Thursday, 18 April 2024

Gaya Hidup Ini Mencegah Serangan Migrain pada Lansia.

           Migrain masih dan terus menjadi masalah medis yang signifikan pada orang lanjut usia. Migrain dapat memiliki karakteristik yang berbeda pada orang lanjut usia dan pertimbangan diagnostik serta pengobatan khusus perlu diterapkan ketika menangani sakit kepala dan migrain pada populasi lansia, yang jumlahnya semakin meningkat baik dalam ukuran maupun keragamannya.

Migrain dapat menyerang segala usia.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Migrain dapat menjadi masalah yang signifikan bagi orang lanjut usia, mempengaruhi sekitar 1 dari 10 orang setiap tahunnya, mekanisme terjadinya migrain masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi ada beberapa teori tentang apa yang terjadi dalam otak selama serangan migrain. Proses ini melibatkan berbagai proses biologis kompleks yang melibatkan perubahan dalam aktivitas saraf dan pembuluh darah di otak. 

Beberapa gambaran umum tentang bagaimana peristiwa migrain terjadi:

Perubahan pada pembuluh darah otak: Salah satu teori utama migrain melibatkan perubahan dalam pembuluh darah di otak. Pada awal serangan migrain, pembuluh darah di otak dapat menyempit (vasokonstriksi), yang kemudian diikuti oleh perluasan pembuluh darah yang cepat (vasodilatasi). Vasodilatasi ini dianggap bertanggung jawab atas gejala nyeri yang parah.

Migrain terjadi karena perubahan pembuluh darah di otak.
(Sumber: foto canva.com)

Perubahan pada aktivitas saraf: Selama serangan migrain, ada juga perubahan dalam aktivitas saraf di otak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selama serangan migrain, neuron atau sel saraf di otak bisa menghasilkan zat kimia seperti serotonin dengan tingkat abnormal. Serotonin adalah neurotransmitter yang berperan dalam mengatur suasana hati, tidur, dan nyeri.

Pengaruh faktor genetik: Faktor genetik juga diyakini memainkan peran dalam migrain. Orang dengan riwayat keluarga migrain memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kondisi ini, menunjukkan adanya faktor genetik yang terlibat dalam predisposisi terhadap migrain.

Stimulasi saraf trigeminal: Saraf trigeminal adalah saraf yang mengontrol sebagian besar sensasi wajah dan kepala. Selama serangan migrain, saraf trigeminal bisa menjadi terangsang secara berlebihan, menyebabkan perasaan nyeri pada kepala dan wajah.

Perubahan dalam aktivitas otak: Studi pencitraan otak telah menunjukkan bahwa selama serangan migrain, ada perubahan dalam aktivitas otak, terutama di daerah-daerah yang terlibat dalam persepsi nyeri dan pengolahan sensorik.

Faktor pencetus eksternal: Selain faktor internal seperti genetika dan aktivitas saraf, faktor eksternal seperti perubahan cuaca, stres, pola tidur yang tidak teratur, paparan cahaya terang, atau makanan tertentu juga dapat memicu serangan migrain pada individu yang rentan.

Sementara mekanisme yang tepat dari migrain masih menjadi subjek penelitian yang aktif, pemahaman tentang interaksi kompleks antara faktor-faktor ini telah membantu dalam pengembangan strategi pengobatan dan pengelolaan migrain.  Gejala migrain dapat bervariasi dari satu individu ke individu lain.

Beberapa ciri umum migrain meliputi:

Nyeri kepala yang parah: 
Nyeri ini sering terlokalisasi di satu sisi kepala, meskipun beberapa orang juga mengalami nyeri di seluruh kepala. Nyeri bisa berdenyut-denyut atau terasa tumpul.

Migrain menyebabkan nyeri kepala di satu sisi.
(Sumber: foto canva.com)
Mual dan muntah: 
Banyak orang dengan migrain mengalami gejala gastrointestinal seperti mual atau muntah selama serangan.

Sensitivitas terhadap cahaya, suara, atau bau: 
Orang dengan migrain sering menjadi sangat sensitif terhadap rangsangan sensorik seperti cahaya terang, suara keras, atau bau yang kuat.

Aura: 
Sebagian orang dengan migrain mengalami apa yang disebut sebagai "aura" sebelum atau selama serangan, yang merupakan gejala neurologis yang bersifat sementara. Ini bisa berupa perubahan penglihatan seperti kilatan cahaya atau titik-titik buta, kesemutan atau kelemahan di satu sisi tubuh, atau kesulitan berbicara.

Migrain pada lansia bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi:

Perubahan hormonal: 
Terutama pada wanita yang mendekati atau telah memasuki masa menopause, perubahan hormon dapat memicu migrain.

Penyakit lain: 
Lansia sering kali memiliki kondisi kesehatan lain yang dapat menjadi faktor pemicu migrain, seperti penyakit jantung, hipertensi, atau penyakit pembuluh darah.

Stres: 
Stres fisik atau emosional dapat menjadi pemicu migrain pada lansia, dan mereka mungkin lebih rentan terhadap stres karena faktor-faktor lain seperti kesehatan yang menurun atau kehilangan orang yang dicintai.

Perubahan pola tidur: 
Perubahan dalam pola tidur, termasuk kurang tidur atau tidur terlalu banyak, dapat menjadi faktor pemicu migrain pada lansia.

Perubahan diet: 
Konsumsi makanan atau minuman tertentu yang mengandung bahan pengawet atau pemicu migrain lainnya dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada serangan migrain pada lansia.

Perubahan lingkungan: 
Perubahan cuaca, perubahan suhu, atau perubahan lingkungan lainnya juga dapat mempengaruhi lansia dan menjadi pemicu migrain.

Faktor genetik: 
Riwayat keluarga dengan migrain juga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami migrain pada usia lanjut.

Efek samping obat: 
Penggunaan obat-obatan tertentu yang diresepkan untuk kondisi kesehatan lain pada lansia juga dapat memicu migrain sebagai efek sampingnya.

Efek samping obat dapat menimbulkan migrain.
(Sumber: foto canva.com)
 Dehidrasi: 
Lansia mungkin cenderung kurang minum atau mengalami dehidrasi, yang dapat menjadi faktor pemicu migrain.


Penting untuk berkonsultasi dengan dokter untuk mengetahui faktor-faktor penyebab migrain pada lansia secara spesifik dan bagaimana mengelolanya dengan tepat.
Migrain sering kali dipicu oleh faktor tertentu seperti stres, perubahan pola tidur, perubahan hormon, konsumsi makanan tertentu, atau paparan lingkungan yang berbeda. Namun, faktor pemicu bisa bervariasi dari individu ke individu.

       Pengobatan migrain pada lansia sering kali melibatkan pendekatan yang holistik, termasuk penggunaan obat-obatan, perubahan gaya hidup, dan terapi non-farmakologis. Namun, karena kondisi kesehatan yang mungkin kompleks pada lansia, perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan koordinasi dengan dokter yang merawat. 

Beberapa strategi umum untuk mengobati migrain pada lansia:

Obat-obatan.
Beberapa jenis obat-obatan dapat digunakan untuk mengobati migrain pada lansia, termasuk:
  • Analgesik (seperti parasetamol) untuk nyeri ringan hingga sedang.
  • Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ibuprofen atau naproksen untuk nyeri sedang hingga berat.
  • Triptan, kelompok obat yang diresepkan untuk mengatasi serangan migrain dengan cepat dengan menyempitkan pembuluh darah di otak.
  • Obat pencegah migrain, seperti beta-blocker, antidepresan, atau obat antikonvulsan, yang diresepkan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan serangan migrain.
  • Obat anti-mual jika mual dan muntah merupakan gejala yang dominan.
Perubahan gaya hidup. 
Mengadopsi gaya hidup sehat dapat membantu mengurangi risiko serangan migrain. Ini termasuk:
  • Menjaga pola tidur yang teratur dan berkualitas.
  • Memperhatikan pola makan dan menghindari pemicu migrain yang diketahui, seperti makanan yang mengandung MSG, kafein, atau alkohol.
  • Mengelola stres melalui teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau biofeedback.
  • Menghindari paparan terhadap stimulus yang memicu migrain, seperti cahaya terlalu terang atau suara yang keras.
Terapi non-farmakologis: 
  • Beberapa terapi non-farmakologis yang telah terbukti membantu mengurangi intensitas dan frekuensi migrain pada lansia meliputi:
  • Terapi fisik: Fisioterapi atau manipulasi tulang belakang dapat membantu mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan postur tubuh, yang dapat meredakan migrain.
  • Terapi pijat: Pijatan lembut pada area yang terkena migrain dapat membantu mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi darah.
  • Terapi akupunktur: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa akupunktur dapat memberikan manfaat dalam mengurangi frekuensi dan keparahan serangan migrain pada lansia.
Konseling dan dukungan sosial: 
Terkadang, menghadapi migrain pada usia lanjut juga membutuhkan dukungan emosional dan psikologis. Konseling atau terapi perilaku kognitif dapat membantu individu dalam mengelola stres dan kecemasan yang terkait dengan migrain.

Berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan rekomendasi yang tepat tentang pengobatan migrain pada lansia, mengingat faktor-faktor kesehatan lain yang mungkin memengaruhi pilihan perawatan.

 

Sumber:

https://www.thelancet.com/journals/laneur/article/PIIS1474-4422(23)00206-5/abstract

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9007780/

https://www.samitivejhospitals.com/article/detail/elderly-migraines-symptoms-treatment-prevention

https://www.webmd.com/migraines-headaches/geriatric-headaches

https://americanheadachesociety.org/topic/migraine-in-the-elderly/


Wednesday, 17 April 2024

Jangan Kesal jika Lansia Sering Mengeluh.

        Beberapa lansia banyak mengeluh, dalam beberapa kasus, itu memang sifat mereka. Namun, jika Anda merawat dan bersama lansia yang awalnya tenang  mulai lebih banyak mengeluh, mungkin ada alasan untuk perubahan wataknya. Oleh karena itu, dalam mengatasi masalah mendasar, Anda atau pengasuh dapat membantu orang-orang tercinta yang lanjut usia untuk menikmati pandangan yang lebih positif dan juga merasa lebih baik. 

Keluhan lansia merupakan ekspresi dari gangguan fisik dan mental.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Secara umum, keluhan pada lansia merujuk pada tindakan atau ekspresi verbal atau non-verbal di mana seorang lansia menyampaikan ketidakpuasan, ketidaknyamanan, atau masalah yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Ini bisa berupa ungkapan tentang rasa sakit fisik, kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, atau perasaan emosional seperti kesepian atau kecemasan.

Keluhan lansia adalah ekspresi verbal dari rasa sakit fisik.
(Sumber: foto canva.com)

Mengeluh pada lansia bisa menjadi cara bagi mereka untuk menyampaikan kebutuhan mereka atau mencari perhatian dan dukungan dari orang lain. Ini juga bisa menjadi reaksi terhadap perubahan yang terjadi karena proses penuaan, seperti penurunan kesehatan, kehilangan kemampuan fisik atau kemandirian, atau perubahan dalam hubungan sosial.

Istilah medis yang sering digunakan untuk merujuk kepada keluhan pada lansia adalah "geriatrik sindrom." Geriatrik sindrom mengacu pada berbagai gejala atau kondisi kompleks yang sering terjadi pada lansia dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka.

Penting untuk dipahami bahwa mengeluh pada lansia tidak selalu menunjukkan bahwa mereka tidak bersyukur atau tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri. Sebaliknya, ini bisa menjadi cara yang wajar bagi mereka untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam proses penuaan mereka. Oleh karena itu, penting untuk mendengarkan dengan empati dan memberikan dukungan yang sesuai untuk memastikan kesejahteraan dan kualitas hidup yang optimal bagi lansia.

       Lansia sering kali mengeluh karena berbagai alasan, yang dapat mencakup faktor fisik, emosional, dan sosial. 

Beberapa penyebab umum lansia sering mengeluh antara lain:

Masalah Kesehatan: 
Lansia rentan terhadap berbagai masalah kesehatan seperti nyeri sendi, nyeri punggung, artritis, tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, dan lain-lain. Kondisi kesehatan ini bisa menjadi penyebab utama keluhan fisik.

Kehilangan Kemandirian: 
Proses penuaan sering kali menyebabkan penurunan kemampuan fisik dan kemandirian. Lansia mungkin mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari seperti berjalan, mandi, berpakaian, atau memasak, yang bisa menyebabkan mereka mengeluh.

Perubahan Emosional:
Lansia dapat mengalami perubahan emosional yang signifikan, termasuk depresi, kecemasan, atau kesepian. Perasaan ini bisa memicu keluhan dan ekspresi yang mencerminkan ketidaknyamanan emosional.

Perubahan emosional terjadi pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Kondisi Kognitif:
Lansia juga dapat mengalami penurunan kognitif seperti gangguan memori, kebingungan, atau demensia. Ketidaknyamanan atau kebingungan ini mungkin menyebabkan mereka mengeluh tentang ketidakmampuan mereka dalam memahami atau mengingat hal-hal tertentu.

Perubahan Sosial:
Lansia sering menghadapi perubahan dalam hubungan sosial, seperti kehilangan teman atau anggota keluarga, atau penurunan interaksi sosial. Kesepian dan perasaan terisolasi dapat menyebabkan mereka mengeluh tentang kekosongan atau kehilangan dalam kehidupan sosial mereka.

Efek Samping Obat:
Lansia sering mengonsumsi berbagai jenis obat untuk mengelola kondisi kesehatan mereka. Beberapa obat dapat memiliki efek samping yang tidak diinginkan seperti pusing, mual, atau kelelahan, yang mungkin menjadi penyebab keluhan.

Perubahan Lingkungan: 
Perubahan dalam lingkungan fisik atau sosial, seperti pindah ke rumah perawatan atau berkurangnya mobilitas, dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau kebingungan bagi lansia, yang mungkin tercermin dalam keluhan mereka.

Pahami bahwa setiap lansia memiliki pengalaman dan kebutuhan yang unik, dan keluhan mereka bisa menjadi cara yang wajar untuk menyampaikan perasaan atau masalah mereka. Mendengarkan dengan empati dan memberikan perhatian yang tepat dapat membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka.

       Sindrom geriatrik adalah kumpulan gejala yang sering terjadi pada lansia dan dapat meliputi berbagai masalah kesehatan fisik, psikologis, dan sosial. 

Beberapa ciri khas sindrom geriatrik pada lansia meliputi:

Penurunan Fungsi Kognitif: 
Ini bisa berupa gangguan memori, kesulitan berkonsentrasi, atau bahkan demensia.

Penurunan Fungsi Fisik: 
Lansia dengan sindrom geriatrik mungkin mengalami penurunan kekuatan otot, ketidakseimbangan, atau penurunan kemampuan berjalan.

Sindrom Jatuh: 
Lansia dengan sindrom geriatrik cenderung memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi karena penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan, atau masalah fisik lainnya.

Penurunan Nutrisi:
Penurunan nafsu makan atau masalah pencernaan dapat menjadi ciri sindrom geriatrik pada lansia.

Penyakit Kronis: 
Lansia sering kali memiliki beberapa penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, atau osteoporosis, yang dapat mempengaruhi kesehatan mereka secara keseluruhan.

Isolasi Sosial: 
Sindrom geriatrik sering kali terkait dengan isolasi sosial atau kesepian, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional lansia.

Depresi atau Kecemasan: 
Gangguan suasana hati seperti depresi atau kecemasan juga dapat menjadi bagian dari sindrom geriatrik.

Penurunan Kemampuan Fungsional: 
Lansia dengan sindrom geriatrik mungkin mengalami penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, berpakaian, atau memasak.

Masalah Kesehatan Mental:
Beberapa lansia dengan sindrom geriatrik mungkin mengalami kebingungan, delirium, atau halusinasi.

Penurunan Kemampuan Visual dan Pendengaran:
Gangguan penglihatan atau pendengaran juga dapat menjadi ciri sindrom geriatrik pada lansia.

Sindrom geriatrik sering kali bersifat multifaktorial, artinya satu gejala dapat terkait dengan beberapa masalah kesehatan sekaligus. 

       Pengobatan sindrom geriatrik pada lansia seringkali melibatkan pendekatan yang holistik dan beragam tergantung pada penyebab serta gejala spesifik yang dialami individu. 

Beberapa strategi umum yang dapat digunakan dalam pengobatan sindrom geriatrik pada lansia:

Evaluasi Medis Komprehensif: 
Langkah pertama dalam mengobati sindrom geriatrik adalah melakukan evaluasi medis menyeluruh oleh dokter atau tim kesehatan. Ini dapat membantu dalam mengidentifikasi masalah kesehatan yang mendasarinya dan merencanakan perawatan yang sesuai.

Manajemen Penyakit Kronis: 
Jika lansia memiliki penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung, manajemen yang tepat dari kondisi tersebut sangat penting. Ini dapat melibatkan penggunaan obat-obatan, perubahan gaya hidup, dan pengawasan yang ketat.

Perawatan Kesehatan Mental: 
Jika sindrom geriatrik melibatkan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kognitif, terapi psikologis, obat-obatan, atau intervensi lainnya dapat direkomendasikan.

Fisioterapi dan Latihan Fisik: 
Fisioterapi dan program latihan fisik yang disesuaikan dengan kondisi individu dapat membantu meningkatkan kekuatan otot, keseimbangan, dan mobilitas, serta mengurangi risiko jatuh.

Pengelolaan Nutrisi: 
Menerapkan diet sehat dan seimbang serta memastikan asupan nutrisi yang mencukupi sangat penting untuk kesejahteraan lansia. Dalam beberapa kasus, suplemen makanan atau intervensi diet khusus mungkin diperlukan.

Manajemen Obat: 
Penting untuk meninjau kembali penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan efek samping atau interaksi obat yang tidak diinginkan. Pemantauan yang cermat terhadap penggunaan obat-obatan dapat membantu mengoptimalkan pengobatan.

Pencegahan Cedera dan Komplikasi:
Langkah-langkah pencegahan seperti memastikan lingkungan rumah yang aman, menggunakan alat bantu jika diperlukan, dan menghindari situasi yang dapat menyebabkan cedera atau komplikasi lainnya sangat penting.

Dukungan Sosial dan Emosional: 
Mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau grup dukungan sosial dapat membantu mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Edukasi dan Konseling: 
Edukasi mengenai kondisi medis dan strategi pengelolaannya serta konseling mengenai perubahan gaya hidup atau penyesuaian yang diperlukan juga penting dalam pengobatan sindrom geriatrik.

Pengelolaan Komplikasi: 
Jika ada komplikasi yang terkait dengan sindrom geriatrik, seperti infeksi, dehidrasi, atau masalah kesehatan lainnya, penanganan yang cepat dan tepat sangat penting.

Pengobatan sindrom geriatrik pada lansia sering memerlukan pendekatan yang individualistik dan berkelanjutan. Kolaborasi antara pasien, keluarga, dan tim kesehatan adalah kunci keberhasilan dalam mengelola kondisi ini.





Sumber:








Tuesday, 16 April 2024

Lansia Memakan dalam Jumlah Terbatas, atau Tidak Memakannya Sama Sekali.

         Penekanan nutrisi lansia biasanya pada makanan untuk menambah dan mendorong asupan. Namun, ada makanan yang harus dihindari oleh lansia karena potensi risiko penyakitnya, terutama terkait dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh seiring bertambahnya usia. Kecukupan nutrisi untuk lansia merupakan fokus nutrisi yang penting, begitu juga dengan mengetahui makanan apa yang harus dihindari oleh lansia. 

Kecukupan nutrisi penting untuk lansia namun ada makanan yang harus dihindari.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Beberapa makanan yang direkomendasikan untuk dimakan dalam jumlah terbatas, atau tidak dimakan sama sekali, untuk praktik nutrisi terbaik bagi lansia.

Telur Mentah

Telur mentah dapat membawa risiko kesehatan bagi lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Makan telur mentah atau setengah matang dapat membawa risiko kesehatan, terutama bagi lansia, karena alasan-alasan berikut:

Kontaminasi Bakteri: 
Telur mentah atau setengah matang dapat terkontaminasi oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella. Lansia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan mentah atau setengah matang.

Kandungan Nutrisi: 
Meskipun telur mengandung banyak nutrisi penting seperti protein dan vitamin, mengonsumsinya dalam bentuk mentah dapat mengurangi ketersediaan nutrisi tersebut bagi tubuh. Proses memasak telur secara menyeluruh membantu meningkatkan ketersediaan nutrisi dan mengurangi risiko infeksi.

Risiko Toksoplasmosis: 
Telur mentah atau setengah matang juga dapat menyebabkan risiko infeksi parasit toksoplasma, yang dapat berbahaya bagi lansia dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Masalah pencernaan: 
Konsumsi telur mentah atau setengah matang juga dapat menyebabkan masalah pencernaan seperti diare, kram perut, dan mual, terutama bagi orang yang memiliki sensitivitas pencernaan.

Meskipun resep kue keping coklat yang terkenal itu mungkin meyakinkan sebelum adonan dimasukkan ke dalam oven, penting untuk melawan godaan untuk mengurangi risiko kontaminasi salmonella. Membatasi telur mentah merupakan catatan penting yang harus diperhatikan oleh para lansia untuk menurunkan risiko penyakit bawaan makanan.

Produk lain yang mengandung telur mentah yang sebaiknya dihindari termasuk mayones buatan sendiri, eggnog, dan saus hollandaise. Pilih produk yang dibuat secara komersial, karena produk tersebut akan dipasteurisasi untuk membunuh bakteri dari telur mentah.

Daging Kurang Matang
Makan daging kurang matang atau mentah dapat membawa risiko kesehatan yang lebih tinggi, terutama bagi lansia, karena mereka cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah dan rentan terhadap infeksi. 

Daging setengah matang atau mentah membawa risiko kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa alasan mengapa makan daging kurang matang atau mentah tidak baik untuk lansia:

Kontaminasi Bakteri: 
Daging yang tidak dimasak sepenuhnya dapat terkontaminasi oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella, E. coli, dan Campylobacter. Lansia cenderung lebih rentan terhadap infeksi bakteri, dan konsumsi daging yang tidak matang dapat meningkatkan risiko infeksi makanan yang serius.

Risiko Toksoplasmosis: 
Daging mentah atau kurang matang juga dapat menyebabkan risiko infeksi parasit toksoplasma. Infeksi toksoplasmosis dapat menyebabkan gejala ringan hingga parah terutama pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah, seperti lansia.

Salmonellosis: 
Bakteri Salmonella, yang sering ditemukan dalam daging yang tidak dimasak sepenuhnya, dapat menyebabkan penyakit yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis meliputi diare, mual, muntah, demam, dan sakit perut, yang dapat menjadi lebih berat dan berpotensi fatal pada lansia.

Campylobacteriosis: 
Bakteri Campylobacter, yang juga umumnya ditemukan dalam daging yang tidak dimasak sepenuhnya, dapat menyebabkan campylobacteriosis. Infeksi ini menyebabkan gejala seperti diare, sakit perut, demam, dan mual, yang dapat berisiko lebih tinggi bagi lansia.

Sistem Kekebalan Tubuh yang Melemah:
Lansia umumnya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, yang membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Oleh karena itu, konsumsi daging yang tidak matang dapat meningkatkan risiko komplikasi kesehatan pada lansia.

Untuk mengurangi risiko infeksi makanan dan masalah kesehatan terkait, sangat penting bagi lansia untuk memastikan bahwa daging dimasak dengan benar, yaitu sampai mencapai suhu dalam yang aman untuk mematikan bakteri yang mungkin ada. Selain itu, memilih daging yang segar dan berkualitas tinggi juga penting untuk meminimalkan risiko kontaminasi.

Seperti kekhawatiran terhadap telur mentah, daging yang kurang matang juga menimbulkan risiko penyakit bawaan makanan, terutama pada sistem kekebalan tubuh yang lemah. Batasi atau hindari asupan steak, makanan laut mentah, sate dan daging setengah matang lainnya. Sebagai gantinya, masak atau pesan daging yang sudah matang atau matang seluruhnya hingga tidak lagi berwarna merah muda.
Saat menyiapkan hidangan daging dan unggas, ikuti panduan suhu daging yang aman ini untuk memastikan keamanan pangan yang lebih baik.

Daging Deli
Daging deli, yang juga dikenal sebagai daging olahan, adalah daging yang telah diproses, diawetkan, atau diolah lebih lanjut sebelum dijual kepada konsumen. Proses ini dapat mencakup penggilingan, pemotongan tipis, pemberian bumbu, pengasapan, atau pemberian bahan tambahan untuk meningkatkan rasa atau memperpanjang masa simpan 

Daging Deli atau daging olahan bukan pilihan terbaik untuk lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Daging deli sering kali tidak dianggap sebagai pilihan yang optimal untuk lansia karena beberapa alasan, termasuk:

Kandungan Garam Tinggi: 
Daging deli sering diawetkan dengan garam untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan rasa. Konsumsi garam berlebihan dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, yang merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada lansia.

Kandungan Lemak dan Kolesterol Tinggi: 
Beberapa jenis daging deli, seperti bacon dan sosis, mengandung tinggi lemak jenuh dan kolesterol. Konsumsi lemak jenuh dan kolesterol berlebih dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, yang dapat menjadi lebih serius bagi lansia.

Risiko Kontaminasi Bakteri:
Daging deli, terutama jika tidak disimpan dengan benar atau jika disajikan mentah atau setengah matang, dapat menjadi sumber potensial kontaminasi bakteri seperti Salmonella dan Listeria. Lansia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga lebih rentan terhadap infeksi makanan yang disebabkan oleh bakteri.

Bahan Tambahan:
Beberapa produk daging deli dapat mengandung bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, dan pengental yang tidak diinginkan. Konsumsi bahan tambahan tertentu dapat berisiko bagi kesehatan, terutama bagi lansia yang mungkin memiliki sensitivitas terhadap beberapa bahan tambahan.

Meskipun demikian, bukan berarti lansia harus sepenuhnya menghindari daging deli. Jika ingin mengonsumsinya, disarankan untuk memilih pilihan yang lebih sehat, seperti daging deli rendah lemak, rendah garam, dan bebas bahan tambahan yang berbahaya. 

Selain itu, pastikan untuk menyimpan daging deli dengan benar dalam lemari es dan memastikan bahwa daging deli dimasak sepenuhnya sebelum dikonsumsi untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri. Tetap mengonsumsi dalam batas yang wajar dan seimbang dengan pola makan yang sehat juga penting bagi kesehatan lansia.

Faktanya, konsumsi daging olahan (seperti daging asap, sosis, dan ham) telah dikaitkan dengan tingginya insiden kanker kolorektal, menurut American Institute for Cancer Research .

Tuna kalengan, salmon, atau salad telur bisa menjadi alternatif yang lebih sehat dibandingkan daging deli untuk sandwich. Pertimbangkan untuk mencampurkannya dengan yogurt tanpa rasa untuk mendapatkan protein lebih tinggi dan peningkatan nutrisi pembentuk tulang!

Ikan Mentah
Ikan mentah atau setengah matang, seperti yang ditemukan dalam sushi atau sashimi, dapat membawa risiko kesehatan tertentu bagi lansia. 

Ikan mentah membawa risiko tertentu untuk lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa alasan mengapa ikan mentah sebaiknya dihindari oleh lansia:

Kontaminasi Bakteri dan Parasit: 
Ikan mentah rentan terhadap kontaminasi oleh bakteri seperti Salmonella, Listeria, dan E. coli, serta parasit seperti cacing pita dan anisakis. Lansia memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan parasit. Konsumsi ikan mentah meningkatkan risiko infeksi makanan yang serius pada lansia.

Risiko Toksikologi: 
Beberapa jenis ikan, terutama ikan besar seperti tuna, hiu, dan mackerel king, dapat mengandung tingkat merkuri yang tinggi. Merkuri adalah logam berat yang dapat berbahaya bagi kesehatan, terutama bagi sistem saraf. Lansia mungkin lebih rentan terhadap efek negatif merkuri karena metabolisme yang lambat dan akumulasi toksin dalam tubuh seiring waktu.

Keseimbangan Nutrisi yang Tidak Seimbang:
Mengonsumsi ikan mentah secara berlebihan dapat mengakibatkan keseimbangan nutrisi yang tidak seimbang dalam diet. Meskipun ikan adalah sumber protein dan asam lemak omega-3 yang sehat, mengonsumsinya dalam jumlah besar, terutama dalam bentuk mentah, dapat menyebabkan konsumsi lemak jenuh yang tinggi dan rendahnya asupan nutrisi lainnya.

Potensi Interaksi Obat:
Lansia sering mengonsumsi berbagai jenis obat, dan beberapa jenis ikan mentah atau setengah matang dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu. Misalnya, ikan mentah dapat mengandung tingkat histamin yang tinggi, yang dapat memperburuk kondisi seperti migrain atau alergi.

Disarankan bagi lansia untuk mengonsumsi ikan yang telah dimasak sepenuhnya untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri dan parasit, serta membatasi konsumsi ikan yang mengandung tingkat merkuri yang tinggi. Jika ingin menikmati ikan mentah, pastikan untuk memilih ikan segar dan berkualitas tinggi dari sumber yang tepercaya, dan konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi untuk saran yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan individu. 

Meskipun ikan terus didorong untuk dikonsumsi karena kandungan lemaknya yang sehat dan pasokan protein yang cukup, mengonsumsinya mentah adalah hal yang berbeda (ikan). Seperti telur dan daging setengah matang, tiram mentah, udang, kepiting, dan bentuk mentah lainnya harus dihindari untuk mengurangi risiko penyakit bawaan makanan, untuk mendapatkan manfaat makan ikan, masak dan konsumsilah ikan yang sudah matang sempurna.  

Sushi:
Sushi adalah hidangan khas Jepang yang terdiri dari nasi yang digabungkan dengan bahan lain, seperti ikan mentah, makanan laut, sayuran, dan telur. Sushi sering disajikan dengan saus kedelai, jahe, dan wasabi sebagai pelengkap.

Berbicara tentang ikan mentah,sushi juga harus makan dengan hati-hati. Meskipun beberapa hidangan sushi dimasak secara internal, asupannya tetap harus diperhatikan dengan hati-hati. 
Selain kekhawatiran terhadap bahan mentahnya, sushi juga mengandung natrium tinggi dan menyebabkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Hal ini menambah alasan lain mengapa makanan ini harus dihindari oleh para lansia.  

Susu dan Jus yang Tidak Dipasteurisasi:
Pasteurisasi adalah pemanasan makanan atau minuman hingga suhu yang cukup tinggi untuk membunuh mikroorganisme berbahaya, tetapi tidak cukup tinggi untuk merusak nutrisi atau mengubah tekstur produk secara signifikan. Suhu dan waktu pemanasan yang diperlukan bervariasi tergantung pada jenis makanan atau minuman yang diproses. Biasanya, proses pasteurisasi dilakukan pada suhu antara 60°C hingga 85°C, tergantung pada produk dan persyaratan sanitasi.

Susu pemasok kalsium dan produk susu lainnya sangat dianjurkan untuk kesehatan tulang. Namun, para lansia harus menghindari susu yang tidak dipasteurisasi karena risiko penyakit bawaan makanan yang lebih tinggi.

Demikian pula, jus dan keju lunak yang tidak dipasteurisasi, termasuk brie dan camembert, juga harus dihindari karena potensinya menampung bakteri berbahaya.  Untuk memasak keju lunak, pilih keju yang lebih keras daripada keju lunak dan juga pastikan untuk memilih jus yang dipasteurisasi .

Soda:
Soda adalah minuman berkarbonasi yang biasanya mengandung air, pemanis, rasa buatan, dan gas karbon dioksida yang memberikan gelembung dan rasa segar. Minuman soda dapat dikonsumsi secara langsung atau digunakan sebagai campuran dalam koktail atau minuman lainnya.

Minuman soda dapat beragam rasa, mulai dari rasa cola klasik hingga rasa buah-buahan seperti jeruk, lemon-lime, ceri, dan banyak lagi. Beberapa minuman soda juga tersedia dalam versi diet atau tanpa kalori, yang menggunakan pemanis buatan sebagai pengganti gula.

Soda sering dikonsumsi sebagai minuman ringan atau penyegar, terutama di negara-negara Barat. Namun, konsumsi soda secara berlebihan telah dikaitkan dengan sejumlah masalah kesehatan, termasuk obesitas, diabetes tipe 2, gangguan pencernaan, dan masalah kesehatan gigi.

Produk dengan kandungan gula yang tinggi dapat mempercepat proses demineralisasi gigi dan tulang, hal ini terutama mengkhawatirkan bagi lansia yang sudah hampir membutuhkan gigi palsu dan meningkatkan risiko osteoporosis. 

Soda diet juga tidak dianjurkan karena banyak masalah kesehatan, daripada minum soda, fokuslah pada minum air yang dimaniskan dengan sedikit jus atau irisan jeruk, lemon, mentimun, atau buah beri untuk menambah rasa alami.

Alkohol:
Alkohol adalah senyawa kimia organik yang terbentuk dari proses fermentasi gula oleh ragi, bakteri, atau mikroorganisme lainnya. Senyawa ini memiliki efek psikoaktif pada sistem saraf manusia dan dapat menyebabkan perubahan perilaku dan suasana hati. Alkohol yang paling umum dikonsumsi oleh manusia adalah etanol, yang juga dikenal sebagai alkohol etil.

Alkohol sering kali dikonsumsi dalam bentuk minuman beralkohol seperti bir, anggur, sake, vodka, whiskey, dan banyak lagi. Kadar alkohol dalam minuman tersebut dapat bervariasi, mulai dari kadar alkohol yang rendah (misalnya, bir) hingga kadar alkohol yang tinggi (misalnya, minuman keras).

Konsumsi alkohol dapat memberikan efek yang beragam pada tubuh manusia, tergantung pada jumlah yang dikonsumsi dan sensitivitas individu.
Beberapa efek alkohol yang umum meliputi:

Efek Depresan: 
Alkohol adalah zat depresan, yang berarti bahwa dapat menekan aktivitas sistem saraf pusat. Ini dapat menyebabkan perasaan rileks, penurunan inhibisi, dan pengurangan koordinasi motorik.

Efek Psikoaktif: 
Alkohol juga memiliki efek psikoaktif, yang dapat menyebabkan perubahan suasana hati, seperti euforia atau depresi, serta perubahan persepsi, pemikiran, dan perilaku.

Efek Fisik: 
Konsumsi alkohol dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan efek fisik yang tidak diinginkan, termasuk mual, muntah, sakit kepala, penglihatan kabur, kelelahan, dan bahkan kehilangan kesadaran. Pada dosis yang sangat tinggi, alkohol dapat menyebabkan keracunan alkohol, yang dapat mengancam jiwa.

Ketergantungan: 
Penggunaan alkohol yang berkepanjangan dan berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis, yang dapat mengakibatkan penarikan alkohol yang berat dan masalah kesehatan jangka panjang.

Ketika dikonsumsi dengan bijaksana dan dalam jumlah yang moderat, alkohol dapat dinikmati sebagai bagian dari pengalaman sosial atau sebagai cara untuk bersantai. Namun, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat berisiko dan dapat menyebabkan masalah kesehatan dan sosial yang serius. Oleh karena itu, penting untuk mengonsumsi alkohol dengan bertanggung jawab dan memperhatikan batas aman yang direkomendasikan.

Meskipun alkohol boleh dikonsumsi dalam jumlah sedang, sangat penting untuk berhati-hati terhadap konsumsi alkohol pada populasi lanjut usia. Mencampur alkohol dengan obat yang diresepkan dapat mengurangi efektivitasnya atau menyebabkan efek samping yang serius. 

Alkohol juga dapat menurunkan tekanan darah dan gula, sehingga meningkatkan masalah kesehatan utama pada lansia. Demi keamanan maksimal, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan panduan individu jika ingin mengonsumsi alkohol.

Makanan Keras:
Makanan keras atau alot dapat menjadi sulit untuk dikonsumsi oleh lansia karena beberapa alasan, termasuk:

Resiko Tersedak: Lansia mungkin memiliki kesulitan menelan atau mengunyah makanan yang keras atau alot. Potongan makanan yang besar atau keras dapat meningkatkan risiko tersedak, yang merupakan masalah serius yang dapat menyebabkan sumbatan saluran napas dan bahkan kematian.

Masalah Kesehatan Gigi dan Mulut: Lansia sering mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, seperti gigi yang rapuh, kerusakan gigi, atau nyeri gusi. Makan makanan keras atau alot dapat menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang meningkat pada gigi dan gusi yang sensitif.

Pencernaan yang Lambat: Fungsi pencernaan cenderung melambat seiring bertambahnya usia. Makanan keras atau alot dapat sulit dicerna oleh sistem pencernaan yang lambat, yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti perut kembung, gas, atau konstipasi.

Resiko Cedera: Lansia mungkin mengalami penurunan kekuatan fisik atau koordinasi, yang dapat meningkatkan risiko cedera saat mencoba mengunyah makanan yang keras atau alot. Potensi risiko termasuk patah gigi, cedera pada mulut atau tenggorokan, atau bahkan cedera pada rahang.

Disarankan bagi lansia untuk memilih makanan yang lembut, mudah dikunyah, dan mudah dicerna. Ini termasuk makanan seperti bubur, sup, sayuran lembut, buah-buahan yang matang, daging yang dimasak dengan lembut, dan makanan yang dipotong menjadi potongan kecil. Penting juga untuk memastikan bahwa makanan yang disajikan tidak terlalu panas, karena lansia mungkin lebih rentan terhadap luka bakar pada mulut dan tenggorokan.

Makanan keras umumnya memiliki tekstur yang padat dan memerlukan usaha ekstra untuk mengunyah dan mencerna. 
Berikut adalah beberapa contoh makanan keras:

Kacang: Contohnya termasuk kacang tanah, kacang almond, kacang mete, dan kacang lainnya yang biasanya memiliki tekstur yang keras dan renyah.

Biji-bijian: Biji-bijian seperti biji bunga matahari, biji labu, dan biji wijen juga termasuk dalam kategori makanan keras.

Kerupuk: Kerupuk, seperti kerupuk udang, kerupuk ikan, atau kerupuk lainnya, memiliki tekstur yang keras dan seringkali renyah.

Kue Kering: Beberapa jenis kue kering, terutama yang renyah dan keras, seperti biskuit gandum atau kue bawang, juga dapat dianggap sebagai makanan keras.

Roti Kering: Roti yang telah mengeras atau roti kering memiliki tekstur yang keras dan dapat sulit untuk dikunyah.

Buah Kering: Beberapa buah kering, seperti kurma atau aprikot kering, memiliki tekstur yang keras dan lengket.

Keripik: Keripik kentang, keripik jagung, atau keripik lainnya yang diproses dengan cara digoreng atau dipanggang hingga renyah dapat termasuk dalam kategori makanan keras.

Permen Keras: Permen keras, seperti permen karet atau permen berisi, juga dapat diklasifikasikan sebagai makanan keras karena mereka membutuhkan usaha ekstra untuk mengunyah.

Makanan keras ini umumnya dapat menjadi pilihan yang kurang sesuai untuk lansia atau individu dengan masalah kesehatan tertentu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengunyah dan mencerna makanan dengan baik. Oleh karena itu, disarankan untuk menghindari makanan ini atau memilih alternatif yang lebih lembut dan mudah dicerna.

Jeruk Bali
Grapefruit adalah jenis buah sitrus yang berasal dari keluarga Rutaceae dan merupakan salah satu jenis jeruk. Buah ini dikenal karena rasa asamnya yang khas dengan sentuhan manis, serta aroma yang segar. Grapefruit memiliki warna kulit yang bervariasi dari kuning muda hingga merah muda, tergantung pada varietasnya.

Buah grapefruit umumnya berukuran sedang hingga besar, dengan daging buah yang berwarna kuning atau merah muda tergantung pada jenisnya. Rasa grapefruit bisa sangat asam atau sedikit manis, tergantung pada varietasnya dan tingkat kematangannya.

Grapefruit sering dikonsumsi sebagai buah segar, baik langsung dimakan atau dijadikan sebagai bahan dalam salad buah, minuman jus, atau makanan penutup. Selain itu, beberapa varietas grapefruit juga digunakan dalam pembuatan minuman ringan, selai, atau bahan masakan lainnya.

Selain rasanya yang segar dan manfaat gizinya, grapefruit juga terkenal karena kandungan nutrisinya yang kaya akan vitamin C, serat, dan antioksidan. Grapefruit juga diketahui mengandung senyawa-senyawa yang disebut flavonoid, yang memiliki potensi manfaat kesehatan seperti perlindungan terhadap penyakit jantung dan anti-inflamasi.

Grapefruit dapat berinteraksi dengan beberapa obat.
(Sumber: foto canva.com)
Grapefruit dapat berinteraksi dengan beberapa obat-obatan, termasuk obat kardiovaskular, antidepresan, dan obat penurun kolesterol. Interaksi ini dapat memengaruhi cara tubuh memetabolisme obat tersebut dan meningkatkan risiko efek samping yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, bagi mereka yang mengonsumsi obat-obatan, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi sebelum mengonsumsi grapefruit secara teratur.

Grapefruit memiliki banyak manfaat nutrisi, namun sayangnya, jeruk bali dapat mengganggu banyak pengobatan yang mungkin dikonsumsi oleh lansia. Jangan berasumsi Anda bisa meminumnya pada waktu yang berbeda dalam sehari, meskipun meminum obat dan produk jeruk bali pada waktu yang berbeda tidak menghentikan interaksi yang berpotensi membahayakan. Grapefruit dapat menyebabkan obat bertahan lebih lama atau lebih pendek di sistem tubuh sehingga dapat memengaruhi efektivitasnya.

Demikian makanan yang sebaiknya dibatasi atau dihindari oleh lansia karena memiliki risiko yang buruk pada kesehatan lansia. Konsultasi kepada medis, dokter  atau ahli kesehatan bila akan memakannya.



Sumber: