Monday, 8 January 2024

Ganggauan Depresi Mayor, Sedih yang Mendalam

       Gangguan depresi mayor , juga dikenal sebagai depresi klinis , adalah gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati yang buruk, harga diri rendah, dan hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan selama setidaknya dua minggu.

Depresi mayor pada lansia adalah gangguan suasana hati yang serius dan menetap yang memengaruhi orang lanjut usia. Depresi pada lansia tidak hanya merupakan bagian dari proses penuaan alami, tetapi merupakan kondisi medis yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka secara signifikan. 

Lansia harus mampu mengatasi depresi mayor dengan interaksi sosial.
(Sumber: foto Pribadi)

Beberapa ciri khas depresi mayor pada lansia meliputi:

Perasaan Sedih atau Hampa: 

Lansia yang mengalami depresi umumnya merasakan perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati, atau merasa hampa.

Perubahan Berat Badan: 

Perubahan berat badan bisa menjadi tanda depresi. Beberapa orang mungkin mengalami penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan yang lain mungkin mengalami peningkatan berat badan tanpa alasan yang jelas.

Gangguan Tidur: 

Perubahan dalam pola tidur, seperti kesulitan tidur atau tidur berlebihan, adalah ciri umum depresi pada lansia.

Kelelahan dan Kurang Energi: 

Lansia yang mengalami depresi sering kali merasa lelah secara konstan dan kekurangan energi, bahkan setelah beristirahat.

Gangguan Konsentrasi: 

Kesulitan memusatkan perhatian atau membuat keputusan adalah gejala umum depresi, terutama pada lansia.

Perasaan Bersalah atau Pemikiran Kematian: 

Perasaan bersalah yang tidak beralasan atau pemikiran tentang kematian dan bunuh diri dapat menjadi gejala depresi yang serius.

Lansia yang depresi mayor memiliki perasaan bersalah yak beralasan.
(Sumber: foto canva.com)

Gejala Fisik Tanpa Penyebab Medis yang Jelas: 

Lansia dengan depresi juga dapat mengalami gejala fisik, seperti sakit kepala atau nyeri tubuh, tanpa adanya penyebab medis yang jelas.

💬Depresi pada lansia bukanlah bagian normal dari proses penuaan dan dapat diobati. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap depresi mayor pada lansia meliputi:

Faktor Biologis: 

Perubahan biologis terkait dengan penuaan dapat memainkan peran dalam munculnya depresi pada lansia. Misalnya, penurunan kadar neurotransmitter tertentu, seperti serotonin, dapat berpengaruh pada suasana hati.

Kesehatan Fisik: 

Masalah kesehatan fisik, seperti penyakit kronis, nyeri kronis, atau gangguan neurologis, dapat meningkatkan risiko depresi pada lansia. Penyakit yang membatasi aktivitas fisik atau mempengaruhi kualitas hidup juga dapat menjadi pemicu depresi.

Faktor Genetik: 

Riwayat keluarga dengan gangguan suasana hati atau depresi dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi, termasuk pada lansia. Faktor genetik dapat memainkan peran dalam rentan seseorang terhadap kondisi ini.

Isolasi Sosial: 

Kehilangan teman, keluarga, atau kehidupan sosial yang terbatas dapat meningkatkan risiko depresi pada lansia. Isolasi sosial dapat membuat mereka merasa terasing dan tidak dihargai.

Stres dan Perubahan Hidup: 

Peristiwa stres seperti kematian pasangan hidup, pensiun, atau perubahan signifikan dalam hidup dapat menjadi pemicu depresi pada lansia. Proses penyesuaian dengan perubahan-perubahan ini bisa sulit bagi sebagian orang.

Peristiwa stres seperti pensiun dan kematian pasangan memicu depresi.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan Kesehatan Mental Sebelumnya: 

Riwayat depresi atau gangguan suasana hati lainnya dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi di kemudian hari, termasuk pada masa lanjut usia.

Efek Samping Obat: 

Beberapa obat yang umumnya digunakan oleh lansia untuk mengatasi kondisi medis tertentu dapat memiliki efek samping yang memengaruhi suasana hati dan menyebabkan depresi.

       Mencegah depresi mayor pada lansia melibatkan berbagai langkah untuk mempromosikan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial. 

Beberapa strategi yang dapat membantu mencegah depresi pada lansia:

Jaga Kesehatan Fisik:

  • Adopsi gaya hidup sehat dengan pola makan seimbang dan aktifitas fisik yang teratur.
  • Pastikan untuk menjaga kondisi kesehatan secara umum dan mengelola penyakit kronis dengan baik.

Aktivitas Fisik:

Senam ringan, berjalan, atau aktivitas fisik lainnya secara teratur dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi risiko depresi.

Jaga Kesehatan Mental:

  • Terlibat dalam aktivitas yang merangsang pikiran, seperti membaca, menulis, atau belajar hal baru.
  • Praktikkan teknik relaksasi, meditasi, atau yoga untuk mengurangi stres.

Sosialisasi:

  • Pertahankan hubungan sosial yang sehat dengan teman, keluarga, dan komunitas.
  • Terlibat dalam kegiatan sosial, klub, atau kelompok tertentu untuk menghindari isolasi.

lansia harus terlibat dalam interaksi dengan komunitas.
(Sumber: foto canva.com)

Hobi dan Kepentingan:

  • Pelihara hobi atau aktivitas yang memberikan kegembiraan dan tujuan.
  • Ikuti kegiatan yang memberikan rasa pencapaian dan kepuasan.

Pertahankan Kemandirian:

  • Berusaha untuk tetap mandiri dan aktif dalam kegiatan sehari-hari sebanyak mungkin.
  • Minta bantuan jika diperlukan, tetapi tetap berusaha menjaga kemandirian.

Rutinitas dan Struktur:

  • Tetapkan rutinitas harian yang memberikan struktur dan tujuan.
  • Hindari rasa kekosongan atau kebingungan dengan memiliki jadwal yang terorganisir.

Pemantauan Kesehatan Mental:

Waspadai tanda-tanda depresi dan segera cari bantuan jika Anda atau seseorang di sekitar Anda mengalami gejala depresi.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan:

  • Rutin menjalani pemeriksaan kesehatan dan konsultasi dengan profesional kesehatan untuk memantau kesehatan secara menyeluruh.
  • Jika diperlukan, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.

Hindari Penggunaan Zat Adiktif:

Hindari penggunaan alkohol, rokok, atau zat adiktif lainnya, karena dapat memperburuk kondisi mental.

       Pengobatan depresi mayor pada lansia dapat melibatkan berbagai pendekatan, termasuk terapi psikologis, pengobatan farmakologis, dan perubahan gaya hidup. Pengobatan terbaik akan bervariasi tergantung pada tingkat keparahan depresi dan kebutuhan individu. 

Beberapa pendekatan umum yang dapat digunakan dalam pengobatan depresi mayor pada lansia:

Terapi Psikologis:

  • Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): Terapi ini membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang dapat memperburuk depresi.
  • Terapi Interpersonal (IPT): Terapi ini fokus pada perbaikan hubungan interpersonal dan dapat membantu mengatasi konflik hubungan yang dapat memicu atau memperburuk depresi.

Pengobatan Farmakologis:

  • Antidepresan: Dokter dapat meresepkan antidepresan untuk membantu mengatasi gejala depresi. Beberapa jenis antidepresan yang umum digunakan termasuk selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) atau serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI).
  • Stabilisator Mood atau Antipsikotik: Dalam beberapa kasus, dokter mungkin meresepkan obat stabilisator mood atau antipsikotik untuk membantu mengatasi gejala depresi.

Elektrokonvulsif (ECT):

ECT adalah prosedur medis yang melibatkan pemberian arus listrik ke otak untuk merangsang aktivitas otak dan mengurangi gejala depresi. Meskipun ECT seringkali terakhir kali digunakan dan dianggap sebagai opsi terakhir, namun dapat efektif dalam kasus-kasus yang sulit diobati.

Partisipasi dalam Kegiatan Fisik:

Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu meningkatkan suasana hati dan mengurangi gejala depresi. Berjalan kaki, berenang, atau berpartisipasi dalam kegiatan fisik lainnya dapat membantu meredakan gejala.

Perubahan Gaya Hidup:

  • Menjaga pola tidur yang teratur.
  • Menerapkan pola makan seimbang dan nutrisi yang baik.
  • Menghindari konsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang.

Dukungan Sosial:

Dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat membantu mengatasi isolasi sosial dan memberikan dukungan emosional.

Konseling atau Terapi Kelompok:

Terapi kelompok atau konseling dapat memberikan dukungan tambahan dan kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan orang lain yang mengalami situasi serupa.

Berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk menilai kondisi dan menentukan rencana pengobatan yang paling sesuai. Dalam beberapa kasus, kombinasi beberapa pendekatan pengobatan mungkin diperlukan untuk mencapai hasil terbaik.



Sumber:

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/depression/symptoms-causes/syc-20356007

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559078/

https://en.wikipedia.org/wiki/Major_depressive_disorder

https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/24481-clinical-depression-major-depressive-disorder


Sunday, 7 January 2024

Halusinasi Lansia, Efek Obat-obatan Umum

        Halusinasi adalah pengalaman sensorik yang terjadi tanpa adanya stimulus yang sesungguhnya di lingkungan sekitar. Artinya, seseorang yang mengalami halusinasi akan merasakan indra seperti melihat, mendengar, meraba, mencium, atau merasakan sesuatu, meskipun stimulus fisik atau nyata yang dapat menyebabkan pengalaman tersebut tidak hadir. 

Halusinasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, melihat cahaya berkilauan di sekitar seseorang atau suatu benda, merasakan serangga merayap di kulit, atau mendengar suara-suara di kepala adalah berbagai jenis halusinasi. Namun yang paling umum adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan.

Halusinasi pada lansia terjadi karena efek obat-obatan.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Obat-obatan umum yang digunakan oleh lansia dapat menyebabkan efek samping berupa halusinasi. 

Beberapa jenis obat yang terkait dengan risiko halusinasi pada lansia meliputi:

Obat-obatan untuk gangguan tidur: 

Beberapa obat tidur atau obat penenang, terutama golongan benzodiazepin, dapat menyebabkan halusinasi pada sebagian orang, terutama pada dosis yang tinggi atau jika digunakan secara tidak benar.

Antidepresan: 

Beberapa jenis antidepresan, terutama golongan trisiklik, dapat menyebabkan halusinasi pada lansia. Efek samping ini mungkin lebih umum pada dosis tinggi.

Obat-obatan antikolinergik: 

Beberapa obat yang memiliki efek antikolinergik, seperti obat untuk alergi, mual, atau penyakit Parkinson, dapat memicu halusinasi pada lansia. Ini karena efek samping antikolinergik dapat memengaruhi sistem saraf pusat.

Obat untuk penyakit Parkinson: 

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson, seperti levodopa, bisa menyebabkan gangguan persepsi sensorik atau halusinasi.

Obat untuk tekanan darah tinggi: 

Beberapa obat golongan beta-blocker atau digoksin yang digunakan untuk mengatasi tekanan darah tinggi atau masalah jantung dapat menyebabkan halusinasi sebagai efek samping.

Obat golongan beta-blocker menyebabkan halusinasi.
(Sumber: foto canva.com)

Jika seseorang mengalami halusinasi setelah mengonsumsi obat-obatan, penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan. Penting untuk mengikuti petunjuk dokter dan memberi tahu mereka tentang setiap efek samping yang dialami.

       Meskipun tidak ada obat tertentu yang secara khusus "dirancang" untuk menimbulkan halusinasi pada lansia. Namun, beberapa jenis obat yang umumnya digunakan oleh lansia dapat menyebabkan efek samping berupa halusinasi. Efek samping ini tidak dialami oleh semua orang dan dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. 

Beberapa kelas obat yang berpotensi menyebabkan halusinasi pada lansia meliputi:

Benzodiazepin: 

Obat-obatan ini biasanya digunakan untuk mengatasi kecemasan, insomnia, atau masalah tidur. Contohnya termasuk diazepam, lorazepam, dan alprazolam.

Antidepresan trisiklik: 

Beberapa antidepresan golongan trisiklik dapat memiliki efek samping halusinasi pada dosis tinggi. Contoh obat termasuk amitriptyline, nortriptyline, dan imipramine.

Antikolinergik: 

Obat-obatan yang memiliki efek antikolinergik, seperti obat antihistamin untuk alergi atau obat untuk mual, dapat menyebabkan halusinasi pada beberapa individu.

Obat untuk penyakit Parkinson: 

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson, seperti levodopa atau pramipexole, dapat menyebabkan efek samping berupa halusinasi pada beberapa orang.

Obat untuk tekanan darah tinggi: 

Beberapa obat golongan beta-blocker atau digoksin yang digunakan untuk mengatasi tekanan darah tinggi atau masalah jantung juga dapat berkontribusi pada timbulnya halusinasi pada sebagian orang.

Konsultasi dengan dokter bila halusinasi setelah konsumsi obat. 
(Sumber: foto canva.com)

Jika seorang lansia mengalami halusinasi setelah mengonsumsi obat, sangat penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan untuk mengevaluasi kondisi dan menyesuaikan rencana pengobatan jika diperlukan.

        Mencegah halusinasi akibat efek obat pada lansia memerlukan pendekatan yang hati-hati dan berkoordinasi dengan dokter atau profesional kesehatan yang meresepkan obat. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mencegah atau mengurangi risiko halusinasi pada lansia:

Konsultasikan dengan dokter:

  • Penting untuk berbicara dengan dokter atau profesional kesehatan sebelum memulai atau mengubah dosis obat.
  • Informasikan dokter tentang riwayat medis, termasuk riwayat gangguan tidur, kecemasan, depresi, atau masalah kesehatan mental lainnya.

Informasikan tentang obat dan suplemen lainnya:

Beri tahu dokter tentang semua obat, suplemen, atau obat-obatan bebas yang sedang atau pernah digunakan, termasuk obat tradisional atau herbal.

Jangan ubah dosis atau berhenti tanpa berkonsultasi:

Tidak pernah mengubah dosis atau berhenti mengonsumsi obat tanpa persetujuan dokter, karena hal ini dapat meningkatkan risiko efek samping.

Pantau gejala dan efek samping:

Perhatikan perubahan gejala atau efek samping setelah memulai atau mengubah penggunaan obat. Laporkan segera kepada dokter jika terjadi halusinasi atau gejala lain yang tidak diinginkan.

Perhatikan perubahan gejala dan efek samping setelah minum obat.
(Sumber: foto canva.com)

Pilih obat dengan hati-hati:

Dokter dapat memilih obat dengan risiko efek samping yang lebih rendah, terutama jika lansia memiliki riwayat sensitivitas terhadap obat tertentu.

Evaluasi dan sesuaikan rencana pengobatan:

Lakukan evaluasi rutin dengan dokter untuk menilai efektivitas dan toleransi obat. Dokter mungkin perlu menyesuaikan dosis atau mengganti obat jika diperlukan.

Hindari obat-obatan tertentu jika memungkinkan:

Hindari penggunaan obat-obatan dengan risiko tinggi efek samping pada lansia, terutama jika alternatif yang lebih aman tersedia.

Rencanakan jadwal berkonsultasi:

Tetapkan jadwal berkonsultasi rutin dengan dokter untuk memastikan bahwa rencana pengobatan tetap sesuai dengan kebutuhan kesehatan lansia.

Fokus pada gaya hidup sehat:

Gaya hidup yang sehat, termasuk pola makan seimbang, aktivitas fisik teratur, dan tidur yang cukup, dapat mendukung kesehatan lansia dan mengurangi risiko efek samping obat.

Komunikasi dengan dokter atau profesional kesehatan sebelum membuat perubahan apa pun dalam rencana pengobatan lansia. Dengan komunikasi terbuka dan kerja sama yang baik, risiko efek samping obat, termasuk halusinasi, dapat diminimalkan.


Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9936323/

https://www.hmpgloballearningnetwork.com/site/altc/articles/visual-hallucinations-long-term-care 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181655/

https://brainxchange.ca/Public/Files/Hallucinations/Hallucination_in_the_elderly_slides.aspx

https://www.msdmanuals.com/professional/geriatrics/drug-therapy-in-older-adults/drug-related-problems-in-older-adults

Friday, 5 January 2024

Ageisme, Bentuk Ancaman dan Diskriminasi Lansia

        Konsep ageisme sebagai istilah resmi muncul pada tahun 1969 melalui tulisan Robert N. Butler, seorang dokter dan gerontologis Amerika Serikat, diskriminasi berdasarkan usia sudah ada jauh sebelumnya. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, masyarakat telah mengalami perubahan pandangan terhadap orang-orang yang lebih tua.

Ageisme merugikan lansia secara umum.
(Sumber: Foto LPC- Lansia)

Ageisme dapat terjadi melalui berbagai cara, termasuk dalam kalimat-kalimat yang mungkin mengandung stereotip atau prasangka terhadap lansia. 

Contoh kalimat yang mengandung ageisme:

"Ah, dia terlalu tua untuk mengerti teknologi modern."

"Lansia tidak bisa diandalkan untuk tugas-tugas yang rumit."

"Orang tua tidak bisa diajak untuk beradaptasi dengan perubahan zaman."

"Lansia pasti lebih sering sakit dan membutuhkan lebih banyak perawatan medis."

"Mengapa kita harus mendengarkan saran dari seseorang yang sudah sepuh?"

"Lansia seharusnya duduk-duduk saja di rumah, bukan ikut campur dalam urusan publik."

"Mereka sudah tua, jadi tidak ada gunanya melibatkan mereka dalam proyek-proyek inovatif."

Penekanan pada keberhasilan fisik dan produktivitas dalam beberapa budaya telah menyebabkan munculnya stereotip negatif terhadap orang tua atau lansia. 

Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan ageisme meliputi:

Perubahan Demografis:

Ketika populasi manusia tumbuh dan struktur usia berubah, muncul pergeseran pandangan terhadap kelompok usia tertentu. Proses ini dapat menciptakan ketegangan antar-generasi.

Pentingnya Produktivitas: 

Dalam masyarakat yang sangat menekankan produktivitas dan kontribusi ekonomi, orang-orang yang dianggap tidak lagi produktif dapat menjadi sasaran diskriminasi.

Perubahan Ekonomi dan Teknologi: 

Perkembangan ekonomi dan teknologi sering kali menyebabkan perubahan dalam kebutuhan pekerjaan. Orang-orang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan ini mungkin dianggap tidak berguna atau tidak berdaya.

Lansia dianggap tidak berdaya dengan perubahan teknologi.
(Sumber: foto canva.com)

Pengaruh Budaya dan Media: 

Representasi lansia dalam budaya populer dan media dapat memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat. Jika gambaran ini cenderung negatif, itu dapat memperkuat stereotip dan prasangka.

Ketidakpastian Akan Masa Depan: 

Kecemasan akan usia tua dan ketidakpastian akan masa depan dapat menciptakan kekhawatiran dan rasa takut yang mendorong terjadinya ageisme.

       Meskipun ageisme sudah lama ada, pengakuan terhadap dampak negatifnya dan upaya untuk mengatasinya secara aktif baru-baru ini menjadi lebih menonjol. Gerakan gerontologi, advokasi lansia, dan penelitian mengenai isu-isu usia telah membantu meningkatkan kesadaran dan mempromosikan pemikiran yang lebih positif terhadap lansia.

Ageisme mengacu pada stereotip (cara kita berpikir), prasangka (cara kita merasa) dan diskriminasi (cara kita bertindak) terhadap orang lain atau diri sendiri berdasarkan usia. Bertambah tua berarti memperoleh kedewasaan dan menjadi orang dewasa yang lebih bertanggung jawab dan penuh hormat.

Proses penuaan mungkin dipandang buruk oleh sebagian orang, yang memandangnya secara pesimis, dan hal ini mengurangi kesenangan yang mungkin mereka peroleh dari pertumbuhan mereka sendiri. Penuaan sering dianggap sebagai proses yang menantang, di mana individu kehilangan kepercayaan diri dan kehilangan produktivitas. 

       Tanda-tanda ageisme dalam suatu lingkungan dapat bervariasi dan dapat muncul dalam berbagai konteks. 

Beberapa tanda umum ageisme dalam suatu lingkungan:

Diskriminasi Pekerjaan: 

Penolakan atau pemutusan hubungan kerja berdasarkan usia tanpa mempertimbangkan keterampilan atau kinerja sebenarnya.

Stereotip dan Prasangka: 

Adanya pandangan umum atau stereotip negatif terhadap orang berdasarkan usia, seperti asumsi bahwa orang yang lebih tua tidak dapat beradaptasi dengan teknologi atau bahwa orang yang lebih muda kurang berpengalaman dan tidak dapat diandalkan.

Kebijakan Organisasi yang Diskriminatif: 

Kebijakan yang secara eksplisit atau implisit mendiskriminasi berdasarkan usia, seperti batasan usia untuk mendapatkan manfaat tertentu.

Kebijakan organisasi yang diskriminatif terhadap lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Kesenjangan Gaji Berdasarkan Usia: 

Adanya perbedaan gaji yang tidak adil berdasarkan usia, di mana orang yang lebih tua mungkin diberikan kompensasi yang lebih rendah meskipun memiliki keterampilan dan pengalaman yang lebih banyak.

Media dan Periklanan Stereotip Usia: 

Representasi yang stereotip atau negatif terhadap berbagai kelompok usia dalam media atau periklanan.

Pengabaian atau Penolakan Ide dan Kontribusi dari Kelompok Usia Tertentu: 

Tidak menghargai atau menolak ide, saran, atau kontribusi dari individu berdasarkan usia tertentu.

Ketidaksetaraan Akses dan Pelayanan Kesehatan: 

Adanya ketidaksetaraan dalam akses atau pelayanan kesehatan berdasarkan usia, di mana orang yang lebih tua mungkin tidak mendapatkan perhatian atau perawatan yang sama dengan orang yang lebih muda.

Eksklusi Sosial: 

Mengabaikan atau mengisolasi kelompok usia tertentu dari kegiatan sosial atau masyarakat, seperti menganggap bahwa aktivitas tertentu hanya cocok untuk orang muda.

       Ageisme adalah diskriminasi atau prasangka terhadap seseorang berdasarkan usianya. Dalam konteks lansia, ageisme dapat memiliki dampak buruk yang signifikan. 

Beberapa dampak buruk ageisme pada lansia:

Kesehatan Mental dan Emosional yang Buruk:

Ageisme dapat menyebabkan stres psikologis pada lansia karena merasa diabaikan atau tidak dihargai. Ini dapat mengakibatkan penurunan kesehatan mental dan emosional, seperti depresi, kecemasan, dan isolasi sosial.

Kurangnya Akses ke Layanan Kesehatan:

Pemikiran bahwa lansia tidak layak atau tidak membutuhkan perawatan kesehatan yang adekuat dapat mengakibatkan kurangnya akses mereka ke layanan kesehatan yang diperlukan. Ini dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penundaan dalam diagnosis dan perawatan.

Diskriminasi dalam Pekerjaan:

Lansia sering mengalami diskriminasi di tempat kerja, seperti pemecatan atau kurangnya peluang karier, yang dapat merugikan secara finansial dan emosional. Ini juga dapat memberikan dampak negatif pada rasa harga diri dan identitas mereka.

Persepsi Negatif terhadap Kemampuan:

Ageisme sering kali diiringi oleh asumsi bahwa lansia tidak mampu atau tidak memiliki kontribusi yang berarti dalam masyarakat. Padahal, banyak lansia yang tetap aktif dan berkompeten dalam berbagai bidang.

Ageisme sering diasumsikan lansia tidak memiliki kemampuan.
(Sumber: foto canva.com)

Isolasi Sosial:

Ageisme dapat menyebabkan isolasi sosial karena lansia mungkin merasa diabaikan oleh masyarakat atau bahkan oleh keluarga mereka sendiri. Ini dapat meningkatkan risiko penyakit mental dan menyebabkan penurunan kualitas hidup.

Penghinaan dan Stereotip:

Lansia sering kali menjadi sasaran penghinaan dan stereotip negatif, seperti dianggap tidak berguna, pelupa, atau tidak produktif. Stereotip ini dapat merugikan mereka secara psikologis dan mempengaruhi cara orang lain berinteraksi dengan mereka.

Pembatasan Hak dan Keterlibatan Sosial:

Ageisme dapat menyebabkan pembatasan hak-hak lansia, termasuk hak untuk terlibat dalam kegiatan sosial, politik, dan budaya. Ini dapat merugikan perkembangan pribadi dan kualitas hidup mereka.

       Mencegah ageisme pada lansia memerlukan upaya bersama dari individu, masyarakat, dan lembaga. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah ageisme:

Pendidikan dan Kesadaran:

Tingkatkan kesadaran masyarakat tentang mitos dan stereotip terkait usia. Kampanye pendidikan dapat membantu mengubah persepsi masyarakat terhadap lansia dan mengajak orang untuk melihat mereka sebagai individu yang berharga dan memiliki kontribusi positif.

Promosi Diversitas dan Inklusi:

Dorong kebijakan yang mendorong diversitas dan inklusi di semua lapisan masyarakat, termasuk di tempat kerja, media, dan kehidupan sehari-hari. Memperlihatkan lansia dalam berbagai peran yang positif dapat membantu mengubah pandangan masyarakat.

Penekanan pada Kemampuan dan Pengalaman:

Fokus pada kemampuan dan pengalaman lansia, bukan hanya pada keterbatasan yang mungkin dimilikinya. Mengakui kontribusi yang berharga yang dapat diberikan oleh lansia di berbagai bidang dapat membantu merombak stereotip negatif.

Pelibatan Lansia dalam Keputusan:

Melibatkan lansia dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka secara langsung, seperti kebijakan pemerintah, perencanaan kota, dan kebijakan kesehatan. Ini dapat memberikan rasa memiliki dan mengakui kepentingan mereka.

Program Interaksi Antar Generasi:

Mendorong program dan kegiatan yang menghubungkan berbagai kelompok usia. Interaksi antar generasi dapat membantu meredam stereotip dan membangun pemahaman yang lebih baik antara kelompok-kelompok usia.

Program interaksi antar generasi meredam stereotip.
(Sumber: foto canva.com)

Kampanye Media yang Positif:

Mendukung kampanye media yang menyajikan gambaran lansia secara positif dan realistis. Media memiliki peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat, dan konten yang menghormati lansia dapat membantu mengatasi stereotip negatif.

Pelatihan Anti-Ageisme:

Menyelenggarakan pelatihan anti-ageisme untuk tenaga kerja di berbagai sektor. Pelatihan ini dapat membantu meningkatkan kesadaran dan mengubah sikap yang mungkin menyebabkan diskriminasi usia.

Pembangunan Komunitas yang Ramah Lansia:

Mendorong pembangunan komunitas yang mendukung kebutuhan lansia, seperti aksesibilitas, keamanan, dan layanan kesehatan yang baik. Komunitas yang ramah lansia dapat menciptakan lingkungan inklusif dan mendukung bagi semua anggotanya.

Mencegah ageisme melibatkan kerjasama dari seluruh masyarakat untuk menciptakan budaya yang menghargai dan menghormati semua anggota masyarakat, tanpa memandang usia mereka.


Sumber:

https://ageing-better.org.uk/news/impact-ageism-people-economy-and-society-revealed# .

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9008869 

https://www.verywellmind.com/what-is-ageism-2794817

https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/ageing-ageism

https://en.wikipedia.org/wiki/Ageism