Tuesday, 7 October 2025

Rahasia Tenang di Usia Senja: Manfaat Merenung yang Tak Banyak Diketahui

       Di usia senja, banyak orang merasa hidup berjalan lebih lambat. Aktivitas tak sepadat dulu, anak-anak sudah mandiri, sementara tubuh juga tak sekuat ketika muda. Dalam kesunyian itu, sering kali muncul satu kegiatan yang alami: merenung.

Namun, apa sebenarnya merenung itu? Apakah selalu baik, atau justru bisa berbahaya jika berlebihan?

Ilustrasi kegiatan merenung dilakukan lansia.
(Sumber: foto forum 99)

Apa Itu Merenung?

Merenung adalah saat kita berhenti sejenak dari kesibukan, lalu memikirkan sesuatu dengan tenang dan mendalam. Kadang tentang masa lalu, kenangan, atau sekadar merenungi makna hidup.

Berbeda dengan “lamun kosong”, merenung justru bisa menjadi sarana untuk memahami diri, mendekat pada Tuhan, dan menemukan kembali semangat hidup.

Manfaat Merenung

Banyak penelitian menunjukkan bahwa merenung dengan cara yang tepat bermanfaat besar bagi kesehatan mental lansia:

  • Menenangkan hati: rasa cemas dan stres berkurang.

  • Meningkatkan kesadaran diri: lebih mudah memahami kelemahan dan kelebihan diri.

  • Membantu mengambil keputusan: tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.

  • Menguatkan spiritual: memperdalam syukur dan doa.

  • Mengusir sepi: saat merenung, jiwa terasa ditemani oleh kenangan dan harapan.

Saat Merenung Jadi Beban

Meski bermanfaat, merenung yang terlalu lama tanpa arah bisa membawa risiko:

  • Pikiran jadi berputar-putar (overthinking).

  • Muncul rasa takut berlebihan akan masa depan.

  • Menjadi sedih terus menerus karena mengingat masa lalu.

  • Sulit tidur karena pikiran tak berhenti bekerja.

  • Enggan bersosialisasi karena terlalu larut dalam pikiran sendiri.

Tips Merenung yang Sehat

Agar merenung menjadi sahabat jiwa, lakukan dengan cara sederhana:

  1. Pilih waktu yang tenang – pagi hari setelah bangun, atau malam sebelum tidur.

  2. Batasi waktu – cukup 10–15 menit, jangan sampai terlalu lama.

  3. Fokus pada hal positif – renungkan syukur, doa, atau pelajaran hidup.

  4. Tulis renungan – catat dalam buku harian agar pikiran lebih ringan.

  5. Seimbangkan dengan aktivitas – setelah merenung, bergeraklah: berjalan, membaca, atau bercengkerama dengan keluarga.

  6. Berbagi cerita – bila renungan terasa berat, bicarakan pada orang terdekat..

Penutup

Merenung adalah anugerah di usia senja. Ia bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan, kedamaian hati, dan rasa syukur mendalam. Namun ingat, jangan biarkan merenung berubah menjadi jerat kesedihan. Dengan cara yang sehat, merenung akan menjadi sahabat setia yang menemani perjalanan hidup hingga akhir.




Sumber:

1. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Books.

2. Brown, B. (2010). The Gifts of Imperfection: Let Go of Who You Think You're Supposed to Be and Embrace Who You Are. Minnesota: Hazelden Publishing.

3. Nolen-Hoeksema, S., Wisco, B. E., & Lyubomirsky, S. (2008). Rethinking Rumination. Perspectives on Psychological Science, 3(5), 400–424.

4. Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research, Practice. New York: Guilford Press.

5. Teasdale, J. D., Segal, Z. V., & Williams, J. M. G. (1995). How Does Cognitive Therapy Prevent Depressive Relapse and Why Should Attentional Control (Mindfulness) Training Help? Behaviour Research and Therapy, 33(1), 25–39.

6. Tice, D. M., & Baumeister, R. F. (1993). Controlling Anger: Self-Induced Emotion Change. Journal of Personality and Social Psychology, 63(3), 408–419.

7. Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. New York: Basic Books.

 

Sunday, 5 October 2025

Sistem Limbik: Sahabat Tersembunyi Otak yang Menjaga Lansia Tetap Bahagia

       Banyak orang mengenal otak sebagai pusat berpikir. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa ada bagian khusus dalam otak yang menjadi “rumah” bagi emosi, ingatan, dan rasa bahagia—yaitu sistem limbik. Bagi lansia, memahami sistem limbik bukan sekadar ilmu, melainkan bekal penting untuk menjaga kualitas hidup.

Ilustrasi lansia yang sedang berbahagia.
(Sumber: foto rek.ai)

Apa itu Sistem Limbik?

Sistem limbik adalah jaringan kompleks di dalam otak yang berperan penting dalam mengatur emosi, motivasi, ingatan, dan perilaku sosial. Bisa dibilang, inilah “pusat emosi” manusia.
Kalau otak kita ibarat komputer, sistem limbik adalah bagian yang memberi warna perasaan, bukan sekadar hitungan logis.

Mengapa Penting Bagi Lansia?

  1. Penjaga Memori
    Seiring bertambahnya usia, daya ingat sering menurun. Hipokampus, bagian dari sistem limbik, sangat berperan dalam menyimpan kenangan. Melatih otak dengan aktivitas sederhana—seperti membaca, menulis, atau bercerita—dapat membantu memperlambat pelupa.

  2. Pengatur Emosi
    Perasaan cemas, marah, atau sedih sering datang tanpa alasan jelas. Dengan memahami bahwa amigdala di sistem limbik yang mengatur emosi, lansia dapat lebih mudah menerima perubahan suasana hati dan mencari cara menenangkan diri, misalnya lewat relaksasi atau doa.

  3. Sumber Kebahagiaan Alami
    Sistem limbik terhubung dengan hormon kebahagiaan seperti dopamin dan serotonin. Jalan santai di pagi hari, bercengkerama dengan cucu, atau sekadar menikmati musik dapat merangsang hormon ini. Hasilnya, hati terasa lebih ringan.

  4. Pencegah Stres dan Depresi
    Stres kronis dapat melemahkan sistem limbik, membuat lansia lebih rentan terhadap depresi. Menjaga gaya hidup sehat dan berinteraksi dengan orang-orang terdekat membantu otak tetap seimbang.

  5. Menguatkan Ikatan Sosial
    Sistem limbik juga berperan dalam kasih sayang dan hubungan sosial. Lansia yang sering bersosialisasi dan merasa dicintai cenderung memiliki kesehatan otak yang lebih baik, sekaligus terhindar dari kesepian.

       Menjaga sistem limbik pada lansia sangat penting, karena sistem ini berperan besar dalam emosi, memori, motivasi, dan keseimbangan suasana hati. Saat seseorang menua, fungsi sistem limbik cenderung menurun akibat perubahan biologis pada otak, stres kronis, atau gaya hidup yang kurang sehat.

Cara Menjaga Sistem Limbik pada Lansia:

1. Aspek Biologis: Menjaga Kesehatan Otak Secara Fisik

a. Nutrisi untuk sistem limbik

  • Omega-3 (dari ikan laut seperti salmon, sarden, atau minyak ikan) membantu menjaga koneksi saraf (sinapsis).

  • Antioksidan (vitamin C, E, dan polifenol dari buah beri, teh hijau, sayuran hijau) melindungi sel otak dari radikal bebas.

  • Kurangi gula berlebih dan makanan ultra-proses, karena dapat mempercepat peradangan otak (neuroinflammation).

  • Konsumsi cukup air karena dehidrasi ringan saja dapat menurunkan fungsi memori dan emosi.

b. Tidur cukup dan berkualitas

Tidur adalah waktu otak memperbaiki jaringan dan membersihkan zat sisa metabolik (melalui sistem glinfatik). Kurang tidur dapat merusak keseimbangan emosional dan menurunkan kerja hippocampus (bagian dari sistem limbik).
➡️ Disarankan: 7–8 jam tidur malam yang tenang dan teratur.

c. Aktivitas fisik rutin

Gerakan ringan seperti jalan kaki, senam lansia, atau yoga meningkatkan aliran darah ke otak, merangsang neuroplastisitas, dan menurunkan hormon stres (kortisol).
➡️ Ideal: 30 menit per hari, 5 hari seminggu.

2. Aspek Psikologis: Menyeimbangkan Emosi dan Pikiran

a. Latihan kesadaran dan meditasi

Kegiatan seperti dzikir, doa tenang, atau meditasi ringan menurunkan aktivitas amigdala (pusat ketakutan), memperkuat koneksi antara korteks prefrontal dan sistem limbik — membuat emosi lebih stabil.

b. Hindari stres kronis

Stres lama meningkatkan hormon kortisol yang dapat mengecilkan hippocampus, bagian otak yang mengatur memori dan pembelajaran.
➡️ Solusi: latihan pernapasan, relaksasi, aktivitas hobi, atau berbicara dengan orang yang dipercaya.

c. Melatih ingatan dan kreativitas

Kegiatan seperti membaca, menulis, menggambar, bermain musik, atau belajar bahasa baru menstimulasi sistem limbik dan memperlambat penurunan kognitif.

3. Aspek Sosial dan Spiritual: Penguatan Makna Hidup

  • Bersosialisasi aktif (bertemu teman, ikut kegiatan komunitas, atau majelis ilmu) menjaga produksi hormon oksitosin yang menenangkan sistem limbik.

  • Rasa syukur dan ibadah teratur dapat menurunkan kecemasan dan meningkatkan keseimbangan emosi.

  • Memiliki tujuan hidup (ikigai) memberi makna dan motivasi — memperkuat bagian limbik yang mengatur semangat dan keinginan untuk bertahan hidup.

4. Pemeriksaan dan Deteksi Dini

Jika lansia sering mengalami:

  • mudah marah atau cemas tanpa sebab,

  • sering lupa,

  • menarik diri dari lingkungan,

  • atau perubahan mood ekstrem,
    maka sebaiknya konsultasi ke dokter saraf atau psikiater geriatri, karena bisa jadi ada gangguan pada sistem limbik (misal: depresi, demensia, atau gangguan stres kronis).

Penutup

         Memahami sistem limbik memberi lansia kesempatan untuk menjaga ingatan, mengatur emosi, dan meraih kebahagiaan. Otak bukan hanya mesin berpikir, tetapi juga sahabat setia yang menyimpan rasa cinta, kenangan indah, dan semangat hidup.






Sumber:

1. Bear, M. F., Connors, B. W., & Paradiso, M. A. (2020). Neuroscience: Exploring the Brain (4th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

2. LeDoux, J. E. (2000). Emotion circuits in the brain. Annual Review of Neuroscience, 23, 155–184.

3. Rolls, E. T. (2015). Limbic systems for emotion and memory, with special reference to the hippocampal formation. Cortex, 62, 119–157.

4. Aggleton, J. P. (2012). The Amygdala: A Functional Analysis (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

5. Dalgleish, T. (2004). The emotional brain. Nature Reviews Neuroscience, 5(7), 583–589.

6. LeDoux, J. E. (2012). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. Simon & Schuster.

7. Sapolsky, R. M. (2017). Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst. Penguin.





Saturday, 4 October 2025

Mengapa Lansia Tiba-Tiba Merasa Lelah?

        Seiring bertambahnya usia, tubuh mengalami banyak perubahan. Kadang, lansia merasa tiba-tiba lelah, meskipun tidak melakukan pekerjaan berat. Rasa lelah ini wajar, tetapi juga bisa menjadi tanda tubuh membutuhkan perhatian lebih.

Ilustrasi lansia yang berjalan dengan lemah.
(Sumber: image ai)

Pengertian Lelah

       Lelah adalah kondisi ketika tubuh atau pikiran merasa berkurang tenaganya, sehingga muncul rasa letih, capek, atau tidak bertenaga. Lelah bisa terjadi setelah bekerja keras, berpikir terlalu lama, kurang tidur, atau karena adanya penyakit tertentu.

Dalam istilah medis, lelah sering disebut fatigue. Berbeda dengan rasa kantuk biasa, lelah bisa menyentuh fisik maupun mental:

  • Lelah fisik: otot terasa berat, tubuh lemas, langkah melambat.

  • Lelah mental: sulit konsentrasi, mudah lupa, pikiran terasa penuh.

Penyebab yang Sering Terjadi

  1. Perubahan alami tubuh
    Otot melemah, metabolisme melambat, dan jantung bekerja lebih keras. Akibatnya, energi cepat habis walau hanya beraktivitas ringan.

  2. Gangguan tidur
    Banyak lansia tidur sebentar-sebentar, sering terbangun untuk buang air kecil, atau mengalami gangguan tidur seperti mendengkur dan sleep apnea. Hal ini membuat tubuh tidak benar-benar pulih.

  3. Kurang gizi dan cairan
    Nafsu makan yang berkurang menyebabkan tubuh tidak mendapat cukup protein, zat besi, atau vitamin. Ditambah lagi, jika jarang minum air, tubuh bisa dehidrasi dan membuat cepat lelah.

  4. Efek obat-obatan
    Obat darah tinggi, obat tidur, atau obat jantung kadang menimbulkan kantuk atau lemah. Jika dikombinasikan, efek ini bisa lebih kuat.

  5. Penyakit tertentu

    • Jantung: penyakit jantung sering membuat lelah mendadak.

    • Paru-paru: kurang oksigen karena gangguan paru membuat tubuh lemas.

    • Diabetes: gula darah naik turun cepat menimbulkan kelelahan.

    • Infeksi ringan: misalnya infeksi saluran kemih, bisa membuat lansia merasa tidak bertenaga.

  6. Faktor psikologis
    Stres, cemas, atau kesepian juga bisa membuat tubuh cepat lelah. Pikiran yang berat bisa menguras energi seperti halnya aktivitas fisik.

Kapan Harus Waspada?

Segera periksa ke dokter jika rasa lelah:

  • Muncul mendadak tanpa sebab jelas.

  • Disertai nyeri dada, sesak, atau pusing berat.

  • Tidak hilang meski sudah istirahat dan makan cukup.

  • Diikuti berat badan turun tanpa sebab.

Tips agar Lansia Tidak Mudah Lelah

  • Tidur cukup 6–8 jam dengan jadwal teratur.

  • Minum air yang cukup setiap hari.

  • Konsumsi makanan bergizi, kaya protein dan vitamin.

  • Lakukan aktivitas fisik ringan (jalan pagi, senam lansia).

  • Berinteraksi sosial agar pikiran lebih segar.

  • Konsultasikan obat yang diminum dengan dokter jika sering merasa lelah.

       Dengan memahami penyebabnya, lansia dan keluarga bisa lebih tenang. Lelah mendadak bisa hal biasa, tapi bila berulang, jangan ragu untuk memeriksakan diri.




 Sumber:

  1. National Institute on Aging. (2021). Fatigue in Older Adults. U.S. Department of Health & Human Services.

  2. Harvard Health Publishing. (2020). Why am I so tired? Causes of fatigue in older adults. Harvard Medical School.

  3. American Heart Association. (2019). Fatigue and Heart Disease in Seniors.

  4. British Geriatrics Society. (2020). Age-related changes in sleep and fatigue.

  5. Mayo Clinic. (2021). Fatigue: Causes and when to see a doctor.

  6. World Health Organization. (2018). Ageing and health.


 

Thursday, 2 October 2025

Apakah Minum Air Dingin Bisa Menyebabkan Flu?

        Banyak orang percaya bahwa minum air dingin, apalagi es batu, bisa langsung bikin kita flu. Sebenarnya, flu bukan datang dari es, melainkan dari virus yang masuk ke tubuh. Namun, ada alasan biologis mengapa setelah minum air dingin tubuh terasa lebih mudah terserang pilek atau flu.

Ilustrasi lansia yang sedang flu.
(Sumber: image ai)

Apa yang Terjadi di Tubuh Saat Minum Air Dingin?

  1. Tenggorokan jadi lebih dingin
    Saat air es masuk, pembuluh darah di tenggorokan menyempit. Akibatnya, aliran darah dan sel imun di sana berkurang. Pertahanan tubuh melemah, dan kalau ada virus, ia lebih mudah berkembang.

  2. Lendir jadi lebih kental
    Normalnya, lendir di hidung dan tenggorokan itu encer. Fungsinya untuk menjebak debu dan kuman, lalu dibersihkan oleh bulu halus (silia). Tapi saat minum dingin, lendir bisa mengental. Akibatnya, kuman lebih sulit dibersihkan.

  3. Refleks tubuh terasa seperti pilek
    Dingin dapat merangsang saraf di hidung dan tenggorokan, sehingga hidung terasa berair atau tersumbat. Ini bukan flu sungguhan, tapi sering dianggap gejala flu.

  4. Imunitas lokal menurun
    Pertahanan tubuh di area hidung dan tenggorokan sementara jadi lemah. Kalau kondisi badan sedang capek, kurang tidur, atau banyak virus bertebaran, peluang terkena flu jadi lebih besar.

Jadi, Apakah Aman Minum Air Dingin?

Aman saja, asal tidak berlebihan. Untuk sebagian orang, minum dingin tidak menimbulkan masalah. Tetapi bagi orang yang sensitif, terutama lansia, lebih baik berhati-hati.

Tips untuk Lansia agar Tetap Nyaman

  • Pilih air hangat atau suhu ruang, karena lebih ramah bagi tenggorokan.

  • Bila ingin minum dingin, lakukan perlahan dan sedikit demi sedikit.

  • Hindari minum es saat tubuh sedang lelah, masuk angin, atau kehujanan.

  • Pastikan es atau air dingin yang diminum bersih dan higienis, agar tidak membawa kuman.

  • Dengarkan tubuh sendiri: bila terasa gampang pilek setelah minum dingin, sebaiknya kurangi.

Kesimpulan

Minum air dingin tidak langsung menyebabkan flu, tapi bisa membuat pertahanan tubuh melemah sementara. Karena itu, virus lebih mudah menyerang. Untuk menjaga kesehatan, khususnya bagi lansia, air hangat tetap pilihan terbaik sehari-hari.








Sumber:

  1. Eccles, R. (2002). Acute cooling of the body surface and the common cold. Rhinology, 40(3), 109–114.

  2. Mourtzoukou, E. G., & Falagas, M. E. (2007). Exposure to cold and respiratory tract infections. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 11(9), 938–943.

  3. National Health Service (NHS). (2022). Common cold. NHS UK.

  4. Harvard Health Publishing. (2019). The truth about the common cold. Harvard Medical School.

  5. Mayo Clinic. (2021). Cold, flu, and sinus infections: What's the difference? Mayo Clinic.

 


Monday, 29 September 2025

Mengapa Bulu Kuduk Berdiri Saat Takut?

        Pernahkah Anda merasa merinding, lalu bulu kuduk ikut berdiri? Biasanya itu terjadi saat mendengar cerita seram, melihat bayangan di malam hari, atau bahkan ketika terharu mendengar lagu yang menyentuh hati. Mengapa bisa begitu?

lansia sering merasa takut dengan sesuatu yang tidak jelas.
(Sumber: image ai)

Apa Itu Bulu Kuduk?

Bulu kuduk sebenarnya adalah rambut-rambut halus di kulit kita. Di bawahnya ada otot kecil bernama arrector pili. Ketika otot ini menegang, rambut ikut berdiri. Itulah yang kita rasakan sebagai bulu kuduk berdiri.

Mengapa Bisa Berdiri Saat Takut?

Ketika kita merasa takut, otak mengirim sinyal bahaya. Tubuh langsung bersiap: jantung berdetak cepat, napas lebih pendek, dan otot-otot tegang. Termasuk otot kecil pada folikel rambut. Akibatnya, bulu kuduk pun berdiri.

Sebenarnya ini adalah warisan dari nenek moyang kita. Pada hewan berbulu tebal, bulu yang berdiri membuat tubuh tampak lebih besar agar musuh gentar. Pada manusia, bulu sudah jarang, jadi yang tersisa hanya sensasi merinding.

Tidak Hanya Takut

Menariknya, bulu kuduk tidak hanya berdiri karena takut. Ia juga bisa muncul saat kita merasa haru, kagum, atau terpesona oleh sesuatu yang indah. Jadi, bulu kuduk adalah tanda bahwa tubuh sedang mengalami emosi yang kuat.

Kesimpulan:

Bulu kuduk berdiri adalah reaksi alami tubuh saat kita mengalami emosi yang kuat, terutama rasa takut. Mekanisme ini adalah bagian dari sistem pertahanan diri, meski kini lebih terasa sebagai merinding dibandingkan fungsi perlindungan nyata.








Sumber

Biologi & Fisiologi

  1. Eckert, R., Randall, D., & Augustine, G. (2000). Animal Physiology: Mechanisms and Adaptations. W.H. Freeman.
     

  2. Johnson, M. H. (1994). Human Biology and Health. Prentice Hall.
     

Psikologi & Neurosains

  1. LeDoux, J. (1996). The Emotional Brain. Simon & Schuster.
     

  2. Benedek, M., & Kaernbach, C. (2011). Physiological correlates and emotional specificity of human piloerection. Biological Psychology, 86(3), 320–329.
     

Antropologi & Evolusi

  1. Darwin, C. (1872). The Expression of the Emotions in Man and Animals. John Murray.
     


Sunday, 28 September 2025

Mengapa Kita Takut Melewati Kuburan di Malam Hari?

        Banyak orang, dari anak kecil hingga orang dewasa, merasa enggan atau bahkan takut melewati kuburan ketika malam tiba. Padahal, siang hari tempat itu terasa biasa saja. Mengapa malam hari berbeda?

Ilustrasi lansia ketakutan melewati kuburan.
(Sumber: image ai)

Rasa Takut Itu Wajar

Tubuh manusia diciptakan dengan kewaspadaan. Saat suasana gelap dan sunyi, otak kita menjadi lebih siaga. Bayangan samar, suara angin, atau ranting patah sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Maka, jantung berdebar, bulu kuduk berdiri, dan langkah terasa berat. Ini adalah mekanisme alami, bukan kelemahan.

Kuburan dan Ingatan Kita

Kuburan adalah tempat peristirahatan terakhir manusia. Ia mengingatkan kita pada kematian, sesuatu yang misterius dan sering menimbulkan rasa cemas. Selain itu, sejak kecil kita mendengar cerita seram tentang hantu dan roh gentayangan. Cerita-cerita itu tersimpan dalam ingatan, lalu muncul kembali saat kita melintasi makam pada malam hari.

Makna Religius

Dalam pandangan agama, kuburan adalah tempat yang sakral. Di sana jasad beristirahat, menunggu kebangkitan kelak. Rasa takut yang muncul bisa dipahami sebagai bentuk rasa hormat: kita diajak untuk tidak bermain-main, melainkan mengingat bahwa hidup ini sementara. Takut pada kuburan, pada dasarnya, adalah pengingat untuk lebih dekat pada Tuhan.

Dari Takut Menjadi Tenang

Meski rasa takut wajar, kita bisa mengubahnya menjadi ketenangan. Caranya dengan berdoa, mengingat bahwa roh orang beriman berada dalam ketenangan, dan bahwa Tuhan selalu melindungi kita. Dengan begitu, kuburan bukan lagi tempat yang menakutkan, tetapi ruang hening yang mengingatkan kita untuk hidup lebih baik.

Penutup:

Takut melewati kuburan di malam hari adalah hal yang manusiawi. Namun jika direnungkan, rasa takut itu sesungguhnya membawa pesan: hidup ini fana, maka gunakanlah waktu dengan penuh kebaikan. Kuburan bukan sekadar tempat yang menakutkan, melainkan cermin agar kita lebih bijak, lebih lembut, dan lebih dekat kepada Sang Pencipta.







Sumber:

Agama & Religius

  1. Al-Qur’an

    • QS. Al-Mulk: 2 → “Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu...”

    • QS. Al-‘Imran: 185 → “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati...”

  2. Hadis

    • HR. Muslim: “Seringlah kalian mengingat penghancur kelezatan, yaitu kematian.”
      → Mengingat kuburan adalah bagian dari mengingat kematian.

Psikologi & Neurosains

  1. LeDoux, J. (1996). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. Simon & Schuster.

  2. Ohman, A., & Mineka, S. (2001). Fears, Phobias, and Preparedness: Toward an Evolved Module of Fear and Fear Learning. Psychological Review, 108(3), 483–522.

  3. Gray, J. A. (1987). The Psychology of Fear and Stress. Cambridge University Press.

Antropologi & Budaya

  1. Eliade, M. (1959). The Sacred and the Profane. Harcourt.Davies, O. (2007). The Haunted: A Social History of Ghosts. Palgrave Macmillan. Intinya

Wednesday, 24 September 2025

Detak Jantung dan Pencernaan: Hubungan Erat yang Sering Terlupakan

        Ketika perut terasa penuh setelah makan, atau dada berdebar saat mengalami gangguan lambung, banyak orang mengira itu murni masalah jantung. Padahal, pencernaan dan jantung punya hubungan yang jauh lebih erat daripada yang kita bayangkan. Inilah kisah menarik tentang bagaimana perut dan jantung “berbicara” satu sama lain, serta apa yang bisa kita lakukan agar keduanya tetap sehat.

Makanan sehat membuat jantung sehat.
(Sumber: foto LPC)

Pencernaan, Otak Kedua dalam Tubuh

Tahukah Anda bahwa di balik usus terdapat jaringan saraf yang jumlahnya mencapai ratusan juta? Jaringan ini disebut Enteric Nervous System (ENS), atau sering dijuluki “otak kedua”. Julukan itu bukan tanpa alasan. ENS dapat bekerja mandiri mengatur gerakan usus, produksi enzim pencernaan, hingga komunikasi dengan bakteri baik yang hidup di dalam perut.

Namun, ENS juga terhubung erat dengan otak utama melalui saraf vagus. Dari sinilah jembatan komunikasi antara perut dan organ lain, termasuk jantung, terbentuk.

Jantung, Mesin yang Peka

Jantung memiliki sistem listrik sendiri yang membuatnya tetap berdetak meskipun terpisah dari otak. Tetapi kecepatan detaknya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom:

  • Simpatis → mempercepat detak jantung saat tubuh stres, cemas, atau tertekan.

  • Parasimpatik (saraf vagus) → menenangkan jantung ketika tubuh dalam keadaan rileks.

Kondisi pencernaan dapat memicu perubahan pada kedua jalur saraf ini, sehingga jantung ikut merespons.

Bagaimana Pencernaan Memengaruhi Detak Jantung?

  1. Refluks Asam (GERD)
    Asam lambung yang naik ke kerongkongan bisa mengiritasi saraf vagus. Akibatnya, jantung bisa berdetak lebih cepat atau terasa berdebar.

  2. Perut Kembung dan Makan Berlebihan
    Gas berlebih atau perut terlalu penuh menekan diafragma. Tekanan ini memberi sensasi jantung berdegup lebih keras.

  3. Nyeri Usus atau Lambung
    Rasa sakit dianggap sebagai sinyal “bahaya” oleh otak, memicu sistem saraf simpatis. Hasilnya, adrenalin meningkat dan jantung berdenyut lebih cepat.

  4. Makanan Tertentu
    Kopi, alkohol, gula berlebih, atau makanan pedas dapat merangsang sistem saraf dan hormon yang akhirnya memengaruhi ritme jantung.

Bukti Ilmiah Hubungan Perut dan Jantung

Penelitian modern menyebut fenomena ini sebagai bagian dari gut–brain–heart axis. Beberapa studi menunjukkan bahwa:

  • ± 90% serotonin tubuh (hormon yang juga memengaruhi jantung) diproduksi di usus.

  • Gangguan mikrobiota usus bisa meningkatkan risiko gangguan irama jantung (aritmia).

  • Peradangan kronis di saluran cerna berkaitan dengan kesehatan kardiovaskular yang menurun.

Tips Menjaga Pencernaan agar Jantung Ikut Terlindungi

  1. Makan dengan porsi wajar – hindari makan berlebihan agar perut tidak menekan diafragma.

  2. Batasi kopi, alkohol, dan makanan pedas – zat ini bisa memicu refluks dan palpitasi (jantung berdebar).

  3. Perbanyak serat dan probiotik – makanan berserat serta yoghurt atau tempe dapat menyeimbangkan bakteri baik usus.

  4. Kelola stres – karena stres memengaruhi perut sekaligus jantung melalui saraf simpatis.

  5. Berolahraga teratur – aktivitas fisik ringan seperti jalan cepat membantu memperbaiki sirkulasi darah sekaligus memperlancar pencernaan.

  6. Cek kesehatan rutin – jika jantung sering berdebar setelah makan, segera konsultasi untuk memastikan apakah penyebabnya pencernaan atau masalah jantung sesungguhnya.

Penutup

Tubuh kita ibarat sebuah orkestra, di mana jantung dan pencernaan memainkan instrumen masing-masing. Jika perut terganggu, jantung bisa ikut “salah nada”. Begitu pula sebaliknya. Menjaga pola makan, mengelola stres, dan hidup seimbang adalah cara terbaik agar “musik tubuh” tetap harmonis.




Sumber:

1. Gershon, M. D. (1998). The Second Brain: A Groundbreaking New Understanding of Nervous Disorders of the Stomach and Intestine. HarperCollins.

2. Mayer, E. A. (2011). Gut feelings: the emerging biology of gut–brain communication. Nature Reviews Neuroscience, 12(8), 453–466. https://doi.org/10.1038/nrn3071

3. Breit, S., Kupferberg, A., Rogler, G., & Hasler, G. (2018). Vagus Nerve as Modulator of the Brain–Gut Axis in Psychiatric and Inflammatory Disorders. Frontiers in Psychiatry, 9, 44. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00044

4. Carabotti, M., Scirocco, A., Maselli, M. A., & Severi, C. (2015). The gut-brain axis: interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous systems. Annals of Gastroenterology, 28(2), 203–209.

5. Lubomski, M., Tan, A. H., Lim, S. Y., Holmes, A. J., Davis, R. L., & Sue, C. M. (2019). Parkinson’s disease and the gastrointestinal microbiome. Journal of Neurology, 267(9), 2507–2523. https://doi.org/10.1007/s00415-019-09320-1

6. Krishnan, B., Babu, S., Walker, J., Walker, A. B., & Pappachan, J. M. (2021). Gastrointestinal complications of diabetes mellitus. World Journal of Diabetes, 12(9), 1401–1422. https://doi.org/10.4239/wjd.v12.i9.1401

Thursday, 18 September 2025

Pencernaan dan Otak: Dua Dunia yang Ternyata Saling Terhubung

 Pengertian

       Hubungan antara pencernaan dan otak dikenal dengan istilah gut-brain axis atau sumbu otak-usus. Istilah ini merujuk pada sistem komunikasi dua arah yang melibatkan sistem saraf pusat (otak), sistem saraf enterik (jaringan saraf di usus), mikrobiota usus, serta sistem kekebalan tubuh. Dengan kata lain, otak dan pencernaan tidak bekerja secara terpisah, melainkan saling memengaruhi melalui jalur saraf, hormon, dan sinyal kimia.

Lansia perlu memilih makanan sehat agar pikiran tetap sehat.
(Sumber: Paguyuban Pengawas Purna)

Bagaimana Hubungan Itu Timbul

  1. Sistem Saraf
    Usus memiliki jaringan saraf yang disebut enteric nervous system (ENS), sering dijuluki sebagai otak kedua. ENS berkomunikasi dengan otak melalui saraf vagus, yang menjadi jalur utama pertukaran sinyal antara usus dan otak.

  2. Mikrobiota Usus
    Usus dihuni oleh miliaran mikroorganisme. Mikrobiota ini mampu menghasilkan neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA) yang berperan dalam suasana hati dan fungsi kognitif. Menariknya, sekitar 90% serotonin tubuh diproduksi di usus.

  3. Sistem Kekebalan Tubuh
    Lebih dari 70% sel imun berada di saluran pencernaan. Aktivitas imun di usus dapat memengaruhi kondisi peradangan sistemik yang berdampak pada kesehatan otak.

  4. Hormon dan Metabolit
    Usus menghasilkan hormon yang mengatur nafsu makan dan metabolisme, seperti ghrelin dan leptin, yang juga memengaruhi fungsi kognitif serta regulasi emosi.

Akibat yang Timbul

  • Dampak Negatif

    • Stres psikologis dapat memicu gangguan pencernaan, misalnya sindrom iritasi usus (Irritable Bowel Syndrome / IBS).

    • Ketidakseimbangan mikrobiota (dysbiosis) dikaitkan dengan gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.

    • Peradangan kronis pada usus dapat meningkatkan risiko penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer dan Parkinson.

  • Dampak Positif

    • Usus yang sehat mendukung produksi neurotransmiter yang stabil sehingga suasana hati lebih baik.

    • Mikrobiota yang seimbang meningkatkan fungsi memori, konsentrasi, dan ketahanan stres.

    • Pola makan kaya serat dan probiotik membantu menurunkan risiko gangguan kognitif.

Manfaat Memahami Hubungan Ini

Pemahaman tentang sumbu otak-usus membuka peluang baru dalam dunia medis. Misalnya:

  • Intervensi nutrisi: mengonsumsi probiotik, prebiotik, dan diet seimbang untuk memperbaiki kondisi psikologis.

  • Terapi gangguan mental: beberapa terapi depresi kini dikaji melalui pendekatan kesehatan usus.

  • Pencegahan penyakit otak: menjaga kesehatan usus dapat menurunkan risiko penyakit neurodegeneratif.

Kesimpulan

Hubungan pencernaan dan otak bukanlah sekadar mitos, melainkan jalur komunikasi biologis yang nyata. Otak dapat memengaruhi fungsi usus, dan kondisi usus dapat membentuk keadaan mental seseorang. Dengan menjaga kesehatan pencernaan melalui pola makan sehat, gaya hidup seimbang, dan manajemen stres, kita sekaligus menjaga kesehatan otak dan mental.




Sumber:

1. Loh, A. K., et al. (2024). Microbiome–Gut–Brain Axis: Therapeutic Applications. Signal Transduction and Targeted Therapy, 9(1), 383. Nature.

https://www.nature.com/articles/s41392-024-01743-1

2.Doenyas, C. (2025). Gut–Brain Axis and Neuropsychiatric Health: Recent Advances and Future Directions. Current Opinion in Psychiatry, 38(2), 83–92. PubMed.

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39870727

3 O’Riordan, K. J., et al. (2025). The Gut Microbiota–Immune–Brain Axis: Therapeutic Interventions. Brain, Behavior, & Immunity – Health, 41, 100769. ScienceDirect.

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2666379125000552

4. Braga, V. A., et al. (2024). Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) as a Postbiotic Mediator in the Gut–Brain Axis. npj Science of Food, 8, 17. Nature.

https://www.nature.com/articles/s41538-024-00253-2

5. Chen, H., et al. (2024). Fecal Microbiota Transplantation in Neurodegenerative Diseases: A Novel Frontier in Gut–Brain Axis Research. Frontiers in Neuroscience, 18, 12025253. PMC.

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12025253

Tuesday, 19 August 2025

Mimpi pada Lansia: Antara Bunga Tidur dan Makna Kehidupan

 Apa Itu Mimpi?

Secara ilmiah, mimpi adalah pengalaman batin yang muncul ketika kita tidur, berupa rangkaian gambar, suara, atau perasaan yang terasa nyata. Mimpi paling sering terjadi pada fase tidur REM (Rapid Eye Movement), saat otak kita aktif bekerja walau tubuh dalam keadaan istirahat.

Penelitian neurosains menyebutkan bahwa mimpi berkaitan erat dengan aktivitas memori dan emosi di otak. Hipokampus berperan dalam mengakses ingatan, sementara sistem limbik (amigdala dan hipotalamus) mengatur emosi. Itulah sebabnya mimpi bisa terasa begitu emosional, penuh kegembiraan, atau justru menakutkan.

Gambar dapat menjadi kenangan atau mimpi buruk pada lansia.
(Sumber: photo E. Raswa)

Hubungan Psikologis Mimpi dengan Kesejahteraan Lansia

Mimpi ternyata berhubungan dengan kesehatan mental dan kualitas hidup.

  • Mengolah ingatan: menurut Harvard Medical School, tidur REM yang cukup membantu menyusun memori, sehingga daya ingat lansia tetap terjaga.

  • Regulasi emosi: penelitian di Journal of Neuroscience (2019) menunjukkan bahwa mimpi dapat mengurangi stres emosional dengan menyalurkan perasaan yang tertahan.

  • Penghiburan batin: mimpi menghadirkan wajah orang yang dirindukan, bahkan yang telah tiada, sehingga memberi rasa dekat dan nyaman.

  • Membangkitkan motivasi: mimpi indah dapat membuat lansia bangun dengan hati lebih ringan dan bersemangat menjalani hari.

Sebaliknya, mimpi buruk berulang bisa menjadi tanda adanya stres, kecemasan, atau gangguan kesehatan tertentu.

Bagaimana Mendapatkan Mimpi yang Menyenangkan?

Mimpi indah dapat diupayakan dengan langkah-langkah sederhana:

  1. Tidur dengan tenang

    • Tidur dan bangun di jam yang sama.

    • Ciptakan kamar yang nyaman: cahaya redup, udara sejuk, suasana bersih.

  2. Ritual sebelum tidur

    • Membaca doa. Dalam Islam, Nabi ﷺ mengajarkan membaca Ayat Kursi, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas sebelum tidur agar terlindung dari gangguan mimpi buruk.

    • Mendengarkan murottal atau musik lembut.

    • Menuliskan rasa syukur atas hal-hal kecil yang membuat hari bermakna.

  3. Pikiran positif

    • Hindari menonton berita atau cerita yang menegangkan sebelum tidur.

    • Bayangkan hal-hal menyenangkan, seperti perjalanan, cucu, atau suasana indah.

  4. Kebiasaan sehat

    • Hindari makan berat dan kafein menjelang malam.

    • Lakukan relaksasi atau pernapasan dalam.

Menjauhkan Diri dari Mimpi Buruk

Mimpi buruk sering muncul akibat stres, rasa cemas, atau gangguan tidur. Lansia dapat menghindarinya dengan:

  • Menjaga kesehatan fisik → olahraga ringan, pola makan sehat.

  • Mengurangi stres → melalui ibadah, berkebun, berjalan pagi, atau bercengkerama dengan keluarga.

  • Tidur dalam keadaan tenang → berwudhu sebelum tidur, membaca doa, dan menjaga hati tetap damai.

  • Cerita ringan sebelum tidur → membaca kisah inspiratif atau mendengarkan dongeng dari cucu, yang dapat membuat pikiran lebih rileks.

Penutup

Mimpi bagi lansia adalah bagian penting dari kesejahteraan hidup. Dari sisi ilmiah, mimpi berperan dalam menjaga memori dan menyeimbangkan emosi. Dari sisi psikologis, mimpi dapat memberi hiburan, rasa syukur, dan semangat baru. Dari sisi religius, mimpi yang baik adalah kabar gembira, sementara mimpi buruk dapat dihindari dengan doa dan pikiran positif.

Mimpi bukan hanya bunga tidur—ia adalah jendela batin yang membuat masa tua tetap indah, hangat, dan penuh makna.

Referensi

  • Stickgold, R. (2001). Sleep-dependent memory consolidation. Nature.

  • Nielsen, T. & Levin, R. (2007). Nightmares: a new neurocognitive model. Sleep Medicine Reviews.

  • Harvard Medical School. (2020). The science of sleep and dreams.

  • Hadis Nabi ﷺ riwayat Bukhari dan Muslim tentang mimpi baik sebagai kabar gembira dan doa sebelum tidur.

Thursday, 26 June 2025

Mengapa Larangan Dokter Sering Dilanggar Lansia?

        Setiap keluarga pasti pernah mengalami situasi ini: seorang anggota keluarga lansia mendapat larangan makan dari dokter – misalnya untuk menghindari makanan manis, asin, atau berlemak – tetapi tak lama kemudian, larangan itu dilanggar. Bahkan dengan alasan sederhana seperti,

“Dari dulu saya makan ini, tidak ada masalah.”
Atau,
“Saya sudah tua, biar saja makan enak.”

Fenomena ini bukanlah hal sepele. Banyak kasus penyakit kronis pada lansia, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, atau kolesterol tinggi, menjadi sulit dikendalikan karena pola makan yang tidak sesuai anjuran medis. Namun, menyalahkan lansia sebagai "bandel" justru kontraproduktif. Dibutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa larangan dokter sering diabaikan.


1. Kebiasaan yang Telah Mengakar

Kebiasaan makan adalah hasil dari proses panjang yang terbentuk selama puluhan tahun. Banyak lansia memiliki pola konsumsi tertentu yang sudah menjadi bagian dari identitas mereka. Misalnya, makan gorengan sebagai camilan sore, nasi dengan lauk asin, atau teh manis setiap pagi.

Mengubah kebiasaan ini pada usia lanjut bukan perkara mudah. Bahkan, bagi sebagian lansia, perubahan pola makan terasa seperti "kehilangan bagian dari diri sendiri". Di sinilah pentingnya pendekatan bertahap dan persuasif, bukan sekadar larangan mendadak.

2. Penurunan Daya Ingat dan Fungsi Kognitif

Tidak sedikit lansia yang mengalami gangguan memori ringan atau gejala awal demensia. Mereka mungkin lupa dengan larangan yang telah disampaikan dokter, atau tidak mengingat bahwa makanan tertentu bisa memperburuk kondisi kesehatannya.

Kadang, mereka memang masih terlihat sehat dan aktif secara fisik, tetapi kemampuan mereka dalam memahami dan mengingat informasi medis bisa mulai menurun. Oleh karena itu, pengawasan dan pengulangan informasi oleh keluarga menjadi sangat penting.

3. Kebutuhan Emosional dan Rasa Ingin Merdeka

Saat usia bertambah, banyak hal dalam hidup lansia mulai dibatasi: aktivitas fisik berkurang, penglihatan menurun, pendengaran melemah, dan tubuh tidak lagi sekuat dulu. Dalam kondisi seperti ini, makanan bisa menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan yang masih bisa mereka nikmati sepenuhnya.

Sebagian lansia menganggap pembatasan makan sebagai bentuk kehilangan kendali atas hidupnya. Maka ketika dilarang, muncul perasaan tidak nyaman, bahkan bisa menjadi bentuk perlawanan pasif. Kalimat seperti "Saya sudah tua, saya ingin menikmati hidup" sering kali bukan sekadar alasan, tapi ungkapan batin yang membutuhkan empati.

4. Kurangnya Pendampingan dan Pengawasan

Tidak semua lansia tinggal bersama keluarga. Banyak yang hidup sendiri, atau hanya ditemani pengasuh yang belum tentu memahami kebutuhan gizinya. Dalam kondisi seperti ini, lansia akan lebih cenderung memilih makanan yang mudah diolah, murah, dan familiar – walaupun tidak sehat.

Bahkan, dalam keluarga pun, jika tidak ada anggota yang secara aktif mendampingi dan memahami kondisi kesehatannya, maka risiko pelanggaran larangan makan tetap tinggi.

5. Budaya, Lingkungan Sosial, dan Tekanan Moral

Dalam budaya masyarakat kita, makanan punya peran sosial yang sangat kuat. Berkumpul tanpa makanan serasa tidak lengkap. Makanan juga menjadi bentuk kasih sayang, penghormatan, dan ungkapan syukur.

Banyak lansia merasa sungkan menolak makanan yang disuguhkan keluarga atau tetangga, meskipun mereka tahu itu tidak baik untuk kesehatannya. Menolak dianggap tidak sopan, bahkan bisa memicu konflik kecil. Maka, demi menjaga suasana, mereka memilih diam dan memakan apa yang tersedia.

6. Takut Merepotkan atau Merasa Tidak Enak Hati

Lansia sering kali memiliki keinginan untuk tidak merepotkan anak atau cucu. Mereka khawatir jika terlalu banyak meminta makanan khusus, maka akan dianggap rewel atau menyusahkan. Maka walau makanan yang dihidangkan tidak sesuai dengan anjuran dokter, mereka tetap memakannya demi menjaga keharmonisan dan tidak menjadi beban keluarga.

Pendekatan yang Lebih Manusiawi dan Efektif

Menghadapi situasi ini, larangan dokter saja tidak cukup. Perlu pendekatan yang lebih manusiawi, empatik, dan melibatkan keluarga secara aktif. Berikut beberapa saran praktis:

  1. Jelaskan dengan bahasa sederhana. Hindari istilah medis yang rumit. Gunakan contoh konkret, seperti: “Kalau makan ini terlalu sering, nanti kaki jadi makin susah jalan karena bengkak.”

  2. Sediakan alternatif yang menarik. Ganti makanan yang dilarang dengan versi yang lebih sehat tapi tetap lezat. Misalnya, kukus atau panggang sebagai ganti gorengan.

  3. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan. Ajak berdiskusi dan dengarkan keinginan mereka. Berikan mereka pilihan, bukan hanya perintah.

  4. Berikan kelonggaran yang terukur. Tidak semua larangan harus kaku. Jika dokter mengizinkan, beri “hari istimewa” di mana lansia bisa menikmati makanan favorit dalam porsi kecil.

  5. Libatkan lingkungan sekitar. Edukasi juga perlu diberikan pada pengasuh, tetangga, dan komunitas tempat lansia biasa berkumpul agar mereka tidak ikut “menggoda” lansia melanggar aturan.

Penutup: Antara Kesehatan dan Kualitas Hidup

Menjaga pola makan lansia bukan sekadar soal gizi dan larangan. Ini tentang menjaga kualitas hidup mereka secara menyeluruh – fisik, emosional, dan sosial. Larangan dokter memang penting, tapi lebih penting lagi adalah cara kita menyampaikannya, mendampingi, dan menciptakan suasana yang membuat lansia merasa dihargai dan tetap bahagia.

Kesehatan bukan hanya angka di hasil laboratorium, tapi juga rasa damai dalam hati. Maka mari kita bantu lansia menjalani hari tuanya dengan sehat, bermakna, dan penuh cinta.


Sumber:

https://www.who.int/publications/i/item/924120916X

https://www.nia.nih.gov/health/healthy-eating-nutrition-and-diet

https://www.alz.org/alzheimers-dementia/what-is-dementia/related_conditions/mild-cognitive-impairment


Saturday, 24 May 2025

Mengenal Demensia pada Lansia: Penyebab, Pengobatan, dan Cara Mencegahnya

        Demensia adalah kondisi yang sering dikaitkan dengan proses penuaan, tetapi sebenarnya bukan bagian normal dari menjadi tua. Demensia terjadi ketika sel-sel otak mengalami kerusakan sehingga memengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, mengingat, berkomunikasi, hingga mengatur emosi dan perilaku.

Gejala Umum Demensia

  • Mudah lupa, terutama hal-hal yang baru terjadi

  • Sulit berbicara atau menemukan kata yang tepat

  • Bingung terhadap waktu dan tempat

  • Perubahan suasana hati atau kepribadian

  • Kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari

 


Penyebab Demensia

Demensia disebabkan oleh berbagai kondisi yang merusak sel otak. Berikut jenis-jenis demensia yang paling umum:

1. Penyakit Alzheimer

Penyebab demensia paling sering. Terjadi akibat penumpukan protein abnormal di otak, yang mengganggu komunikasi antar sel otak.

2. Demensia Vaskular

Disebabkan oleh gangguan aliran darah ke otak, biasanya akibat stroke atau tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol.

3. Demensia Lewy Body

Ditandai dengan halusinasi, gerakan lambat, dan perubahan tidur. Disebabkan oleh penumpukan protein bernama Lewy di otak.

4. Demensia Frontotemporal

Menyerang bagian otak yang mengatur kepribadian, perilaku, dan bahasa. Sering muncul pada usia lebih muda dibanding jenis lainnya.

5. Penyebab Lain (Demensia Sekunder)

Beberapa kondisi seperti cedera kepala, infeksi otak, kekurangan vitamin B12, atau gangguan tiroid juga bisa menyebabkan demensia.

Apakah Demensia Bisa Disembuhkan?

Hingga saat ini, tidak ada obat yang benar-benar menyembuhkan demensia, tetapi pengobatan dapat membantu memperlambat gejala dan meningkatkan kualitas hidup.

💊 Pengobatan Medis

  • Obat seperti Donepezil atau Memantine dapat membantu memperbaiki fungsi otak sementara.

  • Untuk demensia vaskular, pengendalian tekanan darah, gula, dan kolesterol sangat penting.

🧠 Terapi Non-Obat

  • Terapi kognitif: latihan memori dan konsentrasi

  • Terapi okupasi: membantu lansia tetap mandiri

  • Pendampingan emosional: peran keluarga dan lingkungan sangat membantu

🏠 Perawatan Sehari-hari

  • Menjaga rutinitas harian agar tidak mudah bingung

  • Memberi lingkungan yang aman dan nyaman

  • Menjaga pola makan sehat dan hidrasi cukup

Bisakah Demensia Dicegah?

Meskipun tidak semua kasus bisa dicegah, risikonya bisa dikurangi dengan gaya hidup sehat. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan, terutama sejak usia paruh baya:

Langkah-Langkah Pencegahan

  1. Aktif secara mental

    • Membaca, bermain teka-teki, belajar hal baru

  2. Sosialisasi

    • Berinteraksi dengan keluarga, tetangga, atau komunitas

  3. Olahraga teratur

    • Jalan kaki, senam lansia, atau bersepeda ringan

  4. Pola makan sehat

    • Perbanyak konsumsi sayur, buah, ikan, dan kacang-kacangan

  5. Tidur yang cukup dan berkualitas

  6. Hindari rokok dan alkohol berlebihan

  7. Kontrol penyakit kronis

    • Seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan kolesterol

  8. Cek kesehatan rutin

    • Termasuk vitamin B12 dan fungsi tiroid

Penutup

Demensia adalah tantangan besar, baik bagi lansia maupun orang-orang di sekitarnya. Dengan mengenali gejalanya sejak awal, memberikan perawatan yang tepat, dan menjalani gaya hidup sehat, risiko dan dampaknya bisa diminimalkan.

🌿 Peran keluarga dan lingkungan sangat penting untuk menjaga kualitas hidup lansia dengan demensia. Mari kita saling mendukung dan peduli.



Sumber:

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia

https://www.alz.org/

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/search-results?q=Dementia


Friday, 23 May 2025

Mengapa Kita Sering Ingin Memberi Nasihat atau Mengarahkan Orang Lain?

        Saat usia bertambah, banyak di antara kita merasa ingin berbagi nasihat, memberi arahan, atau mengingatkan orang-orang di sekitar. Entah itu anak, cucu, tetangga, atau bahkan orang yang baru kita kenal.

Ini adalah hal yang lumrah dan manusiawi. Tapi pernahkah kita bertanya: Apa yang membuat kita merasa perlu melakukan itu?

Mengapa lansia sering memberi nasehat ?
(Sumber: foto bodreker)
Mari kita renungkan bersama.

🧓🏼 1. Karena Kita Pernah Melalui Banyak Hal

Kita adalah saksi hidup — telah melewati masa susah dan senang, melihat perubahan zaman, membesarkan anak, membangun rumah tangga, dan menghadapi tantangan hidup. Wajar kalau kita merasa memiliki banyak pelajaran hidup yang berharga.

Nasihat kita muncul dari rasa ingin melindungi mereka yang lebih muda. Kita tidak ingin mereka jatuh ke lubang yang sama seperti yang pernah kita alami.

❤️ 2. Karena Kita Sayang

Kadang kita ingin ikut campur atau mengatur bukan karena ingin menguasai, tapi karena kita peduli. Saat melihat anak atau cucu melakukan sesuatu yang menurut kita "kurang tepat", ada dorongan kuat untuk mengarahkan. Itu bentuk cinta — meskipun cara menyampaikannya kadang bisa terasa keras di telinga mereka.

🧠 3. Karena Kita Ingin Tetap Dihargai

Setelah pensiun, anak-anak mandiri, dan rutinitas berubah, tidak sedikit dari kita merasa seperti "kehilangan panggung". Dulu, kita sibuk, banyak orang bergantung pada kita. Sekarang, banyak hal bisa berjalan tanpa kita.

Memberi nasihat atau arahan sering kali menjadi cara untuk tetap merasa berguna, dihormati, dan didengar. Itu sangat wajar, karena setiap orang ingin merasa masih punya peran.

🧘‍♂️ 4. Tapi… Apakah Semua Nasihat Harus Disampaikan?

Terkadang, niat baik perlu disampaikan dengan cara yang tepat dan pada waktu yang tepat.

  • Bisa jadi orang yang kita nasihati belum siap mendengar.

  • Bisa jadi mereka ingin mencoba dengan cara mereka sendiri dulu.

  • Atau bisa jadi mereka hanya butuh didengarkan, bukan diberi solusi.

Kalau kita memberi ruang bagi mereka untuk belajar, mereka akan lebih mudah menerima nasihat ketika waktunya tepat.

🌱 Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  • Berbagi bila diminta, atau saat memang dibutuhkan.

  • Bercerita, bukan menggurui — kisah hidup kita bisa jadi pelajaran yang menyentuh tanpa perlu menasihati langsung.

  • Mendengarkan lebih banyak — kadang orang hanya butuh didengar.

  • Menjaga hati tetap lapang, bahwa kita tak selalu harus “benar”, dan orang lain punya caranya sendiri untuk belajar.

🌟 Penutup

Memberi nasihat adalah tanda kepedulian. Tapi dalam usia bijak ini, kita juga belajar bahwa kebijaksanaan tidak selalu harus bicara — kadang cukup hadir, mendampingi, dan memberi ruang bagi orang lain untuk bertumbuh.

Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang dihormati karena kasih sayang, bukan karena kekuasaan kata.


Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Big_Five_personality_traits

https://www.helpguide.org/aging/healthy-aging/staying-healthy-as-you-age

https://www.longtermplan.nhs.uk/areas-of-work/ageing-well/