Monday, 10 February 2025

Kenapa Banyak Lansia Merasa Ditinggalkan Setelah Anaknya Berkeluarga?

       Seiring berjalannya waktu, anak-anak yang dulu bergantung sepenuhnya pada orang tua akhirnya tumbuh dewasa dan membangun kehidupan mereka sendiri. Bagi lansia, perubahan ini sering kali menghadirkan berbagai tantangan, baik secara emosional, sosial, maupun finansial. Namun, dengan pemahaman yang bijak, hubungan yang harmonis tetap bisa terjaga.

Tantangan yang Dihadapi Lansia

1. Perubahan Peran dalam Keluarga

Dulu, orang tua adalah pusat kehidupan anak. Namun, setelah anak menikah dan berkeluarga, prioritas mereka berubah. Lansia sering kali merasa kehilangan peran pentingnya dalam keluarga dan tidak lagi dibutuhkan seperti dulu. Perasaan ini bisa menimbulkan kesepian dan rasa kurang dihargai.

Peran orang tua berubah setelah anaknya berkeluarga.
(Sumber: foto file)

2. Kesepian dan Kurangnya Perhatian

Anak yang sibuk dengan kehidupan baru mereka—pasangan, pekerjaan, dan anak-anak—kadang-kadang membuat lansia merasa ditinggalkan. Apalagi jika anak tinggal jauh, komunikasi bisa menjadi semakin jarang. Ketidakhadiran mereka dapat menimbulkan rasa kesepian yang mendalam bagi orang tua.

3. Hubungan dengan Menantu

Tidak semua orang tua memiliki hubungan yang harmonis dengan menantu mereka. Perbedaan pola pikir dan gaya hidup dapat menyebabkan gesekan. Selain itu, beberapa menantu mungkin merasa tidak nyaman jika orang tua terlalu sering ikut campur dalam rumah tangga mereka, yang bisa menimbulkan jarak emosional antara lansia dan anak.

4. Masalah Finansial dan Ketergantungan Ekonomi

Tidak semua lansia memiliki tabungan atau pensiun yang cukup. Beberapa di antaranya bergantung pada anak untuk biaya hidup mereka. Namun, tidak semua anak mampu atau mau menanggung kebutuhan finansial orang tua, yang bisa menjadi sumber konflik dan kekhawatiran.

5. Kesehatan dan Kemandirian yang Menurun

Seiring bertambahnya usia, lansia lebih rentan terhadap penyakit kronis dan membutuhkan lebih banyak perawatan. Beberapa juga mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, sementara anak-anak mereka mungkin tidak selalu bisa merawat mereka secara langsung. Topik seperti perawatan lansia dan kemungkinan tinggal di panti jompo pun sering menjadi hal yang sensitif untuk dibicarakan.

Cara Mengatasi Tantangan Ini

1. Menerima Perubahan dengan Bijak

Lansia perlu memahami bahwa anak kini memiliki kehidupan dan tanggung jawab sendiri. Bukan berarti mereka melupakan orang tua, tetapi prioritas mereka berubah. Oleh karena itu, penting untuk bersikap fleksibel dan tidak terlalu menuntut perhatian dari anak.

2. Menjaga Komunikasi yang Sehat

Orang tua bisa tetap berkomunikasi dengan anak tanpa terkesan mengatur atau menuntut. Menggunakan teknologi seperti telepon atau video call bisa membantu menjaga kedekatan meskipun tinggal berjauhan. Selain itu, menjadi pendengar yang baik bagi anak akan memperkuat hubungan tanpa membuat mereka merasa tertekan.

3. Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental

Tetap aktif dalam berbagai kegiatan bisa membantu lansia menjalani hari-hari mereka dengan lebih bermakna. Bergabung dengan komunitas lansia, berkebun, atau melakukan olahraga ringan dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan emosional.

4. Menjalin Hubungan Harmonis dengan Keluarga Anak

Alih-alih mengkritik atau mengatur kehidupan anak dan menantu, lebih baik membangun hubungan yang suportif. Menjadi kakek atau nenek yang menyenangkan bagi cucu juga bisa memberikan kebahagiaan tersendiri dan mempererat ikatan keluarga.

5. Menemukan Makna Baru dalam Hidup

Menjalani hidup dengan ikigai—konsep Jepang tentang menemukan tujuan hidup—dapat membantu lansia tetap merasa bermanfaat dan berharga. Ikigai bisa berupa menyalurkan pengalaman kepada generasi muda, membantu komunitas, atau sekadar menikmati hobi yang selama ini tertunda.

        Tantangan yang dihadapi lansia dalam menghadapi anak yang sudah berkeluarga memang kompleks, tetapi dapat dikelola dengan sikap yang bijak. Dengan memahami perubahan peran, menjaga komunikasi, dan tetap aktif secara sosial serta finansial, lansia dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan harmonis. 

Kehidupan terus berubah, dan yang terpenting adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dengan hati yang lapang dan pikiran yang positif.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8611109/

https://www.elderly.gov.hk/english/healthy_ageing/healthy_living/adultchildrennchildren.html

https://www.agingcare.com/articles/parents-living-with-adult-children-152285.htm

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13229400.2024.2363785

https://arborcounselingcenter.com/aging-parents-and-adult-children-the-challenge-of-changing-roles/



Friday, 7 February 2025

Hidup Tanpa Beban: Cara Lansia Melawan Pengulangan Pikiran Negatif

       Pengulangan pemikiran negatif adalah pola mental di mana seseorang terus-menerus memikirkan atau membesar-besarkan hal-hal yang dianggap buruk, tidak menyenangkan, atau mengancam. Pola ini sering disebut sebagai ruminasi negatif, yang cenderung berputar tanpa solusi jelas. Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik lansia.

Ruminasi negatip sering terjadi pada siapa saja termasuk lansia.
(Sumber: foto Sapto)
Karakteristik Pengulangan Pemikiran Negatif
  1. Berulang dan Tidak Produktif
    Pikiran negatif terus muncul tanpa ada upaya mencari solusi. Misalnya: "Kenapa hidup saya sulit?" atau "Saya pasti akan semakin sakit."

  2. Berfokus pada Hal-hal Negatif
    Lansia cenderung lebih sering mengingat kesalahan, kegagalan, atau masalah dibandingkan melihat sisi positif dari kehidupannya.

  3. Bersifat Pesimis
    Pandangan terhadap masa depan atau situasi saat ini dipenuhi dengan pesimisme.

  4. Menjadi Kebiasaan
    Semakin sering terjadi, semakin sulit untuk menghentikan pola pikir ini, terutama jika sudah berlangsung dalam waktu lama.

Penyebab Pengulangan Pemikiran Negatif pada Lansia

  1. Perubahan Hidup
    Kehilangan pasangan, pensiun, atau penurunan kesehatan sering kali menjadi pemicu pikiran negatif.

  2. Kesepian atau Isolasi Sosial
    Kurangnya interaksi sosial membuat lansia lebih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal negatif.

  3. Pengalaman Masa Lalu
    Kenangan buruk atau trauma yang belum terselesaikan bisa terus muncul dalam pikiran.

  4. Gangguan Mental
    Depresi dan kecemasan dapat memperparah ruminasi negatif.

  5. Penurunan Fungsi Kognitif
    Lansia dengan gangguan memori atau demensia lebih sulit mengontrol pikiran negatif mereka.

Dampak Pengulangan Pemikiran Negatif pada Lansia

  1. Kesehatan Mental
    Memicu stres, kecemasan, dan depresi, serta menurunkan rasa percaya diri.

  2. Kesehatan Fisik
    Stres berkepanjangan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit seperti hipertensi dan penyakit jantung.

  3. Hubungan Sosial
    Lansia dengan pola pikir negatif cenderung menarik diri dari orang lain, yang semakin memperparah isolasi sosial.

  4. Kualitas Hidup
    Pikiran negatif dapat mengurangi kebahagiaan dan motivasi untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna.

Cara Mengatasi Pengulangan Pemikiran Negatif

  1. Meningkatkan Kesadaran Diri
    Bantu lansia mengenali kapan mereka mulai terjebak dalam pikiran negatif.

  2. Alihkan Perhatian
    Dorong mereka untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan, seperti berkebun, membaca, atau berjalan santai.

  3. Latihan Relaksasi
    Teknik seperti meditasi, pernapasan dalam, atau yoga dapat membantu menenangkan pikiran.

  4. Dukungan Sosial
    Kehadiran teman, keluarga, atau komunitas dapat membantu mengurangi rasa kesepian.

  5. Terapi Psikologis
    Terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat membantu lansia mengubah pola pikir negatif menjadi lebih sehat.

  6. Praktik Rasa Syukur
    Mendorong lansia untuk mencatat hal-hal baik dalam hidup mereka, misalnya melalui jurnal rasa syukur.

Pengulangan pemikiran negatif memang bisa menjadi tantangan bagi lansia, tetapi dengan pendekatan yang tepat—dukungan sosial, teknik relaksasi, dan terapi—mereka dapat mengatasinya. Dengan perhatian dan bimbingan yang baik, lansia dapat menjalani hidup dengan lebih bahagia dan seimbang.



Sumber:

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7547434 

https://dergipark.org.tr/en/download/article-file/1455835

https://www.dovepress.com/associations-between-repetitive-negative-thinking-and-objective-and-su-peer-reviewed-fulltext-article-NSS

https://www.ucl.ac.uk/news/2020/jun/repetitive-negative-thinking-linked-dementia-risk

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10928915/

Wednesday, 5 February 2025

Bukan Sekadar Lelah! Hipoglikemia Bisa Bikin Lansia Terjatuh dan Berbahaya

        Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar gula darah (glukosa) dalam tubuh turun di bawah batas normal, biasanya di bawah 70 mg/dL. Glukosa merupakan sumber energi utama bagi tubuh, terutama otak, sehingga jika kadarnya terlalu rendah, berbagai gejala bisa muncul.

Durasi olahraga untuk lansia, 20-30 menit per sesi.
(Sumber: foto Dewkom)

Mengapa Lansia Rentan Mengalami Hipoglikemia?

Seiring bertambahnya usia, tubuh mengalami berbagai perubahan yang memengaruhi metabolisme gula darah. Hal ini membuat lansia lebih rentan terhadap hipoglikemia. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini bisa berbahaya dan meningkatkan risiko jatuh serta cedera serius.

Gejala Hipoglikemia pada Lansia

Beberapa tanda umum hipoglikemia yang perlu diwaspadai, antara lain: 

✅ Gemetar atau tubuh lemas
✅ Pusing atau kebingungan
✅ Keringat dingin
✅ Jantung berdebar
✅ Rasa lapar berlebihan
✅ Penglihatan kabur
✅ Kehilangan kesadaran (pada kasus yang parah)

Penyebab Hipoglikemia pada Lansia

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan lansia mengalami hipoglikemia, di antaranya:

1. Penggunaan Obat Diabetes

Lansia yang menggunakan insulin atau obat oral seperti sulfonilurea (misalnya glibenklamid, glimepirid) berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia, terutama jika dosisnya tidak sesuai atau lupa makan setelah minum obat.

2. Pola Makan Tidak Teratur

Banyak lansia mengalami penurunan nafsu makan, lupa makan, atau memiliki pola makan yang tidak teratur. Hal ini menyebabkan gula darah turun drastis.

3. Gangguan Fungsi Hati dan Ginjal

Hati dan ginjal berperan dalam mengatur kadar gula darah. Jika fungsinya menurun akibat penuaan atau penyakit, tubuh akan kesulitan menjaga kadar gula tetap stabil.

4. Penurunan Cadangan Energi

Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami penurunan massa otot dan lemak tubuh yang berfungsi sebagai cadangan energi. Hal ini membuat mereka lebih mudah mengalami hipoglikemia.

5. Gangguan Hormonal

Hormon glukagon dan adrenalin, yang berfungsi menaikkan kadar gula darah, bisa menurun pada lansia. Akibatnya, tubuh lebih sulit mengatasi hipoglikemia.

6. Penyakit Kronis

Penyakit seperti demensia, penyakit jantung, atau kanker dapat mengganggu metabolisme glukosa dan meningkatkan risiko hipoglikemia.

7. Konsumsi Alkohol Berlebihan

Alkohol dapat menghambat produksi glukosa di hati, terutama jika dikonsumsi tanpa makanan yang cukup.

Olahraga dan Hipoglikemia pada Lansia

Olahraga sangat baik untuk kesehatan lansia, tetapi jika tidak dilakukan dengan benar, bisa meningkatkan risiko hipoglikemia. Berikut beberapa alasan mengapa olahraga bisa menyebabkan kadar gula darah turun drastis:

Meningkatkan Penggunaan Glukosa oleh Otot
Saat berolahraga, tubuh menggunakan lebih banyak glukosa untuk energi. Jika tidak ada asupan makanan yang cukup, hipoglikemia bisa terjadi.

Efek Obat Diabetes + Olahraga
Lansia yang menggunakan obat diabetes (seperti insulin atau sulfonilurea) berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia, terutama jika olahraga dilakukan dalam waktu lama atau intensitas tinggi.

Tidak Makan Sebelum Olahraga
Berolahraga dalam keadaan perut kosong bisa membuat kadar gula darah turun drastis.

Respon Hormonal yang Lebih Lambat
Hormon yang membantu menaikkan gula darah seperti glukagon dan adrenalin mungkin tidak bekerja seefektif pada usia muda, sehingga tubuh lebih sulit menyeimbangkan kadar gula darah setelah olahraga.

Durasi atau Intensitas Olahraga Berlebihan
Olahraga yang terlalu lama atau berat dapat menyebabkan hipoglikemia jika tidak ada asupan energi tambahan selama atau setelah aktivitas.

Cara Mencegah Hipoglikemia Saat Olahraga untuk Lansia

Untuk tetap aktif tanpa risiko hipoglikemia, lansia dapat menerapkan beberapa langkah berikut:

Makan sebelum olahraga – Konsumsi camilan sehat seperti pisang, roti gandum, atau susu rendah lemak sebelum beraktivitas.
Pilih olahraga ringan hingga sedang – Seperti jalan kaki, yoga, atau senam lansia agar kadar gula darah tidak turun drastis.
Periksa kadar gula darah sebelum dan sesudah olahraga, terutama jika memiliki diabetes.
Batasi durasi olahraga – Idealnya 20-30 menit per sesi, tergantung kondisi tubuh.
Selalu bawa camilan manis – Seperti permen atau jus buah, untuk berjaga-jaga jika gejala hipoglikemia muncul.

Jika lansia mengalami keringat dingin, gemetar, pusing, atau lemas saat olahraga, segera hentikan aktivitas dan konsumsi makanan atau m inuman manis. Jika gejala tidak membaik, segera cari bantuan medis. \

Kesimpulan

       Hipoglikemia pada lansia bisa berbahaya jika tidak ditangani dengan baik. Faktor seperti penggunaan obat diabetes, pola makan tidak teratur, gangguan fungsi organ, hingga olahraga yang berlebihan dapat meningkatkan risiko. Oleh karena itu, penting bagi lansia untuk menjaga pola makan, berolahraga dengan aman, dan rutin memantau kadar gula darah agar tetap sehat dan terhindar dari risiko jatuh akibat hipoglikemia.


Sumber: