Thursday, 9 October 2025

BAU HANTU? Bukan! Ini Phantosmia pada Lansia.

        Selain parosmia (bau berubah menjadi bau lain), ada juga gangguan penciuman lain yang cukup sering dialami sebagian lansia, yaitu phantosmia. Kondisi ini membuat seseorang mencium bau tertentu padahal bau tersebut sebenarnya tidak ada di lingkungan sekitarnya.

Keluarga yang memiliki lansia harus memahami phantosmia.
(Sumber: foto grup)

Apa itu Phantosmia?

Phantosmia adalah persepsi penciuman palsu, yaitu munculnya sensasi mencium bau meskipun tidak ada sumber bau yang nyata. Bau yang tercium biasanya bersifat tidak menyenangkan, misalnya:

  • bau asap atau terbakar,

  • bau busuk atau kotoran,

  • bau bahan kimia seperti bensin atau cat.

Namun pada sebagian kecil kasus, bau yang tercium bisa netral atau bahkan menyenangkan.

Mengapa Lansia Rentan Mengalami Phantosmia?

  1. Perubahan Saraf Penciuman Akibat Penuaan
    Indra penciuman pada lansia mengalami penurunan fungsi. Kerusakan reseptor hidung atau jalur saraf ke otak dapat membuat otak “salah membaca” sinyal sehingga menciptakan bau palsu.

  2. Gangguan Neurologis

    • Penyakit Alzheimer dan Parkinson: phantosmia dapat menjadi gejala awal adanya gangguan otak degeneratif.

    • Epilepsi lobus temporal: pada beberapa kasus, serangan epilepsi memunculkan sensasi bau aneh sebelum kejang.

    • Stroke kecil (mikro-stroke) pada otak juga dapat merusak area pengolah penciuman.

  3. Infeksi atau Peradangan Hidung
    Sinusitis kronis, polip hidung, atau infeksi saluran napas dapat memicu aktivitas abnormal pada saraf penciuman yang menimbulkan phantosmia.

  4. Pengaruh Obat-obatan dan Zat Kimia
    Beberapa obat (misalnya antidepresan, antibiotik, atau obat jantung tertentu) dapat menimbulkan efek samping berupa bau palsu. Paparan asap rokok atau zat kimia juga bisa memperburuk kondisi ini.

Dampak Phantosmia pada Lansia

  • Gangguan nafsu makan: bau busuk yang terus tercium membuat makanan terasa tidak enak.

  • Stres psikologis: lansia merasa terganggu, sulit tidur, bahkan khawatir dianggap berhalusinasi.

  • Kualitas hidup menurun: bau yang tidak ada tetapi selalu terasa membuat lansia sulit menikmati aktivitas sehari-hari.

Contoh Kasus Nyata

Pak Budi, seorang pensiunan berusia 75 tahun, sering mengeluhkan mencium bau asap rokok di rumahnya padahal tidak ada seorang pun yang merokok. Bau itu muncul terutama di malam hari dan membuatnya sulit tidur. Keluarga awalnya mengira Pak Budi berhalusinasi. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata ia mengalami phantosmia akibat sinusitis kronis dan gangguan kecil pada saraf penciuman.

Dengan terapi obat sinusitis dan latihan penciuman, gejala phantosmia Pak Budi berangsur membaik, meskipun butuh waktu beberapa bulan.

Cara Mengatasi Phantosmia

  1. Konsultasi ke Dokter THT atau Neurolog
    Penting untuk mencari penyebab utama. Jika phantosmia disebabkan infeksi hidung, maka terapi infeksi dapat membantu. Bila berkaitan dengan saraf, perlu evaluasi lebih lanjut.

  2. Latihan Penciuman (Olfactory Training)
    Sama seperti pada parosmia, latihan mencium aroma tertentu (misalnya lemon, kayu putih, mawar, cengkeh) secara rutin dapat melatih otak mengatur ulang persepsi penciuman.

  3. Manajemen Psikologis

    • Edukasi keluarga agar memahami kondisi ini bukan sekadar “halusinasi”.

    • Dukungan emosional penting agar lansia tidak merasa dikucilkan.

  4. Pengaturan Lingkungan
    Hindari paparan asap, bahan kimia, dan bau menyengat yang bisa memperparah gejala.

Kesimpulan

Phantosmia pada lansia merupakan kondisi ketika seseorang mencium bau yang sebenarnya tidak ada. Penyebabnya beragam, mulai dari penuaan alami, infeksi hidung, efek obat, hingga penyakit saraf seperti Parkinson atau Alzheimer. Walau tidak mengancam jiwa secara langsung, phantosmia dapat menurunkan kualitas hidup lansia jika tidak ditangani dengan baik. Dukungan keluarga, pemeriksaan medis, dan latihan penciuman dapat membantu mengurangi keluhan ini.

Pernahkah Anda mengalami Phantosmia? Ceritakan pengalaman Anda!





 Sumber:

  • Leopold, D. A. (2002). Distortion of olfactory perception: Diagnosis and treatment. Chemical Senses, 27(7), 611–615.

  • Landis, B. N., Frasnelli, J., & Hummel, T. (2005). Disorders of olfaction: The impact on quality of life. Chemical Senses, 30(1), i-73.

  • Doty, R. L. (2017). Olfactory dysfunction in neurodegenerative diseases: Is there a common pathological substrate? The Lancet Neurology, 16(6), 478–488.

  • National Institute on Aging. (2022). Sensory Changes with Aging. NIH.

  • Reden, J., Maroldt, H., Fritz, A., Zahnert, T., & Hummel, T. (2007). A study on the prognostic significance of qualitative olfactory dysfunction. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 264(2), 139–144.

Tuesday, 7 October 2025

Rahasia Tenang di Usia Senja: Manfaat Merenung yang Tak Banyak Diketahui

       Di usia senja, banyak orang merasa hidup berjalan lebih lambat. Aktivitas tak sepadat dulu, anak-anak sudah mandiri, sementara tubuh juga tak sekuat ketika muda. Dalam kesunyian itu, sering kali muncul satu kegiatan yang alami: merenung.

Namun, apa sebenarnya merenung itu? Apakah selalu baik, atau justru bisa berbahaya jika berlebihan?

Ilustrasi kegiatan merenung dilakukan lansia.
(Sumber: foto forum 99)

Apa Itu Merenung?

Merenung adalah saat kita berhenti sejenak dari kesibukan, lalu memikirkan sesuatu dengan tenang dan mendalam. Kadang tentang masa lalu, kenangan, atau sekadar merenungi makna hidup.

Berbeda dengan “lamun kosong”, merenung justru bisa menjadi sarana untuk memahami diri, mendekat pada Tuhan, dan menemukan kembali semangat hidup.

Manfaat Merenung

Banyak penelitian menunjukkan bahwa merenung dengan cara yang tepat bermanfaat besar bagi kesehatan mental lansia:

  • Menenangkan hati: rasa cemas dan stres berkurang.

  • Meningkatkan kesadaran diri: lebih mudah memahami kelemahan dan kelebihan diri.

  • Membantu mengambil keputusan: tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.

  • Menguatkan spiritual: memperdalam syukur dan doa.

  • Mengusir sepi: saat merenung, jiwa terasa ditemani oleh kenangan dan harapan.

Saat Merenung Jadi Beban

Meski bermanfaat, merenung yang terlalu lama tanpa arah bisa membawa risiko:

  • Pikiran jadi berputar-putar (overthinking).

  • Muncul rasa takut berlebihan akan masa depan.

  • Menjadi sedih terus menerus karena mengingat masa lalu.

  • Sulit tidur karena pikiran tak berhenti bekerja.

  • Enggan bersosialisasi karena terlalu larut dalam pikiran sendiri.

Tips Merenung yang Sehat

Agar merenung menjadi sahabat jiwa, lakukan dengan cara sederhana:

  1. Pilih waktu yang tenang – pagi hari setelah bangun, atau malam sebelum tidur.

  2. Batasi waktu – cukup 10–15 menit, jangan sampai terlalu lama.

  3. Fokus pada hal positif – renungkan syukur, doa, atau pelajaran hidup.

  4. Tulis renungan – catat dalam buku harian agar pikiran lebih ringan.

  5. Seimbangkan dengan aktivitas – setelah merenung, bergeraklah: berjalan, membaca, atau bercengkerama dengan keluarga.

  6. Berbagi cerita – bila renungan terasa berat, bicarakan pada orang terdekat..

Penutup

Merenung adalah anugerah di usia senja. Ia bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan, kedamaian hati, dan rasa syukur mendalam. Namun ingat, jangan biarkan merenung berubah menjadi jerat kesedihan. Dengan cara yang sehat, merenung akan menjadi sahabat setia yang menemani perjalanan hidup hingga akhir.




Sumber:

1. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Books.

2. Brown, B. (2010). The Gifts of Imperfection: Let Go of Who You Think You're Supposed to Be and Embrace Who You Are. Minnesota: Hazelden Publishing.

3. Nolen-Hoeksema, S., Wisco, B. E., & Lyubomirsky, S. (2008). Rethinking Rumination. Perspectives on Psychological Science, 3(5), 400–424.

4. Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research, Practice. New York: Guilford Press.

5. Teasdale, J. D., Segal, Z. V., & Williams, J. M. G. (1995). How Does Cognitive Therapy Prevent Depressive Relapse and Why Should Attentional Control (Mindfulness) Training Help? Behaviour Research and Therapy, 33(1), 25–39.

6. Tice, D. M., & Baumeister, R. F. (1993). Controlling Anger: Self-Induced Emotion Change. Journal of Personality and Social Psychology, 63(3), 408–419.

7. Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. New York: Basic Books.

 

Sunday, 5 October 2025

Sistem Limbik: Sahabat Tersembunyi Otak yang Menjaga Lansia Tetap Bahagia

       Banyak orang mengenal otak sebagai pusat berpikir. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa ada bagian khusus dalam otak yang menjadi “rumah” bagi emosi, ingatan, dan rasa bahagia—yaitu sistem limbik. Bagi lansia, memahami sistem limbik bukan sekadar ilmu, melainkan bekal penting untuk menjaga kualitas hidup.

Ilustrasi lansia yang sedang berbahagia.
(Sumber: foto rek.ai)

Apa itu Sistem Limbik?

Sistem limbik adalah jaringan kompleks di dalam otak yang berperan penting dalam mengatur emosi, motivasi, ingatan, dan perilaku sosial. Bisa dibilang, inilah “pusat emosi” manusia.
Kalau otak kita ibarat komputer, sistem limbik adalah bagian yang memberi warna perasaan, bukan sekadar hitungan logis.

Mengapa Penting Bagi Lansia?

  1. Penjaga Memori
    Seiring bertambahnya usia, daya ingat sering menurun. Hipokampus, bagian dari sistem limbik, sangat berperan dalam menyimpan kenangan. Melatih otak dengan aktivitas sederhana—seperti membaca, menulis, atau bercerita—dapat membantu memperlambat pelupa.

  2. Pengatur Emosi
    Perasaan cemas, marah, atau sedih sering datang tanpa alasan jelas. Dengan memahami bahwa amigdala di sistem limbik yang mengatur emosi, lansia dapat lebih mudah menerima perubahan suasana hati dan mencari cara menenangkan diri, misalnya lewat relaksasi atau doa.

  3. Sumber Kebahagiaan Alami
    Sistem limbik terhubung dengan hormon kebahagiaan seperti dopamin dan serotonin. Jalan santai di pagi hari, bercengkerama dengan cucu, atau sekadar menikmati musik dapat merangsang hormon ini. Hasilnya, hati terasa lebih ringan.

  4. Pencegah Stres dan Depresi
    Stres kronis dapat melemahkan sistem limbik, membuat lansia lebih rentan terhadap depresi. Menjaga gaya hidup sehat dan berinteraksi dengan orang-orang terdekat membantu otak tetap seimbang.

  5. Menguatkan Ikatan Sosial
    Sistem limbik juga berperan dalam kasih sayang dan hubungan sosial. Lansia yang sering bersosialisasi dan merasa dicintai cenderung memiliki kesehatan otak yang lebih baik, sekaligus terhindar dari kesepian.

       Menjaga sistem limbik pada lansia sangat penting, karena sistem ini berperan besar dalam emosi, memori, motivasi, dan keseimbangan suasana hati. Saat seseorang menua, fungsi sistem limbik cenderung menurun akibat perubahan biologis pada otak, stres kronis, atau gaya hidup yang kurang sehat.

Cara Menjaga Sistem Limbik pada Lansia:

1. Aspek Biologis: Menjaga Kesehatan Otak Secara Fisik

a. Nutrisi untuk sistem limbik

  • Omega-3 (dari ikan laut seperti salmon, sarden, atau minyak ikan) membantu menjaga koneksi saraf (sinapsis).

  • Antioksidan (vitamin C, E, dan polifenol dari buah beri, teh hijau, sayuran hijau) melindungi sel otak dari radikal bebas.

  • Kurangi gula berlebih dan makanan ultra-proses, karena dapat mempercepat peradangan otak (neuroinflammation).

  • Konsumsi cukup air karena dehidrasi ringan saja dapat menurunkan fungsi memori dan emosi.

b. Tidur cukup dan berkualitas

Tidur adalah waktu otak memperbaiki jaringan dan membersihkan zat sisa metabolik (melalui sistem glinfatik). Kurang tidur dapat merusak keseimbangan emosional dan menurunkan kerja hippocampus (bagian dari sistem limbik).
➡️ Disarankan: 7–8 jam tidur malam yang tenang dan teratur.

c. Aktivitas fisik rutin

Gerakan ringan seperti jalan kaki, senam lansia, atau yoga meningkatkan aliran darah ke otak, merangsang neuroplastisitas, dan menurunkan hormon stres (kortisol).
➡️ Ideal: 30 menit per hari, 5 hari seminggu.

2. Aspek Psikologis: Menyeimbangkan Emosi dan Pikiran

a. Latihan kesadaran dan meditasi

Kegiatan seperti dzikir, doa tenang, atau meditasi ringan menurunkan aktivitas amigdala (pusat ketakutan), memperkuat koneksi antara korteks prefrontal dan sistem limbik — membuat emosi lebih stabil.

b. Hindari stres kronis

Stres lama meningkatkan hormon kortisol yang dapat mengecilkan hippocampus, bagian otak yang mengatur memori dan pembelajaran.
➡️ Solusi: latihan pernapasan, relaksasi, aktivitas hobi, atau berbicara dengan orang yang dipercaya.

c. Melatih ingatan dan kreativitas

Kegiatan seperti membaca, menulis, menggambar, bermain musik, atau belajar bahasa baru menstimulasi sistem limbik dan memperlambat penurunan kognitif.

3. Aspek Sosial dan Spiritual: Penguatan Makna Hidup

  • Bersosialisasi aktif (bertemu teman, ikut kegiatan komunitas, atau majelis ilmu) menjaga produksi hormon oksitosin yang menenangkan sistem limbik.

  • Rasa syukur dan ibadah teratur dapat menurunkan kecemasan dan meningkatkan keseimbangan emosi.

  • Memiliki tujuan hidup (ikigai) memberi makna dan motivasi — memperkuat bagian limbik yang mengatur semangat dan keinginan untuk bertahan hidup.

4. Pemeriksaan dan Deteksi Dini

Jika lansia sering mengalami:

  • mudah marah atau cemas tanpa sebab,

  • sering lupa,

  • menarik diri dari lingkungan,

  • atau perubahan mood ekstrem,
    maka sebaiknya konsultasi ke dokter saraf atau psikiater geriatri, karena bisa jadi ada gangguan pada sistem limbik (misal: depresi, demensia, atau gangguan stres kronis).

Penutup

         Memahami sistem limbik memberi lansia kesempatan untuk menjaga ingatan, mengatur emosi, dan meraih kebahagiaan. Otak bukan hanya mesin berpikir, tetapi juga sahabat setia yang menyimpan rasa cinta, kenangan indah, dan semangat hidup.






Sumber:

1. Bear, M. F., Connors, B. W., & Paradiso, M. A. (2020). Neuroscience: Exploring the Brain (4th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

2. LeDoux, J. E. (2000). Emotion circuits in the brain. Annual Review of Neuroscience, 23, 155–184.

3. Rolls, E. T. (2015). Limbic systems for emotion and memory, with special reference to the hippocampal formation. Cortex, 62, 119–157.

4. Aggleton, J. P. (2012). The Amygdala: A Functional Analysis (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

5. Dalgleish, T. (2004). The emotional brain. Nature Reviews Neuroscience, 5(7), 583–589.

6. LeDoux, J. E. (2012). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. Simon & Schuster.

7. Sapolsky, R. M. (2017). Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst. Penguin.