Sunday, 3 September 2023

Serangan Bikin Panik Lansia, Terjadi Secara Spontan, Waspada

        Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik secara spontan dan tak terduga, frekuensinya dapat bervariasi dari beberapa serangan per hari hingga hanya beberapa serangan per tahun. Serangan panik didefinisikan sebagai periode ketakutan yang intens di mana 4 dari 13 gejala yang ditentukan berkembang secara tiba-tiba dan memuncak dengan cepat kurang dari 10 menit sejak timbulnya gejala. 

Serangan panik biasanya dimulai secara tiba-tiba, tanpa peringatan. Mereka dapat menyerang kapan saja, saat Anda sedang mengendarai mobil, di mal, tertidur lelap, atau di tengah rapat bisnis. Anda mungkin mengalami serangan panik sesekali, atau mungkin sering terjadi.

Meskipun serangan seperti itu dapat terjadi pada gangguan kecemasan lainnya, serangan ini sering terjadi tanpa pencetus yang dapat diprediksi dalam gangguan panik. Banyak orang hanya mengalami satu atau dua serangan panik dalam hidup mereka, dan masalahnya akan hilang, mungkin ketika situasi stres berakhir. 

Serangan panik pada lansia biasanya dimulai secara tiba-tiba.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Tetapi jika Anda mengalami serangan panik berulang yang tidak terduga dan menghabiskan waktu lama dalam ketakutan terus-menerus akan serangan lain, Anda mungkin mengalami kondisi yang disebut gangguan panik.

Late-Onset Panic Disorder adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan serangan kepanikan yang tidak terduga dan parah. Gangguan ini dianggap "late-onset" karena serangan kepanikan pertama kali muncul pada usia dewasa yang lebih lanjut, biasanya setelah usia 45 tahun. Ini berbeda dari gangguan kepanikan awal yang biasanya muncul pada usia muda atau dewasa awal.

Serangan kepanikan adalah periode singkat ketika seseorang mengalami perasaan intens takut dan kecemasan yang datang dengan gejala fisik dan kognitif yang kuat. Gejala umum dari serangan kepanikan meliputi detak jantung cepat, keringat berlebihan, gemetar, sesak napas, rasa sakit dada, mual, dan perasaan tidak nyata. Orang yang mengalami serangan kepanikan sering kali merasa bahwa mereka kehilangan kendali atau bahwa mereka akan mati.

Gejala late-onset panic disorder pada lansia sering kali mirip dengan gejala pada usia muda, tetapi ada beberapa perbedaan yang mungkin lebih umum terjadi pada populasi lansia. 

Lansia yang terkena late onset panic order mengalami
 kepanikan dan kecemasan. (Sumber: foto canva.com)

Beberapa gejala yang dapat muncul pada lansia yang mengalami late-onset panic disorder meliputi:

💠 Gejala Fisik: 

Lansia dengan late-onset panic disorder mungkin lebih mungkin mengalami gejala fisik seperti detak jantung cepat, sesak napas, berkeringat berlebihan, gemetar, rasa sakit dada atau ketidaknyamanan, dan pusing. Gejala ini bisa sangat mengganggu dan bahkan bisa menyerupai masalah kesehatan fisik lainnya yang lebih umum terjadi pada usia lanjut.

Gejala terkena late onset panic disorder antara lain
sesak napas, berkeringat berlebihan, gemetar.
(Sumber: foto canva.com)

💠 Ketakutan Akan Kematian atau Kehilangan Kendali: 

Seperti pada semua usia, lansia dengan late-onset panic disorder mungkin memiliki ketakutan yang sangat kuat akan kematian atau kehilangan kendali saat mengalami serangan kepanikan.

💠 Gejala Kognitif: 

Lansia dengan gangguan ini mungkin juga mengalami gejala kognitif seperti rasa tidak nyata atau depersonalisasi (merasa terputus dari realitas) serta derealisasi (perasaan bahwa lingkungan sekitar terasa tidak nyata)

💠 Kesulitan dalam Mengatasi Stres: 

Lansia dengan late-onset panic disorder mungkin memiliki kesulitan dalam mengatasi stres dan menghadapi perubahan hidup yang terkait dengan usia, seperti kesehatan yang menurun, pensiun, atau kehilangan teman dan anggota keluarga.

💠 Pemulihan yang Lebih Lama: 

Lansia mungkin mengalami pemulihan yang lebih lama setelah serangan kepanikan, dan gejala mereka mungkin berlangsung lebih lama atau lebih intens.

💠 Penyamaran Gejala: 

Beberapa gejala late-onset panic disorder pada lansia mungkin tersembunyi oleh masalah kesehatan fisik yang sudah ada, seperti penyakit jantung atau gangguan pernapasan, sehingga bisa sulit untuk membedakan apakah gejala tersebut disebabkan oleh gangguan kecemasan.

Penyebab pasti dari late-onset panic disorder belum sepenuhnya dipahami, tetapi ada beberapa faktor yang dapat berperan dalam perkembangan gangguan ini. 

Beberapa faktor yang mungkin terkait dengan late-onset panic disorder meliputi:

⚓ Faktor Genetik:

Kecenderungan untuk mengalami gangguan kecemasan, termasuk late-onset panic disorder, dapat memiliki komponen genetik. Jika ada riwayat keluarga dengan gangguan kecemasan, risiko individu untuk mengembangkan gangguan tersebut mungkin lebih tinggi.

⚓ Perubahan Hormonal:

Perubahan dalam produksi hormon terkait penuaan dapat mempengaruhi fungsi otak dan sistem saraf, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi regulasi emosi dan respons terhadap stres. Perubahan hormon ini dapat memicu atau memperburuk gejala gangguan kecemasan, termasuk late-onset panic disorder.

⚓ Perubahan Neurobiologis:

Ada bukti bahwa perubahan dalam fungsi neurotransmiter dan sistem saraf pusat dapat berkontribusi pada perkembangan late-onset panic disorder. Neurotransmiter seperti serotonin, norepinefrin, dan asam gamma-aminobutirat  memiliki peran dalam regulasi suasana hati dan respons terhadap stres.

⚓ Stres dan Perubahan Hidup: 

Peristiwa stres atau perubahan besar dalam hidup, seperti kehilangan anggota keluarga, pensiun, atau masalah kesehatan yang signifikan, dapat memicu atau memperburuk gejala late-onset panic disorder. Lansia mungkin menghadapi lebih banyak perubahan dan stres terkait penuaan, yang dapat berkontribusi pada gangguan kecemasan.

⚓ Kondisi Medis Lainnya: 

Beberapa kondisi medis, seperti penyakit jantung, gangguan tiroid, dan gangguan pernapasan, dapat memiliki gejala yang menyerupai serangan kepanikan. Gangguan medis ini dapat memicu atau menyebabkan serangan kepanikan pada orang yang sebelumnya tidak memiliki gejala.

⚓ Psikososial dan Lingkungan: 

Faktor lingkungan, seperti pengalaman traumatis atau paparan terhadap stres kronis, juga dapat berkontribusi pada perkembangan late-onset panic disorder. Isolasi sosial, perubahan dalam dukungan sosial, atau perubahan lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional.

⚓ Rendahnya Resiliensi Terhadap Stres: 

Beberapa orang mungkin memiliki tingkat resiliensi yang lebih rendah terhadap stres atau kesulitan dalam mengatasi perubahan hidup, yang dapat meningkatkan risiko mereka untuk mengembangkan gangguan kecemasan.

 Penting untuk diingat bahwa late-onset panic disorder merupakan hasil dari interaksi antara faktor genetik, biologis, psikososial, dan lingkungan.

       Pengobatan late onset panic disorder melibatkan pendekatan yang komprehensif yang mencakup terapi psikologis, dukungan sosial, dan kadang-kadang pemberian obat-obatan. 

Beberapa opsi pengobatan yang umum digunakan:

💶 Terapi Kognitif-Perilaku (CBT):

CBT adalah pendekatan terapi yang efektif untuk mengobati panic disorder. Ini membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku yang memicu atau memperburuk serangan kepanikan. Terapi ini juga mengajarkan teknik relaksasi dan strategi mengatasi kecemasan.

CBT pendekatan terapi untuk mengobati panic diorder
(Sumber: foto canva.com)

💶 Terapi Kognitif: 

Terapi kognitif berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang mungkin memicu atau memperkuat gejala kecemasan. Ini membantu individu untuk mengatasi pikiran-pikiran yang tidak realistis atau berlebihan.

💶 Terapi Eksposur: 

Terapi eksposur melibatkan paparan bertahap terhadap situasi atau objek yang memicu kecemasan atau serangan kepanikan. Ini dilakukan dengan bimbingan profesional dan bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang terkait dengan stimulus tersebut.

💶 Terapi Dukungan: 

Terapi dukungan melibatkan berbicara dengan seorang terapis untuk mendiskusikan perasaan, pikiran, dan pengalaman individu. Ini dapat membantu seseorang merasa didengar dan dipahami, serta memberikan wadah untuk mengatasi stres dan kecemasan.

💶 Obat-obatan: 

Dalam beberapa kasus, obat-obatan seperti antidepresan atau obat anti-kecemasan dapat diresepkan oleh dokter. Antidepresan seperti selektif serotonin reuptake inhibitor  dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor sering digunakan untuk mengurangi gejala panic disorder. Obat anti-kecemasan seperti benzodiazepin juga dapat digunakan, tetapi biasanya dengan hati-hati karena risiko ketergantungan.

💶 Latihan dan Olahraga: 

Aktivitas fisik dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan suasana hati. Olahraga secara teratur dapat membantu mengurangi ketegangan fisik dan emosional.

💶 Manajemen Stres dan Relaksasi: 

Teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, dan yoga dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.

💶 Perubahan Gaya Hidup Sehat: 

Mengadopsi pola makan sehat, tidur yang cukup, menghindari zat yang memicu kecemasan seperti kafein atau alkohol, dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari juga dapat membantu mengelola gejala panic disorder.

       Penting untuk bekerja sama dengan profesional kesehatan mental atau dokter yang berkualifikasi dalam pengobatan gangguan kecemasan. Setiap individu memiliki kebutuhan yang unik, jadi pendekatan pengobatan harus disesuaikan dengan situasi dan preferensi individu. Kombinasi terapi psikologis dengan pengobatan obat-obatan dapat menjadi pilihan yang efektif dalam pengelolaan late onset panic disorder.






Sumber:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10901340/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4429171/

https://emedicine.medscape.com/article/287913-overview?form=fpf

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/panic-attacks/symptoms-causes/syc-20376021


Saturday, 2 September 2023

Gangguan Kepribadian Narsistik Pada Lansia, Wujud Perilaku Sombong.

       Sombong adalah sikap atau perilaku di mana seseorang memiliki pandangan berlebihan terhadap dirinya sendiri, merasa lebih unggul atau penting daripada orang lain, dan cenderung meremehkan atau tidak menghargai pandangan atau kontribusi orang lain.

Orang yang sombong biasanya memiliki keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan atau pengetahuannya sendiri, dan mereka mungkin tidak mau menerima kritik atau masukan dari orang lain.

Sikap sombong ini sering kali dianggap negatif karena dapat merusak hubungan sosial, menghalangi perkembangan pribadi, dan menghambat kerja sama dalam berbagai konteks, baik dalam lingkungan kerja, hubungan pribadi, maupun lingkungan sosial. 

Mempertimbangkan perspektif orang lain menambah wawasan
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Kesombongan berpotensi menjadi akar dari banyak masalah dalam hubungan interpersonal di berbagai tingkatan: keluarga, kelompok, dan lingkungan.

Dalam Retorika Aristoteles, gagasan keangkuhan adalah mempermalukan orang lain tanpa alasan kecuali kesenangan melihat mereka dipermalukan, meninggikan diri sendiri dengan membandingkan.

Seseorang yang sombong cenderung sulit bekerja sama dengan orang lain dan mungkin kurang mampu belajar dari pengalaman atau masukan yang diberikan oleh orang lain. 

Sikap sombong bersifat negatif karena merusak hubungan sosial.
(Sumber: canva.com)

Beberapa istilah atau sinonim yang dapat digunakan untuk merujuk pada perilaku atau sikap sombong: 

👺 Angkuh:

Merujuk pada sikap yang terlalu percaya diri atau berlebihan dalam memperlihatkan keunggulan diri.

👺 Ujub

Sikap yang berlebihan dalam memuji diri sendiri atau membesar-besarkan prestasi.

👺 Arogan:

Sikap yang mengesankan superioritas atau meremehkan orang lain.

Sikap yang mengesankan superioritas
(Sumber: canva.com)

👺 Sikap merasa di atas

Pandangan yang berlebihan tentang diri sendiri yang menyebabkan meremehkan orang lain.

👺 Sikap terlalu percaya diri:

Perilaku yang ditandai oleh keyakinan yang berlebihan akan kemampuan sendiri.

👺 Rasa superioritas:

Pandangan yang merasa lebih baik atau lebih unggul daripada orang lain.

👺 Keangkuhan:

Sikap yang menunjukkan perasaan bangga dan tidak ramah.

👺 Sikap congkak:

Merujuk pada perilaku yang menunjukkan kesombongan atau keangkuhan.

👺 Sikap sombong hati:

Sikap yang berlebihan dalam merasa lebih penting dari orang lain.

Beberapa tanda orang sombong:

😑 Selalu Ingin jadi Perhatian:

Tanda mutlak bahwa seseorang sombong adalah ketika mereka senang menjadi sorotan. Tidak peduli apa yang mereka lakukan atau katakan, mereka mempunyai kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian. Mereka tidak menyadari betapa kebutuhan mereka akan perhatian terlalu berlebihan.

😑 Tidak Pernah Mengaku Salah:

Orang yang sombong tidak pernah mengakui kesalahannya . Dalam argumen, mereka akan menemukan cara untuk membuat mereka tampak setuju dengan Anda. Dan kaulah yang salah memahaminya. Alternatifnya, mereka juga akan terus mengikuti saja ketika mereka menyadari bahwa mereka salah. Mereka akan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bahkan tidak meminta maaf.

Orang sombong tidak pernah mengaku salah
(Sumber: foto canva.com)

😑 Menganggap Preferensi Lebih Unggul:

Jika Anda memiliki preferensi yang berbeda dari mereka, mereka akan langsung menganggap Anda lebih rendah. Entah itu ketertarikan mereka pada hal-hal duniawi seperti musik, film, atau kapal laut, atau bahkan hal-hal yang lebih kompleks seperti politik, mereka cenderung mengutamakan diri sendiri.

😑 Terus Menjatuhkan Orang Lain:

Mereka mengkritik semua orang yang mereka kenal sampai pada titik di mana hal itu tidak bisa lagi disebut kritik yang membangun . Orang yang sombong meremehkan kesalahan orang lain tanpa mempertimbangkan perasaan orang tersebut.

😑 Berbohong Sepanjang Waktu:

Orang yang sombong ingin Anda percaya bahwa gaya hidupnya lebih baik daripada gaya hidup Anda. Mereka akan berbohong tentang kehidupan mereka agar tampak bahwa kehidupan mereka jauh lebih menarik.

😑 Tidak Memberi Kesempatan Bicara:

 Ini adalah tipe orang yang akan memotong pembicaraan Anda ketika Anda mencoba mengatakan sesuatu. Mereka bahkan tidak akan menghargai apa yang ingin Anda katakan. Itu sangat menjengkelkan dan tidak sopan. Hal ini terjadi terutama saat Anda bersama sekelompok orang.

😑 Marah Pada Umpan Balik:

Ketika Anda memberi mereka umpan balik tentang pekerjaan mereka, mereka mengambil cara yang salah. Orang yang sombong menjadi sangat defensif ketika mereka mengira mereka sedang dikritik. Mereka melihat komentar Anda sebagai tanggapan negatif meskipun Anda hanya bersikap objektif.

😑 Terlalu Kompetitif:

Semuanya adalah persaingan dengan orang-orang sombong. Mereka tidak peduli seberapa agresifnya mereka ketika berusaha mencapai kesuksesan. Ada begitu banyak hal yang mereka ingin menjadi yang terbaik yang bahkan tidak layak untuk disaingi.

       Istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan perilaku sombong adalah "narsistik" atau "gangguan kepribadian narsistik." Gangguan kepribadian narsistik adalah kondisi di mana seseorang memiliki perasaan yang sangat berlebihan tentang pentingnya diri sendiri, kebutuhan untuk diakui, kurangnya empati terhadap orang lain, dan keinginan untuk mendapatkan perhatian yang terus-menerus.

Orang dengan gangguan kepribadian narsistik mungkin memiliki pandangan yang berlebihan terhadap kemampuan dan prestasi mereka sendiri, dan mereka cenderung merasa lebih unggul dari orang lain. Mereka sering kali membutuhkan pengakuan dan pujian dari orang lain, dan mereka mungkin merasa frustrasi atau marah jika tidak mendapatkan perhatian yang diinginkan. Empati terhadap perasaan atau kebutuhan orang lain mungkin kurang terjadi pada individu dengan gangguan kepribadian narsistik.

Beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi lansia mungkin terlihat sombong:

😐 Kehilangan Peran dan Status: 

Lansia sering mengalami perubahan dalam peran dan status mereka dalam masyarakat. Jika mereka sebelumnya memiliki posisi yang dihormati atau berpengaruh, perubahan ini bisa sulit untuk diterima. Beberapa lansia mungkin mencoba menjaga rasa martabat mereka dengan berperilaku sombong atau mengandalkan pengalaman masa lalu.

😐 Ketakutan akan Kehilangan Kendali: 

Proses penuaan sering disertai dengan kehilangan kendali atas fisik, kesehatan, dan lingkungan sekitar. Beberapa lansia mungkin merasa tidak nyaman dengan perasaan tidak berdaya ini, dan perilaku sombong bisa menjadi cara untuk merasa lebih kuat atau berpengaruh.

Ketakutan akan kehilangan kendali (Sumber: foto camva.com)

😐 Pentingnya Mempertahankan Identitas:

Identitas seseorang sering kali terkait dengan pekerjaan, hubungan sosial, dan prestasi. Ketika seseorang memasuki tahap lansia dan beberapa aspek identitas ini mulai berubah, mereka mungkin merasa perlu untuk mempertahankan rasa identitas mereka dengan perilaku sombong.

😐 Ketidaknyamanan terhadap Perubahan: 

Lansia sering dihadapkan pada perubahan fisik, sosial, dan emosional yang signifikan. Beberapa orang mungkin merasa tidak nyaman atau tidak yakin dalam menghadapi perubahan ini, dan sombong bisa menjadi cara untuk menyembunyikan ketidakamanan ini.

😐 Isolasi Sosial:

Lansia yang merasa terisolasi dari keluarga, teman, atau masyarakat umumnya mungkin mengembangkan perilaku sombong sebagai bentuk perlindungan diri. Mereka mungkin merasa bahwa dengan menunjukkan sikap sombong, mereka bisa menjaga jarak dari orang lain.

       Tidak semua lansia memiliki perilaku sombong, dan alasan di atas hanyalah beberapa kemungkinan. Setiap individu unik dan mungkin memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda untuk perilaku mereka. 

Beberapa ciri lansia yang mungkin mengalami gangguan kepribadian narsistik :

😕 Perasaan Kelebihan Diri yang Berlebihan: 

Lansia dengan perilaku sombong mungkin memiliki pandangan yang sangat positif terhadap diri sendiri dan merasa lebih unggul dari orang lain dalam berbagai aspek kehidupan.

😕 Kurangnya Empati:

Mereka mungkin memiliki kesulitan dalam memahami atau merasakan emosi dan pengalaman orang lain. Empati terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain cenderung kurang terjadi.

😕 Pengharapan Pengakuan dan Perhatian: 

Lansia yang sombong mungkin mencari perhatian, pengakuan, dan pujian secara terus-menerus dari orang lain. Mereka mungkin merasa frustrasi atau kecewa jika tidak mendapatkan perhatian yang diinginkan.

😕 Sulit Menerima Kritik: 

Orang dengan perilaku sombong mungkin kesulitan menerima kritik atau masukan negatif. Mereka cenderung membela diri dan mungkin tidak mau mengakui kesalahan atau kelemahan.

😕 Meremehkan Orang Lain:

Lansia sombong mungkin cenderung meremehkan pendapat, keputusan, atau prestasi orang lain. Mereka bisa merasa bahwa pandangan atau kontribusi orang lain tidak sebanding dengan kemampuan atau pengetahuan mereka sendiri.

😕 Kesulitan dalam Hubungan: 

Karena kurangnya empati dan kemungkinan konflik dengan perilaku mereka, lansia sombong mungkin mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain.

😕 Ketidakmampuan untuk Beradaptasi:

Lansia sombong mungkin merasa bahwa mereka tahu segalanya atau memiliki pengalaman yang lebih baik dalam setiap situasi, sehingga mereka bisa kesulitan dalam menerima perubahan atau masukan dari orang lain.

😕 Mengagungkan Diri Sendiri:

Lansia dengan perilaku sombong mungkin sering mengagungkan diri mereka sendiri dalam percakapan atau menunjukkan tanda-tanda perilaku yang menonjolkan pencapaian atau keistimewaan mereka.

😕 Ketidakmampuan untuk Menerima Kelemahan:

 Mereka cenderung menutupi atau mengabaikan kelemahan mereka dan mungkin merasa bahwa mengakui kelemahan adalah bentuk kekalahan.

Perilaku sombong pada lansia bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk perubahan psikologis, kondisi kesehatan mental, atau penyakit penyerta (komorbiditas). 

Beberapa kondisi kesehatan mental yang berkontribusi pada perilaku sombong:

😃 Gangguan Kepribadian Narsistik:

Ini adalah kondisi di mana seseorang memiliki pandangan berlebihan tentang dirinya sendiri, merasa lebih unggul dari orang lain, dan kurang memiliki empati terhadap perasaan orang lain. Gangguan kepribadian narsistik dapat menjadi penyebab utama perilaku sombong.

Gangguan narsistik penyebab utama perilaku sombong
(Sumber: foto canva.com)

😃 Gangguan Kepribadian Anti sosial:

 Meskipun lebih jarang pada lansia, gangguan kepribadian anti sosial juga dapat berkontribusi pada perilaku sombong. Orang dengan gangguan ini mungkin meremehkan norma sosial dan hak orang lain.

😃 Depresi: 

Depresi pada lansia dapat mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia sekitar. Beberapa orang dengan depresi dapat memanifestasikan perilaku sombong sebagai bentuk pelindungan diri atau cara untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

😃 Gangguan Kecemasan:

Beberapa gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan sosial, dapat membuat seseorang berperilaku sombong sebagai upaya untuk mengatasi rasa cemas yang mungkin muncul saat berinteraksi dengan orang lain.

😃 Gangguan Psikosis: 

Dalam beberapa kasus, kondisi yang termasuk dalam spektrum gangguan psikosis, seperti skizofrenia, dapat menyebabkan perilaku sombong atau sikap grandiose yang tidak realistis.

😃 Dementia atau Penyakit Alzheimer:

Pada beberapa kasus, gangguan kognitif seperti demensia atau penyakit Alzheimer mungkin menyebabkan perubahan perilaku yang termasuk perilaku sombong, meskipun ini lebih terkait dengan perubahan neurologis daripada gangguan kepribadian.

😃 Penyakit Fisik yang Mempengaruhi Otak:

Beberapa kondisi fisik seperti tumor otak atau penyakit neurologis lainnya bisa berdampak pada perilaku dan kepribadian, termasuk mungkin menyebabkan perilaku yang terlihat sombong.

Penting untuk diingat bahwa setiap individu unik dan tidak semua perilaku sombong pada lansia berkaitan dengan kondisi medis atau mental tertentu. 

Mengatasi perilaku sombong pada lansia bisa menjadi tugas yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang sensitif. 

Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan mengatasi perilaku sombong:

🔭 Komunikasi Empati: 

Cobalah berbicara dengan lansia secara empatik dan terbuka. Dengarkan dengan saksama dan tunjukkan bahwa Anda menghargai pandangan dan perasaannya. Hindari konfrontasi langsung, tetapi dorong dialog yang positif.

🔭 Bantu Mempertimbangkan Perspektif Lain: 

Bantu lansia untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Ajak mereka untuk mempertimbangkan perasaan, pendapat, dan pengalaman orang lain dalam situasi tertentu.

🔭 Pujian dan Penghargaan yang Realistis: 

Memberikan pujian dan penghargaan yang realistis dapat membantu membangun rasa percaya diri yang sehat tanpa harus merangsang perilaku sombong. Fokuskan pada prestasi dan tindakan nyata yang layak dihargai.

🔭 Kendalikan Kritisisme Berlebihan: 

Jika Anda melihat perilaku sombong, coba hindari mengkritik langsung atau menghadapi dengan sikap defensif. Sebagai gantinya, ajukan pertanyaan yang dapat mendorong refleksi dan membantu lansia melihat aspek lain dari situasi tersebut.

🔭 Bantu Mencari Identitas Positif:

 Bantu lansia untuk menemukan identitas yang positif di luar pandangan sombong. Fokus pada minat, hobi, atau aspek lain yang mungkin meningkatkan perasaan nilai diri tanpa harus bergantung pada sombong.

🔭 Ajarkan Keterbukaan terhadap Belajar:

Dorong lansia untuk tetap terbuka terhadap peluang belajar dan perkembangan pribadi. Berbicara tentang bagaimana setiap pengalaman dapat mengajarkan sesuatu yang berharga.

🔭 Terlibat dalam Aktivitas Sosial:

Terlibat dalam aktivitas sosial yang melibatkan interaksi dengan berbagai orang dapat membantu mengurangi sikap sombong. Interaksi sosial dapat membantu mengajarkan empati dan rasa perspektif.

🔭 Konsultasikan dengan Profesional:

Jika perilaku sombong pada lansia mengganggu atau menjadi masalah serius, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental. Mereka dapat memberikan panduan dan dukungan yang sesuai.

🔭 Hargai Pengalaman Mereka:

Sering kali lansia memiliki banyak pengalaman hidup yang berharga. Menciptakan ruang untuk berbicara tentang pengalaman ini dengan penghargaan dapat membantu membangun rasa harga diri yang sehat.

🔭 Ciptakan Lingkungan yang Mendukung:

Ciptakan lingkungan yang mempromosikan rasa hormat dan penghargaan terhadap semua anggota keluarga atau komunitas. Ini dapat membantu mengurangi perilaku sombong dan mendorong kerjasama yang lebih baik.

Kembangkan sikap rendah hati, mengakui kelemahan kita, dan tetap terbuka terhadap pandangan dan masukan orang lain. Keseimbangan antara memiliki keyakinan pada diri sendiri dan tetap rendah hati adalah hal yang penting dalam menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain.

Mengubah perilaku memerlukan waktu dan kesabaran. Sering kali, membangun hubungan yang kuat berdasarkan komunikasi terbuka dan empati dapat membantu mengatasi perilaku sombong secara bertahap.




 Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8101990/

https://www.psychmechanics.com/personality-traits-arrogance/

https://helpfulprofessor.com/arrogance-examples/

Friday, 1 September 2023

Timbulnya Waham Pada Lansia Dan Juga Halusinasi.

       Gangguan halusinasi yang dirasakan akan mengancam sehingga menimbulkan kepanikan dan rasa cemas setiap saat (psikotik) tidak jarang terjadi pada akhir kehidupan. Gangguan ini sering memiliki etiologi yang bervariasi, presentasi klinis yang berbeda, dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan di antara populasi orang dewasa yang lebih tua. 

Meskipun gejalanya terbilang ringan hanya seperti halusinasi dan delusi (psikosis), sering kali muncul pada awal kehidupan, psikosis juga dapat muncul pertama kali pada pasien berusia lanjut. Kasus-kasus ini menimbulkan tantangan khusus. Tingkat morbiditas dan mortalitas psikosis pada usia lanjut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan psikosis pada individu yang lebih muda. 

Psikosis juga dapat muncul pertama kali pada pasien berusia lanjut.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Late-life psychosis adalah istilah medis yang merujuk pada gejala psikosis, seperti halusinasi (mendengar atau melihat sesuatu yang tidak ada) atau waham (keyakinan yang tidak beralasan atau tidak sesuai dengan kenyataan), yang muncul pada usia lanjut, terutama pada individu yang berusia 60 tahun ke atas. Kondisi ini bisa sangat mengganggu kehidupan sehari-hari dan kualitas hidup individu yang mengalaminya.

Gejala psikosis adalah halusinasi dan waham
(sumber: foto canva.com)

Gejala psikosis pada usia lanjut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perubahan neurologis yang terkait dengan penuaan, kondisi medis tertentu seperti demensia, penyakit Parkinson, gangguan visual atau pendengaran yang mempengaruhi persepsi, serta efek samping dari obat-obatan tertentu yang mungkin digunakan oleh populasi lansia.

Diagnosis dan pengobatan late-life psychosis melibatkan evaluasi menyeluruh oleh profesional medis atau psikiater. Karena kondisi ini sering terkait dengan masalah kesehatan fisik atau penyakit neurologis yang mendasarinya, diagnosis yang tepat sangat penting untuk merencanakan perawatan yang sesuai.

Pengobatan untuk late-life psychosis biasanya melibatkan pendekatan yang berfokus pada penyebab yang mendasarinya. Ini dapat mencakup pengaturan ulang atau penyesuaian obat-obatan yang sedang digunakan, terapi psikososial atau dukungan konseling, dan pengobatan kondisi medis yang mungkin memicu gejala psikosis.

Pengobatan late-life psychosis melibatkan pendekatan
yang berfokus pada penyebabnya. (Sumber: foto canva.com)

Gejala late-life psychosis mirip dengan gejala psikosis pada usia yang lebih muda, tetapi mereka muncul pada usia lanjut. Gejala ini dapat sangat bervariasi antara individu dan tergantung pada penyebab yang mendasarinya. 

Beberapa gejala yang umum terkait dengan late-life psychosis meliputi:

👹 Halusinasi: 

Mengalami persepsi sensorik tanpa stimulus eksternal yang sesuai. Contohnya, seseorang mungkin mendengar suara-suara yang tidak ada atau melihat hal-hal yang tidak ada di lingkungan sekitar mereka.

👹 Waham (delusi) : 

Memiliki keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak memiliki dasar yang rasional. Ini bisa menjadi keyakinan paranoid, misalnya merasa dikejar atau diancam oleh seseorang atau sesuatu.

Waham memiliki keyakinan yang tidak sesuai kenyataan
(Sumber: foto canva.com)

👹 Gangguan Pikiran: 

Pemikiran yang tidak terorganisir, tidak koheren, atau sulit diikuti. Orang yang mengalami gangguan pikiran mungkin kesulitan dalam mengungkapkan ide-ide mereka dengan jelas.

👹 Perubahan Perilaku: 

Perubahan perilaku yang mencolok, seperti isolasi sosial yang tiba-tiba, berbicara atau berperilaku tidak terduga, atau kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

👹 Gangguan Kognitif: 

Beberapa orang dengan late-life psychosis juga dapat mengalami gangguan kognitif, termasuk kesulitan dalam memproses informasi, mengingat hal-hal, atau membuat keputusan.

👹 Gangguan Tidur: 

Kesulitan tidur atau perubahan pola tidur adalah gejala umum dalam psikosis lanjut usia.

👹 Kekhawatiran atau Kecemasan yang Kuat: 

Orang dengan late-life psychosis mungkin memiliki perasaan kuat yang tidak rasional atau cemas yang melampaui situasi sehari-hari.

👹 Gangguan Motorik: 

Beberapa individu dapat mengalami gangguan gerakan atau perilaku tidak teratur.

👹 Kehilangan Kontak dengan Realitas: 

Orang dengan late-life psychosis mungkin kesulitan membedakan antara realitas dan imajinasi.

     Penyebab late-life psychosis bisa sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada individu dan faktor-faktor yang terlibat. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi pada munculnya gejala psikosis pada usia lanjut meliputi:

😈 Perubahan Neurologis:

Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi otak, yang dapat mempengaruhi keseimbangan kimia otak dan berkontribusi pada munculnya gejala psikosis.

Proses penuaan menyebabkan perubahan fungsi otak
(Sumber: foto canva.com)

😈 Kondisi Medis:

Beberapa kondisi medis yang lebih umum pada usia lanjut, seperti penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, dan gangguan vaskular otak, dapat berhubungan dengan gejala psikosis.

😈 Gangguan Penglihatan atau Pendengaran: 

Masalah dalam persepsi visual atau pendengaran dapat menyebabkan individu mengalami halusinasi atau waham yang berkaitan dengan gangguan sensorik mereka

😈 Efek Samping Obat: 

Penggunaan berbagai jenis obat, terutama obat-obat yang mempengaruhi sistem saraf atau keseimbangan kimia otak, dapat menyebabkan gejala psikosis pada beberapa orang.

😈 Stres dan Trauma:

Stres kronis atau pengalaman trauma pada tahap akhir kehidupan dapat memicu perkembangan gejala psikosis pada individu yang rentan.

😈 Isolasi Sosial:

Kehilangan hubungan sosial atau koneksi dengan komunitas dapat menyebabkan rasa kesepian dan isolasi, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan berkontribusi pada gejala psikosis.

😈 Riwayat Psikosis Sebelumnya: 

Meskipun tidak selalu terjadi, seseorang yang pernah mengalami psikosis pada usia yang lebih muda mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan late-life psychosis.

😈 Faktor Genetik: 

Ada bukti bahwa faktor genetik juga dapat memainkan peran dalam munculnya psikosis pada usia lanjut.

Halusinasi dan delusi sering muncul pada usia lanjut.
(Sumber: foto canva.com)

😈 Perubahan Lingkungan:

Transisi ke lingkungan yang tidak dikenal, seperti pindah ke panti jompo atau lingkungan perawatan, dapat memicu stres dan mengakibatkan gejala psikosis pada beberapa individu.

       Late-life psychosis adalah kondisi medis yang kompleks, dan pengobatannya dapat bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Meskipun pengobatan mungkin tidak selalu mengarah pada penyembuhan total, tujuan utama adalah mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan membantu individu berfungsi sebaik mungkin dalam kehidupan sehari-hari. 

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengobatan late-life psychosis:

💷 Evaluasi dan Diagnosis yang Tepat:

Langkah pertama yang penting adalah mendapatkan evaluasi dan diagnosis yang akurat dari profesional medis atau psikiater. Diagnosis yang tepat akan membantu dalam merencanakan pengobatan yang sesuai dengan penyebab spesifik gejala.

Profesional medis melakukan evaluasi dan diagnosis penyakit.

💷 Pengobatan Medis: 

Terkadang, obat-obatan dapat diresepkan untuk mengurangi gejala psikosis. Ini bisa termasuk antipsikotik atau obat-obat lain yang sesuai dengan kondisi medis dan toleransi individu. Penting untuk mengikuti petunjuk dokter dan secara teratur berkomunikasi tentang efek samping atau perubahan gejala yang mungkin terjadi.

💷 Terapi Psikososial: 

Terapi individual atau kelompok dapat membantu individu dalam mengatasi gejala psikosis dan belajar cara menghadapi stres dan tantangan sehari-hari. Terapis dapat memberikan dukungan, keterampilan koping, dan strategi untuk meningkatkan kualitas hidup.

💷 Pengelolaan Kesehatan Fisik: 

Memastikan kesehatan fisik yang baik dapat membantu mengurangi risiko munculnya gejala psikosis. Ini melibatkan menjaga pola makan yang sehat, berolahraga secara teratur, dan mengelola kondisi medis kronis dengan baik.

💷 Pendekatan Multidisipliner: 

Dalam beberapa kasus, kondisi medis yang mendasari atau obat-obatan yang digunakan untuk mengobati kondisi medis lain mungkin perlu disesuaikan atau dimodifikasi untuk mengurangi gejala psikosis.

💷 Dukungan Sosial: 

Mempertahankan jaringan sosial yang kuat dan terhubung dengan keluarga, teman, atau komunitas dapat memberikan dukungan emosional dan membantu mengurangi risiko isolasi sosial.

💷 Pengelolaan Stres:

Mengidentifikasi dan mengatasi faktor stres yang mungkin memicu atau memperburuk gejala psikosis adalah bagian penting dari pengobatan.

💷 Edukasi dan Informasi:

Edukasi tentang kondisi tersebut, termasuk bagi pasien dan keluarga, dapat membantu mengurangi stigmatisasi dan meningkatkan pemahaman tentang apa yang sedang terjadi.

       Penting untuk menyadari bahwa setiap individu memiliki pengalaman yang unik, dan apa yang berhasil dalam pengobatan dapat bervariasi. Penting untuk bekerja sama dengan tim perawatan medis, termasuk dokter, psikiater, terapis, dan anggota keluarga, untuk merencanakan pendekatan pengobatan yang paling cocok untuk situasi spesifik individu yang mengalami late-life psychosis.




Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6796200/

https://www.psychiatrictimes.com/view/diagnosing-treating-psychotic-disorders-late-life

https://ajp.psychiatryonline.org/doi/10.1176/ajp.156.6.935

https://alz-journals.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/trc2.12386