Di usia senja, banyak orang merasa hidup berjalan lebih lambat. Aktivitas tak sepadat dulu, anak-anak sudah mandiri, sementara tubuh juga tak sekuat ketika muda. Dalam kesunyian itu, sering kali muncul satu kegiatan yang alami: merenung.
Namun, apa sebenarnya merenung itu? Apakah selalu baik, atau justru bisa berbahaya jika berlebihan?
![]() |
Ilustrasi kegiatan merenung dilakukan lansia. (Sumber: foto forum 99) |
Apa Itu Merenung?
Merenung adalah saat kita berhenti sejenak dari kesibukan, lalu memikirkan sesuatu dengan tenang dan mendalam. Kadang tentang masa lalu, kenangan, atau sekadar merenungi makna hidup.
Berbeda dengan “lamun kosong”, merenung justru bisa menjadi sarana untuk memahami diri, mendekat pada Tuhan, dan menemukan kembali semangat hidup.
Manfaat Merenung
Banyak penelitian menunjukkan bahwa merenung dengan cara yang tepat bermanfaat besar bagi kesehatan mental lansia:
-
Menenangkan hati: rasa cemas dan stres berkurang.
-
Meningkatkan kesadaran diri: lebih mudah memahami kelemahan dan kelebihan diri.
-
Membantu mengambil keputusan: tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.
-
Menguatkan spiritual: memperdalam syukur dan doa.
-
Mengusir sepi: saat merenung, jiwa terasa ditemani oleh kenangan dan harapan.
Saat Merenung Jadi Beban
Meski bermanfaat, merenung yang terlalu lama tanpa arah bisa membawa risiko:
-
Pikiran jadi berputar-putar (overthinking).
-
Muncul rasa takut berlebihan akan masa depan.
-
Menjadi sedih terus menerus karena mengingat masa lalu.
-
Sulit tidur karena pikiran tak berhenti bekerja.
-
Enggan bersosialisasi karena terlalu larut dalam pikiran sendiri.
Tips Merenung yang Sehat
Agar merenung menjadi sahabat jiwa, lakukan dengan cara sederhana:
-
Pilih waktu yang tenang – pagi hari setelah bangun, atau malam sebelum tidur.
-
Batasi waktu – cukup 10–15 menit, jangan sampai terlalu lama.
-
Fokus pada hal positif – renungkan syukur, doa, atau pelajaran hidup.
-
Tulis renungan – catat dalam buku harian agar pikiran lebih ringan.
-
Seimbangkan dengan aktivitas – setelah merenung, bergeraklah: berjalan, membaca, atau bercengkerama dengan keluarga.
-
Berbagi cerita – bila renungan terasa berat, bicarakan pada orang terdekat..
Penutup
Merenung adalah anugerah di usia senja. Ia bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan, kedamaian hati, dan rasa syukur mendalam. Namun ingat, jangan biarkan merenung berubah menjadi jerat kesedihan. Dengan cara yang sehat, merenung akan menjadi sahabat setia yang menemani perjalanan hidup hingga akhir.
Sumber:
1. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Books.
2. Brown, B. (2010). The Gifts of Imperfection: Let Go of Who You Think You're Supposed to Be and Embrace Who You Are. Minnesota: Hazelden Publishing.
3. Nolen-Hoeksema, S., Wisco, B. E., & Lyubomirsky, S. (2008). Rethinking Rumination. Perspectives on Psychological Science, 3(5), 400–424.
4. Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research, Practice. New York: Guilford Press.
5. Teasdale, J. D., Segal, Z. V., & Williams, J. M. G. (1995). How Does Cognitive Therapy Prevent Depressive Relapse and Why Should Attentional Control (Mindfulness) Training Help? Behaviour Research and Therapy, 33(1), 25–39.
6. Tice, D. M., & Baumeister, R. F. (1993). Controlling Anger: Self-Induced Emotion Change. Journal of Personality and Social Psychology, 63(3), 408–419.
7. Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. New York: Basic Books.