Sunday, 25 February 2024

Lebih dari 20 Penyakit Mental Turunan pada Lansia

         Dalam konteks medis dan kesehatan mental, istilah "gila" tidak digunakan secara tepat atau resmi untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental. Sebaliknya, istilah-istilah yang lebih tepat digunakan seperti "gangguan mental", "gangguan jiwa", atau nama spesifik gangguan mental tertentu seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar.

Gangguan mental yang diturunkan dari orang tua atau kerabat, istilah yang lebih tepat dan tidak stigmatik adalah "gangguan mental turunan" atau "gangguan mental yang memiliki faktor risiko genetik". Ini merujuk pada situasi di mana seseorang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental tertentu karena faktor genetik yang mereka warisi dari orang tua atau kerabat mereka yang menderita gangguan mental serupa.

Beberapa gangguan mental diturunkan dari orang tua.
(Sumber: foto forum 0909)

Penyakit gangguan mental turunan pada lansia merujuk pada gangguan mental yang memiliki faktor genetik atau turunan dari orang tua atau leluhur dan muncul pada usia lanjut. Ini berarti bahwa individu tersebut memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental tertentu karena faktor genetik yang diwarisi dari keluarga mereka. 

Tanda-tanda gangguan mental turunan dari orang tua pada lansia bisa bervariasi tergantung pada jenis gangguan mental yang terlibat. 

Beberapa ciri umum yang mungkin muncul:

Riwayat Keluarga: 
Lansia dengan riwayat keluarga yang memiliki gangguan mental tertentu, seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental serupa.

Perubahan Perilaku:
Perubahan perilaku yang signifikan dan tidak biasa dapat menjadi tanda gangguan mental. Ini bisa termasuk isolasi sosial, kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, atau perubahan drastis dalam kebiasaan sehari-hari.

Ketakutan atau Kecemasan yang Berlebihan: 
Lansia yang menderita gangguan mental turunan mungkin memiliki ketakutan atau kecemasan yang tidak masuk akal atau berlebihan terhadap hal-hal tertentu.

Gangguan Mood: 
Perubahan mood yang tiba-tiba dan ekstrem, seperti periode depresi yang dalam atau periode mania yang berlebihan, dapat menjadi tanda gangguan mental.

Gangguan Pikiran atau Persepsi: 
Lansia dengan gangguan mental turunan mungkin mengalami gangguan pikiran atau persepsi, seperti halusinasi atau paranoid.

Gangguan Kognitif:
Gangguan kognitif, seperti kesulitan dalam pemikiran, ingatan, atau penilaian, juga bisa menjadi tanda gangguan mental pada lansia.

Gangguan kognitif berupa kesulitan dalam penilaian.
(Sumber: foto canva.com)
Gangguan Pola Tidur atau Makan:
Perubahan dalam pola tidur atau makan yang signifikan dan berkelanjutan juga dapat mengindikasikan masalah kesehatan mental.

Gangguan Fisik yang Tak Terdiagnosis: 
Kadang-kadang, gangguan mental dapat menyebabkan gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis lainnya.

Rasa Putus Asa atau Tidak Berdaya:
Lansia yang mengalami gangguan mental mungkin merasa putus asa, tidak berdaya, atau kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati.

Meskipun  tidak semua ciri-ciri ini muncul pada setiap individu, dan diagnosis akurat memerlukan evaluasi oleh profesional kesehatan mental. 

Beberapa gangguan mental yang dapat diturunkan dari orang tua:

Demensia, termasuk Alzheimer:
Gangguan neurodegeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif, termasuk memori, pemikiran, dan perilaku, yang umumnya terjadi pada usia lanjut.

Skizofrenia: 
Gangguan mental serius yang mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku, dengan gejala seperti halusinasi, delusi, dan gangguan pemikiran.

Gangguan bipolar: 
Gangguan suasana hati yang ditandai dengan perubahan drastis antara episode mania yang tinggi energi dan episode depresi yang sedih.

Gangguan depresi mayor: 
Gangguan suasana hati yang menyebabkan perasaan sedih yang berkepanjangan, kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas, serta gejala fisik dan mental lainnya.

Gangguan kecemasan generalisata:
Kecemasan kronis yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap situasi tertentu, dengan gejala seperti kegelisahan yang persisten, ketegangan otot, dan kesulitan berkonsentrasi.

Gangguan kecemasan kronis pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Gangguan obsesif-kompulsif: 
Gangguan yang ditandai oleh pemikiran obsesif yang tidak diinginkan dan kuat serta perilaku kompulsif yang dilakukan sebagai respons terhadap obsesi tersebut.

Gangguan bipolar tipe II: 
Versi lebih ringan dari gangguan bipolar, ditandai dengan episode depresi mayor yang sering terjadi diselingi dengan episode hipomania.

Gangguan kepribadian antisosial:
Gangguan yang ditandai oleh pola perilaku yang menunjukkan kurangnya penyesalan atau belas kasihan terhadap orang lain, serta ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.

Gangguan kepribadian borderline:
Gangguan kepribadian yang ditandai oleh ketidakstabilan emosi, perilaku impulsif, hubungan interpersonal yang tidak stabil, dan citra diri yang buruk.

Gangguan kepribadian narsistik:
Gangguan kepribadian yang ditandai oleh kebutuhan akan pujian, rasa superioritas yang berlebihan, dan kurangnya empati terhadap orang lain.

Gangguan bipolar tipe I: 
Versi yang lebih parah dari gangguan bipolar, dengan episode mania yang lebih ekstrem dan seringkali memerlukan perawatan medis darurat.

Gangguan bipolar campuran:
Gangguan bipolar dengan gejala mania dan depresi yang terjadi bersamaan atau dalam waktu singkat.

Gangguan kepribadian paranoid:
Gangguan kepribadian yang ditandai oleh kecurigaan yang mendalam dan merasa bahwa orang lain memiliki motif jahat terhadap mereka.

Paranoid gangguan kepribadian yang ditandai dengan kecurigaan.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan kecemasan sosial: 
Kecemasan yang berlebihan terhadap situasi sosial atau kinerja di depan orang lain, dengan ketakutan akan penghakiman negatif.

Gangguan stres pascatrauma:
Gangguan mental yang muncul setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis, dengan gejala seperti mimpi buruk, kecemasan, dan peningkatan reaktivitas emosional.

Gangguan makan seperti bulimia nervosa: 
Gangguan makan yang ditandai oleh pola makan impulsif yang disertai dengan periode makan berlebihan yang diikuti oleh perilaku kompensasi seperti muntah atau puasa.

Gangguan makan seperti anoreksia nervosa:
Gangguan makan yang ditandai oleh ketakutan akan berat badan dan citra tubuh yang tidak realistis, yang mengarah pada penolakan untuk menjaga berat badan yang sehat.

Gangguan kecemasan fobik: 
Kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali terhadap objek atau situasi tertentu, seperti ketinggian atau hewan.

Gangguan kecemasan terpisah: 
Kecemasan terhadap perpisahan dari figur pengasuh atau orang yang dekat, sering terjadi pada anak-anak atau remaja.

Gangguan kecemasan agorafobia: Kecemasan terhadap situasi atau tempat di mana mungkin sulit untuk melarikan diri atau mendapatkan bantuan jika terjadi serangan panik.

Gangguan makan lainnya: 
Gangguan makan yang tidak termasuk dalam kategori anoreksia nervosa atau bulimia nervosa, seperti binge eating disorder.

Gangguan somatoform:
Gangguan yang ditandai oleh gejala fisik yang nyata tetapi tidak dapat dijelaskan secara medis atau tidak memiliki penyebab fisik yang jelas.

Gangguan hiperaktivitas dengan defisit perhatian:
Gangguan neurobiologis yang ditandai oleh pola perilaku hiperaktif, impulsif, dan kurangnya perhatian.

Gangguan bipolar campuran dengan ketergantungan alkohol:
Gangguan bipolar dengan gejala campuran yang seringkali disertai dengan kecanduan alkohol.

Gangguan somatisasi:
Gangguan di mana seseorang mengalami gejala fisik yang berulang dan kronis, tetapi tidak memiliki penyebab medis yang jelas.

Gangguan bipolar campuran dengan ketergantungan obat: 
Gangguan bipolar dengan gejala campuran yang seringkali disertai dengan kecanduan obat.

Gangguan bipolar tipe I dengan onset psikotik:
Gangguan bipolar tipe I dengan episode mania yang parah dan disertai dengan gejala psikotik seperti halusinasi atau delusi.

Gangguan mood campuran:
Gangguan mood yang ditandai oleh gejala mania dan depresi yang terjadi bersamaan atau bergantian dengan cepat.

Gangguan mood ditandai dengan mania dan depresi.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan depresi utama dengan onset psikotik:
Gangguan depresi mayor dengan gejala psikotik seperti halusinasi atau delusi.

Gangguan bipolar campuran dengan onset psikotik:
Gangguan bipolar campuran dengan episode mania dan depresi yang disertai dengan gejala psikotik.

       Faktor gangguan mental yang diturunkan dari orang tua dapat melibatkan berbagai komponen, termasuk genetik, lingkungan, dan interaksi antara keduanya. 

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi kemungkinan gangguan mental turun-temurun dari orang tua:

Faktor Genetik:
Genetika memainkan peran penting dalam rentang gangguan mental, dan studi menunjukkan bahwa seseorang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental jika ada riwayat keluarga yang kuat. Namun, genetika tidaklah satu-satunya faktor yang berperan.

Pengaruh Lingkungan dalam Keluarga:
Lingkungan di mana anak dibesarkan, termasuk dinamika keluarga, tingkat stres, dan tingkat dukungan sosial, juga dapat mempengaruhi perkembangan gangguan mental. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, konflik keluarga yang persisten, atau kurangnya dukungan emosional dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada anak-anak.

Model Perilaku: 
Anak-anak dapat meniru atau menyesuaikan perilaku orang tua mereka, termasuk pola pikir dan cara mereka menangani stres. Jika orang tua memiliki pola pikir atau respons yang tidak sehat terhadap situasi tertentu, ini dapat memengaruhi bagaimana anak-anak mereka mengatasi stres dan masalah emosional.

Paparan Lingkungan yang Berbahaya: 
Paparan anak-anak terhadap lingkungan yang berbahaya, seperti kekerasan, penyalahgunaan zat, atau pengabaian, yang mungkin ada dalam lingkungan keluarga, dapat berkontribusi pada risiko gangguan mental.

Faktor Biologis:
Selain faktor genetik, ada faktor biologis lain yang mungkin berperan, seperti perubahan neurobiologis yang disebabkan oleh stres kronis atau pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak.

Interaksi Genetik dan Lingkungan:
Penting untuk diingat bahwa interaksi antara faktor genetik dan lingkungan juga berperan dalam perkembangan gangguan mental. Misalnya, seseorang dengan kerentanan genetik terhadap depresi mungkin memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi jika mereka juga mengalami stres kronis dalam lingkungan keluarga.

Setiap individu memiliki risiko unik terhadap gangguan mental, dan faktor-faktor ini dapat berinteraksi secara kompleks dalam menentukan apakah seseorang akan mengalami gangguan mental tertentu.

       Mencegah gangguan mental turunan pada lansia melibatkan serangkaian langkah dan praktik yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan mental dan kesejahteraan. Meskipun tidak selalu mungkin untuk sepenuhnya mencegah gangguan mental, terutama jika ada faktor genetik yang terlibat.

Beberapa langkah berikut dapat membantu mengurangi risiko atau mengelola gejalanya:

Pola Hidup Sehat: Mengadopsi pola hidup sehat, termasuk diet seimbang, berolahraga secara teratur, cukup tidur, dan menghindari konsumsi alkohol berlebihan serta merokok, dapat mendukung kesehatan mental.

Manajemen Stres: Belajar teknik manajemen stres seperti meditasi, yoga, atau relaksasi dapat membantu mengurangi tingkat stres, yang dapat memengaruhi kesehatan mental.

Jaga Koneksi Sosial: Menjaga hubungan yang sehat dan aktif dengan keluarga, teman, dan komunitas dapat memberikan dukungan sosial yang penting untuk kesehatan mental.

Hindari Isolasi: Mencegah isolasi sosial dengan tetap terlibat dalam aktivitas sosial dan komunitas dapat membantu mengurangi risiko gangguan mental.

Tetap Aktif Secara Kognitif: Melakukan latihan otak seperti teka-teki, membaca, belajar hal baru, atau terlibat dalam kegiatan yang menantang secara kognitif dapat membantu menjaga kesehatan mental.

Konseling atau Terapi: Menerima konseling atau terapi psikologis secara teratur, terutama jika ada riwayat keluarga dengan gangguan mental, dapat membantu dalam pengelolaan stres dan emosi yang mungkin berkaitan dengan faktor genetik.

Pantau Kesehatan Fisik: Penting untuk menjaga kesehatan fisik secara menyeluruh dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur dan mengobati kondisi medis yang mungkin berkontribusi pada gangguan mental.

Edukasi Keluarga: Meningkatkan pemahaman tentang gangguan mental dalam keluarga dan mempromosikan dukungan dan pemahaman yang positif dapat membantu dalam pengelolaan gejala.

Perhatian pada Tanda-tanda Awal: Penting untuk mengenali tanda-tanda dan gejala gangguan mental pada tahap awal dan mencari bantuan profesional jika diperlukan.

Dukungan Medis dan Terapi: Menerima pengobatan yang sesuai, baik itu melalui terapi psikologis, obat-obatan, atau kombinasi keduanya, dapat membantu mengelola gejala dan mencegah kekambuhan.

Memiliki pemahaman yang baik tentang risiko dan langkah-langkah pencegahan gangguan mental turunan pada lansia dapat membantu individu dan keluarga mengambil tindakan proaktif untuk menjaga kesehatan mental yang optimal.


Sumber:











Saturday, 24 February 2024

Fluktuasi Pikiran Positif dan Negatif pada lansia, Apa Penyebabnya.

      Fluktuasi pikiran positif dan negatif pada lansia merujuk pada perubahan yang terjadi dalam suasana hati, persepsi, dan pemikiran mereka dari waktu ke waktu. Ini bisa berarti bahwa lansia tersebut mengalami perubahan antara pikiran atau perasaan yang optimis dan positif dengan pikiran atau perasaan yang pesimis dan negatif.

Perubahan suasana hati lansia menyebabkan fluktuasi pikiran.
(Sumber: foto paguyuban pensiun 209)

Hal ini dapat mempengaruhi cara lansia merespons dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Misalnya, pada satu saat mereka mungkin merasa bersemangat dan optimis tentang masa depan, sementara pada saat yang lain mereka mungkin merasa cemas atau putus asa.

Lansia yang mengalami perubahan pikiran positif dan negatif secara berkelanjutan mungkin menunjukkan ciri-ciri berikut:

Fluktuasi emosi: 
Mereka mungkin mengalami fluktuasi emosi yang signifikan, seperti perasaan senang dan optimis yang berubah menjadi perasaan cemas atau pesimis dengan cepat.

Perubahan dalam pandangan hidup:
Lansia dengan perubahan pikiran yang berubah-ubah mungkin memiliki pandangan hidup yang bervariasi, kadang-kadang melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif, sementara pada waktu lain melihatnya dengan sikap negatif.

Perubahan dalam perilaku: 
Mereka dapat menunjukkan perubahan dalam perilaku sehari-hari mereka, seperti keinginan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang positif pada satu waktu, dan kemudian menarik diri dan menghindari interaksi sosial pada waktu lain.

Respon terhadap situasi tertentu:
Respon mereka terhadap situasi tertentu mungkin bervariasi secara signifikan tergantung pada apakah mereka sedang mengalami sikap positif atau negatif pada saat itu.

Kesulitan dalam membuat keputusan:
Lansia dengan pikiran yang berubah-ubah mungkin juga mengalami kesulitan dalam membuat keputusan yang konsisten karena pandangan dan perasaan mereka berubah secara berkala.

Perubahan dalam tingkat aktivitas:
Tingkat aktivitas fisik dan sosial mereka juga mungkin bervariasi sesuai dengan perubahan dalam suasana hati dan sikap mereka.

Pengaruh kondisi kesehatan fisik dan mental: 
Perubahan dalam kesehatan fisik dan mental juga dapat mempengaruhi perubahan dalam pola pikir dan suasana hati mereka.

Perubahan kesehatan fisik mempengaruhi pola pikir lansia.
(Sumber: foto canva.com)

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan lansia mengalami perubahan pikiran positif dan negatif yang berubah-ubah :

Perubahan Kesehatan Fisik: 
Perubahan dalam kesehatan fisik, seperti kondisi medis baru atau berkembang, rasa sakit kronis, penurunan stamina, atau gangguan kesehatan lainnya, dapat mempengaruhi suasana hati dan persepsi lansia terhadap kehidupan mereka.

Gangguan Kesehatan Mental:
Gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kognitif seperti demensia dapat menyebabkan fluktuasi suasana hati dan pemikiran yang berubah-ubah.

Perubahan Lingkungan Sosial:
Perubahan dalam lingkungan sosial, seperti kehilangan teman atau pasangan hidup, pensiun, perubahan dalam struktur keluarga, atau isolasi sosial, dapat mempengaruhi suasana hati dan pikiran seseorang.

Stres dan Perubahan Hidup:
Stres akibat peristiwa kehidupan yang signifikan seperti kematian orang yang dicintai, masalah keuangan, atau perubahan status sosial dan lingkungan dapat mempengaruhi pikiran seseorang secara negatif dan menyebabkan fluktuasi suasana hati.

Kehilangan Kemandirian:
Lansia yang mengalami kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, atau berkendara, mungkin mengalami perubahan pikiran negatif terkait perasaan tidak berdaya atau kurangnya kontrol atas hidup mereka.

Faktor Psikologis dan Kepribadian:
Faktor-faktor psikologis dan kepribadian individu, seperti pola pikir yang kuat terhadap peristiwa tertentu, kemampuan adaptasi terhadap perubahan, atau kecenderungan terhadap negativitas atau optimisme, juga dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons situasi dan perubahan dalam hidup.

Efek Obat-obatan:
Penggunaan obat-obatan tertentu, baik resep maupun non-resep, dapat memengaruhi suasana hati dan pikiran seseorang, dan ini dapat lebih dirasakan pada lansia karena sensitivitas terhadap efek samping obat.

Obat-obatan tertentu mempengaruhi suasana hati.
(Sumber: foto canva.com)

Memahami faktor-faktor ini dapat membantu dalam mengelola perubahan pikiran positif dan negatif yang terjadi pada lansia serta memberikan dukungan yang sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

       Beberapa penyakit atau kondisi kesehatan tertentu dapat menyebabkan perubahan pikiran yang berubah-ubah dari positif menjadi negatif pada lansia. 

Bebrapa kondisi yang membuat lansia berubah-ubah pikiran, antara lain:

Depresi: 
Depresi adalah gangguan suasana hati yang serius yang dapat mempengaruhi cara seseorang merasa, berpikir, dan berperilaku. Lansia dengan depresi mungkin mengalami perubahan drastis dalam suasana hati mereka, dari optimis menjadi pesimis, dan mungkin merasa tidak berharga atau kehilangan minat pada aktivitas yang mereka nikmati sebelumnya.

Gangguan Kecemasan:
Lansia yang mengalami gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan umum, fobia, atau gangguan kecemasan sosial, mungkin mengalami perubahan pikiran yang berubah-ubah karena rasa khawatir yang berlebihan dan ketegangan.

Gangguan Bipolar:
Gangguan bipolar adalah gangguan suasana hati yang menyebabkan perubahan drastis antara episode manik (periode euforia dan tingkat energi yang tinggi) dan episode depresi (periode kesedihan, kelesuan, dan keputusasaan). Lansia dengan gangguan bipolar mungkin mengalami perubahan suasana hati yang tiba-tiba dan ekstrem.

Gangguan bipolar perubahan drastis antara eufora dan depresi.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan Neurokognitif (Dementia):
Dementia adalah kelompok kondisi yang mempengaruhi fungsi kognitif, seperti memori, pemikiran, dan perilaku. Lansia dengan dementia mungkin mengalami perubahan suasana hati karena kesulitan dalam memproses informasi dan merespons situasi dengan cara yang tepat.

Gangguan Psikotik: 
Lansia dengan gangguan psikotik, seperti skizofrenia atau gangguan delusi, mungkin mengalami perubahan pikiran yang berubah-ubah karena persepsi yang terdistorsi tentang realitas dan pengalaman halusinasi atau delusi.

Penyakit Fisik yang Menyakitkan:
Penyakit fisik yang menyebabkan rasa sakit kronis atau ketidaknyamanan yang signifikan, seperti arthritis, kanker, atau penyakit jantung, juga dapat mempengaruhi suasana hati dan pikiran lansia secara negatif, yang dapat berubah-ubah seiring waktu.

Efek Samping Obat-obatan: 
Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk mengobati kondisi medis tertentu, seperti obat-obatan untuk tekanan darah tinggi, gangguan kardiovaskular, atau gangguan mental, dapat memiliki efek samping yang mempengaruhi suasana hati dan pikiran lansia.

Setiap individu dapat memiliki respons yang berbeda terhadap kondisi kesehatan tertentu, dan beberapa faktor lain seperti lingkungan sosial, dukungan keluarga, dan keadaan hidup juga dapat mempengaruhi perubahan pikiran lansia.

        Mencegah pikiran yang berubah-ubah pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik dan menyeluruh. 

Beberapa langkah yang dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi fluktuasi suasana hati dan pemikiran pada lansia:

Perhatikan Kesehatan Fisik: 
Pastikan lansia menjaga kesehatan fisiknya dengan rutin menjalani pemeriksaan kesehatan, menerapkan gaya hidup sehat termasuk diet seimbang dan aktifitas fisik yang cukup, dan mengelola kondisi medis secara efektif dengan berkonsultasi dengan profesional medis.

Perhatikan Kesehatan Mental: 
Berikan perhatian pada kesehatan mental lansia dengan mengakses layanan kesehatan mental jika diperlukan, seperti konseling atau terapi. Ini dapat membantu mengatasi masalah seperti depresi, kecemasan, atau stres yang dapat memengaruhi suasana hati dan pikiran mereka.

Aktivitas Sosial dan Keterlibatan:
Dorong keterlibatan sosial dan aktivitas yang positif dalam komunitas atau keluarga. Aktivitas sosial yang membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat membantu mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Latihan Mental: 
Dorong latihan mental yang teratur, seperti teka-teki, membaca, atau belajar hal baru. Ini dapat membantu menjaga kognisi dan fungsi otak yang sehat, serta memberikan kepuasan secara mental.

Rutinitas yang Konsisten: 
Membangun dan mempertahankan rutinitas harian yang konsisten dapat membantu memberikan struktur dan stabilitas pada kehidupan sehari-hari lansia, yang dapat membantu mengurangi kecemasan dan fluktuasi suasana hati.

Pemenuhan Kebutuhan Emosional:
Pastikan bahwa lansia merasa didengar, dipahami, dan didukung dalam kehidupan sehari-hari mereka. Memberikan dukungan emosional dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan ekspresi emosi yang sehat dapat membantu mencegah fluktuasi suasana hati yang signifikan.

Evaluasi Obat-obatan:
Perhatikan efek samping dari obat-obatan yang dikonsumsi oleh lansia dan berkonsultasi dengan profesional kesehatan jika ada kekhawatiran tentang dampaknya terhadap suasana hati dan pemikiran.

Edukasi dan Informasi: 
Berikan edukasi kepada lansia dan keluarga tentang perubahan yang terjadi selama proses penuaan, termasuk bagaimana mengelola emosi dan stres, serta bagaimana mencari bantuan jika diperlukan.

Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, dapat membantu mencegah atau mengurangi perubahan pikiran yang berubah-ubah pada lansia dan mempromosikan kesejahteraan holistik mereka.




Sumber:








Friday, 23 February 2024

Sindrom Iritasi Urus Besar pada lansia.

        Banyak orang lanjut usia yang mengalami kram perut, nyeri, kembung, gas, diare, sembelit, atau gejala gastrointestinal tidak menyenangkan lainnya mungkin menderita sindrom iritasi usus besar. 
Sindrom Usus Besar yang Iritasi (Irritable Bowel Syndrome/IBS) pada lansia memiliki pengertian yang sama dengan IBS pada populasi umum. IBS adalah gangguan saluran pencernaan yang kronis dan dapat mempengaruhi usus besar (kolon). IBS pada lansia menunjukkan gejala dan karakteristik yang serupa dengan IBS pada kelompok usia lainnya.

Lansia sangat rentan dengan berbagai penyakit karena penuaan.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

       Gejala Sindrom Usus Besar yang Iritasi (IBS) pada lansia umumnya mirip dengan gejala pada kelompok usia lainnya. Namun, perlu diingat bahwa gejala IBS dapat bervariasi dari orang ke orang.  

Beberapa ciri yang mungkin dialami oleh lansia dengan IBS meliputi:

Perubahan pola buang air besar: 
Lansia dengan IBS mungkin mengalami diare, sembelit, atau perubahan antara kedua kondisi tersebut.

Kram perut: 
Lansia dengan IBS sering mengalami kram perut yang dapat berubah dalam intensitas dan lokasi.

Kembung: 
Lansia dengan IBS dapat mengalami sensasi kembung atau rasa penuh di perut.

Nyeri abdomen: 
Nyeri abdomen atau ketidaknyamanan di daerah perut sering dialami oleh lansia dengan IBS.

Tidak nyaman di daerah perut sering dialami lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Perubahan dalam konsistensi tinja: 
Tinja dapat berubah dalam konsistensi, seperti menjadi lebih keras atau lebih lunak dari biasanya.

Sensasi tidak lengkap saat buang air besar: 
Lansia dengan IBS mungkin merasa seperti tidak sepenuhnya mengosongkan usus setelah buang air besar.

Perasaan perlu segera buang air besar setelah makan: 
Beberapa orang dengan IBS, termasuk lansia, mungkin mengalami keinginan mendadak untuk buang air besar setelah makan.

Gejala terkait lainnya: 
Lansia dengan IBS juga dapat mengalami gejala terkait lainnya seperti kelelahan, mual, dan perasaan tidak enak badan.

Gejala IBS pada lansia bisa bervariasi dari individu ke individu, dan diagnosis yang tepat serta perencanaan pengelolaan yang sesuai harus dilakukan oleh profesional medis.

       Penyebab pasti dari Sindrom Usus Besar yang Iritasi (IBS) pada lansia belum sepenuhnya dipahami, tetapi ada beberapa faktor yang diyakini dapat berperan dalam munculnya kondisi ini pada populasi lansia. 

Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam memicu atau memperburuk IBS pada lansia meliputi:

Perubahan fisik usia: 
Proses penuaan dapat mempengaruhi sistem pencernaan, termasuk lambung dan usus, yang dapat meningkatkan risiko IBS.

Gangguan motilitas usus:
Lansia mungkin mengalami perubahan dalam gerakan dan kontraksi usus, yang dapat memengaruhi pola buang air besar dan menyebabkan gejala IBS.

Stres dan faktor psikologis: 
Lansia sering kali mengalami stres yang lebih tinggi, serta gangguan psikologis seperti depresi atau kecemasan, yang dapat memperburuk gejala IBS.

Lansia sering mengalami stres dan depresi.
(Sumber: foto canva.com)

Perubahan dalam pola makan dan diet: 
Lansia mungkin mengalami perubahan dalam kebiasaan makan dan diet mereka seiring bertambahnya usia, yang dapat memengaruhi fungsi pencernaan dan memicu gejala IBS.

Penyakit dan kondisi lainnya: 
Lansia sering kali memiliki kondisi kesehatan lain yang mungkin berkontribusi pada perkembangan IBS, seperti sindrom metabolik, diabetes, atau gangguan neurologis.

Perubahan hormonal:
Perubahan hormonal yang terjadi selama proses penuaan, termasuk penurunan kadar hormon estrogen pada wanita, dapat mempengaruhi fungsi usus dan berkontribusi pada IBS.

Faktor genetik:
Meskipun belum sepenuhnya dipahami, faktor genetik juga mungkin berperan dalam kemungkinan seseorang mengembangkan IBS, termasuk pada populasi lansia.

Kombinasi dari faktor-faktor ini mungkin berkontribusi pada munculnya atau memperburuk gejala IBS pada lansia. 

       Mengatasi Sindrom Usus Besar yang Iritasi (IBS) pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik dan dapat mencakup perubahan gaya hidup, diet, manajemen stres, dan pengobatan simptomatik.  

Beberapa langkah yang dapat membantu mengelola gejala IBS pada lansia:

Perubahan Gaya Hidup:
Mengatur jadwal buang air besar yang teratur.
Berolahraga secara teratur untuk meningkatkan fungsi usus dan mengurangi stres.
Menjaga kecukupan istirahat dan tidur yang berkualitas.

Perubahan Diet:
Memperhatikan makanan yang memicu atau memperburuk gejala, seperti makanan pedas, berlemak, atau berkarbonasi.
Makan dalam porsi kecil dan sering, dan menghindari makan terlalu cepat.
Menjaga asupan serat yang cukup dari buah-buahan, sayuran, dan sumber serat lainnya, tetapi secara bertahap untuk menghindari peningkatan gejala.

Manajemen Stres:
Berlatih teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga.
Melakukan aktivitas yang menyenangkan dan melepas stres, seperti berjalan-jalan di alam, mendengarkan musik, atau membaca buku.

Obat-obatan:
Penggunaan obat-obatan seperti antispasmodik atau antidiare mungkin diresepkan oleh dokter untuk mengatasi gejala spesifik.
Penggunaan suplemen probiotik tertentu juga telah diteliti untuk membantu mengurangi gejala IBS pada beberapa individu.

Terapi Psikologis:
Terapi kognitif-perilaku atau terapi stres dapat membantu mengatasi gejala IBS yang berkaitan dengan stres dan faktor psikologis lainnya.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan:
Konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi untuk mendapatkan saran yang sesuai mengenai diet, pengobatan, dan manajemen gejala IBS yang spesifik untuk kondisi lansia.

Setiap individu mungkin merespons berbeda terhadap strategi pengelolaan IBS, dan perlu waktu untuk menemukan kombinasi perubahan gaya hidup, diet, dan pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi gejala. Penting juga untuk tetap berkomunikasi dengan profesional medis Anda selama proses pengelolaan IBS.





Sumber: