mestinya atau malah memperburuk kondisi.
       Jika terjadi kesalahan dalam minum obat, penting untuk mengambil langkah-langkah segera untuk meminimalkan dampak negatif dan memastikan kesehatan tetap terjaga. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi salah minum obat:

1. Tetap Tenang
  • Jika Anda atau orang lain salah minum obat, usahakan untuk tetap tenang agar bisa berpikir jernih dalam mengambil langkah berikutnya.
2. Evaluasi Kesalahan
  • Identifikasi Obat: Cek nama obat, dosis yang dikonsumsi, dan waktu konsumsi yang sebenarnya dibandingkan dengan yang seharusnya.
  • Perhatikan Gejala: Amati apakah ada gejala atau reaksi yang tidak biasa, seperti mual, pusing, sesak napas, ruam, atau perubahan mental.
3. Hubungi Tenaga Medis
  • Konsultasi dengan Dokter atau Apoteker: Jika Anda menyadari telah salah minum obat, segera hubungi dokter atau apoteker untuk mendapatkan nasihat medis. Mereka bisa memberikan petunjuk apakah perlu tindakan lebih lanjut.
  • Hubungi Layanan Gawat Darurat (jika perlu): Jika terjadi reaksi serius seperti kesulitan bernapas, kejang, kehilangan kesadaran, atau gejala overdosis lainnya, segera hubungi layanan gawat darurat atau pergi ke rumah sakit.
4. Ikuti Instruksi Medis
  • Tidak Melakukan Tindakan Sendiri: Jangan mencoba memuntahkan obat atau mengambil tindakan lain tanpa panduan dari tenaga medis. Beberapa obat bisa berbahaya jika dimuntahkan kembali.
  • Ikuti Saran Pengobatan Lainnya: Dokter mungkin akan memberi Anda saran tentang bagaimana melanjutkan pengobatan yang benar, apakah perlu menunggu sebelum dosis berikutnya, atau jika diperlukan, pengobatan untuk mengatasi efek samping.
5. Bawa Obat ke Tenaga Medis
  • Simpan Kemasan Obat: Jika pergi ke rumah sakit atau klinik, bawa kemasan obat yang diminum untuk membantu tenaga medis mengevaluasi situasi.
6. Mencegah Kesalahan di Masa Depan
  • Gunakan Kotak Obat: Gunakan kotak obat harian yang diatur sesuai jadwal untuk menghindari kebingungan.
  • Tuliskan Jadwal Obat: Buat daftar jadwal minum obat dan letakkan di tempat yang mudah dilihat.
  • Gunakan Pengingat: Atur pengingat di ponsel atau perangkat lain untuk membantu mengingat waktu minum obat yang tepat.
  • Label yang Jelas: Pastikan semua obat diberi label dengan jelas, termasuk petunjuk kapan dan bagaimana cara meminumnya.
7. Lakukan Pemantauan
  • Monitor Kondisi: Terus amati kondisi fisik setelah salah minum obat, dan catat gejala yang muncul. Jika ada gejala baru atau gejala yang memburuk, segera konsultasikan dengan tenaga medis.
8. Edukasi Diri dan Keluarga
  • Pelajari Tentang Obat Anda: Pahami obat yang Anda konsumsi, termasuk dosis, frekuensi, dan potensi efek samping.
  • Libatkan Keluarga: Jika Anda merawat lansia atau anak-anak, pastikan mereka juga paham tentang pentingnya mengikuti petunjuk obat dengan benar.

Mengatasi salah minum obat memerlukan tindakan cepat dan hati-hati untuk memastikan bahwa risiko kesehatan dapat diminimalkan. Selalu ikuti instruksi dari tenaga medis dan jangan ragu untuk meminta bantuan jika diperlukan.





Sumber:

https://www.assistinghands-il-wi.com/blog/the-danger-of-forgetting-or-taking-the-wrong-medication 

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17512433.2019.1615442

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2723202/

https://www.nationalgeographic.com/premium/article/wrong-medication-medicine-pim

https://westhartfordhealth.com/news/senior-safety/causes-medication-errors/

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1551741121001145

Sunday, 11 August 2024

Jangan Remehkan "Makan sebelum Minum Obat": Ada Risiko yang Menyertainya.

        Makan sebelum minum obat berarti Anda harus mengonsumsi makanan terlebih dahulu sebelum mengambil dosis obat tertentu. Biasanya, ini berarti makan makanan lengkap atau setidaknya makanan ringan sekitar 15-30 menit sebelum Anda minum obat.

Beberapa lansia meminum obat untuk mempertahankan kesehatan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)
Obat tertentu direkomendasikan untuk diminum setelah makan karena beberapa alasan yang berkaitan dengan cara kerja obat tersebut di dalam tubuh dan untuk meminimalkan efek samping. 

Beberapa alasannya, antara lain:

Mengurangi Iritasi pada Lambung: Beberapa obat, terutama yang bersifat asam atau iritan, dapat menyebabkan iritasi pada lambung jika diminum saat perut kosong. Dengan mengonsumsi obat setelah makan, makanan di lambung membantu melindungi dinding lambung dari iritasi, sehingga mengurangi risiko sakit perut atau gangguan pencernaan.

Meningkatkan Penyerapan Obat: Ada obat yang penyerapannya lebih baik ketika ada makanan di lambung atau usus. Makanan dapat meningkatkan bioavailabilitas obat, yang berarti lebih banyak obat yang masuk ke dalam aliran darah dan menjadi lebih efektif.

Mencegah Efek Samping: Beberapa obat dapat menyebabkan mual atau muntah jika diminum saat perut kosong. Mengonsumsi obat setelah makan dapat membantu mengurangi atau mencegah efek samping tersebut.

Mengoptimalkan Efek Obat: Beberapa obat bekerja lebih baik ketika ada makanan di dalam sistem pencernaan. Misalnya, obat-obatan tertentu untuk diabetes tipe 2 diminum setelah makan karena mereka bekerja untuk mengontrol kadar gula darah yang naik setelah makan.

Keamanan: Beberapa obat bisa menjadi berbahaya jika diminum saat perut kosong, terutama obat yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis atau yang bisa mempengaruhi metabolisme tubuh dengan cepat.

Dengan demikian, mengikuti petunjuk waktu konsumsi obat sangat penting untuk memastikan efektivitas dan keamanan obat tersebut. Jika ada ketidakpastian, selalu konsultasikan dengan dokter atau apoteker.

Beberapa jenis obat yang biasanya direkomendasikan untuk diminum setelah makan:

Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (NSAID):
  • Contoh: Ibuprofen, Aspirin, Naproxen, Diklofenak.
  • Alasan: Obat-obat ini dapat mengiritasi lapisan lambung dan meningkatkan risiko perdarahan lambung jika diminum saat perut kosong.
Obat-obatan Kortikosteroid:
  • Contoh: Prednison, Deksametason.
  • Alasan: Kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi lambung dan meningkatkan risiko ulkus (luka pada lambung). Minum setelah makan mengurangi risiko ini.
Obat untuk Diabetes Tipe 2:
  • Contoh: Metformin.
  • Alasan: Metformin sering direkomendasikan untuk diminum setelah makan untuk mengurangi risiko gangguan pencernaan, seperti mual atau diare.
Obat untuk Menurunkan Tekanan Darah:
  • Contoh: Beta-blocker (seperti Atenolol, Metoprolol).
  • Alasan: Minum obat ini setelah makan dapat membantu mengurangi efek samping seperti pusing atau tekanan darah rendah yang tiba-tiba.
Obat Penambah Zat Besi:
  • Contoh: Tablet zat besi (Ferrous sulfate).
  • Alasan: Meskipun zat besi lebih baik diserap saat perut kosong, banyak orang mengalami mual saat meminumnya tanpa makanan, sehingga sering disarankan untuk diminum setelah makan.
Obat untuk Asam Urat:
  • Contoh: Allopurinol.
  • Alasan: Obat ini dapat menyebabkan iritasi lambung jika diminum saat perut kosong.
Obat Anti-nyeri:
  • Contoh: Paracetamol (acetaminophen).
  • Alasan: Paracetamol lebih lembut di lambung dibandingkan NSAID, tetapi tetap dianjurkan untuk diminum setelah makan untuk mengurangi potensi iritasi.
Obat untuk Mengatasi Masalah Pencernaan:
  • Contoh: Enzim pencernaan (seperti Pancreatin).
  • Alasan: Obat ini bekerja dengan makanan, sehingga lebih efektif jika diminum setelah makan.
Petunjuk yang diberikan oleh dokter atau apoteker mengenai waktu minum obat harus selalu diikuti untuk memastikan obat bekerja dengan baik dan mengurangi risiko efek samping.


Beberapa obat bebas yang sering kali disarankan untuk diminum setelah makan:

Ibuprofen: Anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) untuk nyeri dan demam. Bisa mengiritasi lambung jika diminum saat perut kosong.

Aspirin: NSAID untuk mengurangi nyeri dan demam, juga bisa menyebabkan iritasi lambung.

Naproxen: NSAID yang mirip dengan ibuprofen, juga dapat menyebabkan iritasi lambung.

Paracetamol (Acetaminophen): Obat nyeri dan demam yang lebih aman, tetapi tetap dianjurkan diminum setelah makan untuk menghindari ketidaknyamanan perut.

Antasida: Obat untuk mengurangi mulas atau gangguan pencernaan, seringkali lebih efektif jika diminum setelah makan.

Loperamide: Obat untuk diare yang dapat menyebabkan mual jika diminum saat perut kosong.

Cetirizine: Antihistamin untuk alergi yang bisa menyebabkan pusing atau mual jika diminum tanpa makanan.

Diphenhydramine: Antihistamin yang juga digunakan untuk tidur, bisa menyebabkan mual jika diminum tanpa makanan.

Ranitidine (sekarang kurang umum): Dulu digunakan untuk mengurangi asam lambung, sering diminum setelah makan.

Famotidine: Obat untuk mengurangi asam lambung, bisa diminum setelah makan untuk menghindari mual.

Omeprazole: Penghambat pompa proton untuk asam lambung, biasanya diminum sebelum makan, tetapi bisa disarankan setelah makan jika ada risiko iritasi.

Dextromethorphan: Obat batuk yang bisa menyebabkan mual jika diminum saat perut kosong.

Bismuth Subsalicylate (Pepto-Bismol): Obat untuk diare dan gangguan perut, biasanya diminum setelah makan.

Pseudoephedrine: Obat dekongestan yang bisa menyebabkan mual atau sakit kepala jika diminum tanpa makanan.

Chlorpheniramine: Antihistamin yang bisa menyebabkan kantuk dan mual jika diminum tanpa makanan.

Meclizine: Obat untuk mabuk perjalanan yang bisa menyebabkan kantuk dan mual jika diminum tanpa makanan.

Guaifenesin: Ekspektoran untuk batuk berdahak, lebih nyaman diminum setelah makan.

Ferrous sulfate: Suplemen zat besi, sering menyebabkan mual jika diminum tanpa makanan.

Magnesium hydroxide: Digunakan untuk mengatasi sembelit atau mulas, bisa diminum setelah makan untuk kenyamanan.

Multivitamin dengan zat besi: Mengandung zat besi yang bisa menyebabkan mual jika diminum saat perut kosong.

Untuk setiap obat bebas, penting membaca label atau petunjuk yang tertera di kemasan, dan jika ada keraguan, berkonsultasi dengan apoteker atau dokter untuk memastikan cara konsumsi yang benar.





Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9245166/

https://www.gleneagles.com.sg/health-plus/article/why-medicines-before-after-food 

https://www.groupeproxim.ca/en/article/food-drug-interactions#

https://www.goodrx.com/drugs/side-effects/taking-medication-with-food

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557405/


Saturday, 16 March 2024

Hati-hati, Penyalagunaan Obat Resep pada lansia.

        Obat resep dokter adalah obat-obatan yang hanya dapat diperoleh dengan resep yang diberikan oleh seorang dokter atau profesional kesehatan yang berkualifikasi. Penggunaan obat resep memerlukan pertimbangan yang lebih mendalam karena obat-obatan tersebut seringkali memiliki potensi efek samping yang lebih besar atau harus digunakan dengan pengawasan medis yang ketat.

Istilah medis untuk obat resep adalah "prescription medication" atau "prescription drugs", mengacu pada obat-obatan yang hanya bisa diperoleh dengan resep dari dokter atau profesional kesehatan yang berlisensi.

Obat resep biasanya digunakan untuk pengobatan kondisi medis yang lebih serius, kronis, atau kompleks, yang memerlukan diagnosis yang tepat dan pengawasan medis yang cermat. Dokter akan menentukan jenis obat yang tepat, dosis yang sesuai, dan durasi pengobatan berdasarkan kondisi kesehatan individu pasien.

Lansia harus hati-hati menggunakan obat resep yang dijual bebas.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Penggunaan obat resep juga dapat memerlukan pemantauan rutin oleh dokter untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan, mengelola efek samping, dan melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa penggunaan obat resep dilakukan dengan aman dan efektif untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal.

Penyalahgunaan obat resep adalah ketika orang menyalahgunakan obat resep. Mereka mungkin menyalahgunakan obatnya sendiri dengan cara yang tidak diinstruksikan oleh dokter. Hal ini termasuk meminum obat lebih banyak dari yang mereka perlukan atau meminumnya saat mereka tidak membutuhkannya. Atau mereka mungkin menyalahgunakan resep yang ditujukan untuk orang lain. Penyalahgunaan obat resep juga bisa terjadi ketika orang mencampurkan obat dengan alkohol atau obat lain.

Membeli obat resep tanpa resep dokter adalah tindakan yang tidak disarankan dan berpotensi berbahaya. Meskipun Anda mungkin merasa bahwa penyakitnya sama dengan penyakit sebelumnya yang pernah Anda alami atau dengan penyakit orang lain, setiap individu memiliki kondisi kesehatan yang unik dan mungkin memiliki respons yang berbeda terhadap obat-obatan tertentu.

Beberapa alasan mengapa membeli  obat resep tanpa resep dokter tidak disarankan:

Kondisi yang Tidak Terdiagnosis dengan Benar: 
Tanpa evaluasi dan diagnosis yang tepat dari seorang profesional kesehatan, Anda tidak dapat memastikan bahwa obat yang Anda beli sesuai dengan kondisi kesehatan Anda.

Potensi Efek Samping dan Interaksi Obat: 
Obat resep sering kali memiliki efek samping yang signifikan dan berpotensi berinteraksi dengan obat lain atau kondisi kesehatan yang Anda miliki. Tanpa pengawasan medis yang tepat, risiko efek samping dan interaksi obat dapat meningkat.

Pemilihan Obat yang Tepat: 
Seorang dokter memilih obat berdasarkan kondisi kesehatan individu pasien, riwayat medis, dan faktor-faktor lainnya. Tanpa resep dokter, Anda mungkin memilih obat yang tidak tepat atau tidak cocok untuk kondisi kesehatan Anda.

Ketidakpastian Dosis dan Penggunaan yang Tepat: 
Dosis dan cara penggunaan obat harus sesuai dengan petunjuk dokter yang disesuaikan dengan kondisi kesehatan individu. Tanpa resep dokter, Anda mungkin tidak memiliki informasi yang cukup untuk menggunakan obat dengan benar.

Dosis dan penggunaan obat harus sesuai dengan petunjuk dokter.
(Sumber: foto canva.com)
Tidak Ada Pengawasan Medis: 
Penggunaan obat resep tanpa resep dokter berarti Anda kehilangan pengawasan medis yang penting untuk memastikan bahwa pengobatan Anda efektif dan aman.

Jika Anda mengalami gejala kesehatan yang membuat Anda merasa perlu mendapatkan pengobatan, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan terlebih dahulu. Mereka akan melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap kondisi kesehatan Anda dan memberikan resep obat jika dianggap perlu.

        Beberapa jenis obat resep dapat dianggap berpotensi lebih berbahaya atau berisiko bagi lansia karena beberapa faktor, termasuk kemungkinan efek samping yang lebih besar atau interaksi obat yang lebih kompleks dengan kondisi kesehatan yang umum pada lansia. 

Beberapa contoh obat resep yang dianggap berbahaya atau berisiko bagi lansia meliputi:

Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAIDs) dalam Dosis Tinggi: 
NSAIDs seperti ibuprofen atau naproxen dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung atau masalah ginjal pada lansia, terutama jika digunakan dalam dosis tinggi atau dalam jangka waktu yang lama.

Benzodiazepin: 
Obat-obatan seperti diazepam atau lorazepam yang digunakan sebagai obat penenang atau tidur dapat meningkatkan risiko kebingungan, kantuk berlebihan, atau penurunan kognitif pada lansia.

Antihistamin dengan Efek Antikolinergik: 
Beberapa antihistamin yang memiliki efek antikolinergik, seperti diphenhydramine, dapat menyebabkan kebingungan, gangguan kognitif, atau retensi urin pada lansia.

Antidepresan Trisiklik: 
Antidepresan trisiklik seperti amitriptyline atau nortriptyline seringkali memiliki efek samping yang lebih besar pada lansia, termasuk risiko kebingungan, penurunan tekanan darah, atau masalah jantung.

Antipsikotik Tidak Atipikal: 
Beberapa antipsikotik konvensional seperti haloperidol atau chlorpromazine dapat meningkatkan risiko efek samping serius pada lansia, termasuk risiko stroke atau peningkatan risiko kematian.

Opioid: 
Opioid seperti oxycodone atau morphine sering kali memiliki risiko efek samping yang lebih besar pada lansia, termasuk risiko kebingungan, penurunan respirasi, atau risiko jatuh.

Antikolinergik: 
Obat-obatan yang memiliki efek antikolinergik seperti oxybutynin (untuk inkontinensia urin) atau diphenhydramine (antihistamin) dapat meningkatkan risiko kebingungan, delirium, atau retensi urin pada lansia.

Beberapa obat resep memiliki efek dan risiko berbeda untuk setiap individu.
(Sumber: foto canva.com)
Efek samping dan risiko berbeda-beda untuk setiap individu dan tergantung pada faktor-faktor seperti kondisi kesehatan yang ada, dosis obat, dan interaksi dengan obat lain. Sebelum menggunakan atau menghentikan penggunaan obat resep, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter atau profesional kesehatan untuk evaluasi yang tepat dan rekomendasi pengobatan yang sesuai.

Beberapa tanda peringatan bahwa seseorang mungkin menyalahgunakan obat resep. Jika mereka:
  • Dapatkan resep obat yang sama dari dua dokter berbeda
  • Isi resep obat yang sama di dua apotek berbeda
  • Minum obat lebih banyak dari biasanya atau minum lebih banyak dari yang diinstruksikan pada label
  • Minum obat pada waktu yang berbeda atau lebih sering dari yang tertera pada label
  • Menjadi lebih menarik diri atau marah
  • Tampak bingung atau pelupa
  • Sering membicarakan suatu obat
  • Takut pergi ke suatu tempat tanpa minum obat
  • Bersikap defensif ketika Anda bertanya tentang obat
  • Buatlah alasan mengapa mereka membutuhkan obat
  • Simpan pil “ekstra” di dompet atau sakunya
  • Menyelinap atau menyembunyikan obat
  • Pernah dirawat karena penyalahgunaan alkohol, obat-obatan terlarang, atau obat resep di masa lalu
Lansia karena ketidaktahuannya dapat menyalahgunakan obat resep.
(Sumber: foto canva.com)
Jika Anda curiga ada orang lanjut usia yang menyalahgunakan obat resep, segera hubungi dokternya. Beritahu mereka tentang kekhawatiran Anda. Dokter kemungkinan besar akan membuat janji untuk mengevaluasi orang tersebut. Mereka dapat mendiagnosis apakah masalahnya adalah penyalahgunaan obat resep. Dokter juga akan membantu menentukan pengobatan.





Sumber:





Thursday, 14 March 2024

Obat Bekerja Berbeda pada Lansia dan Orang Muda.

        Obat-obatan dapat menjadi masalah bagi orang lanjut usia karena seiring bertambahnya usia, perubahan fisiologis dapat mempengaruhi cara tubuh kita menyerap, mendistribusikan, memetabolisme, dan menghilangkan obat-obatan. Perubahan fisiologis tersebut antara lain peningkatan lemak tubuh, penurunan cairan tubuh, penurunan massa otot, serta perubahan fungsi ginjal dan hati serta sistem saraf pusat.

Pengobatan untuk lansia berbeda dengan orang muda.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Penelitian tentang dampak pengobatan biasanya dilakukan pada orang muda. Jadi, hasil ini mungkin tidak berlaku pada orang lanjut usia karena seiring bertambahnya usia, tubuh kita bereaksi terhadap obat secara berbeda dibandingkan ketika kita masih muda.  

Pengobatan bisa berbeda antara lansia (orang tua) dan orang muda karena perbedaan dalam respons tubuh terhadap penyakit, efek samping obat, kebutuhan nutrisi, dan faktor-faktor lainnya. 

Beberapa perbedaan utama dalam pengobatan antara lansia dan orang muda:

Metabolisme: 
Lansia cenderung memiliki metabolisme yang lebih lambat dibandingkan dengan orang muda. Hal ini dapat memengaruhi cara tubuh mereka memproses obat. Beberapa obat mungkin memerlukan penyesuaian dosis agar tidak menimbulkan efek samping yang berlebihan pada lansia.

Penyakit Komorbid: 
Lansia seringkali menderita penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung, yang memerlukan penanganan khusus. Pengobatan harus mempertimbangkan interaksi obat antara kondisi yang berbeda dan mungkin memerlukan pendekatan yang lebih holistik.

Toleransi terhadap Efek Samping: 
Lansia cenderung lebih rentan terhadap efek samping obat daripada orang muda. Oleh karena itu, dalam pengobatan lansia, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan obat dengan efek samping yang minimal atau mengurangi dosis agar meminimalkan risiko efek samping yang tidak diinginkan.

Kebutuhan Nutrisi: 
Lansia mungkin memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dibandingkan dengan orang muda. Faktor seperti penyerapan nutrisi yang berkurang atau penurunan nafsu makan dapat memengaruhi pengobatan mereka. Mungkin diperlukan suplemen atau penyesuaian diet untuk memastikan kebutuhan nutrisi terpenuhi.

Keterbatasan Fisik dan Kognitif: 
Lansia mungkin mengalami keterbatasan fisik dan kognitif yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengikuti regimen pengobatan dengan konsisten. Oleh karena itu, dalam merencanakan pengobatan untuk lansia, perlu mempertimbangkan kemampuan mereka untuk mengikuti pengobatan dengan benar.

Tujuan Pengobatan: 
Tujuan pengobatan juga dapat berbeda antara lansia dan orang muda. Misalnya, dalam pengobatan lansia, fokus mungkin lebih pada pemeliharaan kualitas hidup dan pengelolaan gejala, sedangkan pada orang muda, tujuan pengobatan mungkin lebih pada penyembuhan atau pemulihan penuh.

        Kebutuhan unik obat untuk lansia dapat bervariasi tergantung pada kondisi kesehatan mereka, tetapi ada beberapa pertimbangan umum yang perlu diperhatikan:

Penyesuaian Dosis: 
Lansia umumnya membutuhkan penyesuaian dosis obat karena perubahan dalam metabolisme tubuh mereka. Karena metabolisme umumnya melambat seiring bertambahnya usia, dosis obat yang sama mungkin menyebabkan efek samping yang lebih besar atau tidak memberikan efek terapeutik yang diinginkan pada lansia.

Efek Samping: 
Lansia cenderung lebih rentan terhadap efek samping obat daripada orang muda. Oleh karena itu, penting untuk memilih obat dengan hati-hati dan memantau efek samping secara teratur. Dalam beberapa kasus, obat dengan risiko efek samping yang lebih rendah mungkin lebih disukai.

Interaksi Obat: 
Lansia sering mengonsumsi beberapa obat untuk mengelola berbagai kondisi kesehatan. Ini meningkatkan risiko interaksi obat, di mana satu obat dapat mempengaruhi efektivitas atau keamanan obat lainnya. Penting untuk memeriksa interaksi obat dan memastikan bahwa rencana pengobatan secara keseluruhan aman.

Keterbatasan Fisik dan Kognitif: 
Lansia mungkin mengalami keterbatasan fisik atau kognitif yang dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk mengonsumsi atau mengikuti regimen pengobatan dengan benar. Bentuk sediaan obat yang lebih mudah diambil atau dipantau, seperti tablet yang mudah ditelan atau kemasan blister dengan jadwal dosis yang jelas, mungkin lebih sesuai untuk lansia.

Kemampuan fisik pada lansia mempengaruhi obat yang digunakan.
(Sumber: foto canva.com)
Penyakit Komorbid: 
Lansia sering menderita beberapa kondisi kesehatan yang memerlukan pengobatan yang kompleks. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan interaksi antara obat-obatan yang digunakan untuk berbagai kondisi kesehatan.

Pentingnya Pemantauan: 
Lansia mungkin membutuhkan pemantauan lebih intensif terhadap respon tubuh mereka terhadap obat. Ini dapat melibatkan pemeriksaan rutin, tes darah, atau pemantauan gejala yang mungkin berkaitan dengan efek samping atau peningkatan kondisi kesehatan.

Beberapa kondisi medis yang umum pada lansia yang dapat mempengaruhi cara kerja obat :

Penyakit Jantung: 
Lansia sering mengalami penyakit jantung seperti penyakit arteri koroner, gagal jantung, atau aritmia. Penyakit jantung dapat memengaruhi sirkulasi darah dan fungsi jantung, yang dapat mempengaruhi penyerapan, distribusi, dan eliminasi obat-obatan dari tubuh.

Penyakit Ginjal: 
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal atau penurunan fungsi ginjal yang terkait dengan usia dapat mempengaruhi pemurnian obat dari tubuh. Ini dapat menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah, yang dapat meningkatkan risiko efek samping atau toksisitas obat.

Penurunan fungsi ginjal dapat mempengaruhi pemurnian obat.
(Sumber: foto canva.com)

Penyakit Hati: 
Penyakit hati seperti sirosis atau hepatitis dapat mempengaruhi metabolisme obat di dalam tubuh. Fungsi hati yang terganggu dapat mengurangi kemampuan tubuh untuk memetabolisme obat, yang dapat menyebabkan peningkatan risiko toksisitas obat.

Diabetes: 
Diabetes adalah kondisi medis umum pada lansia. Pengelolaan diabetes dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap obat-obatan lainnya, terutama karena penggunaan obat hipoglikemik atau insulin.

Penyakit Kronis Lainnya: 
Lansia sering menderita berbagai penyakit kronis seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), osteoartritis, atau penyakit Alzheimer. Pengobatan untuk kondisi ini mungkin memiliki interaksi dengan obat-obatan lain atau memengaruhi respons tubuh terhadap obat.

Hipotiroidisme: 
Kelenjar tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme) umum pada lansia. Kondisi ini dapat mempengaruhi metabolisme obat di dalam tubuh dan mempengaruhi respons terhadap pengobatan.

Kanker: 
Risiko kanker meningkat seiring bertambahnya usia, dan pengobatan kanker seperti kemoterapi atau radioterapi dapat memengaruhi respons tubuh terhadap obat-obatan lainnya.

Penyakit Psikiatrik: 
Lansia juga mungkin menderita penyakit psikiatrik seperti depresi atau gangguan kecemasan, yang memerlukan penggunaan obat-obatan psikotropika. Obat-obatan ini dapat memiliki interaksi dengan obat-obatan lain atau memengaruhi kondisi kesehatan secara keseluruhan.

       Pengaruh makanan dan minuman pada pengobatan untuk lansia sangat penting dipertimbangkan karena interaksi antara makanan, minuman, dan obat-obatan dapat memengaruhi penyerapan, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat di dalam tubuh. 

Beberapa pengaruh makanan dan mnuman yang perlu diperhatikan:

Interaksi Obat-Makanan: 
Beberapa obat dapat berinteraksi dengan makanan atau minuman tertentu, yang dapat mempengaruhi efektivitas atau keamanan pengobatan. Contohnya, makanan yang mengandung tinggi lemak atau kalsium dapat mengurangi penyerapan obat tertentu. Alkohol juga dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu, meningkatkan risiko efek samping atau menurunkan efektivitas pengobatan.

Waktu Konsumsi Obat: 
Beberapa obat harus dikonsumsi dengan makanan untuk meningkatkan penyerapan atau mengurangi iritasi lambung. Di sisi lain, ada juga obat-obatan yang harus dikonsumsi dengan perut kosong untuk menghindari interaksi dengan makanan tertentu. Penting untuk mengikuti instruksi dokter atau petunjuk penggunaan obat dengan cermat.

Efek Samping: 
Beberapa makanan atau minuman dapat memperburuk atau mengurangi efektivitas obat serta meningkatkan risiko efek samping. Sebagai contoh, makanan yang mengandung tiramin seperti keju tua atau anggur merah dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu yang menghambat enzim monoamin oksidase.

Kondisi Kesehatan yang Mendasari: Lansia sering menderita berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes, penyakit jantung, atau hipertensi, yang mungkin memerlukan diet khusus. Pola makan yang sehat dan sesuai dengan kondisi kesehatan mereka dapat memengaruhi pengobatan dan kesehatan secara keseluruhan.

Interaksi dengan Suplemen Makanan: 
Lansia sering mengonsumsi suplemen makanan untuk mendukung kesehatan mereka. Namun, beberapa suplemen dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu. Penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan sebelum mengonsumsi suplemen baru, terutama jika sedang mengonsumsi obat resep.

Kemampuan Menelan atau Memproses Makanan: 
Lansia mungkin mengalami kesulitan menelan atau mencerna makanan, yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengonsumsi obat dengan benar. Pilihan formulasi obat seperti sirup, kapsul mudah ditelan, atau obat cair mungkin lebih cocok untuk lansia dengan masalah ini.

Pengobatan lansia adalah berkonsultasi dengan profesional kesehatan, komunikasi terbuka tentang riwayat kesehatan dan pengobatan, pemantauan teratur terhadap respons tubuh, penyesuaian dosis yang tepat, pemilihan obat dengan hati-hati, edukasi pasien dan keluarga, menjaga pola makan dan gaya hidup sehat, serta memperhatikan interaksi obat-makanan untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan pengobatan.



Sumber:

https://www.healthinaging.org/medications-older-adults/medications-work-differently-older-adults

https://academic.oup.com/gerontologist/article/42/1/92/641498

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7404696/

https://www.msdmanuals.com/home/older-people%E2%80%99s-health-issues/aging-and-medications/aging-and-medications

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1884408/


Monday, 11 March 2024

Obat tanpa Resep atau Obat Bebas pada lansia.

        Obat tanpa resep, juga dikenal sebagai obat bebas, adalah obat-obatan yang dapat dibeli tanpa perlu resep dari dokter atau tenaga kesehatan terkait lainnya. Penggunaan obat tanpa resep umumnya digunakan untuk pengobatan gejala ringan atau penyakit yang dianggap aman untuk diatasi tanpa pengawasan medis langsung.

Penggunaan obat bebas untuk pengobatan penyakit yang dianggap ringan.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Sebuah tinjauan baru-baru ini terhadap lebih dari dua lusin penelitian menemukan bahwa orang berusia 60 tahun ke atas lebih bergantung pada obat-obatan yang dijual bebas (over-the-counter,OTC)    dibandingkan orang dewasa muda, sering kali tanpa menyadari bahwa obat-obatan tersebut memiliki risiko kesehatan dan efek samping

Obat tanpa resep sering kali digunakan untuk mengatasi gejala umum seperti sakit kepala, demam, pilek, batuk, nyeri ringan, alergi, dan gangguan pencernaan ringan. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun obat-obatan ini tersedia tanpa resep, mereka tetap memiliki risiko efek samping dan interaksi obat. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk membaca dan mengikuti petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan obat, serta berkonsultasi dengan apoteker atau tenaga kesehatan jika diperlukan.

Beberapa contoh penyakit ringan yang dapat diobati dengan obat tanpa resep beserta obatnya:

Pilek (common cold) - Antihistamin seperti loratadin, dekongestan seperti fenilefrin atau pseudoefedrin.

Flu (influenza) - Obat penghilang demam seperti parasetamol atau ibuprofen.

Lansia sering terkena influenza.
(Sumber: foto canva.com)

Batuk (cough) - Obat batuk seperti dekstrometorfan atau guaifenesin.

Sakit kepala (headache) - Analgesik seperti parasetamol, aspirin, atau ibuprofen.

Nyeri otot (muscle pain) - Analgesik seperti parasetamol atau ibuprofen.

Nyeri gigi (toothache) - Analgesik seperti parasetamol atau ibuprofen, obat topikal seperti benzocaine.

Sakit tenggorokan (sore throat) - Permen hisap atau semprotan tenggorokan yang mengandung anestetik lokal atau antiseptik.

Demam (fever) - Obat penghilang demam seperti parasetamol atau ibuprofen.

Sakit perut (stomachache) - Antasida atau obat antidiare seperti loperamide.

Penyakit perut banyak diderita para lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Mulas (indigestion) - Antasida atau obat antasida yang mengandung simetikon.

Diare (diarrhea) - Obat antidiare seperti loperamide atau bismut subsalisilat.

Konstipasi (constipation) - Laksatif osmotik atau laksatif stimulan.

Mual (nausea) - Antihistamin seperti dimenhidrinat atau meklizin.

Muntah (vomiting) - Antihistamin seperti dimenhidrinat atau meklizin.

Ruam kulit (skin rash) - Krim antihistamin atau krim kortikosteroid ringan.

Alergi (allergies) - Antihistamin seperti loratadin atau cetirizin.

Gatal-gatal (itchiness) - Krim antihistamin atau krim kortikosteroid ringan.

Luka ringan (minor cuts) - Antiseptik topikal seperti peroksida hidrogen atau larutan betadin.

Luka bakar ringan (minor burns) - Salep atau krim pendingin seperti aloe vera.

Jerawat (acne) - Produk topikal yang mengandung benzoyl peroxide, asam salisilat, atau asam azelaat.

Sembelit (constipation) - Laksatif osmotik atau laksatif stimulan.

Uban (dandruff) - Sampo anti-ketombe yang mengandung pirition sink atau selen sulfida.

Mata merah (red eyes) - Tetes mata dekongestan atau tetes mata berbasis air mata buatan.

Mata gatal (itchy eyes) - Tetes mata antihistamin atau tetes mata berbasis air mata buatan.

Mata gatal sangat mengganggu lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Mata kering (dry eyes) - Tetes mata berbasis air mata buatan.

Gatal-gatal karena sengatan serangga (insect bites itching) - Krim atau losion antihistamin atau kortikosteroid ringan.

Lemas (fatigue) - Vitamin dan suplemen energi, seperti vitamin B kompleks.

Kelelahan (tiredness) - Vitamin dan suplemen energi, seperti vitamin B kompleks.

💬 Selalu membaca petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan obat dan mengonsultasikan dengan profesional kesehatan jika gejala tidak membaik atau malah memburuk.

       Meskipun obat tanpa resep atau obat bebas dianggap aman untuk digunakan dalam kasus penyakit atau gejala ringan, namun tetap ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai.

Beberapa risiko menggunakan obat bebas:

Efek Samping: 
Beberapa obat tanpa resep dapat menyebabkan efek samping seperti kantuk, keringat berlebihan, gangguan pencernaan, atau reaksi alergi pada beberapa individu.

Interaksi Obat: 
Penggunaan obat tanpa resep bersamaan dengan obat resep atau suplemen tertentu dapat menyebabkan interaksi obat yang tidak diinginkan atau meningkatkan risiko efek samping.

Penggunaan yang Tidak Tepat: 
Penggunaan yang tidak tepat dari obat tanpa resep, seperti penggunaan berlebihan atau penggunaan untuk jangka waktu yang lebih lama dari yang direkomendasikan, dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.

Ketergantungan: 
Beberapa obat tanpa resep, terutama obat yang mengandung bahan aktif yang dapat menimbulkan ketergantungan seperti pseudoefedrin, dapat menyebabkan ketergantungan jika digunakan secara berlebihan atau tidak tepat.

Masker Gejala: 
Penggunaan obat tanpa resep untuk mengobati gejala tertentu tanpa berkonsultasi dengan profesional kesehatan dapat menyebabkan penundaan dalam diagnosis dan penanganan kondisi yang mendasarinya.

Kerusakan Organ: 
Penggunaan obat tanpa resep dalam dosis yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan atau untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan organ tertentu, terutama hati atau ginjal.

Kehamilan dan Menyusui: 
Beberapa obat tanpa resep mungkin tidak aman untuk digunakan selama kehamilan atau menyusui. Wanita hamil atau menyusui harus berkonsultasi dengan profesional kesehatan sebelum menggunakan obat apa pun.

Penting untuk membaca dan mengikuti petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan obat tanpa resep, serta berkonsultasi dengan apoteker atau profesional kesehatan jika ada kekhawatiran atau pertanyaan mengenai penggunaan obat tanpa resep.

      Penggunaan obat tanpa resep pada lansia dapat memiliki beberapa dampak, terutama karena lansia umumnya memiliki kondisi kesehatan yang lebih kompleks dan sensitif. 

Beberapa dampak penggunaan obat bebas pada lansia:

Interaksi Obat: 
Lansia mungkin mengonsumsi beberapa obat resep secara bersamaan untuk mengelola berbagai kondisi kesehatan. Penggunaan obat tanpa resep bersamaan dengan obat resep dapat meningkatkan risiko interaksi obat yang tidak diinginkan.

Efek Samping: 
Lansia mungkin lebih rentan terhadap efek samping obat tanpa resep karena perubahan fisik dan metabolisme yang terjadi seiring bertambahnya usia. Beberapa efek samping yang umum termasuk kelelahan, kebingungan, penurunan daya ingat, dan gangguan pencernaan.

Penurunan Respons Tubuh: 
Respons tubuh terhadap obat tanpa resep dapat berbeda pada lansia karena sistem kekebalan tubuh yang mungkin menurun seiring bertambahnya usia. Hal ini dapat menyebabkan waktu pemulihan yang lebih lama atau peningkatan risiko infeksi.

Gangguan pada Kondisi Kesehatan yang Ada: 
Penggunaan obat tanpa resep dapat mempengaruhi kondisi kesehatan yang sudah ada pada lansia, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, atau penyakit jantung. Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan sebelum mengonsumsi obat tanpa resep.

Kondisi Kesehatan yang Kompleks: 
Lansia sering memiliki kondisi kesehatan yang lebih kompleks, seperti osteoporosis, osteoartritis, atau penyakit Alzheimer. Penggunaan obat tanpa resep harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk meminimalkan risiko komplikasi atau memperburuk kondisi yang ada.

Kerusakan Organ: 
Lansia mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kerusakan organ terkait dengan penggunaan obat tanpa resep, terutama pada hati dan ginjal.

Penurunan Kualitas Hidup: 
Penggunaan obat tanpa resep yang tidak tepat atau berlebihan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pada lansia karena efek samping yang mungkin terjadi.

        Tidak semua obat tanpa resep cocok untuk digunakan oleh lansia. Beberapa jenis obat tanpa resep yang tidak boleh digunakan oleh lansia atau harus digunakan dengan hati-hati.

Berikut obat yang harus digunakan dengan hati-hati pada lansia:

Dekongestan oral: 
Obat-obatan seperti pseudoephedrine atau phenylephrine yang digunakan untuk meredakan hidung tersumbat dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi atau menyebabkan masalah jantung pada lansia.

Antihistamin dengan efek antikolinergik: 
Beberapa antihistamin yang memiliki efek antikolinergik, seperti diphenhydramine atau chlorpheniramine, dapat menyebabkan efek samping seperti kantuk, kebingungan, atau retensi urin pada lansia.

Obat penurun demam yang mengandung aspirin: 
Lansia sebaiknya menghindari penggunaan obat penurun demam yang mengandung aspirin karena dapat meningkatkan risiko perdarahan atau iritasi lambung pada lansia.

Laksatif stimulan: 
Penggunaan laksatif stimulan seperti senna atau bisacodyl sebaiknya dihindari pada lansia karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit atau gangguan pencernaan.

Obat antiinflamasi nonsteroid dalam jangka panjang: 
Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) seperti ibuprofen atau naproxen dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung atau masalah ginjal pada lansia.

Obat penghilang rasa sakit yang mengandung parasetamol dalam dosis tinggi: 
Lansia harus menghindari penggunaan dosis tinggi parasetamol karena dapat meningkatkan risiko kerusakan hati.

Obat penenang atau yang memperpanjang waktu tidur: 
Lansia mungkin lebih sensitif terhadap efek samping seperti kantuk atau kebingungan yang disebabkan oleh obat penenang atau tidur, seperti diphenhydramine atau doxylamine.

         Penggunaan obat tanpa resep pada lansia sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan saran profesional kesehatan. 

Beberapa saran terbaik untuk penggunaan obat tanpa resep pada lansia:

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan: 
Sebelum menggunakan obat tanpa resep, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker. Mereka dapat memberikan saran yang sesuai berdasarkan kondisi kesehatan lansia dan obat-obatan resep yang sedang dikonsumsi.

Pilih Obat yang Sesuai: 
Pilih obat tanpa resep yang sesuai dengan gejala atau kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh lansia. Hindari menggunakan obat yang mengandung bahan aktif yang mungkin berpotensi menimbulkan risiko kesehatan pada lansia.

Perhatikan Interaksi Obat: 
Jika lansia sedang mengonsumsi obat resep, pastikan untuk memeriksa potensi interaksi obat antara obat tanpa resep dan obat resep yang sedang dikonsumsi. Diskusikan dengan dokter atau apoteker jika ada kekhawatiran mengenai interaksi obat.

Hindari Bahan-Bahan Tertentu: 
Hindari penggunaan obat tanpa resep yang mengandung bahan tertentu yang mungkin tidak cocok untuk lansia, seperti dekongestan oral, antihistamin dengan efek antikolinergik, atau obat penurun demam dengan aspirin.

Pertimbangkan Efek Samping: 
Lansia cenderung lebih sensitif terhadap efek samping obat. Perhatikan gejala-gejala seperti kantuk, kebingungan, atau masalah pencernaan dan konsultasikan dengan profesional kesehatan jika ada efek samping yang mencurigakan.

Hindari Penggunaan Jangka Panjang: 
Penggunaan obat tanpa resep dalam jangka panjang sebaiknya dihindari, terutama untuk obat yang tidak diresepkan untuk penggunaan jangka panjang. Jika gejala atau kondisi terus berlanjut, sebaiknya konsultasikan dengan dokter.

Pentingnya Dosis yang Tepat: 
Ikuti petunjuk dosis yang tertera pada kemasan obat tanpa resep dan jangan melebihi dosis yang direkomendasikan. Pemilihan dosis yang tepat dapat membantu mengurangi risiko efek samping.

Pemantauan Kesehatan secara Rutin: 
Lansia sebaiknya melakukan pemantauan kesehatan secara rutin dengan dokter untuk memastikan bahwa penggunaan obat tanpa resep sesuai dengan kondisi kesehatan yang sedang dialami.

Dengan memperhatikan saran-saran tersebut, lansia dapat menggunakan obat tanpa resep dengan lebih aman dan efektif, serta mengurangi risiko potensial yang mungkin timbul.





Sumber:














Sunday, 3 March 2024

Obat-obatan Jadi Penyebab Masalah Kesehatan Lansia.

        Populasi global lansia multimorbid terus bertambah. Multimorbiditas adalah penyebab utama polifarmasi yang kompleks, yang pada gilirannya merupakan faktor risiko utama untuk peresepan yang tidak tepat serta reaksi dan kejadian obat yang merugikan. 

Kesalahan pengobatan dapat mengakibatkan cedera parah atau kematian pasien, dan hal ini dapat dicegah. Meskipun sebagian besar kesalahan kecil, spektrumnya sangat luas, dan beberapa di antaranya berakibat fatal. Kesalahan pengobatan (medication error) didefinisikan sebagai setiap peristiwa yang dapat dicegah yang dapat menyebabkan atau menyebabkan penggunaan obat yang tidak tepat atau membahayakan pasien ketika obat tersebut berada dalam kendali profesional layanan kesehatan, pasien, atau konsumen.

Kesalahan pengobatan dapat mengakibatkan cedera parah atau kematian pasien.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Pasien lansia yang memiliki masalah klinis kompleks dan menjalani banyak pengobatan, sangat rentan terhadap kesalahan pengobatan. Meskipun mereka mungkin benar-benar membutuhkan lebih banyak obat namun mereka sering kali menjadi korban dari 'peresepan kaskade', memiliki peningkatan risiko interaksi obat-obat dan obat-penyakit, dan sering menderita penggunaan obat-obatan yang tidak tepat. ].

Kesalahan dalam pengelolaan obat dapat menjadi penyebab masalah kesehatan pada lansia karena lansia sering kali memiliki karakteristik dan kondisi kesehatan tertentu yang membuat mereka lebih rentan terhadap efek samping obat. 

Beberapa penyebab masalah kesehatan yang mungkin timbul pada lansia terkait dengan obat-obatan:

Penyakit Kronis: 
Lansia cenderung menderita penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung yang membutuhkan penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang panjang. Kesalahan dalam dosis atau penggunaan obat-obatan ini dapat mempengaruhi kesehatan secara keseluruhan.

Penurunan Fungsi Ginjal dan Hati: 
Fungsi ginjal dan hati cenderung menurun seiring bertambahnya usia, sehingga kemampuan tubuh untuk mengeluarkan obat dari sistem tubuh juga menurun. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan risiko efek samping obat yang merugikan.

Kemampuan ginjal menurun seiring bertambah usia.
(Sumber: foto canva.com)
Penurunan Fungsi Kognitif: 
Lansia yang mengalami penurunan fungsi kognitif atau gangguan seperti demensia mungkin kesulitan memahami instruksi penggunaan obat atau mengikuti jadwal pengobatan yang tepat.

Interaksi Obat: 
Lansia sering mengonsumsi beberapa jenis obat sekaligus untuk mengelola beberapa kondisi kesehatan. Interaksi antar obat-obatan ini dapat meningkatkan risiko efek samping atau mengurangi efektivitas pengobatan.

Alergi atau Sensitivitas: 
Lansia juga bisa memiliki alergi atau sensitivitas terhadap beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan reaksi alergi atau efek samping yang serius.

Penyimpanan Obat yang Tidak Tepat: 
Lansia mungkin memiliki kesulitan dalam menyimpan obat dengan benar, sehingga obat-obatan dapat menjadi terkontaminasi atau kehilangan efektivitasnya.

Penurunan Fungsi Penglihatan dan Pendengaran: 
Penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran pada lansia dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk membaca instruksi penggunaan obat atau mendengar informasi yang disampaikan oleh petugas kesehatan.

Muncul Gejala baru: 
Gejala baru apa pun, seperti pusing atau mual, bisa jadi merupakan efek samping atau reaksi pengobatan. Dokter utama Anda harus mengetahui semua obat yang diminum, termasuk obat baru.  Penting untuk selalu memberikan informasi kepada dokter daftar obat-obatan yang sedang digunakan, termasuk siapa yang meresepkan obat tersebut, untuk menghindari obat-obatan saling merugikan.

Masalah mobilitas: 
Pusing dan sakit kepala ringan adalah efek samping umum dari banyak obat termasuk obat tekanan darah tinggi. Efek samping tersebut dapat memperburuk kemampuan berjalan pada orang yang mengalami kesulitan berjalan karena radang sendi atau masalah lainnya. Amankan rumah dari terjatuh dengan melepas atau mengamankan permadani yang longgar dan bahaya tersandung lainnya.

Lansia banyak yang mengalami kesulitan berjalan.
(Sumber: foto canva.com)
Perubahan cara berpikir, penalaran atau ketajaman mental: 
Ada banyak kemungkinan penyebab kelupaan dan kebingungan. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah masalah pengobatan, termasuk pengobatan berlebihan. Minta dokter untuk menilai sepenuhnya perubahan kognitif atau mental. Obat-obatan bisa jadi penyebabnya.

Kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari: 
Potensi efek samping pengobatan apa pun dapat mempersulit perawatan diri bagi orang dewasa yang menua, mulai dari mandi dan menggunakan toilet hingga makan dan berpakaian. Itu sebabnya, jika tidak diperiksa oleh dokter, beberapa efek samping pengobatan bisa menimbulkan masalah serius yang membuat Anda lebih sulit tinggal di rumah. 

Kesulitan tidur: 
Beberapa obat resep, termasuk antidepresan, dapat menyebabkan insomnia dan kebutuhan akan obat tidur. Bicarakan dengan dokter tentang cara untuk membantu menghindari efek samping semacam ini.

Perubahan nafsu makan: 
Beberapa obat berdampak pada nafsu makan , baik menurunkan nafsu makan atau, seperti yang umumnya terjadi ketika mengonsumsi obat steroid, meningkatkan rasa lapar. Jika lansia mengalami masalah nafsu makan, tanyakan kepada dokter tentang penjadwalan pertemuan dengan ahli gizi.

Perubahan kesejahteraan secara keseluruhan: 
Obat-obatan yang tidak diminum dengan benar dapat mempengaruhi kesejahteraan seseorang. Atur agar obat-obatan ditinjau setidaknya setiap tahun atau setiap kali ada perubahan dalam resep.

        Kesalahan pengelolaan obat pada lansia dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang bervariasi tergantung pada jenis kesalahan yang terjadi. 

Beberapa contoh penyakit atau masalah kesehatan yang dapat timbul dari kesalahan pengelolaan obat pada lansia:

Efek Samping Obat: 
Lansia cenderung lebih rentan terhadap efek samping obat karena tubuh mereka mungkin lebih sensitif terhadap zat-zat kimia dalam obat. Efek samping seperti mual, pusing, kebingungan, gangguan kognitif, gangguan keseimbangan, atau reaksi alergi dapat muncul sebagai hasil dari kesalahan dosis atau interaksi obat.

Efek samping obat seperti mual,pusing, kebingungan.
(Sumber: foto canva.com)

Kerusakan Organ: 
Penggunaan obat yang tidak sesuai dosis atau obat yang berpotensi berbahaya bagi fungsi ginjal atau hati dapat menyebabkan kerusakan organ. Lansia, yang sering kali memiliki fungsi ginjal dan hati yang menurun, lebih rentan terhadap kerusakan organ tersebut.

Overdosis atau Keracunan: 
Kesalahan dalam pengelolaan dosis obat dapat menyebabkan overdosis pada lansia, yang dapat mengakibatkan keracunan obat dan berbagai masalah kesehatan serius, bahkan kematian.

Reaksi Hipersensitivitas: 
Lansia juga bisa mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obatan tertentu, yang dapat menghasilkan ruam kulit, gatal-gatal, pembengkakan, atau reaksi alergi serius lainnya.

Gangguan Kognitif atau Mental: 
Kesalahan dalam pengelolaan obat, terutama yang memengaruhi sistem saraf pusat, dapat menyebabkan gangguan kognitif atau mental pada lansia, seperti kebingungan, kehilangan memori, depresi, atau gangguan kejiwaan lainnya.

Penurunan Kualitas Hidup: 
Kesalahan dalam pengelolaan obat dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup pada lansia, baik secara fisik maupun psikologis, karena efek samping yang mengganggu atau komplikasi kesehatan yang timbul.

Peningkatan Risiko Cedera atau Kecelakaan: 
Efek samping obat tertentu, seperti pusing atau gangguan keseimbangan, dapat meningkatkan risiko jatuh dan cedera pada lansia, terutama jika mereka mengonsumsi obat-obatan yang memengaruhi sistem saraf pusat.

Peningkatan risiko jatuh karena efek samping obat pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Penting untuk memastikan bahwa lansia menerima perawatan yang tepat dari penyedia layanan kesehatan yang terlatih dan bahwa mereka dan keluarga mereka memahami instruksi penggunaan obat dengan benar. Kesalahan pengelolaan obat dapat berdampak serius pada kesehatan lansia, oleh karena itu upaya pencegahan dan pemantauan yang baik sangat penting.

       Interaksi obat adalah ketika dua atau lebih obat yang dikonsumsi bersama-sama mempengaruhi cara obat-obatan tersebut bekerja di dalam tubuh. Interaksi obat pada lansia bisa memiliki dampak yang lebih serius daripada pada kelompok usia lainnya karena lansia sering mengonsumsi beberapa jenis obat untuk mengelola kondisi kesehatan yang kompleks.

Beberapa dampak dari interaksi obat pada lansia meliputi:

Efek Samping yang Lebih Parah: 
Interaksi obat dapat meningkatkan risiko efek samping obat secara keseluruhan. Lansia cenderung lebih rentan terhadap efek samping obat karena perubahan fisiologis dalam tubuh mereka seiring bertambahnya usia.

Penurunan Efektivitas Pengobatan: 
Interaksi obat dapat mengurangi efektivitas satu atau beberapa obat yang dikonsumsi. Hal ini bisa mengurangi efektivitas pengobatan untuk kondisi kesehatan tertentu atau menyebabkan kondisi kesehatan yang ada menjadi lebih sulit dikontrol.

Resiko Kejadian Reaksi Alergi: 
Interaksi obat dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi alergi pada lansia, terutama jika mereka memiliki riwayat alergi terhadap salah satu obat yang digunakan.

Gangguan Fungsi Organ: 
Interaksi obat dapat menyebabkan gangguan fungsi organ tertentu, terutama hati dan ginjal. Lansia sering kali memiliki fungsi organ yang menurun seiring bertambahnya usia, sehingga lebih rentan terhadap efek negatif dari interaksi obat.

Kemungkinan Overdosis atau Toksisitas: 
Interaksi obat juga bisa menyebabkan peningkatan risiko overdosis atau toksisitas obat karena pengaruh gabungan obat-obatan yang saling memperkuat efeknya.

Gangguan Kognitif atau Mental: 
Beberapa interaksi obat dapat memengaruhi sistem saraf pusat dan menyebabkan gangguan kognitif atau mental pada lansia, seperti kebingungan, kehilangan memori, atau depresi.

Penurunan Kualitas Hidup: 
Interaksi obat dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup pada lansia karena efek samping yang mengganggu atau komplikasi kesehatan yang timbul.

Oleh karena itu, penting bagi lansia dan penyedia layanan kesehatan untuk memantau interaksi obat dengan cermat dan memastikan bahwa obat-obatan yang diresepkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan individu serta meminimalkan risiko interaksi obat yang merugikan.

       Mencegah kesalahan obat dan interaksi obat pada lansia memerlukan perhatian khusus dan kerja sama antara lansia, penyedia layanan kesehatan, dan keluarga atau penjaga. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah kesalahan obat dan interaksi obat pada lansia:

Komunikasi Terbuka dengan Dokter: 
Penting bagi lansia untuk berkomunikasi secara terbuka dengan dokter mereka tentang semua obat yang mereka konsumsi, termasuk obat resep, obat non-resep, dan suplemen. Dokter harus mengetahui riwayat kesehatan lengkap pasien, termasuk alergi, kondisi kesehatan yang sedang diobati, dan obat-obatan yang telah digunakan sebelumnya.

Daftar Obat yang Lengkap: 
Lansia harus memiliki daftar obat yang lengkap, termasuk nama obat, dosis, frekuensi konsumsi, dan tujuan penggunaan. Daftar ini harus diperbarui secara teratur dan dibawa setiap kali berkonsultasi dengan dokter atau apoteker.

Konsultasi dengan Apoteker: 
Apoteker adalah sumber informasi yang berharga tentang interaksi obat dan efek samping potensial. Lansia harus berkonsultasi dengan apoteker mereka untuk memastikan bahwa obat-obatan yang mereka konsumsi aman untuk dikonsumsi bersama-sama dan untuk memahami instruksi penggunaan obat dengan benar.

Pemantauan Teratur: 
Lansia harus dipantau secara teratur oleh dokter mereka untuk memantau respons terhadap pengobatan dan memeriksa kemungkinan interaksi obat. Pemantauan ini juga dapat membantu dalam menyesuaikan dosis obat jika diperlukan.

Hindari Penggunaan Obat Non-Resep yang Tidak Perlu:
Lansia harus menghindari penggunaan obat non-resep tanpa konsultasi dokter atau apoteker. Beberapa obat non-resep dapat berinteraksi dengan obat resep atau kondisi kesehatan tertentu.

Jaga Ketersediaan Informasi: 
Pastikan informasi tentang obat-obatan disimpan dengan baik dan mudah diakses, baik oleh lansia sendiri maupun oleh keluarga atau penjaga jika diperlukan.

Edukasi dan Pemahaman: 
Lansia dan keluarga atau penjaga mereka harus mendapatkan edukasi yang memadai tentang obat-obatan yang dikonsumsi, termasuk instruksi penggunaan obat, efek samping yang mungkin terjadi, dan tanda-tanda interaksi obat yang perlu diperhatikan.

Pemantauan Efek Samping: 
Lansia harus waspada terhadap gejala atau efek samping yang muncul setelah memulai penggunaan obat baru. Jika terjadi efek samping yang tidak diharapkan, segera konsultasikan dengan dokter atau apoteker.

Dengan memperhatikan langkah-langkah ini dan berkomunikasi dengan penyedia layanan kesehatan secara teratur, lansia dapat membantu mencegah kesalahan obat dan interaksi obat yang dapat membahayakan kesehatan mereka.





Sumber:

https://www.homeinstead.com/care-resources/health-conditions/10-signs-medications-could-be-to-blame/

https://www.mayoclinicproceedings.org/article/S0025-6196(14)00567-9/fulltext 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2723202/

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17512433.2019.1615442

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4922820/

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1551741121001145