Friday, 28 February 2025

Lansia Berpuasa? Kenali Risiko Penyakit Kronis yang Harus Diwaspadai!

        Penyakit kronis adalah penyakit yang berkembang perlahan, berlangsung dalam jangka waktu lama (biasanya lebih dari 3 bulan), dan sering kali tidak bisa disembuhkan sepenuhnya. Penyakit ini membutuhkan perawatan jangka panjang untuk mengelola gejala dan mencegah komplikasi. Contoh penyakit kronis meliputi diabetes, hipertensi, penyakit jantung, gagal ginjal, asam lambung kronis (GERD), dan osteoporosis.
Tips aman berpuasa untuk lansia yang memiliki penyakit kronis.
(Sumber: foto file)
       Lansia yang memiliki penyakit kronis perlu lebih berhati-hati saat berpuasa. Beberapa penyakit yang perlu diwaspadai karena bisa memburuk selama puasa meliputi:

1. Diabetes Mellitus 

Lansia dengan diabetes berisiko mengalami:
Hipoglikemia (gula darah turun drastis) jika tidak makan cukup saat sahur.
Hiperglikemia (gula darah terlalu tinggi) jika berbuka dengan makanan tinggi gula.
Dehidrasi, terutama jika sering buang air kecil.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Cek gula darah sebelum sahur dan setelah berbuka.
✅ Konsumsi karbohidrat kompleks (nasi merah, roti gandum) agar gula darah stabil.
✅ Hindari makanan/minuman manis berlebihan saat berbuka.
✅ Jika gula darah terlalu rendah (<70 mg/dL) atau terlalu tinggi (>300 mg/dL), segera berbuka.

2. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) 

Lansia dengan hipertensi berisiko mengalami:
Tekanan darah naik turun akibat perubahan pola makan dan dehidrasi.
Pusing atau pingsan, terutama saat bangun tidur atau berdiri terlalu cepat.
Risiko stroke atau serangan jantung, jika tekanan darah tidak terkontrol.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Konsumsi makanan rendah garam dan tinggi kalium (pisang, sayuran hijau).
✅ Minum cukup air saat sahur dan berbuka untuk mencegah dehidrasi.
✅ Hindari makanan tinggi lemak dan gorengan yang bisa meningkatkan tekanan darah.
✅ Cek tekanan darah secara berkala, terutama sebelum dan setelah puasa.

3. Penyakit Jantung dan Gagal Jantung 

Lansia dengan penyakit jantung mungkin mengalami:
Sesak napas atau nyeri dada, terutama jika asupan cairan kurang.
Jantung berdebar atau lemah, akibat ketidakseimbangan elektrolit.
Penumpukan cairan di tubuh (edema), jika terlalu banyak garam dalam makanan.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Konsumsi makanan rendah garam dan tinggi protein sehat (ikan, ayam tanpa kulit).
✅ Hindari makanan tinggi lemak jenuh (gorengan, daging merah berlemak).
✅ Jangan menunda minum obat sesuai anjuran dokter.
✅ Jika merasa sangat lemah atau sesak, sebaiknya segera berbuka dan konsultasi ke dokter.

4. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) 

Puasa bisa berbahaya bagi lansia dengan penyakit ginjal, terutama jika:
Fungsi ginjal sudah menurun sehingga sulit mengatur cairan tubuh.
Berisiko dehidrasi, yang bisa memperparah kerusakan ginjal.
Kadar elektrolit terganggu, menyebabkan kram otot atau lemas.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Minum cukup air saat berbuka dan sahur (kecuali ada pembatasan cairan oleh dokter).
✅ Kurangi makanan tinggi protein jika ginjal tidak mampu menyaring limbah dengan baik.
✅ Hindari makanan tinggi natrium (garam) dan kalium (pisang, kentang, tomat berlebihan).
✅ Jika sudah cuci darah, sebaiknya tidak berpuasa tanpa izin dokter.

5. Asam Lambung (GERD) dan Maag Kronis 

Puasa bisa memicu naiknya asam lambung, menyebabkan:
Nyeri ulu hati atau dada terasa terbakar (heartburn).
Mual, muntah, atau kembung setelah berbuka.
Sulit tidur akibat asam lambung naik ke tenggorokan.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Hindari makanan pedas, asam, gorengan, dan minuman berkafein.
✅ Makan dalam porsi kecil tapi sering (saat berbuka, setelah tarawih, dan sahur).
✅ Jangan langsung tidur setelah makan, tunggu minimal 2 jam.
✅ Minum obat maag sesuai anjuran dokter.

6. Osteoporosis dan Radang Sendi (Arthritis) ðŸĶī

Puasa bisa memperburuk nyeri sendi dan tulang rapuh, terutama jika:
Kurang kalsium dan vitamin D.
Kurang bergerak, menyebabkan sendi kaku.
Dehidrasi, yang bisa memperburuk nyeri sendi.

ðŸ”đ Tips Aman:
✅ Konsumsi susu rendah lemak, ikan, dan sayuran hijau untuk kalsium.
✅ Hindari makanan tinggi garam yang bisa mempercepat pengeroposan tulang.
✅ Lakukan peregangan ringan setelah berbuka untuk menjaga kelenturan sendi.

Kesimpulan

Lansia dengan penyakit kronis masih bisa berpuasa jika kondisi stabil dan mendapat izin dokter. Namun, jika puasa menyebabkan kelelahan ekstrem, pusing, nyeri dada, atau hipoglikemia, sebaiknya segera berbuka dan berkonsultasi dengan tenaga medis.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10839217/

https://cyprusjmedsci.com/articles/intermittent-fasting-and-its-potential-effects-on-health/doi/cjms.2024.2023-109

https://jnfh.mums.ac.ir/article_17511.html


Sunday, 23 February 2025

Jangan Sampai Lemas! Panduan Puasa Sehat untuk Lansia

         Bulan Ramadan segera tiba, dan umat Muslim di seluruh dunia bersiap menjalankan ibadah puasa. Bagi lansia, puasa bisa menjadi tantangan tersendiri karena perubahan kondisi tubuh dan kebutuhan kesehatan yang berbeda. Namun, dengan pola makan yang tepat dan menjaga keseimbangan tubuh, puasa tetap bisa dijalankan dengan nyaman dan sehat.

Selamat menjalankan ibadah puasa untuk kakek dan nenek.
(Sumber: foto file)
Berikut beberapa tips agar lansia tetap bugar selama berpuasa, mulai dari sahur hingga berbuka.

Sahur: Awali dengan Nutrisi yang Tepat

Pilih makanan bergizi seimbang – Konsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi merah, oat, atau roti gandum agar energi bertahan lebih lama. Lengkapi dengan protein dari telur, ayam, ikan, atau kacang-kacangan, serta serat dari sayur dan buah.
Batasi garam dan gula berlebihan – Terlalu banyak garam bisa menyebabkan dehidrasi, sementara gula sederhana dapat membuat tubuh cepat lemas.
Minum cukup air – Pastikan minum 2-3 gelas air putih agar tubuh tetap terhidrasi sepanjang hari.
Konsumsi lemak sehat – Seperti alpukat, minyak zaitun, atau kacang-kacangan untuk menjaga stamina.
Jangan lewatkan sahur – Sahur sangat penting untuk mencegah tubuh lemas dan menjaga energi hingga berbuka.

Saat Berpuasa: Jaga Stamina dan Hidrasi

ðŸ’Ą Kurangi aktivitas berat – Hindari terlalu banyak bergerak atau bekerja fisik yang bisa menyebabkan kelelahan.
ðŸ’Ą Perbanyak istirahat – Tidur siang sejenak dapat membantu tubuh tetap segar hingga berbuka.
ðŸ’Ą Jaga hidrasi – Jika merasa haus atau lemas, hindari paparan panas berlebihan agar tidak dehidrasi.
ðŸ’Ą Pantau kondisi kesehatan – Jika memiliki penyakit tertentu seperti diabetes atau hipertensi, konsultasikan dengan dokter mengenai pola makan dan pengobatan selama puasa.

Berbuka: Konsumsi Makanan yang Ramah Pencernaan

🌙 Mulai dengan yang ringan – Awali dengan air putih dan kurma untuk mengembalikan energi secara perlahan.
🌙 Hindari makanan berminyak dan berlemak tinggi – Gorengan bisa menyebabkan gangguan pencernaan dan meningkatkan kadar kolesterol.
🌙 Makan dengan porsi kecil tapi sering – Jangan langsung makan dalam jumlah besar agar pencernaan tetap nyaman.
🌙 Minum cukup air – Pastikan tubuh tetap terhidrasi dengan mengonsumsi 5-6 gelas air dari berbuka hingga sahur.
🌙 Perbanyak serat – Sayuran, buah, dan biji-bijian membantu mencegah sembelit yang sering terjadi saat puasa.
🌙 Atur jadwal obat dengan dokter – Jika ada obat yang harus dikonsumsi rutin, pastikan jadwalnya sesuai dengan waktu berbuka dan sahur.

Makanan dan Minuman yang Sebaiknya Dihindari

ðŸšŦ Gorengan dan makanan berlemak tinggi – Bisa menyebabkan masalah pencernaan dan meningkatkan kadar kolesterol.
ðŸšŦ Makanan terlalu manis – Dapat menyebabkan lonjakan gula darah yang mendadak.
ðŸšŦ Minuman berkafein seperti kopi atau teh pekat – Bisa menyebabkan dehidrasi dan mengganggu kualitas tidur.
ðŸšŦ Minuman bersoda – Dapat memicu kembung dan tidak baik untuk sistem pencernaan.

Dengan menjaga pola makan yang seimbang dan cukup istirahat, lansia tetap bisa menjalankan puasa dengan nyaman dan sehat. Semoga Ramadan kali ini membawa keberkahan dan kesehatan untuk semua!




Sumber:

https://www.homage.sg/resources/ramadan-fasting-elderly/

https://www.rafflesmedicalgroup.com/health-resources/health-articles/fasting-during-ramadan-what-an-older-person-needs-to-know/

https://www.happiesthealth.com/articles/ageing/fasting-for-seniors-safe-or-unsafe

 

Wednesday, 19 February 2025

Jangan Anggap Sepele! Penyakit Autoimun yang Mengintai di Usia Tua

         Penyakit autoimun adalah kondisi medis yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh kita, yang biasanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari patogen seperti virus dan bakteri, malah menyerang sel dan jaringan tubuh kita sendiri. Sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi sel tubuh sebagai ancaman dan mulai menyerang organ atau jaringan yang sehat. Penyakit autoimun bisa mempengaruhi berbagai bagian tubuh, dari kulit hingga organ internal seperti ginjal, hati, dan jantung. 

Lansia harus waspada dengan penyakit autoimun.
(Sumber: foto Yayank)

Apa Itu Penyakit Autoimun?

Pada sistem kekebalan tubuh yang normal, sel-sel kekebalan seperti antibodi berfungsi melawan benda asing, seperti bakteri dan virus. Namun, dalam kondisi autoimun, sistem ini keliru dan mulai menyerang sel tubuh sendiri yang seharusnya tidak dianggap musuh. Hal ini menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan tubuh, yang bisa berdampak serius pada fungsi organ yang terlibat.

Penyebab Penyakit Autoimun

Penyebab penyakit autoimun umumnya tidak sepenuhnya dipahami, namun sejumlah faktor dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi ini:

  1. Faktor Genetik: Ada bukti kuat bahwa penyakit autoimun dapat diturunkan dalam keluarga. Jika seseorang memiliki kerabat dekat yang menderita penyakit autoimun, mereka mungkin lebih berisiko mengalami kondisi yang serupa. Variasi dalam gen pengkode HLA (Human Leukocyte Antigen) telah dikaitkan dengan beberapa penyakit autoimun.

  2. Faktor Lingkungan: Paparan terhadap berbagai faktor lingkungan, seperti virus, infeksi bakteri, bahan kimia, atau bahkan paparan sinar matahari berlebihan, bisa memicu penyakit autoimun. Salah satu contoh yang sering disebut adalah infeksi virus Epstein-Barr yang dikaitkan dengan lupus dan multiple sclerosis.

  3. Faktor Hormon: Banyak penyakit autoimun lebih umum terjadi pada wanita dibandingkan pria, yang menunjukkan peran hormon, seperti estrogen, dalam pengembangan penyakit ini. Hormon dapat memengaruhi bagaimana sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap infeksi dan jaringan tubuh.

  4. Stres: Stres fisik atau emosional yang berkepanjangan dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit autoimun. Stres dapat memperburuk gejala dan mempercepat perkembangan penyakit.

Jenis-Jenis Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun sangat beragam, dan masing-masing mempengaruhi bagian tubuh yang berbeda. Berikut adalah beberapa contoh penyakit autoimun yang paling umum:

  1. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE): Lupus adalah salah satu penyakit autoimun yang paling dikenal. Sistem kekebalan tubuh menyerang berbagai organ dalam tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, jantung, dan paru-paru. Gejalanya termasuk kelelahan parah, ruam berbentuk kupu-kupu di wajah, nyeri sendi, dan demam.

  2. Rheumatoid Arthritis (RA): Pada rheumatoid arthritis, sistem kekebalan tubuh menyerang sendi-sendi tubuh, menyebabkan peradangan, nyeri, dan pembengkakan. Dalam jangka panjang, RA dapat menyebabkan kerusakan sendi permanen. Penderita juga dapat mengalami kelelahan dan penurunan fungsi sendi.

  3. Multiple Sclerosis (MS): Multiple sclerosis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang pelindung saraf (mielin) di sistem saraf pusat. MS dapat menyebabkan gangguan motorik, penglihatan kabur, kesulitan berbicara, dan bahkan kelumpuhan.

  4. Diabetes Tipe 1: Pada diabetes tipe 1, sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin. Akibatnya, tubuh tidak dapat mengatur kadar gula darah dengan benar, yang mengarah pada kebutuhan insulin eksternal untuk menjaga keseimbangan.

  5. Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif: Kedua kondisi ini merupakan penyakit radang usus (IBD) yang bersifat autoimun. Penyakit Crohn dapat memengaruhi saluran pencernaan dari mulut hingga anus, sementara kolitis ulseratif terutama menyerang usus besar. Gejalanya termasuk diare, nyeri perut, dan penurunan berat badan.

  6. Psoriasis: Psoriasis adalah penyakit kulit autoimun yang menyebabkan pembentukan sel kulit yang berlebih. Ini menghasilkan bercak kulit yang tebal, merah, dan seringkali bersisik. Psoriasis juga dapat menyebabkan peradangan sendi yang dikenal sebagai psoriatic arthritis.

  7. Graves' Disease: Pada penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar tiroid, menyebabkan hipertiroidisme (produksi hormon tiroid yang berlebihan). Gejalanya termasuk penurunan berat badan, jantung berdebar, kecemasan, dan mata yang menonjol.

Diagnosa Penyakit Autoimun

Mendiagnosis penyakit autoimun bisa menjadi tantangan karena gejalanya seringkali tumpang tindih dengan kondisi medis lainnya. Diagnosa biasanya dimulai dengan evaluasi riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Tes darah untuk mendeteksi antibodi spesifik atau penanda peradangan seperti kadar C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) sering digunakan untuk membantu diagnosis. Beberapa tes tambahan yang umum digunakan meliputi:

  • Tes ANA (Antinuclear Antibodies): Untuk mendeteksi adanya antibodi yang menyerang inti sel tubuh.
  • Tes untuk Antibodi Spesifik: Tes untuk antibodi tertentu yang terkait dengan penyakit autoimun, seperti anti-CCP (untuk rheumatoid arthritis) atau anti-dsDNA (untuk lupus).
  • Pencitraan Medis: Pencitraan seperti MRI atau ultrasound dapat membantu menilai kerusakan pada organ atau sendi yang diserang oleh sistem kekebalan tubuh.

Penanganan Penyakit Autoimun

Meskipun tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit autoimun, pengelolaan yang tepat dapat membantu pasien hidup dengan kualitas hidup yang baik. Berikut adalah beberapa pendekatan pengobatan utama:

  1. Obat-Imunomodulator: Obat ini digunakan untuk menekan sistem kekebalan tubuh agar tidak menyerang tubuh sendiri. Kortikosteroid (seperti prednison) dan obat imunosupresif (seperti metotreksat atau azathioprine) sering diresepkan untuk mengontrol peradangan dan aktivitas penyakit.

  2. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (NSAID): Untuk mengurangi peradangan dan nyeri pada sendi, NSAID seperti ibuprofen dan naproxen sering digunakan.

  3. Biologics: Obat biologis seperti TNF inhibitors (etanercept, adalimumab) digunakan untuk mengurangi peradangan pada penyakit seperti rheumatoid arthritis, lupus, dan penyakit Crohn.

  4. Plasmaferesis: Pada beberapa penyakit autoimun, plasmaferesis (proses pembersihan darah) dapat digunakan untuk mengurangi antibodi yang berbahaya dalam darah.

  5. Perawatan Komplementer: Selain pengobatan medis, pasien juga dapat mengadopsi pola makan yang sehat, berolahraga, dan mengelola stres. Pengobatan fisik dan terapi okupasi seringkali diperlukan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam bergerak akibat kerusakan sendi atau otot.

Pola Hidup yang Mendukung Pemulihan

Beberapa langkah penting yang dapat membantu pasien mengelola penyakit autoimun termasuk:

  • Menjaga pola makan sehat dengan banyak sayuran, buah, dan makanan antiinflamasi seperti ikan berlemak.
  • Rutin berolahraga untuk menjaga fleksibilitas sendi dan kesehatan jantung.
  • Cukup tidur dan menjaga keseimbangan emosional untuk mengurangi stres.
  • Menghindari pemicu yang dapat memperburuk gejala, seperti merokok, alkohol, atau infeksi.

Kesimpulan

Penyakit autoimun adalah gangguan yang kompleks dan dapat memengaruhi banyak aspek tubuh. Meskipun tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit autoimun secara total, pengelolaan yang tepat dapat membantu pasien untuk menjalani hidup dengan kualitas yang baik. Melalui pengobatan yang tepat, perawatan yang cermat, dan pola hidup yang sehat, banyak penderita penyakit autoimun yang dapat mengendalikan gejalanya dan hidup aktif. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter jika Anda mengalami gejala yang mencurigakan, karena diagnosis dini dapat meningkatkan hasil perawatan.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4277694/

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1044532323001057

https://www.aarp.org/health/conditions-treatments/info-2021/autoimmune-diseases-rising.html

https://www.pcacares.org/news/autoimmune-disorders-in-older-adults-what-you-need-to-know/

Sunday, 16 February 2025

Rematik atau Asam Urat? Cek Tandanya Sebelum Terlambat!

       Rematik dan asam urat sering dianggap sama, padahal keduanya adalah kondisi yang berbeda. Meskipun sama-sama menyerang sendi, penyebab dan cara pengobatannya sangat berbeda. 

Lansia seringkali tidak dapat membedakan antara Rematik dan asam urat.
(Sumber: foto Bodreker)
Berikut penjelasannya:

1. Rematik (Rheumatoid Arthritis)

Penyebab:

  • Merupakan penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh justru menyerang sendi sendiri.

  • Faktor genetik, infeksi, dan gaya hidup dapat memicu kondisi ini.

Gejala:

  • Nyeri, bengkak, dan kaku pada sendi, terutama di pagi hari.

  • Menyerang sendi di kedua sisi tubuh secara simetris, seperti tangan dan lutut.

  • Jika tidak ditangani, bisa menyebabkan kelainan bentuk sendi.

Pengobatan:

  • Obat antiinflamasi (NSAID), kortikosteroid, dan obat imunosupresan untuk mengendalikan peradangan.

  • Terapi fisik untuk menjaga fungsi sendi dan mengurangi kekakuan.

  • Pola hidup sehat, seperti olahraga ringan, menghindari stres, dan mengatur pola makan seimbang.

2. Asam Urat (Gout Arthritis)

Penyebab:

  • Kadar asam urat yang tinggi dalam darah menyebabkan pembentukan kristal di sendi.

  • Konsumsi makanan tinggi purin seperti jeroan, seafood, daging merah, dan alkohol.

  • Gangguan ginjal yang menghambat pembuangan asam urat dari tubuh.

Gejala:

  • Nyeri sendi yang datang tiba-tiba, sering kali menyerang jempol kaki, lutut, atau pergelangan tangan.

  • Sendi membengkak, terasa panas, dan berwarna kemerahan.

  • Jika tidak dikontrol, asam urat bisa kambuh berulang kali dan memburuk seiring waktu.

Pengobatan:

  • Obat penurun asam urat seperti allopurinol dan colchicine.

  • Obat antiinflamasi untuk meredakan nyeri saat serangan terjadi.

  • Pola makan sehat dengan mengurangi makanan tinggi purin dan memperbanyak konsumsi air putih.

  • Menjaga berat badan ideal dan melakukan olahraga ringan secara rutin.

Mengapa Lansia Lebih Rentan?

Seiring bertambahnya usia, lansia lebih mudah terkena rematik dan asam urat karena beberapa faktor berikut:

Rematik pada Lansia

Penuaan dan Degenerasi Sendi
Tulang rawan di sendi semakin menipis, sehingga lebih mudah mengalami peradangan.
Sistem Imun yang Melemah
Sistem imun bisa menjadi lebih sensitif atau kurang efektif, sehingga lebih rentan mengalami gangguan autoimun seperti rematik.
Kurangnya Aktivitas Fisik
Sendi yang jarang digerakkan akan menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitas.
Faktor Genetik dan Hormon
Lansia, terutama wanita setelah menopause, lebih berisiko karena kadar hormon estrogen yang menurun.

Asam Urat pada Lansia

Penurunan Fungsi Ginjal
Ginjal yang mulai melemah membuat pembuangan asam urat kurang efisien, sehingga lebih mudah menumpuk di sendi.
Pola Makan yang Tidak Seimbang
Konsumsi makanan tinggi purin selama bertahun-tahun bisa meningkatkan risiko asam urat.
Penggunaan Obat-obatan
Beberapa obat seperti diuretik atau obat tekanan darah tinggi bisa memperburuk kondisi asam urat.
Kurang Minum Air
Dehidrasi membuat tubuh sulit mengeluarkan kelebihan asam urat melalui urine.

Cara Mencegah dan Mengatasi pada Lansia

Makan Sehat: Hindari makanan tinggi purin dan perbanyak konsumsi sayur, buah, serta air putih.
Olahraga Ringan: Yoga, jalan kaki, atau berenang dapat menjaga fleksibilitas sendi dan mengurangi risiko nyeri.
Jaga Berat Badan: Obesitas meningkatkan tekanan pada sendi dan produksi asam urat dalam tubuh.
Cek Kesehatan Rutin: Pemeriksaan kadar asam urat dan kesehatan sendi secara berkala dapat membantu pencegahan lebih dini.

Kesimpulan

  • Rematik adalah penyakit autoimun yang menyerang banyak sendi dan bersifat kronis.

  • Asam urat terjadi akibat penumpukan kristal asam urat, lebih sering menyerang satu sendi tertentu.

  • Lansia lebih rentan terhadap kedua kondisi ini, tetapi dengan gaya hidup sehat, risikonya bisa dikurangi.

Jika sering mengalami nyeri sendi, sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Jangan abaikan kesehatan sendi Anda



Sumber:

https://www.medicalnewstoday.com/articles/323421#symptoms-and-long-term-effects

https://www.healthline.com/health/rheumatoid-arthritis-vs-gout

https://www.webmd.com/arthritis/ra-vs-gout

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39376825/

https://www.arthritis.org/diseases/more-about/is-it-rheumatoid-arthritis-or-gout



Thursday, 13 February 2025

Rahasia Bahagia Kakek-Nenek dan Cucunya: Pelajaran Berharga tentang Hidup

          Hubungan antara lansia (kakek-nenek) dan cucu bisa menghadapi berbagai tantangan, terutama karena perbedaan generasi, pengalaman, dan cara pandang. 

Bahagia lansia bila dapat berkumpul dengan cucu-cucunya.
(Sumber: foto Dewkom)

Berikut beberapa tantangan yang sering muncul:

  1. Perbedaan Generasi dan Pola Pikir
    Lansia cenderung memiliki nilai-nilai tradisional, sementara cucu lebih mengikuti perkembangan zaman. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman atau kesulitan dalam komunikasi.

  2. Kesenjangan Teknologi
    Anak-anak dan remaja saat ini lebih akrab dengan teknologi, sedangkan lansia mungkin merasa tertinggal atau kurang memahami dunia digital. Jika cucu lebih sibuk dengan gadgetnya, interaksi langsung bisa berkurang.

  3. Keterbatasan Fisik Lansia
    Lansia mungkin tidak bisa mengikuti aktivitas cucu yang lebih energik, seperti bermain di luar rumah atau melakukan kegiatan fisik yang berat. Masalah kesehatan juga dapat membatasi waktu dan kualitas interaksi.

  4. Perbedaan Pola Asuh
    Kakek-nenek terkadang memiliki cara mendidik yang berbeda dengan orang tua cucu. Jika mereka terlalu ikut campur dalam pola asuh, konflik dengan orang tua bisa terjadi.

  5. Kurangnya Waktu Bersama
    Kesibukan cucu di sekolah atau aktivitas lainnya membuat waktu bersama dengan kakek-nenek berkurang. Jika tinggal berjauhan, interaksi bisa semakin terbatas.

  6. Kurangnya Topik Pembicaraan yang Menarik
    Lansia mungkin lebih suka membahas masa lalu atau hal-hal serius, sementara cucu lebih tertarik pada hal-hal modern. Jika tidak ada topik yang relevan bagi kedua belah pihak, hubungan bisa terasa hambar.

Cara Membangun Hubungan yang Harmonis dan Bermakna

Meski ada tantangan, hubungan antara kakek-nenek dan cucu bisa menjadi sangat berharga jika dibangun dengan cara yang baik. Berikut beberapa langkah untuk menjaga hubungan yang harmonis:

  1. Bangun Komunikasi yang Hangat

    • Seringlah berbicara dengan cucu, baik secara langsung maupun melalui telepon atau video call jika berjauhan.

    • Dengarkan cerita dan pendapat cucu dengan penuh perhatian.

    • Gunakan bahasa yang mudah dipahami tanpa menggurui.

  2. Habiskan Waktu Bersama

    • Bermain bersama, baik permainan tradisional maupun modern yang sesuai usia.

    • Membacakan cerita atau dongeng sebelum tidur.

    • Berjalan-jalan santai atau berkebun bersama.

  3. Ajarkan Nilai dan Tradisi

    • Bagikan pengalaman hidup dan nilai-nilai keluarga.

    • Perkenalkan budaya dan tradisi keluarga, seperti makanan khas atau adat istiadat tertentu.

    • Ceritakan kisah-kisah inspiratif dari masa lalu.

  4. Beradaptasi dengan Perkembangan Zaman

    • Pelajari sedikit tentang dunia cucu, seperti teknologi dan tren yang sedang populer.

    • Tidak perlu menolak perubahan, tetapi berusaha memahami dunia mereka.

  5. Menjadi Pendukung dan Motivator

    • Beri semangat dan motivasi dalam pendidikan serta kehidupan cucu.

    • Hindari terlalu banyak kritik atau membanding-bandingkan dengan orang lain.

    • Tunjukkan kasih sayang dengan cara yang positif.

  6. Hormati Batasan Orang Tua

    • Hindari terlalu ikut campur dalam pola asuh yang diterapkan orang tua cucu.

    • Beri masukan dengan bijak tanpa membuat orang tua merasa tersinggung.

Dengan cara-cara ini, hubungan antara lansia dan cucu bisa menjadi lebih erat, menyenangkan, dan saling bermanfaat.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8834749 

https://foreverfamilies.byu.edu/importance-of-grandparents-to-their-grandchildren

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953622000922

https://seniorsbluebook.com/articles/the-impact-grandchildren-can-have-in-senior-care

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17379680/

Monday, 10 February 2025

Kenapa Banyak Lansia Merasa Ditinggalkan Setelah Anaknya Berkeluarga?

       Seiring berjalannya waktu, anak-anak yang dulu bergantung sepenuhnya pada orang tua akhirnya tumbuh dewasa dan membangun kehidupan mereka sendiri. Bagi lansia, perubahan ini sering kali menghadirkan berbagai tantangan, baik secara emosional, sosial, maupun finansial. Namun, dengan pemahaman yang bijak, hubungan yang harmonis tetap bisa terjaga.

Tantangan yang Dihadapi Lansia

1. Perubahan Peran dalam Keluarga

Dulu, orang tua adalah pusat kehidupan anak. Namun, setelah anak menikah dan berkeluarga, prioritas mereka berubah. Lansia sering kali merasa kehilangan peran pentingnya dalam keluarga dan tidak lagi dibutuhkan seperti dulu. Perasaan ini bisa menimbulkan kesepian dan rasa kurang dihargai.

Peran orang tua berubah setelah anaknya berkeluarga.
(Sumber: foto file)

2. Kesepian dan Kurangnya Perhatian

Anak yang sibuk dengan kehidupan baru mereka—pasangan, pekerjaan, dan anak-anak—kadang-kadang membuat lansia merasa ditinggalkan. Apalagi jika anak tinggal jauh, komunikasi bisa menjadi semakin jarang. Ketidakhadiran mereka dapat menimbulkan rasa kesepian yang mendalam bagi orang tua.

3. Hubungan dengan Menantu

Tidak semua orang tua memiliki hubungan yang harmonis dengan menantu mereka. Perbedaan pola pikir dan gaya hidup dapat menyebabkan gesekan. Selain itu, beberapa menantu mungkin merasa tidak nyaman jika orang tua terlalu sering ikut campur dalam rumah tangga mereka, yang bisa menimbulkan jarak emosional antara lansia dan anak.

4. Masalah Finansial dan Ketergantungan Ekonomi

Tidak semua lansia memiliki tabungan atau pensiun yang cukup. Beberapa di antaranya bergantung pada anak untuk biaya hidup mereka. Namun, tidak semua anak mampu atau mau menanggung kebutuhan finansial orang tua, yang bisa menjadi sumber konflik dan kekhawatiran.

5. Kesehatan dan Kemandirian yang Menurun

Seiring bertambahnya usia, lansia lebih rentan terhadap penyakit kronis dan membutuhkan lebih banyak perawatan. Beberapa juga mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, sementara anak-anak mereka mungkin tidak selalu bisa merawat mereka secara langsung. Topik seperti perawatan lansia dan kemungkinan tinggal di panti jompo pun sering menjadi hal yang sensitif untuk dibicarakan.

Cara Mengatasi Tantangan Ini

1. Menerima Perubahan dengan Bijak

Lansia perlu memahami bahwa anak kini memiliki kehidupan dan tanggung jawab sendiri. Bukan berarti mereka melupakan orang tua, tetapi prioritas mereka berubah. Oleh karena itu, penting untuk bersikap fleksibel dan tidak terlalu menuntut perhatian dari anak.

2. Menjaga Komunikasi yang Sehat

Orang tua bisa tetap berkomunikasi dengan anak tanpa terkesan mengatur atau menuntut. Menggunakan teknologi seperti telepon atau video call bisa membantu menjaga kedekatan meskipun tinggal berjauhan. Selain itu, menjadi pendengar yang baik bagi anak akan memperkuat hubungan tanpa membuat mereka merasa tertekan.

3. Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental

Tetap aktif dalam berbagai kegiatan bisa membantu lansia menjalani hari-hari mereka dengan lebih bermakna. Bergabung dengan komunitas lansia, berkebun, atau melakukan olahraga ringan dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan emosional.

4. Menjalin Hubungan Harmonis dengan Keluarga Anak

Alih-alih mengkritik atau mengatur kehidupan anak dan menantu, lebih baik membangun hubungan yang suportif. Menjadi kakek atau nenek yang menyenangkan bagi cucu juga bisa memberikan kebahagiaan tersendiri dan mempererat ikatan keluarga.

5. Menemukan Makna Baru dalam Hidup

Menjalani hidup dengan ikigai—konsep Jepang tentang menemukan tujuan hidup—dapat membantu lansia tetap merasa bermanfaat dan berharga. Ikigai bisa berupa menyalurkan pengalaman kepada generasi muda, membantu komunitas, atau sekadar menikmati hobi yang selama ini tertunda.

        Tantangan yang dihadapi lansia dalam menghadapi anak yang sudah berkeluarga memang kompleks, tetapi dapat dikelola dengan sikap yang bijak. Dengan memahami perubahan peran, menjaga komunikasi, dan tetap aktif secara sosial serta finansial, lansia dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan harmonis. 

Kehidupan terus berubah, dan yang terpenting adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dengan hati yang lapang dan pikiran yang positif.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8611109/

https://www.elderly.gov.hk/english/healthy_ageing/healthy_living/adultchildrennchildren.html

https://www.agingcare.com/articles/parents-living-with-adult-children-152285.htm

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13229400.2024.2363785

https://arborcounselingcenter.com/aging-parents-and-adult-children-the-challenge-of-changing-roles/



Friday, 7 February 2025

Hidup Tanpa Beban: Cara Lansia Melawan Pengulangan Pikiran Negatif

       Pengulangan pemikiran negatif adalah pola mental di mana seseorang terus-menerus memikirkan atau membesar-besarkan hal-hal yang dianggap buruk, tidak menyenangkan, atau mengancam. Pola ini sering disebut sebagai ruminasi negatif, yang cenderung berputar tanpa solusi jelas. Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik lansia.

Ruminasi negatip sering terjadi pada siapa saja termasuk lansia.
(Sumber: foto Sapto)
Karakteristik Pengulangan Pemikiran Negatif
  1. Berulang dan Tidak Produktif
    Pikiran negatif terus muncul tanpa ada upaya mencari solusi. Misalnya: "Kenapa hidup saya sulit?" atau "Saya pasti akan semakin sakit."

  2. Berfokus pada Hal-hal Negatif
    Lansia cenderung lebih sering mengingat kesalahan, kegagalan, atau masalah dibandingkan melihat sisi positif dari kehidupannya.

  3. Bersifat Pesimis
    Pandangan terhadap masa depan atau situasi saat ini dipenuhi dengan pesimisme.

  4. Menjadi Kebiasaan
    Semakin sering terjadi, semakin sulit untuk menghentikan pola pikir ini, terutama jika sudah berlangsung dalam waktu lama.

Penyebab Pengulangan Pemikiran Negatif pada Lansia

  1. Perubahan Hidup
    Kehilangan pasangan, pensiun, atau penurunan kesehatan sering kali menjadi pemicu pikiran negatif.

  2. Kesepian atau Isolasi Sosial
    Kurangnya interaksi sosial membuat lansia lebih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal negatif.

  3. Pengalaman Masa Lalu
    Kenangan buruk atau trauma yang belum terselesaikan bisa terus muncul dalam pikiran.

  4. Gangguan Mental
    Depresi dan kecemasan dapat memperparah ruminasi negatif.

  5. Penurunan Fungsi Kognitif
    Lansia dengan gangguan memori atau demensia lebih sulit mengontrol pikiran negatif mereka.

Dampak Pengulangan Pemikiran Negatif pada Lansia

  1. Kesehatan Mental
    Memicu stres, kecemasan, dan depresi, serta menurunkan rasa percaya diri.

  2. Kesehatan Fisik
    Stres berkepanjangan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit seperti hipertensi dan penyakit jantung.

  3. Hubungan Sosial
    Lansia dengan pola pikir negatif cenderung menarik diri dari orang lain, yang semakin memperparah isolasi sosial.

  4. Kualitas Hidup
    Pikiran negatif dapat mengurangi kebahagiaan dan motivasi untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna.

Cara Mengatasi Pengulangan Pemikiran Negatif

  1. Meningkatkan Kesadaran Diri
    Bantu lansia mengenali kapan mereka mulai terjebak dalam pikiran negatif.

  2. Alihkan Perhatian
    Dorong mereka untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan, seperti berkebun, membaca, atau berjalan santai.

  3. Latihan Relaksasi
    Teknik seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu menenangkan pikiran.

  4. Dukungan Sosial
    Kehadiran teman, keluarga, atau komunitas dapat membantu mengurangi rasa kesepian.

  5. Terapi Psikologis
    Terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat membantu lansia mengubah pola pikir negatif menjadi lebih sehat.

  6. Praktik Rasa Syukur
    Mendorong lansia untuk mencatat hal-hal baik dalam hidup mereka, misalnya melalui jurnal rasa syukur.

Pengulangan pemikiran negatif memang bisa menjadi tantangan bagi lansia, tetapi dengan pendekatan yang tepat—dukungan sosial, teknik relaksasi, dan terapi—mereka dapat mengatasinya. Dengan perhatian dan bimbingan yang baik, lansia dapat menjalani hidup dengan lebih bahagia dan seimbang.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7547434 

https://dergipark.org.tr/en/download/article-file/1455835

https://www.dovepress.com/associations-between-repetitive-negative-thinking-and-objective-and-su-peer-reviewed-fulltext-article-NSS

https://www.ucl.ac.uk/news/2020/jun/repetitive-negative-thinking-linked-dementia-risk

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10928915/

Wednesday, 5 February 2025

Bukan Sekadar Lelah! Hipoglikemia Bisa Bikin Lansia Terjatuh dan Berbahaya

        Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar gula darah (glukosa) dalam tubuh turun di bawah batas normal, biasanya di bawah 70 mg/dL. Glukosa merupakan sumber energi utama bagi tubuh, terutama otak, sehingga jika kadarnya terlalu rendah, berbagai gejala bisa muncul.

Durasi olahraga untuk lansia, 20-30 menit per sesi.
(Sumber: foto Dewkom)

Mengapa Lansia Rentan Mengalami Hipoglikemia?

Seiring bertambahnya usia, tubuh mengalami berbagai perubahan yang memengaruhi metabolisme gula darah. Hal ini membuat lansia lebih rentan terhadap hipoglikemia. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini bisa berbahaya dan meningkatkan risiko jatuh serta cedera serius.

Gejala Hipoglikemia pada Lansia

Beberapa tanda umum hipoglikemia yang perlu diwaspadai, antara lain: 

✅ Gemetar atau tubuh lemas
✅ Pusing atau kebingungan
✅ Keringat dingin
✅ Jantung berdebar
✅ Rasa lapar berlebihan
✅ Penglihatan kabur
✅ Kehilangan kesadaran (pada kasus yang parah)

Penyebab Hipoglikemia pada Lansia

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan lansia mengalami hipoglikemia, di antaranya:

1. Penggunaan Obat Diabetes

Lansia yang menggunakan insulin atau obat oral seperti sulfonilurea (misalnya glibenklamid, glimepirid) berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia, terutama jika dosisnya tidak sesuai atau lupa makan setelah minum obat.

2. Pola Makan Tidak Teratur

Banyak lansia mengalami penurunan nafsu makan, lupa makan, atau memiliki pola makan yang tidak teratur. Hal ini menyebabkan gula darah turun drastis.

3. Gangguan Fungsi Hati dan Ginjal

Hati dan ginjal berperan dalam mengatur kadar gula darah. Jika fungsinya menurun akibat penuaan atau penyakit, tubuh akan kesulitan menjaga kadar gula tetap stabil.

4. Penurunan Cadangan Energi

Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami penurunan massa otot dan lemak tubuh yang berfungsi sebagai cadangan energi. Hal ini membuat mereka lebih mudah mengalami hipoglikemia.

5. Gangguan Hormonal

Hormon glukagon dan adrenalin, yang berfungsi menaikkan kadar gula darah, bisa menurun pada lansia. Akibatnya, tubuh lebih sulit mengatasi hipoglikemia.

6. Penyakit Kronis

Penyakit seperti demensia, penyakit jantung, atau kanker dapat mengganggu metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko hipoglikemia.

7. Konsumsi Alkohol Berlebihan

Alkohol dapat menghambat produksi glukosa di hati, terutama jika dikonsumsi tanpa makanan yang cukup.

Olahraga dan Hipoglikemia pada Lansia

Olahraga sangat baik untuk kesehatan lansia, tetapi jika tidak dilakukan dengan benar, bisa meningkatkan risiko hipoglikemia. Berikut beberapa alasan mengapa olahraga bisa menyebabkan kadar gula darah turun drastis:

Meningkatkan Penggunaan Glukosa oleh Otot
Saat berolahraga, tubuh menggunakan lebih banyak glukosa untuk energi. Jika tidak ada asupan makanan yang cukup, hipoglikemia bisa terjadi.

Efek Obat Diabetes + Olahraga
Lansia yang menggunakan obat diabetes (seperti insulin atau sulfonilurea) berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia, terutama jika olahraga dilakukan dalam waktu lama atau intensitas tinggi.

Tidak Makan Sebelum Olahraga
Berolahraga dalam keadaan perut kosong bisa membuat kadar gula darah turun drastis.

Respon Hormonal yang Lebih Lambat
Hormon yang membantu menaikkan gula darah seperti glukagon dan adrenalin mungkin tidak bekerja seefektif pada usia muda, sehingga tubuh lebih sulit menyeimbangkan kadar gula darah setelah olahraga.

Durasi atau Intensitas Olahraga Berlebihan
Olahraga yang terlalu lama atau berat dapat menyebabkan hipoglikemia jika tidak ada asupan energi tambahan selama atau setelah aktivitas.

Cara Mencegah Hipoglikemia Saat Olahraga untuk Lansia

Untuk tetap aktif tanpa risiko hipoglikemia, lansia dapat menerapkan beberapa langkah berikut:

Makan sebelum olahraga – Konsumsi camilan sehat seperti pisang, roti gandum, atau susu rendah lemak sebelum beraktivitas.
Pilih olahraga ringan hingga sedang – Seperti jalan kaki, yoga, atau senam lansia agar kadar gula darah tidak turun drastis.
Periksa kadar gula darah sebelum dan sesudah olahraga, terutama jika memiliki diabetes.
Batasi durasi olahraga – Idealnya 20-30 menit per sesi, tergantung kondisi tubuh.
Selalu bawa camilan manis – Seperti permen atau jus buah, untuk berjaga-jaga jika gejala hipoglikemia muncul.

Jika lansia mengalami keringat dingin, gemetar, pusing, atau lemas saat olahraga, segera hentikan aktivitas dan konsumsi makanan atau m inuman manis. Jika gejala tidak membaik, segera cari bantuan medis. \

Kesimpulan

       Hipoglikemia pada lansia bisa berbahaya jika tidak ditangani dengan baik. Faktor seperti penggunaan obat diabetes, pola makan tidak teratur, gangguan fungsi organ, hingga olahraga yang berlebihan dapat meningkatkan risiko. Oleh karena itu, penting bagi lansia untuk menjaga pola makan, berolahraga dengan aman, dan rutin memantau kadar gula darah agar tetap sehat dan terhindar dari risiko jatuh akibat hipoglikemia.


Sumber: 






Sunday, 2 February 2025

Terima Realitas, Temukan Harmoni: Seni Berpikir Netral di Usia Lanjut

              Kekuatan berpikir netral untuk lansia adalah kemampuan untuk menghadapi situasi hidup secara seimbang, dengan fokus pada fakta dan realitas tanpa terlalu terbawa oleh emosi negatif seperti pesimisme, atau terlalu bergantung pada ekspektasi yang berlebihan. Berpikir netral membantu lansia untuk menerima perubahan dalam hidup, seperti kondisi fisik yang menurun, kehilangan orang terkasih, atau tantangan sosial, dengan cara yang objektif, bijaksana, dan tenang.

Berpikir netral sangat baik untuk kesehatan lansia.
(Sumber: foto Kissumi Dwi)

Elemen Utama dari Kekuatan Berpikir Netral untuk Lansia:

  1. Penerimaan Realitas Hidup
    Lansia sering menghadapi perubahan besar, seperti pensiun, kondisi kesehatan yang menurun, atau perubahan dinamika keluarga. Kekuatan netral membantu mereka menerima kenyataan tersebut tanpa terlalu merasa kecewa atau berharap berlebihan.

    Contoh:
    "Saya tidak sekuat dulu, tapi saya masih bisa menikmati kegiatan yang sesuai dengan kemampuan saya."

  2. Pengendalian Emosi
    Kekuatan netral memungkinkan lansia untuk tidak mudah terbawa oleh perasaan cemas, sedih, atau marah. Ini membantu mereka menjaga ketenangan dalam menghadapi tantangan.

    Contoh:
    "Anak-anak saya sibuk bekerja. Mungkin mereka tidak sering datang, tapi itu bukan karena mereka tidak peduli."

  3. Fokus pada Logika dan Fakta
    Dengan berpikir netral, lansia dapat membuat keputusan yang lebih rasional dan tidak dipengaruhi oleh asumsi negatif atau terlalu optimis.

    Contoh:
    "Saya tidak bisa memaksakan semua orang untuk selalu hadir, tetapi saya bisa mencari komunitas baru untuk bersosialisasi."

Manfaat Kekuatan Berpikir Netral bagi Lansia:

  1. Kesehatan Mental yang Lebih Baik
    Lansia yang berpikir netral cenderung lebih mampu mengelola stres dan terhindar dari perasaan putus asa atau kecemasan yang berlebihan.

  2. Hubungan Sosial yang Seimbang
    Kekuatan netral membantu lansia mengurangi konflik dengan orang-orang di sekitar mereka, karena pola pikir ini mengurangi ekspektasi berlebihan atau prasangka negatif.

  3. Kemandirian dan Kepuasan Hidup
    Lansia dapat tetap merasa bahagia dan produktif karena mereka fokus pada apa yang dapat mereka lakukan daripada apa yang tidak bisa mereka kendalikan.

  4. Kemampuan Beradaptasi
    Lansia yang memiliki kekuatan netral lebih mudah menerima perubahan dalam hidup, seperti keterbatasan fisik atau kehilangan orang terdekat.

Contoh Penerapan Kekuatan Berpik Netral:

  • Ketika Anak Jarang Berkunjung:
    "Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaan dan keluarga mereka sendiri. Saya bisa tetap terhubung melalui telepon atau video call."

  • Menghadapi Kondisi Kesehatan:
    "Saya tidak bisa mengubah kondisi saya, tapi saya bisa menjaga diri dengan makan sehat dan olahraga ringan."

Kekuatan berpikir netral adalah pendekatan yang ideal untuk membantu lansia menjalani masa tua dengan damai dan penuh makna. Dengan pola pikir ini, mereka dapat menerima kenyataan hidup tanpa terbebani oleh ekspektasi atau kekhawatiran, sehingga mereka bisa tetap bahagia dan menikmati momen-momen yang ada.




Sumber: