Sunday, 12 October 2025

Sinyal Alarm Otak? Ini Alasan Ilmiah Mengapa Lansia Merasakan Jam Bergerak Jauh Lebih Lambat.

Pendahuluan

Pernahkah Anda merasa satu hari terasa sangat panjang?
Bagi banyak lansia, waktu sering kali terasa berjalan lambat — seolah menit demi menit melangkah pelan.
Fenomena ini bukan sekadar perasaan, melainkan hasil dari perubahan nyata di otak, tubuh, dan jiwa manusia seiring bertambahnya usia.

Lansia merasakan waktu berjalan lambat.
(Sumber: foto grup)

Artikel ini akan menjelaskan secara lembut dan ilmiah mengapa lansia merasakan waktu terasa lambat, disertai penjelasan biologis, psikologis, dan tips agar waktu terasa lebih bermakna.

1. Otak Lansia Memproses Waktu Lebih Pelan

Seiring bertambah usia, kecepatan otak dalam memproses informasi menurun secara alami.
Pada masa muda, otak memproses banyak kejadian dengan cepat — setiap hari terasa penuh dan waktu terasa cepat berlalu.

Namun, pada usia lanjut:

  • Jumlah informasi baru yang masuk berkurang,

  • Aktivitas saraf berjalan lebih lambat,

  • Sistem dopamin (zat pengatur waktu di otak) melemah.

Akibatnya, otak “merekam” lebih sedikit peristiwa dalam satu hari, sehingga waktu terasa berjalan lambat. Bagi lansia, lima belas menit bisa terasa seperti setengah jam.

 2. Rutinitas yang Sama Membuat Waktu Terasa Panjang

Ketika masih muda, hari-hari diisi dengan hal baru: belajar, bekerja, bertemu orang baru, berpetualang.
Semua hal baru ini meninggalkan jejak memori kuat di otak, sehingga waktu terasa padat dan cepat.

Sebaliknya, pada usia lanjut, rutinitas cenderung sama setiap hari.
Karena otak mengukur waktu berdasarkan banyaknya kenangan baru, hari-hari yang berulang terasa panjang dan lambat.

Maka, jika ingin waktu terasa lebih hidup, isi hari dengan aktivitas baru: menulis, belajar bahasa baru, merawat tanaman, atau bercengkerama dengan cucu.

3. Emosi Mempengaruhi Persepsi Waktu

Perasaan dan suasana hati sangat berpengaruh terhadap persepsi waktu.

  • Saat bahagia dan sibuk, waktu terasa cepat.

  • Saat sedih, kesepian, atau menunggu, waktu terasa sangat lambat.

Beberapa lansia mengalami kesepian atau kehilangan pasangan hidup, sehingga waktu seakan berhenti.
Rasa hampa membuat otak fokus pada penantian, bukan pada kegiatan.
Itulah sebabnya hari-hari terasa lebih panjang dari biasanya.

4. Perubahan Biologis dalam Tubuh

Jam biologis manusia diatur oleh bagian otak bernama nukleus suprachiasmaticus (SCN).
SCN berfungsi seperti jam alami tubuh, mengatur kapan kita merasa siang, malam, dan mengantuk.

Pada lansia:

  • Sensitivitas terhadap cahaya berkurang,

  • Tidur malam menjadi lebih singkat,

  • Produksi hormon melatonin menurun.

Perubahan ini membuat ritme siang–malam menjadi kabur, sehingga waktu terasa tidak stabil dan cenderung lambat.

Selain itu, aktivitas fisik yang menurun juga memperlambat detak jantung dan metabolisme.
Tubuh yang bergerak lambat memberi sinyal ke otak bahwa waktu juga berjalan lambat.

5. Waktu yang Lambat, Makna yang Dalam

Namun, waktu yang terasa lambat tidak selalu buruk.
Bagi banyak lansia, perlambatan waktu justru membuka ruang untuk merenung, mengenang, dan menikmati hal-hal kecil: bunyi burung, angin sore, atau senyum cucu.

Dalam fase ini, kualitas waktu lebih penting daripada kecepatannya.
Kesadaran terhadap setiap detik dapat membawa ketenangan dan makna yang lebih dalam terhadap hidup.

Tips Agar Waktu Terasa Lebih Bermakna bagi Lansia

  1. Mulai hari dengan tujuan kecil – misalnya menulis jurnal, menanam bunga, atau membaca Al-Qur’an.

  2. Lakukan kegiatan baru secara berkala agar otak terus terangsang.

  3. Berkumpul dengan orang lain – percakapan hangat membuat waktu terasa cepat berlalu.

  4. Latihan fisik ringan seperti jalan pagi atau senam lansia membantu mempercepat ritme tubuh.

  5. Latih mindfulness atau zikir tenang, agar waktu terasa damai tanpa terasa berat.

Kesimpulan

Perasaan “waktu terasa lambat” pada lansia bukan sekadar pikiran, tetapi hasil gabungan dari:

  • Penurunan kecepatan saraf dan dopamin di otak,

  • Rutinitas yang berulang,

  • Perubahan jam biologis,

  • Serta pengaruh emosi dan suasana hati.

Namun, dengan menjaga aktivitas, emosi positif, dan kesadaran spiritual, lansia dapat menjadikan setiap detik lebih bermakna daripada cepat.

Ceritakan dikolam komentar bila Anda  sering mengalami waktu terasa lambat !








 Sumber:

  1. Wittmann, M., & Lehnhoff, S. (2005). Age effects in perception of time. Acta Psychologica, 120(1), 75–90.

  2. Block, R. A. (2010). Subjective Time: The Psychology of Time Perception. Oxford University Press.

  3. Droit-Volet, S., & Meck, W. H. (2007). How emotions color our perception of time. Trends in Cognitive Sciences, 11(12), 504–513.

  4. Buhusi, C. V., & Meck, W. H. (2005). What makes us tick? Functional and neural mechanisms of interval timing. Nature Reviews Neuroscience, 6(10), 755–765.

  5. Coull, J. T., & Nobre, A. C. (2008). Dissociating explicit timing from temporal expectation with fMRI. Current Opinion in Neurobiology, 18(2), 137–144.

  6. Czeisler, C. A., et al. (1992). Stability, precision, and near-24-hour period of the human circadian pacemaker. Science, 284(5423), 2177–2181.

Thursday, 9 October 2025

BAU HANTU? Bukan! Ini Phantosmia pada Lansia.

        Selain parosmia (bau berubah menjadi bau lain), ada juga gangguan penciuman lain yang cukup sering dialami sebagian lansia, yaitu phantosmia. Kondisi ini membuat seseorang mencium bau tertentu padahal bau tersebut sebenarnya tidak ada di lingkungan sekitarnya.

Keluarga yang memiliki lansia harus memahami phantosmia.
(Sumber: foto grup)

Apa itu Phantosmia?

Phantosmia adalah persepsi penciuman palsu, yaitu munculnya sensasi mencium bau meskipun tidak ada sumber bau yang nyata. Bau yang tercium biasanya bersifat tidak menyenangkan, misalnya:

  • bau asap atau terbakar,

  • bau busuk atau kotoran,

  • bau bahan kimia seperti bensin atau cat.

Namun pada sebagian kecil kasus, bau yang tercium bisa netral atau bahkan menyenangkan.

Mengapa Lansia Rentan Mengalami Phantosmia?

  1. Perubahan Saraf Penciuman Akibat Penuaan
    Indra penciuman pada lansia mengalami penurunan fungsi. Kerusakan reseptor hidung atau jalur saraf ke otak dapat membuat otak “salah membaca” sinyal sehingga menciptakan bau palsu.

  2. Gangguan Neurologis

    • Penyakit Alzheimer dan Parkinson: phantosmia dapat menjadi gejala awal adanya gangguan otak degeneratif.

    • Epilepsi lobus temporal: pada beberapa kasus, serangan epilepsi memunculkan sensasi bau aneh sebelum kejang.

    • Stroke kecil (mikro-stroke) pada otak juga dapat merusak area pengolah penciuman.

  3. Infeksi atau Peradangan Hidung
    Sinusitis kronis, polip hidung, atau infeksi saluran napas dapat memicu aktivitas abnormal pada saraf penciuman yang menimbulkan phantosmia.

  4. Pengaruh Obat-obatan dan Zat Kimia
    Beberapa obat (misalnya antidepresan, antibiotik, atau obat jantung tertentu) dapat menimbulkan efek samping berupa bau palsu. Paparan asap rokok atau zat kimia juga bisa memperburuk kondisi ini.

Dampak Phantosmia pada Lansia

  • Gangguan nafsu makan: bau busuk yang terus tercium membuat makanan terasa tidak enak.

  • Stres psikologis: lansia merasa terganggu, sulit tidur, bahkan khawatir dianggap berhalusinasi.

  • Kualitas hidup menurun: bau yang tidak ada tetapi selalu terasa membuat lansia sulit menikmati aktivitas sehari-hari.

Contoh Kasus Nyata

Pak Budi, seorang pensiunan berusia 75 tahun, sering mengeluhkan mencium bau asap rokok di rumahnya padahal tidak ada seorang pun yang merokok. Bau itu muncul terutama di malam hari dan membuatnya sulit tidur. Keluarga awalnya mengira Pak Budi berhalusinasi. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata ia mengalami phantosmia akibat sinusitis kronis dan gangguan kecil pada saraf penciuman.

Dengan terapi obat sinusitis dan latihan penciuman, gejala phantosmia Pak Budi berangsur membaik, meskipun butuh waktu beberapa bulan.

Cara Mengatasi Phantosmia

  1. Konsultasi ke Dokter THT atau Neurolog
    Penting untuk mencari penyebab utama. Jika phantosmia disebabkan infeksi hidung, maka terapi infeksi dapat membantu. Bila berkaitan dengan saraf, perlu evaluasi lebih lanjut.

  2. Latihan Penciuman (Olfactory Training)
    Sama seperti pada parosmia, latihan mencium aroma tertentu (misalnya lemon, kayu putih, mawar, cengkeh) secara rutin dapat melatih otak mengatur ulang persepsi penciuman.

  3. Manajemen Psikologis

    • Edukasi keluarga agar memahami kondisi ini bukan sekadar “halusinasi”.

    • Dukungan emosional penting agar lansia tidak merasa dikucilkan.

  4. Pengaturan Lingkungan
    Hindari paparan asap, bahan kimia, dan bau menyengat yang bisa memperparah gejala.

Kesimpulan

Phantosmia pada lansia merupakan kondisi ketika seseorang mencium bau yang sebenarnya tidak ada. Penyebabnya beragam, mulai dari penuaan alami, infeksi hidung, efek obat, hingga penyakit saraf seperti Parkinson atau Alzheimer. Walau tidak mengancam jiwa secara langsung, phantosmia dapat menurunkan kualitas hidup lansia jika tidak ditangani dengan baik. Dukungan keluarga, pemeriksaan medis, dan latihan penciuman dapat membantu mengurangi keluhan ini.

Pernahkah Anda mengalami Phantosmia? Ceritakan pengalaman Anda!





 Sumber:

  • Leopold, D. A. (2002). Distortion of olfactory perception: Diagnosis and treatment. Chemical Senses, 27(7), 611–615.

  • Landis, B. N., Frasnelli, J., & Hummel, T. (2005). Disorders of olfaction: The impact on quality of life. Chemical Senses, 30(1), i-73.

  • Doty, R. L. (2017). Olfactory dysfunction in neurodegenerative diseases: Is there a common pathological substrate? The Lancet Neurology, 16(6), 478–488.

  • National Institute on Aging. (2022). Sensory Changes with Aging. NIH.

  • Reden, J., Maroldt, H., Fritz, A., Zahnert, T., & Hummel, T. (2007). A study on the prognostic significance of qualitative olfactory dysfunction. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 264(2), 139–144.

Tuesday, 7 October 2025

Rahasia Tenang di Usia Senja: Manfaat Merenung yang Tak Banyak Diketahui

       Di usia senja, banyak orang merasa hidup berjalan lebih lambat. Aktivitas tak sepadat dulu, anak-anak sudah mandiri, sementara tubuh juga tak sekuat ketika muda. Dalam kesunyian itu, sering kali muncul satu kegiatan yang alami: merenung.

Namun, apa sebenarnya merenung itu? Apakah selalu baik, atau justru bisa berbahaya jika berlebihan?

Ilustrasi kegiatan merenung dilakukan lansia.
(Sumber: foto forum 99)

Apa Itu Merenung?

Merenung adalah saat kita berhenti sejenak dari kesibukan, lalu memikirkan sesuatu dengan tenang dan mendalam. Kadang tentang masa lalu, kenangan, atau sekadar merenungi makna hidup.

Berbeda dengan “lamun kosong”, merenung justru bisa menjadi sarana untuk memahami diri, mendekat pada Tuhan, dan menemukan kembali semangat hidup.

Manfaat Merenung

Banyak penelitian menunjukkan bahwa merenung dengan cara yang tepat bermanfaat besar bagi kesehatan mental lansia:

  • Menenangkan hati: rasa cemas dan stres berkurang.

  • Meningkatkan kesadaran diri: lebih mudah memahami kelemahan dan kelebihan diri.

  • Membantu mengambil keputusan: tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.

  • Menguatkan spiritual: memperdalam syukur dan doa.

  • Mengusir sepi: saat merenung, jiwa terasa ditemani oleh kenangan dan harapan.

Saat Merenung Jadi Beban

Meski bermanfaat, merenung yang terlalu lama tanpa arah bisa membawa risiko:

  • Pikiran jadi berputar-putar (overthinking).

  • Muncul rasa takut berlebihan akan masa depan.

  • Menjadi sedih terus menerus karena mengingat masa lalu.

  • Sulit tidur karena pikiran tak berhenti bekerja.

  • Enggan bersosialisasi karena terlalu larut dalam pikiran sendiri.

Tips Merenung yang Sehat

Agar merenung menjadi sahabat jiwa, lakukan dengan cara sederhana:

  1. Pilih waktu yang tenang – pagi hari setelah bangun, atau malam sebelum tidur.

  2. Batasi waktu – cukup 10–15 menit, jangan sampai terlalu lama.

  3. Fokus pada hal positif – renungkan syukur, doa, atau pelajaran hidup.

  4. Tulis renungan – catat dalam buku harian agar pikiran lebih ringan.

  5. Seimbangkan dengan aktivitas – setelah merenung, bergeraklah: berjalan, membaca, atau bercengkerama dengan keluarga.

  6. Berbagi cerita – bila renungan terasa berat, bicarakan pada orang terdekat..

Penutup

Merenung adalah anugerah di usia senja. Ia bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan, kedamaian hati, dan rasa syukur mendalam. Namun ingat, jangan biarkan merenung berubah menjadi jerat kesedihan. Dengan cara yang sehat, merenung akan menjadi sahabat setia yang menemani perjalanan hidup hingga akhir.




Sumber:

1. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Books.

2. Brown, B. (2010). The Gifts of Imperfection: Let Go of Who You Think You're Supposed to Be and Embrace Who You Are. Minnesota: Hazelden Publishing.

3. Nolen-Hoeksema, S., Wisco, B. E., & Lyubomirsky, S. (2008). Rethinking Rumination. Perspectives on Psychological Science, 3(5), 400–424.

4. Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research, Practice. New York: Guilford Press.

5. Teasdale, J. D., Segal, Z. V., & Williams, J. M. G. (1995). How Does Cognitive Therapy Prevent Depressive Relapse and Why Should Attentional Control (Mindfulness) Training Help? Behaviour Research and Therapy, 33(1), 25–39.

6. Tice, D. M., & Baumeister, R. F. (1993). Controlling Anger: Self-Induced Emotion Change. Journal of Personality and Social Psychology, 63(3), 408–419.

7. Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. New York: Basic Books.