Tuesday, 16 April 2024

Lansia Memakan dalam Jumlah Terbatas, atau Tidak Memakannya Sama Sekali.

         Penekanan nutrisi lansia biasanya pada makanan untuk menambah dan mendorong asupan. Namun, ada makanan yang harus dihindari oleh lansia karena potensi risiko penyakitnya, terutama terkait dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh seiring bertambahnya usia. Kecukupan nutrisi untuk lansia merupakan fokus nutrisi yang penting, begitu juga dengan mengetahui makanan apa yang harus dihindari oleh lansia. 

Kecukupan nutrisi penting untuk lansia namun ada makanan yang harus dihindari.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Beberapa makanan yang direkomendasikan untuk dimakan dalam jumlah terbatas, atau tidak dimakan sama sekali, untuk praktik nutrisi terbaik bagi lansia.

Telur Mentah

Telur mentah dapat membawa risiko kesehatan bagi lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Makan telur mentah atau setengah matang dapat membawa risiko kesehatan, terutama bagi lansia, karena alasan-alasan berikut:

Kontaminasi Bakteri: 
Telur mentah atau setengah matang dapat terkontaminasi oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella. Lansia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan mentah atau setengah matang.

Kandungan Nutrisi: 
Meskipun telur mengandung banyak nutrisi penting seperti protein dan vitamin, mengonsumsinya dalam bentuk mentah dapat mengurangi ketersediaan nutrisi tersebut bagi tubuh. Proses memasak telur secara menyeluruh membantu meningkatkan ketersediaan nutrisi dan mengurangi risiko infeksi.

Risiko Toksoplasmosis: 
Telur mentah atau setengah matang juga dapat menyebabkan risiko infeksi parasit toksoplasma, yang dapat berbahaya bagi lansia dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Masalah pencernaan: 
Konsumsi telur mentah atau setengah matang juga dapat menyebabkan masalah pencernaan seperti diare, kram perut, dan mual, terutama bagi orang yang memiliki sensitivitas pencernaan.

Meskipun resep kue keping coklat yang terkenal itu mungkin meyakinkan sebelum adonan dimasukkan ke dalam oven, penting untuk melawan godaan untuk mengurangi risiko kontaminasi salmonella. Membatasi telur mentah merupakan catatan penting yang harus diperhatikan oleh para lansia untuk menurunkan risiko penyakit bawaan makanan.

Produk lain yang mengandung telur mentah yang sebaiknya dihindari termasuk mayones buatan sendiri, eggnog, dan saus hollandaise. Pilih produk yang dibuat secara komersial, karena produk tersebut akan dipasteurisasi untuk membunuh bakteri dari telur mentah.

Daging Kurang Matang
Makan daging kurang matang atau mentah dapat membawa risiko kesehatan yang lebih tinggi, terutama bagi lansia, karena mereka cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah dan rentan terhadap infeksi. 

Daging setengah matang atau mentah membawa risiko kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa alasan mengapa makan daging kurang matang atau mentah tidak baik untuk lansia:

Kontaminasi Bakteri: 
Daging yang tidak dimasak sepenuhnya dapat terkontaminasi oleh bakteri berbahaya seperti Salmonella, E. coli, dan Campylobacter. Lansia cenderung lebih rentan terhadap infeksi bakteri, dan konsumsi daging yang tidak matang dapat meningkatkan risiko infeksi makanan yang serius.

Risiko Toksoplasmosis: 
Daging mentah atau kurang matang juga dapat menyebabkan risiko infeksi parasit toksoplasma. Infeksi toksoplasmosis dapat menyebabkan gejala ringan hingga parah terutama pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah, seperti lansia.

Salmonellosis: 
Bakteri Salmonella, yang sering ditemukan dalam daging yang tidak dimasak sepenuhnya, dapat menyebabkan penyakit yang disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis meliputi diare, mual, muntah, demam, dan sakit perut, yang dapat menjadi lebih berat dan berpotensi fatal pada lansia.

Campylobacteriosis: 
Bakteri Campylobacter, yang juga umumnya ditemukan dalam daging yang tidak dimasak sepenuhnya, dapat menyebabkan campylobacteriosis. Infeksi ini menyebabkan gejala seperti diare, sakit perut, demam, dan mual, yang dapat berisiko lebih tinggi bagi lansia.

Sistem Kekebalan Tubuh yang Melemah:
Lansia umumnya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, yang membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Oleh karena itu, konsumsi daging yang tidak matang dapat meningkatkan risiko komplikasi kesehatan pada lansia.

Untuk mengurangi risiko infeksi makanan dan masalah kesehatan terkait, sangat penting bagi lansia untuk memastikan bahwa daging dimasak dengan benar, yaitu sampai mencapai suhu dalam yang aman untuk mematikan bakteri yang mungkin ada. Selain itu, memilih daging yang segar dan berkualitas tinggi juga penting untuk meminimalkan risiko kontaminasi.

Seperti kekhawatiran terhadap telur mentah, daging yang kurang matang juga menimbulkan risiko penyakit bawaan makanan, terutama pada sistem kekebalan tubuh yang lemah. Batasi atau hindari asupan steak, makanan laut mentah, sate dan daging setengah matang lainnya. Sebagai gantinya, masak atau pesan daging yang sudah matang atau matang seluruhnya hingga tidak lagi berwarna merah muda.
Saat menyiapkan hidangan daging dan unggas, ikuti panduan suhu daging yang aman ini untuk memastikan keamanan pangan yang lebih baik.

Daging Deli
Daging deli, yang juga dikenal sebagai daging olahan, adalah daging yang telah diproses, diawetkan, atau diolah lebih lanjut sebelum dijual kepada konsumen. Proses ini dapat mencakup penggilingan, pemotongan tipis, pemberian bumbu, pengasapan, atau pemberian bahan tambahan untuk meningkatkan rasa atau memperpanjang masa simpan 

Daging Deli atau daging olahan bukan pilihan terbaik untuk lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Daging deli sering kali tidak dianggap sebagai pilihan yang optimal untuk lansia karena beberapa alasan, termasuk:

Kandungan Garam Tinggi: 
Daging deli sering diawetkan dengan garam untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan rasa. Konsumsi garam berlebihan dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, yang merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada lansia.

Kandungan Lemak dan Kolesterol Tinggi: 
Beberapa jenis daging deli, seperti bacon dan sosis, mengandung tinggi lemak jenuh dan kolesterol. Konsumsi lemak jenuh dan kolesterol berlebih dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, yang dapat menjadi lebih serius bagi lansia.

Risiko Kontaminasi Bakteri:
Daging deli, terutama jika tidak disimpan dengan benar atau jika disajikan mentah atau setengah matang, dapat menjadi sumber potensial kontaminasi bakteri seperti Salmonella dan Listeria. Lansia cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga lebih rentan terhadap infeksi makanan yang disebabkan oleh bakteri.

Bahan Tambahan:
Beberapa produk daging deli dapat mengandung bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, dan pengental yang tidak diinginkan. Konsumsi bahan tambahan tertentu dapat berisiko bagi kesehatan, terutama bagi lansia yang mungkin memiliki sensitivitas terhadap beberapa bahan tambahan.

Meskipun demikian, bukan berarti lansia harus sepenuhnya menghindari daging deli. Jika ingin mengonsumsinya, disarankan untuk memilih pilihan yang lebih sehat, seperti daging deli rendah lemak, rendah garam, dan bebas bahan tambahan yang berbahaya. 

Selain itu, pastikan untuk menyimpan daging deli dengan benar dalam lemari es dan memastikan bahwa daging deli dimasak sepenuhnya sebelum dikonsumsi untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri. Tetap mengonsumsi dalam batas yang wajar dan seimbang dengan pola makan yang sehat juga penting bagi kesehatan lansia.

Faktanya, konsumsi daging olahan (seperti daging asap, sosis, dan ham) telah dikaitkan dengan tingginya insiden kanker kolorektal, menurut American Institute for Cancer Research .

Tuna kalengan, salmon, atau salad telur bisa menjadi alternatif yang lebih sehat dibandingkan daging deli untuk sandwich. Pertimbangkan untuk mencampurkannya dengan yogurt tanpa rasa untuk mendapatkan protein lebih tinggi dan peningkatan nutrisi pembentuk tulang!

Ikan Mentah
Ikan mentah atau setengah matang, seperti yang ditemukan dalam sushi atau sashimi, dapat membawa risiko kesehatan tertentu bagi lansia. 

Ikan mentah membawa risiko tertentu untuk lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Beberapa alasan mengapa ikan mentah sebaiknya dihindari oleh lansia:

Kontaminasi Bakteri dan Parasit: 
Ikan mentah rentan terhadap kontaminasi oleh bakteri seperti Salmonella, Listeria, dan E. coli, serta parasit seperti cacing pita dan anisakis. Lansia memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih lemah, sehingga mereka lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan parasit. Konsumsi ikan mentah meningkatkan risiko infeksi makanan yang serius pada lansia.

Risiko Toksikologi: 
Beberapa jenis ikan, terutama ikan besar seperti tuna, hiu, dan mackerel king, dapat mengandung tingkat merkuri yang tinggi. Merkuri adalah logam berat yang dapat berbahaya bagi kesehatan, terutama bagi sistem saraf. Lansia mungkin lebih rentan terhadap efek negatif merkuri karena metabolisme yang lambat dan akumulasi toksin dalam tubuh seiring waktu.

Keseimbangan Nutrisi yang Tidak Seimbang:
Mengonsumsi ikan mentah secara berlebihan dapat mengakibatkan keseimbangan nutrisi yang tidak seimbang dalam diet. Meskipun ikan adalah sumber protein dan asam lemak omega-3 yang sehat, mengonsumsinya dalam jumlah besar, terutama dalam bentuk mentah, dapat menyebabkan konsumsi lemak jenuh yang tinggi dan rendahnya asupan nutrisi lainnya.

Potensi Interaksi Obat:
Lansia sering mengonsumsi berbagai jenis obat, dan beberapa jenis ikan mentah atau setengah matang dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu. Misalnya, ikan mentah dapat mengandung tingkat histamin yang tinggi, yang dapat memperburuk kondisi seperti migrain atau alergi.

Disarankan bagi lansia untuk mengonsumsi ikan yang telah dimasak sepenuhnya untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri dan parasit, serta membatasi konsumsi ikan yang mengandung tingkat merkuri yang tinggi. Jika ingin menikmati ikan mentah, pastikan untuk memilih ikan segar dan berkualitas tinggi dari sumber yang tepercaya, dan konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi untuk saran yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan individu. 

Meskipun ikan terus didorong untuk dikonsumsi karena kandungan lemaknya yang sehat dan pasokan protein yang cukup, mengonsumsinya mentah adalah hal yang berbeda (ikan). Seperti telur dan daging setengah matang, tiram mentah, udang, kepiting, dan bentuk mentah lainnya harus dihindari untuk mengurangi risiko penyakit bawaan makanan, untuk mendapatkan manfaat makan ikan, masak dan konsumsilah ikan yang sudah matang sempurna.  

Sushi:
Sushi adalah hidangan khas Jepang yang terdiri dari nasi yang digabungkan dengan bahan lain, seperti ikan mentah, makanan laut, sayuran, dan telur. Sushi sering disajikan dengan saus kedelai, jahe, dan wasabi sebagai pelengkap.

Berbicara tentang ikan mentah,sushi juga harus makan dengan hati-hati. Meskipun beberapa hidangan sushi dimasak secara internal, asupannya tetap harus diperhatikan dengan hati-hati. 
Selain kekhawatiran terhadap bahan mentahnya, sushi juga mengandung natrium tinggi dan menyebabkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Hal ini menambah alasan lain mengapa makanan ini harus dihindari oleh para lansia.  

Susu dan Jus yang Tidak Dipasteurisasi:
Pasteurisasi adalah pemanasan makanan atau minuman hingga suhu yang cukup tinggi untuk membunuh mikroorganisme berbahaya, tetapi tidak cukup tinggi untuk merusak nutrisi atau mengubah tekstur produk secara signifikan. Suhu dan waktu pemanasan yang diperlukan bervariasi tergantung pada jenis makanan atau minuman yang diproses. Biasanya, proses pasteurisasi dilakukan pada suhu antara 60°C hingga 85°C, tergantung pada produk dan persyaratan sanitasi.

Susu pemasok kalsium dan produk susu lainnya sangat dianjurkan untuk kesehatan tulang. Namun, para lansia harus menghindari susu yang tidak dipasteurisasi karena risiko penyakit bawaan makanan yang lebih tinggi.

Demikian pula, jus dan keju lunak yang tidak dipasteurisasi, termasuk brie dan camembert, juga harus dihindari karena potensinya menampung bakteri berbahaya.  Untuk memasak keju lunak, pilih keju yang lebih keras daripada keju lunak dan juga pastikan untuk memilih jus yang dipasteurisasi .

Soda:
Soda adalah minuman berkarbonasi yang biasanya mengandung air, pemanis, rasa buatan, dan gas karbon dioksida yang memberikan gelembung dan rasa segar. Minuman soda dapat dikonsumsi secara langsung atau digunakan sebagai campuran dalam koktail atau minuman lainnya.

Minuman soda dapat beragam rasa, mulai dari rasa cola klasik hingga rasa buah-buahan seperti jeruk, lemon-lime, ceri, dan banyak lagi. Beberapa minuman soda juga tersedia dalam versi diet atau tanpa kalori, yang menggunakan pemanis buatan sebagai pengganti gula.

Soda sering dikonsumsi sebagai minuman ringan atau penyegar, terutama di negara-negara Barat. Namun, konsumsi soda secara berlebihan telah dikaitkan dengan sejumlah masalah kesehatan, termasuk obesitas, diabetes tipe 2, gangguan pencernaan, dan masalah kesehatan gigi.

Produk dengan kandungan gula yang tinggi dapat mempercepat proses demineralisasi gigi dan tulang, hal ini terutama mengkhawatirkan bagi lansia yang sudah hampir membutuhkan gigi palsu dan meningkatkan risiko osteoporosis. 

Soda diet juga tidak dianjurkan karena banyak masalah kesehatan, daripada minum soda, fokuslah pada minum air yang dimaniskan dengan sedikit jus atau irisan jeruk, lemon, mentimun, atau buah beri untuk menambah rasa alami.

Alkohol:
Alkohol adalah senyawa kimia organik yang terbentuk dari proses fermentasi gula oleh ragi, bakteri, atau mikroorganisme lainnya. Senyawa ini memiliki efek psikoaktif pada sistem saraf manusia dan dapat menyebabkan perubahan perilaku dan suasana hati. Alkohol yang paling umum dikonsumsi oleh manusia adalah etanol, yang juga dikenal sebagai alkohol etil.

Alkohol sering kali dikonsumsi dalam bentuk minuman beralkohol seperti bir, anggur, sake, vodka, whiskey, dan banyak lagi. Kadar alkohol dalam minuman tersebut dapat bervariasi, mulai dari kadar alkohol yang rendah (misalnya, bir) hingga kadar alkohol yang tinggi (misalnya, minuman keras).

Konsumsi alkohol dapat memberikan efek yang beragam pada tubuh manusia, tergantung pada jumlah yang dikonsumsi dan sensitivitas individu.
Beberapa efek alkohol yang umum meliputi:

Efek Depresan: 
Alkohol adalah zat depresan, yang berarti bahwa dapat menekan aktivitas sistem saraf pusat. Ini dapat menyebabkan perasaan rileks, penurunan inhibisi, dan pengurangan koordinasi motorik.

Efek Psikoaktif: 
Alkohol juga memiliki efek psikoaktif, yang dapat menyebabkan perubahan suasana hati, seperti euforia atau depresi, serta perubahan persepsi, pemikiran, dan perilaku.

Efek Fisik: 
Konsumsi alkohol dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan efek fisik yang tidak diinginkan, termasuk mual, muntah, sakit kepala, penglihatan kabur, kelelahan, dan bahkan kehilangan kesadaran. Pada dosis yang sangat tinggi, alkohol dapat menyebabkan keracunan alkohol, yang dapat mengancam jiwa.

Ketergantungan: 
Penggunaan alkohol yang berkepanjangan dan berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis, yang dapat mengakibatkan penarikan alkohol yang berat dan masalah kesehatan jangka panjang.

Ketika dikonsumsi dengan bijaksana dan dalam jumlah yang moderat, alkohol dapat dinikmati sebagai bagian dari pengalaman sosial atau sebagai cara untuk bersantai. Namun, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat berisiko dan dapat menyebabkan masalah kesehatan dan sosial yang serius. Oleh karena itu, penting untuk mengonsumsi alkohol dengan bertanggung jawab dan memperhatikan batas aman yang direkomendasikan.

Meskipun alkohol boleh dikonsumsi dalam jumlah sedang, sangat penting untuk berhati-hati terhadap konsumsi alkohol pada populasi lanjut usia. Mencampur alkohol dengan obat yang diresepkan dapat mengurangi efektivitasnya atau menyebabkan efek samping yang serius. 

Alkohol juga dapat menurunkan tekanan darah dan gula, sehingga meningkatkan masalah kesehatan utama pada lansia. Demi keamanan maksimal, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan panduan individu jika ingin mengonsumsi alkohol.

Makanan Keras:
Makanan keras atau alot dapat menjadi sulit untuk dikonsumsi oleh lansia karena beberapa alasan, termasuk:

Resiko Tersedak: Lansia mungkin memiliki kesulitan menelan atau mengunyah makanan yang keras atau alot. Potongan makanan yang besar atau keras dapat meningkatkan risiko tersedak, yang merupakan masalah serius yang dapat menyebabkan sumbatan saluran napas dan bahkan kematian.

Masalah Kesehatan Gigi dan Mulut: Lansia sering mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, seperti gigi yang rapuh, kerusakan gigi, atau nyeri gusi. Makan makanan keras atau alot dapat menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang meningkat pada gigi dan gusi yang sensitif.

Pencernaan yang Lambat: Fungsi pencernaan cenderung melambat seiring bertambahnya usia. Makanan keras atau alot dapat sulit dicerna oleh sistem pencernaan yang lambat, yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti perut kembung, gas, atau konstipasi.

Resiko Cedera: Lansia mungkin mengalami penurunan kekuatan fisik atau koordinasi, yang dapat meningkatkan risiko cedera saat mencoba mengunyah makanan yang keras atau alot. Potensi risiko termasuk patah gigi, cedera pada mulut atau tenggorokan, atau bahkan cedera pada rahang.

Disarankan bagi lansia untuk memilih makanan yang lembut, mudah dikunyah, dan mudah dicerna. Ini termasuk makanan seperti bubur, sup, sayuran lembut, buah-buahan yang matang, daging yang dimasak dengan lembut, dan makanan yang dipotong menjadi potongan kecil. Penting juga untuk memastikan bahwa makanan yang disajikan tidak terlalu panas, karena lansia mungkin lebih rentan terhadap luka bakar pada mulut dan tenggorokan.

Makanan keras umumnya memiliki tekstur yang padat dan memerlukan usaha ekstra untuk mengunyah dan mencerna. 
Berikut adalah beberapa contoh makanan keras:

Kacang: Contohnya termasuk kacang tanah, kacang almond, kacang mete, dan kacang lainnya yang biasanya memiliki tekstur yang keras dan renyah.

Biji-bijian: Biji-bijian seperti biji bunga matahari, biji labu, dan biji wijen juga termasuk dalam kategori makanan keras.

Kerupuk: Kerupuk, seperti kerupuk udang, kerupuk ikan, atau kerupuk lainnya, memiliki tekstur yang keras dan seringkali renyah.

Kue Kering: Beberapa jenis kue kering, terutama yang renyah dan keras, seperti biskuit gandum atau kue bawang, juga dapat dianggap sebagai makanan keras.

Roti Kering: Roti yang telah mengeras atau roti kering memiliki tekstur yang keras dan dapat sulit untuk dikunyah.

Buah Kering: Beberapa buah kering, seperti kurma atau aprikot kering, memiliki tekstur yang keras dan lengket.

Keripik: Keripik kentang, keripik jagung, atau keripik lainnya yang diproses dengan cara digoreng atau dipanggang hingga renyah dapat termasuk dalam kategori makanan keras.

Permen Keras: Permen keras, seperti permen karet atau permen berisi, juga dapat diklasifikasikan sebagai makanan keras karena mereka membutuhkan usaha ekstra untuk mengunyah.

Makanan keras ini umumnya dapat menjadi pilihan yang kurang sesuai untuk lansia atau individu dengan masalah kesehatan tertentu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengunyah dan mencerna makanan dengan baik. Oleh karena itu, disarankan untuk menghindari makanan ini atau memilih alternatif yang lebih lembut dan mudah dicerna.

Jeruk Bali
Grapefruit adalah jenis buah sitrus yang berasal dari keluarga Rutaceae dan merupakan salah satu jenis jeruk. Buah ini dikenal karena rasa asamnya yang khas dengan sentuhan manis, serta aroma yang segar. Grapefruit memiliki warna kulit yang bervariasi dari kuning muda hingga merah muda, tergantung pada varietasnya.

Buah grapefruit umumnya berukuran sedang hingga besar, dengan daging buah yang berwarna kuning atau merah muda tergantung pada jenisnya. Rasa grapefruit bisa sangat asam atau sedikit manis, tergantung pada varietasnya dan tingkat kematangannya.

Grapefruit sering dikonsumsi sebagai buah segar, baik langsung dimakan atau dijadikan sebagai bahan dalam salad buah, minuman jus, atau makanan penutup. Selain itu, beberapa varietas grapefruit juga digunakan dalam pembuatan minuman ringan, selai, atau bahan masakan lainnya.

Selain rasanya yang segar dan manfaat gizinya, grapefruit juga terkenal karena kandungan nutrisinya yang kaya akan vitamin C, serat, dan antioksidan. Grapefruit juga diketahui mengandung senyawa-senyawa yang disebut flavonoid, yang memiliki potensi manfaat kesehatan seperti perlindungan terhadap penyakit jantung dan anti-inflamasi.

Grapefruit dapat berinteraksi dengan beberapa obat.
(Sumber: foto canva.com)
Grapefruit dapat berinteraksi dengan beberapa obat-obatan, termasuk obat kardiovaskular, antidepresan, dan obat penurun kolesterol. Interaksi ini dapat memengaruhi cara tubuh memetabolisme obat tersebut dan meningkatkan risiko efek samping yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, bagi mereka yang mengonsumsi obat-obatan, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi sebelum mengonsumsi grapefruit secara teratur.

Grapefruit memiliki banyak manfaat nutrisi, namun sayangnya, jeruk bali dapat mengganggu banyak pengobatan yang mungkin dikonsumsi oleh lansia. Jangan berasumsi Anda bisa meminumnya pada waktu yang berbeda dalam sehari, meskipun meminum obat dan produk jeruk bali pada waktu yang berbeda tidak menghentikan interaksi yang berpotensi membahayakan. Grapefruit dapat menyebabkan obat bertahan lebih lama atau lebih pendek di sistem tubuh sehingga dapat memengaruhi efektivitasnya.

Demikian makanan yang sebaiknya dibatasi atau dihindari oleh lansia karena memiliki risiko yang buruk pada kesehatan lansia. Konsultasi kepada medis, dokter  atau ahli kesehatan bila akan memakannya.



Sumber:



No comments:

Post a Comment