Tuesday, 30 April 2024

Hati-hati, Melamun atau Merenung pada lansia.

        Manusia sering kali terlibat dalam pikiran dan perasaan yang dihasilkan sendiri, bukan bergantung pada stimulus, seperti melamun. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu, melamun dikaitkan dengan efek buruk pada kognisi. Melamun dan merenung adalah dua kegiatan mental yang serupa namun memiliki perbedaan halus dalam konteksnya.

Melamun dan merenung memiliki perbedaan yang halus.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
Melamun biasanya merujuk pada aktivitas mental yang terjadi ketika seseorang membiarkan pikirannya melayang tanpa tujuan atau fokus yang jelas. Ini sering kali terjadi secara spontan tanpa disadari, dan pikiran seseorang mungkin melayang dari satu ide atau khayalan ke yang lain tanpa arah yang jelas. 
Melamun cenderung lebih terkait dengan imajinasi dan menghasilkan ide-ide kreatif, tetapi juga dapat membuat seseorang tidak terhubung dengan situasi yang sebenarnya.

Mereka mungkin menjadi begitu asyik dengan dunia batin mereka sehingga menjadi lebih sulit untuk membumi pada kenyataan. Karena sifat lamunan mereka yang menyita waktu dan mendalam, orang-orang mungkin akhirnya mengabaikan hubungan dan tanggung jawab mereka di dunia nyata, sehingga menyebabkan mereka mengalami tekanan emosional

Sementara itu, merenung adalah proses yang lebih disengaja dan terfokus secara mental. Saat seseorang merenung, mereka cenderung memikirkan atau mempertimbangkan secara mendalam tentang sesuatu, sering kali dengan tujuan pemahaman diri atau pemecahan masalah. Merenung melibatkan refleksi yang lebih mendalam, introspeksi, dan pemikiran yang terarah. Ini bisa menjadi proses yang lebih disiplin dan terstruktur daripada melamun.

Jadi, perbedaan utama antara melamun dan merenung terletak pada tingkat kesadaran dan arah pikiran yang terlibat. Melamun lebih tidak terarah dan spontan, sementara merenung lebih terfokus dan disengaja.

       Lansia mungkin cenderung melakukan baik melamun maupun merenung, tergantung pada individu dan situasi mereka. 

Beberapa faktor mungkin mempengaruhi kecenderungan melamun atau merenung pada lansia:

Pengalaman Hidup: 
Lansia sering memiliki pengalaman hidup yang kaya, yang dapat memicu refleksi mendalam dan pemikiran yang terarah. Dalam konteks ini, mereka mungkin lebih cenderung merenung untuk memahami dan membuat makna dari pengalaman hidup mereka.

Kesehatan Mental: 
Beberapa kondisi kesehatan mental yang terkait dengan usia lanjut, seperti depresi atau kecemasan, dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melamun atau merenung. Misalnya, seseorang yang mengalami depresi mungkin cenderung melamun secara negatif, sementara seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik mungkin lebih cenderung untuk merenung secara positif.

Lingkungan Sosial:
Faktor lingkungan seperti dukungan sosial dan aktivitas yang tersedia juga dapat memengaruhi apakah seseorang lebih cenderung melamun atau merenung. Misalnya, interaksi sosial yang terbatas atau kesepian dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk melamun, sementara partisipasi dalam kegiatan yang merangsang mental dan emosional dapat mendorong merenung yang lebih mendalam.

Kesepian meningkatkan kecenderungan melamun pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Perubahan Hidup:
Lansia sering menghadapi banyak perubahan dalam hidup mereka, seperti pensiun, kehilangan orang yang dicintai, atau masalah kesehatan. Perubahan-perubahan ini dapat memicu pemikiran yang mendalam tentang arti hidup dan tujuan, yang mungkin lebih cenderung menuju merenung.

       Baik merenung maupun melamun dapat menjadi tanda-tanda adanya penyakit pada lansia, tergantung pada konteks dan pola perilaku yang terjadi. 

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah:

Perubahan drastis dalam perilaku: 
Jika seorang lansia yang biasanya tidak melamun atau merenung tiba-tiba mulai melakukannya secara berlebihan atau dengan cara yang tidak biasa, ini bisa menjadi tanda perubahan dalam kesehatan mental mereka.

Perubahan mood yang signifikan: 
Melamun yang berlebihan atau merenung yang terus-menerus, terutama jika disertai dengan perasaan sedih, cemas, atau kebingungan yang tidak biasa, bisa menjadi tanda masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan.

Gangguan kognitif:
Pada beberapa kasus, melamun yang berlebihan atau merenung yang intens bisa menjadi tanda awal gangguan kognitif seperti penyakit Alzheimer atau jenis demensia lainnya. Ini bisa disertai dengan perubahan dalam kemampuan berpikir, memori, dan fungsi kognitif lainnya.

Isolasi sosial:
Jika seorang lansia lebih memilih untuk melamun atau merenung daripada terlibat dalam aktivitas sosial atau kegiatan yang mereka nikmati sebelumnya, ini juga bisa menjadi tanda masalah kesehatan mental atau gangguan kognitif.

Penurunan fungsi sehari-hari: 
Jika perilaku melamun atau merenung mengganggu kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan sehari-hari atau melakukan tugas-tugas yang diperlukan, ini juga bisa menjadi tanda adanya masalah kesehatan yang mendasarinya.

Jika tanda-tanda seperti ini pada seorang lansia, penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan mental untuk evaluasi lebih lanjut. Perubahan perilaku yang tidak biasa pada lansia sering kali memerlukan penilaian medis menyeluruh untuk menentukan penyebabnya dan merencanakan intervensi yang sesuai. Melamun atau merenung yang berlebihan pada lansia tidak selalu menyebabkan penyakit langsung. 

Beberapa perilaku ini bisa menjadi gejala dari kondisi kesehatan mental atau gangguan kognitif yang mendasari, seperti:

Depresi:
Lansia yang cenderung melamun atau merenung secara berlebihan mungkin mengalami depresi. Depresi pada lansia seringkali tidak terdiagnosis dengan baik karena gejalanya dapat tampak sebagai perubahan mood, kehilangan minat atau motivasi, serta isolasi sosial.

Kecemasan: 
Merenung berlebihan atau melamun yang terfokus pada pikiran-pikiran yang cemas dan khawatir bisa menjadi tanda kecemasan. Kecemasan pada lansia juga seringkali tidak terdiagnosis dengan baik karena gejalanya dapat dianggap sebagai bagian dari penuaan alami.

Stres: 
Melamun yang berlebihan bisa menjadi respons terhadap stres yang dialami lansia. Stres kronis dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik dan mental mereka.

Penyakit Alzheimer atau Demensia:
Pada beberapa kasus, melamun atau merenung yang intens dapat menjadi tanda awal penyakit Alzheimer atau jenis demensia lainnya. Perubahan perilaku seperti ini seringkali disertai dengan penurunan fungsi kognitif lainnya.

Gangguan tidur: 
Melamun atau merenung yang terjadi pada malam hari atau mengganggu tidur dapat menyebabkan gangguan tidur pada lansia, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental secara keseluruhan.

Perasaan Kesepian atau Isolasi Sosial:
Lansia yang merenung atau melamun secara berlebihan mungkin mengalami perasaan kesepian atau isolasi sosial, yang dapat memengaruhi kesehatan mental mereka secara keseluruhan.

       Mencegah merenung atau melamun berlebihan pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik, yang mencakup aspek kesehatan fisik, mental, sosial, dan lingkungan. 

Beberapa strategi yang dapat membantu mencegah merenung atau melamun berlebihan pada lansia:

Aktivitas Fisik: 
Mendorong lansia untuk tetap aktif secara fisik dapat membantu mengurangi waktu luang yang dapat diisi dengan merenung atau melamun. Berjalan-jalan, berkebun, atau berpartisipasi dalam kelas olahraga ringan dapat menjadi pilihan yang baik.

Kegiatan Sosial: 
Mendukung keterlibatan sosial lansia dalam kegiatan kelompok atau program komunitas dapat membantu mengurangi perasaan kesepian dan isolasi sosial yang mungkin memicu merenung atau melamun.

Keterlibatan lansia dalam kegiatan kelompok mengurangi kesepian.
(Sumber: foto canva.com)
Mengembangkan Hobi dan Minat:
Mendorong lansia untuk mengejar hobi atau minat yang mereka nikmati dapat memberikan pengalihan yang positif dari pemikiran yang berlebihan. Ini bisa termasuk seni, musik, membaca, atau kegiatan sukarela.

Stimulasi Mental:
Menjaga pikiran lansia tetap aktif dengan menawarkan teka-teki, permainan, atau aktivitas mental lainnya dapat membantu mencegah merenung atau melamun yang berlebihan.

Pentingnya Rencana Harian:
Membantu lansia untuk membuat jadwal harian yang terstruktur dan menentukan tujuan-tujuan yang realistis dapat membantu mengarahkan fokus mereka dan mengurangi kemungkinan merenung atau melamun.

Perawatan Kesehatan Mental: 
Mendukung lansia untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental jika mereka mengalami gejala depresi, kecemasan, atau gangguan kesehatan mental lainnya.

Menjaga Kesehatan Fisik: 
Memastikan bahwa lansia tetap sehat secara fisik dengan pola makan seimbang, istirahat yang cukup, dan kunjungan rutin ke dokter dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.

Dukungan Emosional: 
Memberikan dukungan emosional yang positif dan berkelanjutan kepada lansia, baik dari keluarga, teman, atau anggota komunitas, dapat membantu mereka mengatasi perasaan kesepian dan stres yang mungkin memicu merenung atau melamun.

Mencegah merenung atau melamun berlebihan pada lansia melibatkan pendekatan yang beragam dan memperhitungkan kebutuhan individu. Dengan memberikan dukungan yang tepat dan menciptakan lingkungan yang positif, kita dapat membantu meningkatkan kualitas hidup lansia dan meminimalkan risiko masalah kesehatan mental.



Sumber:







Monday, 29 April 2024

Batuk Kronis, Sumber Stres dan Beban Lansia untuk Beraktivitas.

         Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit umum yang dapat berdampak signifikan terhadap kualitas hidup, morbiditas, dan mortalitas populasi lanjut usia. PPOK merupakan penyakit multi komponen yang mempengaruhi sistem dan organ di luar paru-paru, seperti penurunan berat badan, disfungsi otot, dan penyakit kardiovaskular. 

Paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko kesehatan paru lansia.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

PPOK adalah kondisi paru-paru kronis yang ditandai oleh pembatasan aliran udara yang terjadi secara progresif. Pada lansia, PPOK bisa menjadi lebih sering terjadi dan lebih parah karena faktor-faktor seperti penurunan elastisitas paru-paru dan penurunan kekuatan otot pernapasan seiring dengan usia. 

PPOK meliputi dua kondisi utama, yaitu: bronkitis kronis, yang melibatkan peradangan dan pembengkakan saluran udara, dan emfisema, yang melibatkan kerusakan pada dinding alveoli (kantong udara di paru-paru). Gejalanya termasuk batuk kronis, sesak napas, dan produksi dahak yang berlebihan. 

PPOK pada lansia dapat menyebabkan gejala seperti batuk kronis, sesak napas, dan peningkatan risiko infeksi paru-paru. Perawatan yang tepat, seperti penggunaan obat-obatan, terapi oksigen, dan program rehabilitasi paru-paru, dapat membantu mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup lansia yang terkena PPOK.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada lansia dapat memiliki ciri-ciri yang serupa dengan PPOK pada kelompok usia lainnya, namun terkadang dapat lebih kompleks atau berat. 

Beberapa ciri-ciri PPOK pada lansia meliputi:

Batuk Kronis: 
Lansia dengan PPOK sering mengalami batuk kronis yang tidak mereda, terutama di pagi hari atau setelah aktivitas fisik.

Lansia dengan PPOK sering mengalami batuk Kronis.
(Sumber: foto canva.com)
Sesak Napas:
Kesulitan bernapas atau sesak napas sering terjadi, terutama saat melakukan aktivitas fisik atau dalam keadaan stres.

Penurunan Toleransi Terhadap Aktivitas Fisik:
Lansia dengan PPOK mungkin menemukan bahwa mereka lebih cepat lelah atau tidak mampu melakukan aktivitas fisik seperti yang mereka lakukan sebelumnya.

Peningkatan Frekuensi Infeksi Saluran Pernapasan: 
Lansia dengan PPOK lebih rentan terhadap infeksi saluran pernapasan, seperti pneumonia, karena sistem kekebalan tubuh yang melemah seiring dengan usia.

Penurunan Berat Badan: 
Beberapa lansia dengan PPOK mungkin mengalami penurunan berat badan yang tidak diinginkan karena kesulitan makan atau metabolisme yang berubah.

Peningkatan Risiko Komplikasi: 
Lansia dengan PPOK memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi serius seperti serangan jantung, emboli paru-paru, atau kegagalan pernapasan.

Kualitas Hidup yang Menurun: 
PPOK pada lansia dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan, termasuk kemampuan untuk menjalani kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial.

Perubahan Psikologis: 
Lansia dengan PPOK mungkin mengalami stres, kecemasan, atau depresi karena gejala yang mengganggu dan keterbatasan aktivitas.

Peningkatan Frekuensi dan Durasi Pemulihan dari Exacerbation: 
Lansia dengan PPOK cenderung mengalami eksaserbasi (peningkatan gejala) dengan frekuensi yang lebih tinggi dan waktu pemulihan yang lebih lama setelah eksaserbasi.

Beberapa faktor penyebab Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada lansia bisa sangat bervariasi, antara lain:

Merokok: 
Merokok merupakan penyebab utama PPOK pada semua kelompok usia, termasuk lansia. Merokok secara signifikan meningkatkan risiko terkena PPOK dan dapat mempercepat perkembangannya.

Paparan Asap Rokok Pasif: 
Paparan terhadap asap rokok pasif juga dapat meningkatkan risiko PPOK pada lansia, terutama jika mereka tinggal bersama perokok.

Paparan asap rokok meningkatkan PPOK pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Paparan Polusi Udara:
Paparan jangka panjang terhadap polusi udara, seperti asap kendaraan bermotor, industri, atau asap dari bahan bakar bakar-bakaran rumah tangga, dapat meningkatkan risiko PPOK pada lansia.

Faktor Genetik: 
Faktor genetik atau riwayat keluarga dengan PPOK juga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit ini, termasuk pada lansia.

Riwayat Infeksi Saluran Pernapasan:
Riwayat infeksi saluran pernapasan yang sering atau berat pada masa lalu, terutama pneumonia, dapat meningkatkan risiko terkena PPOK pada lansia.

Penuaan: 
Proses penuaan alami juga dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi paru-paru serta saluran pernapasan, yang dapat menyebabkan risiko lebih tinggi terkena PPOK pada lansia.

Paparan Zat-Zat Berbahaya di Lingkungan Kerja: 
Paparan terhadap zat-zat berbahaya seperti debu, asap, atau bahan kimia di lingkungan kerja selama bertahun-tahun dapat meningkatkan risiko PPOK pada lansia.

Riwayat Penyakit Paru-Puluhan: 
Lansia dengan riwayat penyakit paru-pulmoner lainnya, seperti asma atau bronkitis kronis, mungkin memiliki risiko lebih tinggi terkena PPOK.

Faktor-faktor ini sering kali berinteraksi satu sama lain dan dapat meningkatkan risiko PPOK pada lansia. 

       Mencegah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada lansia melibatkan berbagai langkah yang dapat membantu mengurangi risiko terkena penyakit ini. 

Beberapa cara untuk mencegah PPOK pada lansia:

Berhenti Merokok:
Langkah terpenting dalam mencegah PPOK adalah dengan berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok pasif. Berhenti merokok dapat mengurangi risiko terkena PPOK serta memperlambat perkembangan penyakit pada mereka yang telah menderita PPOK.

Hindari Paparan Polusi Udara: 
Upaya harus dilakukan untuk mengurangi paparan polusi udara di lingkungan sekitar, seperti menghindari berada di dekat tempat-tempat dengan polusi udara tinggi atau menggunakan masker pelindung saat berada di lingkungan yang berpolusi.

Menghindari Paparan Zat-zat Berbahaya di Tempat Kerja:
Jika bekerja di lingkungan yang berpotensi berbahaya, seperti tempat yang memiliki debu, asap, atau bahan kimia beracun, pastikan untuk menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dan mengikuti prosedur keselamatan yang ditetapkan.

Pola Hidup Sehat: 
Menerapkan pola hidup sehat, termasuk mengonsumsi makanan sehat, berolahraga secara teratur, dan menjaga berat badan yang sehat, dapat membantu menjaga kesehatan paru-paru dan sistem pernapasan secara keseluruhan.

Vaksinasi: 
Mendapatkan vaksinasi yang tepat, seperti vaksin influenza dan vaksin pneumonia, dapat membantu melindungi lansia dari infeksi saluran pernapasan yang dapat menyebabkan komplikasi paru-paru.

Pemeriksaan Rutin: 
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin dan berkonsultasi dengan dokter untuk memantau kesehatan paru-paru dan mengidentifikasi gejala PPOK dengan cepat jika muncul.

Pengelolaan Penyakit Komorbid: 
Pengelolaan kondisi kesehatan lain yang dapat meningkatkan risiko PPOK, seperti penyakit jantung atau diabetes, juga penting dalam mencegah perkembangan PPOK pada lansia.

Edukasi dan Kesadaran: 
Meningkatkan kesadaran akan faktor risiko dan gejala PPOK serta menyediakan edukasi tentang pentingnya menjaga kesehatan paru-paru dapat membantu masyarakat, termasuk lansia, untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat.

       Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah kondisi kronis yang tidak bisa disembuhkan, tetapi bisa dikelola dengan baik melalui perawatan yang tepat. Tujuan pengobatan PPOK pada lansia adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi (peningkatan gejala), dan mengurangi risiko komplikasi. 

Beberapa langkah pengobatan yang umum digunakan untuk mengelola PPOK pada lansia:

Berhenti Merokok: 
Jika lansia masih merokok, langkah pertama yang paling penting adalah berhenti merokok. Berhenti merokok dapat membantu memperlambat progresivitas penyakit dan mengurangi risiko komplikasi.

Obat-Obatan: 
Dokter dapat meresepkan berbagai jenis obat untuk mengelola gejala PPOK pada lansia, termasuk:

Bronkodilator:
Obat-obatan ini membantu melebarkan saluran udara dan mempermudah pernapasan.

Glukokortikoid inhalasi: 
Untuk mengurangi peradangan pada saluran udara, kombinasi bronkodilator dan glukokortikoid inhalasi.

Antibiotik: 
Untuk mengobati infeksi bakteri yang dapat memperburuk gejala. Obat untuk meredakan gejala seperti batuk atau sesak napas.

Terapi Oksigen: 
Jika kadar oksigen dalam darah rendah, terapi oksigen dapat diberikan untuk meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh dan mengurangi sesak napas.

Rehabilitasi Paru: 
Program rehabilitasi paru-paru, yang meliputi latihan fisik terapeutik, pendidikan tentang penyakit, dan dukungan psikososial, dapat membantu meningkatkan kekuatan dan fungsi paru-paru, serta meningkatkan kualitas hidup.

Vaksinasi: 
Lansia dengan PPOK disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza tahunan dan vaksinasi pneumonia sesuai rekomendasi dokter untuk melindungi dari infeksi yang dapat memperburuk gejala.

Pengelolaan Penyakit Komorbid: 
Pengelolaan kondisi kesehatan lain yang dapat memperburuk PPOK, seperti penyakit jantung atau diabetes, juga penting dalam pengobatan PPOK pada lansia.

Perawatan Mandiri:
Lansia dengan PPOK juga dapat melakukan langkah-langkah perawatan mandiri, seperti mengikuti program latihan fisik yang disarankan, menjaga pola makan yang sehat, dan menghindari paparan polusi udara atau asap rokok.

Pengobatan PPOK pada lansia harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan kebutuhan individu, dan dikelola secara teratur oleh dokter atau spesialis paru-paru. Langkah-langkah ini dapat membantu mengelola gejala PPOK, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi pada lansia.




Sumber:



https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0954611103914880


Sunday, 28 April 2024

Jangan Hanya Satu, Ada 4 Jenis latihan Fisik untuk Lansia

       Latihan fisik untuk lansia adalah serangkaian aktivitas fisik yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan dan batasan fisik yang sering terjadi pada orang yang lebih tua. Tujuan dari latihan fisik ini adalah untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan, kebugaran, keseimbangan, fleksibilitas, dan kekuatan tubuh lansia. Latihan ini dapat disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan tingkat kebugaran masing-masing individu, sehingga memberikan manfaat yang optimal tanpa meningkatkan risiko cedera.

Lansia dapat memilih olahraga yang sesuai dengan kondisinya.
(Sumber: Paguyuban Pengawas Purna)

Latihan fisik untuk lansia biasanya mencakup berbagai jenis aktivitas, termasuk aerobik ringan, latihan kekuatan, latihan keseimbangan, latihan fleksibilitas, serta latihan mental dan pernapasan. Aktivitas-aktivitas ini dapat dilakukan secara teratur sebagai bagian dari rutinitas harian untuk membantu lansia tetap aktif, sehat, dan mandiri.

Berolahraga dapat dilakukan dengan sepeda fix.
(Sumber: foto paguyuban pengawas purna)

Pentingnya latihan fisik untuk lansia terletak pada fakta bahwa aktivitas fisik teratur dapat membantu mengurangi risiko penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes, dan osteoporosis, serta membantu menjaga keseimbangan, koordinasi, dan mobilitas tubuh. Selain itu, latihan fisik juga dapat meningkatkan kualitas hidup dengan meningkatkan mood, kesejahteraan mental, dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Beberapa jenis latihan fisik yang biasanya direkomendasikan untuk lansia:

Daya Tahan (Aerobik ringan):
Melibatkan aktivitas yang membuat jantung dan paru-paru bekerja lebih keras untuk menyediakan oksigen ke seluruh tubuh.
  • Manfaatnya termasuk meningkatkan kesehatan jantung, meningkatkan sirkulasi darah, dan meningkatkan stamina dan energi sehari-hari.
  • Contohnya adalah berjalan cepat, bersepeda, berenang, atau melakukan aktivitas aerobik ringan lainnya.
Kekuatan (Latihan kekuatan):
Aktivitas yang menargetkan otot-otot untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan.
  • Manfaatnya termasuk meningkatkan kekuatan fisik, meningkatkan fungsi tulang, dan membantu dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mengangkat barang.
  • Contohnya adalah squat, lunges, push-ups, dan latihan kekuatan lainnya menggunakan beban tubuh atau alat bantu ringan.
Latihan kekuatan dapat dilakukan lansia dengan cara mudah.
(Sumber: Paguyuban Pengawas Purna)

Keseimbangan (Latihan keseimbangan):
Maksudnya adalah melibatkan aktivitas yang membantu memperkuat otot-otot inti dan meningkatkan koordinasi tubuh untuk mencegah jatuh.
  • Manfaatnya termasuk mengurangi risiko cedera dan meningkatkan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Contohnya adalah berdiri pada satu kaki, berlatih yoga, tai chi, atau gerakan-gerakan keseimbangan lainnya.
Fleksibilitas (Latihan peregangan dan fleksibilitas):
Aktivitas yang membantu memelihara atau meningkatkan rentang gerak sendi dan elastisitas otot.
  • Manfaatnya termasuk meningkatkan mobilitas, mencegah kekakuan otot dan sendi, dan mengurangi risiko cedera.
  • Contohnya adalah latihan peregangan, yoga, pilates, atau gerakan-gerakan fleksibilitas lainnya.
Dengan melakukan latihan-latihan ini secara teratur dan sesuai dengan kemampuan individu, lansia dapat menjaga kesehatan fisik dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Berapa Waktu yang Dibutuhkan untuk Lansia Latihan.
Waktu yang dibutuhkan untuk lansia berolahraga dapat bervariasi tergantung pada kondisi fisik, kesehatan, dan tingkat kebugaran individu, serta jenis latihan yang dilakukan. 

Beberapa panduan umum mengenai waktu yang disarankan untuk lansia berolahraga:

Aerobik ringan: 
Biasanya disarankan untuk melakukan aerobik ringan selama setidaknya 150 menit per minggu. Ini dapat dibagi menjadi sesi latihan selama 30 menit, lima hari dalam seminggu. Namun, jika lansia memiliki batasan fisik atau tidak dapat mencapai target tersebut, mereka dapat memulai dengan durasi yang lebih pendek dan secara bertahap meningkatkannya.

Latihan kekuatan: 
Latihan kekuatan disarankan dilakukan dua hingga tiga kali seminggu. Setiap sesi latihan biasanya berlangsung sekitar 20-30 menit, tergantung pada jenis latihan dan jumlah set yang dilakukan.

Latihan keseimbangan: 
Latihan keseimbangan dapat dilakukan setiap hari atau beberapa kali seminggu, tergantung pada kebutuhan individu. Setiap sesi latihan keseimbangan biasanya berlangsung sekitar 10-15 menit, tetapi bisa lebih pendek atau lebih lama tergantung pada tingkat kenyamanan dan kebutuhan.

Latihan fleksibilitas: 
Latihan fleksibilitas seperti peregangan dapat dilakukan setiap hari atau beberapa kali seminggu. Setiap sesi latihan fleksibilitas biasanya berlangsung sekitar 10-15 menit, dan dapat diintegrasikan ke dalam rutinitas latihan lainnya atau dilakukan secara terpisah.

Pedomannya adalah 150 menit aktivitas sedang atau 75 menit aktivitas berat dalam seminggu. Tidak masalah bagaimana Anda mendapatkannya. Anda bisa berjalan, Anda bisa berenang, Anda bisa berlari.
Penelitian telah menunjukkan bahwa penting untuk melakukan keempat jenis latihan: daya tahan, kekuatan, keseimbangan, dan fleksibilitas. 

Beberapa manfaat utama berolahraga untuk lansia:

Meningkatkan Kesehatan Jantung: 
Latihan aerobik seperti berjalan cepat, bersepeda, atau berenang dapat meningkatkan kesehatan jantung dan pembuluh darah. Ini membantu mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke, yang lebih umum terjadi pada lansia.

Meningkatkan Kesehatan Tulang dan Menurunkan Risiko Osteoporosis: 
Latihan kekuatan, seperti angkat beban atau latihan berat, membantu memperkuat tulang dan meningkatkan kepadatan tulang. Hal ini dapat mengurangi risiko patah tulang atau osteoporosis pada lansia.

Meningkatkan Keseimbangan dan Koordinasi: 
Latihan keseimbangan, seperti yoga atau tai chi, membantu meningkatkan keseimbangan tubuh dan koordinasi gerakan. Ini dapat membantu mencegah jatuh, yang sering menjadi masalah serius pada lansia.

Meningkatkan Kesehatan Mental dan Kualitas Tidur:
Olahraga dapat membantu mengurangi stres, kecemasan, dan depresi pada lansia. Selain itu, latihan fisik teratur juga dapat meningkatkan kualitas tidur dan membantu menjaga fungsi kognitif yang baik.

Meningkatkan Kemandirian dan Kualitas Hidup: 
Dengan memelihara kebugaran fisik, lansia dapat tetap mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan dan membantu mereka tetap aktif dan terlibat dalam kehidupan sosial.

Mengurangi Risiko Penyakit Kronis: 
Olahraga teratur dapat membantu mengurangi risiko berbagai penyakit kronis, termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan beberapa jenis kanker.

Meningkatkan Harapan Hidup: 
Penelitian telah menunjukkan bahwa lansia yang aktif secara fisik memiliki harapan hidup yang lebih panjang dan umumnya memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif secara fisik.

Oleh karena itu, berolahraga secara teratur merupakan bagian penting dari gaya hidup sehat bagi lansia. Namun, penting untuk memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi kesehatan individu, dan selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum memulai program latihan baru.


Sumber:

https://www.nia.nih.gov/health/exercise-and-physical-activity/four-types-exercise-and-physical-activity 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6304477/

https://www.cdc.gov/physicalactivity/basics/older_adults/index.htm

https://thegreenfields.org/5-benefits-exercise-seniors-aging-adults/

https://ijbnpa.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12966-020-00995-8

Saturday, 27 April 2024

Tambah Garam Tambah Penyakit untuk Lansia

       Garam adalah senyawa kimia yang terbentuk dari ikatan antara ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Dalam konteks umum, istilah "garam" sering merujuk pada garam dapur atau natrium klorida (NaCl), yang merupakan senyawa kristal yang paling umum digunakan sebagai bumbu atau penyedap makanan.

Garam yang berlebihan pada tubuh lansia berisiko penyakit.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Garam digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk sebagai bahan makanan, bahan kimia, pengawet makanan, dan dalam proses industri. Selain itu, garam juga memiliki peran penting dalam tubuh manusia, termasuk dalam menjaga keseimbangan elektrolit, kontraksi otot, dan fungsi saraf. 

Berikut daftar manfaat garam bagi tubuh manusia setiap hari:

  • Bekerjanya impuls saraf
  • Kontraksikan dan rileks  otot
  • Menjaga keseimbangan air dan mineral
  • Melindungi dari penyakit jantung
  • Mencegah kram otot
  • Mendukung sistem saraf yang sehat

Tanpa mengonsumsi garam dalam jumlah yang cukup, orang bisa merasa lemas, mengantuk, pusing, dan mengalami kelemahan otot. Orang dewasa yang lebih tua khususnya mengalami kekurangan natrium karena obat-obatan yang menyebabkan sering buang air kecil. Namun, konsumsi garam yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.

Secara umum, jumlah garam yang dikonsumsi sebaiknya dibatasi agar tidak melebihi rekomendasi harian. Organisasi kesehatan seperti American Heart Association merekomendasikan bahwa orang dewasa, termasuk lansia, tidak mengonsumsi lebih dari 2.300 miligram natrium per hari. Bagi mereka yang memiliki tekanan darah tinggi atau risiko penyakit kardiovaskular lainnya, batasan ini bisa lebih rendah, sekitar 1.500 miligram natrium per hari

Besaran satu sendok teh garam meja biasanya mengandung sekitar 2.300 miligram natrium. Jadi dapat dibayangkan bahwa jumlah garam yang terlihat kecil sehari-hari bisa mencapai atau melebihi batas harian yang direkomendasikan.

Penting untuk menyadari bahwa garam tidak hanya ditambahkan secara langsung ke makanan saat memasak atau makan, tetapi juga ada dalam makanan olahan, makanan cepat saji, dan makanan kaleng. 

Garam memiliki manfaat dan juga risiko penyakit.
(Sumber: foto canva.com)

Membaca label gizi makanan dapat membantu untuk mengidentifikasi dan membatasi asupan garam yang berlebihan, dan memungkinkan konsumen untuk membuat pilihan yang lebih baik dalam hal makanan yang mereka konsumsi, sesuai dengan kebutuhan gizi dan preferensi pribadi mereka.

Namun untuk orang dewasa, termasuk lansia, rekomendasi umum adalah tidak mengonsumsi lebih dari 2.300 miligram natrium per hari, sesuai dengan pedoman dari American Heart Association. Namun, bagi orang yang memiliki tekanan darah tinggi, penyakit jantung, atau risiko kesehatan kardiovaskular lainnya, batasan bisa lebih rendah, sekitar 1.500 miligram natrium per hari, atau mendekati 0.65sendok teh.

Sementara itu, sebagian besar natrium yang dikonsumsi oleh orang dewasa tidak berasal dari garam yang ditambahkan secara langsung ke makanan saat memasak atau di atas meja. Sebagian besar natrium berasal dari makanan olahan, makanan cepat saji, dan makanan kaleng, jadi penting juga untuk membatasi asupan makanan yang mengandung garam tinggi. Membaca label gizi makanan dan memilih makanan yang lebih rendah natriumnya dapat membantu mengontrol konsumsi garam.

Jumlah garam yang dikonsumsi dan hubungannya dengan beberapa penyakit:

Konsumsi Garam Rendah: 
Konsumsi garam yang rendah (di bawah 2.300 miligram natrium per hari) dapat membantu mengurangi risiko tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan stroke. Namun, konsumsi yang terlalu rendah juga dapat meningkatkan risiko kelelahan, dehidrasi, dan gangguan elektrolit.

Konsumsi Garam Moderat: 
Konsumsi garam yang moderat, sesuai dengan rekomendasi harian (antara 2.300 hingga 1.500 miligram natrium per hari, tergantung pada faktor-faktor kesehatan individu), dapat membantu menjaga keseimbangan elektrolit tubuh dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.

Konsumsi Garam Tinggi: 
Konsumsi garam yang tinggi, melebihi rekomendasi harian, dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dan penyakit ginjal. Garam berlebih dalam diet juga dapat menyebabkan retensi cairan, edema, dan peningkatan beban kerja pada jantung dan ginjal.
Selain itu, konsumsi garam yang tinggi juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko osteoporosis, kanker lambung, dan gangguan fungsi pembuluh darah.  

Beberapa pengganti garam yang dapat digunakan sebagai alternatif tanpa risiko, di antaranya:

Bumbu dan rempah: 
Bumbu dan rempah seperti merica, bawang putih, bawang merah, jahe, ketumbar, kayu manis, dan sebagainya dapat memberikan rasa yang kaya pada makanan tanpa menambahkan garam. Mereka juga memiliki banyak manfaat kesehatan dan dapat meningkatkan rasa makanan secara alami.

Bumbu dan rempah dapat meningkatkan rasa makanan.
(Sumber: foto canva.com)
Bumbu Lengkap: 
Ada banyak campuran bumbu lengkap yang tersedia di pasaran yang dapat digunakan sebagai pengganti garam. Pastikan untuk memilih yang tanpa tambahan garam atau dengan kandungan garam yang rendah.

Rasa Asin Alami: 
Beberapa makanan seperti sayuran hijau, tomat, wortel, dan sebagian besar buah-buahan memiliki rasa asin alami yang bisa membantu mengurangi kebutuhan akan garam tambahan.

Bumbu Asam: 
Jeruk nipis, jeruk lemon, atau cuka adalah pilihan yang baik untuk menambahkan rasa segar pada makanan tanpa menambahkan garam.

Bumbu Organik: 
Bumbu organik yang tersedia di toko-toko kesehatan atau toko bahan makanan khusus sering kali lebih rendah atau bahkan tidak mengandung garam sama sekali. 

Dalam mengelola keseimbangan asupan garam, langkah-langkah sederhana dapat menghasilkan perubahan signifikan dalam kesehatan seseorang. Garam, yang mengandung natrium, adalah komponen penting dalam diet manusia, namun konsumsi berlebihan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan. 

Beberapa cara praktis  lansia untuk mulai menemukan keseimbangan yang lebih sehat dalam asupan garam mereka, antara lain :

Menghilangkan Makanan Olahan:
Langkah pertama dalam perjalanan menuju keseimbangan garam yang lebih sehat adalah dengan mengurangi konsumsi makanan olahan. Makanan seperti kerupuk, keripik, sup kalengan, dan makanan beku sering kali mengandung tingkat natrium yang tinggi, yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Makanan olahan sering menggunakan tambahan natrium untuk meningkatkan daya tahan dan rasa. Dengan menghindari makanan ini, individu dapat mengurangi konsumsi garam yang tidak perlu dalam diet mereka.

Konsumsi Makanan Utuh:
Mengganti makanan olahan dengan makanan utuh adalah langkah penting lainnya dalam mencapai keseimbangan garam yang lebih baik. Makanan utuh, seperti buah-buahan segar, sayuran, daging, ikan, dan unggas, tidak hanya menyediakan nutrisi yang lebih seimbang, tetapi juga mengandung kadar natrium yang lebih rendah dibandingkan makanan olahan. Dengan memprioritaskan makanan utuh dalam diet, individu dapat mengontrol asupan garam mereka secara efektif.

Ganti makanan olahan dengan makanan utuh untuk menjaga keseimbangan garam.
(Sumber: foto canva.com)
Membilas Makanan Kalengan:
Jika memilih untuk mengonsumsi makanan kalengan, langkah berikutnya adalah membilasnya sebelum dimasak. Membilas makanan kalengan membantu mengurangi kadar garam yang terkandung di dalamnya, serta menghilangkan bahan pengawet yang mungkin ditambahkan. Dengan melakukan tindakan sederhana ini, individu dapat mengurangi asupan garam yang tidak disadari dari makanan kalengan.

Mengurangi Penggunaan Garam Meja:
Membiasakan diri untuk tidak lagi menambahkan garam meja pada makanan adalah langkah penting dalam mengurangi konsumsi garam berlebihan. Sebagai gantinya, individu dapat menggantinya dengan menggunakan bumbu dan rempah-rempah lain, seperti lemon, bawang putih, atau merica. Mengurangi penggunaan garam meja membantu menurunkan asupan natrium secara keseluruhan, sambil tetap menikmati rasa makanan yang lezat.

Dengan mengadopsi langkah-langkah sederhana ini, individu dapat mulai menemukan keseimbangan garam yang lebih sehat dalam tubuh mereka. Langkah-langkah ini tidak hanya mempromosikan kesehatan secara keseluruhan, tetapi juga membantu menciptakan gaya hidup yang lebih seimbang dan berkelanjutan.





Sumber:





Friday, 26 April 2024

Penyakit Ini Menyebabkan Nyeri Saat Berjalan pada Lansia

        Prevalensi penyakit arteri perifer meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit ini pada orang lanjut usia mungkin tidak menunjukkan gejala, mungkin berhubungan dengan klaudikasio intermiten,  kondisi di mana pasokan darah ke otot-otot terganggu secara periodik atau tidak teratur.

Istilah ini biasanya mengacu pada kondisi klaudikasi intermiten pada tungkai bawah, yang sering disebabkan oleh penyempitan atau penyumbatan arteri yang mengarah ke otot-otot tersebut. Ini dapat menyebabkan gejala seperti nyeri atau kram saat berjalan atau berolahraga, yang disebut klaudikasi. 

Penyakit arteri perifer meningkat seiring bertambahnya usia.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Gejala ini sering kali membaik dengan istirahat dan memburuk kembali saat aktivitas dilanjutkan, atau mungkin berhubungan dengan iskemia ekstremitas kritis, kondisi di mana pasokan darah ke ekstremitas (seperti kaki atau tangan) terganggu secara signifikan, biasanya karena penyumbatan atau penyempitan arteri besar yang memasok darah ke bagian tersebut. 

Penyakit arteri perifer terjadi ketika arteri yang membawa darah ke bagian bawah tubuh (panggul dan tungkai) menyempit sehingga mengurangi aliran darah ke otot-otot kaki.  Penyakit Arteri Perifer (PAP) pada lansia biasanya berkembang secara perlahan dan gejalanya mungkin tidak selalu terasa nyata pada tahap awal. 

Beberapa ciri-ciri yang umum terkait PAP pada lansia adalah:

Claudication Intermiten:
Gejala utama PAP adalah nyeri atau rasa tidak nyaman yang terjadi saat berjalan jauh atau melakukan aktivitas fisik lainnya. Nyeri ini mungkin terasa di tungkai, panggul, atau kaki, dan biasanya mereda saat istirahat. Nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya pasokan darah yang cukup ke otot selama aktivitas fisik.

Gangguan Peredaran Darah: 
PAP pada lansia dapat menyebabkan kulit pada kaki dan kaki menjadi pucat atau kebiruan saat dalam posisi berbaring dan menjadi kemerahan saat dalam posisi duduk atau berdiri. Hal ini disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah yang dapat memengaruhi penampilan kulit.

Perubahan pada Kulit: 
Kulit yang terasa dingin atau berubah warna, terutama jika terjadi ulkus atau luka yang sulit sembuh pada kaki, dapat menjadi tanda PAP pada lansia. Perubahan warna kulit ini sering kali terjadi karena kurangnya pasokan darah ke jaringan.

Perubahan warna kulit pada kaki karena pasokan darah berkurang.
(Sumber: foto canva.com)
Perubahan Struktur Kuku: 
Terkadang, PAP dapat menyebabkan perubahan pada struktur kuku, seperti kuku menjadi rapuh, tebal, atau bahkan mengalami pertumbuhan yang tidak normal. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya aliran darah yang memadai ke area tersebut.

Penurunan Suhu Kaki: 
Kaki yang terasa dingin atau lebih dingin dari bagian tubuh lainnya juga dapat menjadi tanda PAP pada lansia. Ini disebabkan oleh gangguan aliran darah yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk mempertahankan suhu normal.

Penurunan Sensasi: 
Lansia dengan PAP mungkin mengalami penurunan sensasi atau kesemutan pada kaki atau kaki mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya aliran darah yang memengaruhi saraf-saraf perifer.

Risiko Infeksi yang Lebih Tinggi: 
Kurangnya aliran darah yang memadai ke kaki dan kaki juga dapat meningkatkan risiko infeksi, dan luka pada kaki atau kaki mungkin sulit sembuh atau sembuh dengan lambat.

Jika seseorang mengalami gejala yang mencurigakan PAP, penting untuk segera berkonsultasi dengan profesional medis untuk evaluasi lebih lanjut dan pengelolaan kondisi yang tepat.

Penyakit ini menyebabkan nyeri saat berjalan dan masalah lain termasuk gangren dan amputasi.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan Penyakit Arteri Perifer (PAP) pada usia lanjut meliputi:

Usia Lanjut:
Risiko PAP meningkat seiring bertambahnya usia. Proses penuaan alami dapat menyebabkan arteri menjadi kaku dan kaku, serta mengalami penumpukan plak aterosklerosis.

Merokok:
Merokok adalah salah satu faktor risiko utama untuk perkembangan PAP. Zat-zat yang terdapat dalam rokok merusak dinding arteri dan mempercepat pembentukan plak aterosklerosis.

Diabetes:
Penderita diabetes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami PAP karena diabetes dapat merusak dinding arteri dan menyebabkan peradangan serta penumpukan plak.

Hipertensi: 
Tekanan darah tinggi dapat merusak dinding arteri dan meningkatkan risiko terjadinya PAP.

Dislipidemia: 
Tingkat kolesterol dan trigliserida yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan penumpukan plak di dalam arteri, yang pada akhirnya dapat menyumbat aliran darah ke ekstremitas.

Obesitas: 
Kelebihan berat badan atau obesitas merupakan faktor risiko untuk PAP karena dapat meningkatkan tekanan pada arteri dan menyebabkan peradangan serta resistensi insulin.

Kurangnya Aktivitas Fisik: 
Gaya hidup yang tidak aktif atau kurangnya olahraga dapat menyebabkan penumpukan lemak dan plak di dalam arteri, meningkatkan risiko PAP.

Gaya hidup yang tidak aktif menyebabkan penumpukan lemak.
(Sumber: foto canva.com)
Riwayat Keluarga:
Jika ada anggota keluarga dengan riwayat PAP atau penyakit kardiovaskular lainnya, seseorang mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi tersebut.

Gangguan Kardiovaskular Lainnya: 
Riwayat penyakit jantung koroner, stroke, atau penyakit kardiovaskular lainnya juga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami PAP.

Kondisi Medis Lainnya: 
Beberapa kondisi medis lainnya seperti penyakit ginjal kronis atau lupus dapat meningkatkan risiko terjadinya PAP.

Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor risiko ini dapat membantu dalam pencegahan atau pengelolaan PAP pada lansia. Perubahan gaya hidup sehat dan pengelolaan kondisi medis yang terkait dapat membantu mengurangi risiko PAP serta memperbaiki kualitas hidup.

       Mencegah Penyakit Arteri Perifer (PAP) pada lansia melibatkan penerapan langkah-langkah gaya hidup sehat dan pengelolaan faktor risiko yang dapat mempengaruhi perkembangan kondisi tersebut. 

Beberapa langkah yang dapat membantu mencegah PAP pada lansia:

Berhenti Merokok: 
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk PAP. Berhenti merokok atau tidak memulai kebiasaan merokok dapat membantu mengurangi risiko PAP dan meningkatkan kesehatan arteri.

Menerapkan Diet Sehat:
Makan makanan yang sehat dan seimbang dapat membantu menjaga berat badan yang sehat, mengontrol kadar kolesterol dan trigliserida, serta mengurangi risiko PAP. Perbanyak konsumsi buah, sayuran, biji-bijian utuh, ikan berlemak, dan hindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol.

Melakukan Aktivitas Fisik Teratur: 
Melakukan olahraga secara teratur dapat meningkatkan aliran darah, memperkuat jantung dan pembuluh darah, serta mengurangi risiko PAP. Aktivitas aerobik seperti berjalan cepat, bersepeda, atau berenang dapat menjadi pilihan yang baik.

Mengelola Berat Badan: 
Menjaga berat badan yang sehat atau menurunkan berat badan jika diperlukan dapat membantu mengurangi tekanan pada arteri dan mengurangi risiko PAP.

Pengelolaan Stres:
Stres kronis dapat berkontribusi pada penyakit kardiovaskular termasuk PAP. Menerapkan teknik-teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan arteri.

Pengukuran Tekanan Darah dan Kolesterol Secara Teratur: 
Memantau tekanan darah dan kadar kolesterol secara teratur dengan berkonsultasi dengan dokter dapat membantu mendeteksi dan mengendalikan faktor risiko yang dapat menyebabkan PAP.

Mengelola Penyakit Kronis: 
Jika Anda memiliki kondisi medis seperti diabetes, hipertensi, atau penyakit kardiovaskular lainnya, penting untuk mengelolanya dengan baik sesuai dengan petunjuk dokter untuk mengurangi risiko PAP.

Pencegahan Cedera: 
Hindari cedera yang dapat merusak arteri, misalnya, dengan menghindari tekanan yang berlebihan pada kaki atau kaki, serta memakai alas kaki yang sesuai dan aman.

Pemeriksaan Rutin: 
Rutin menjalani pemeriksaan kesehatan dan berkonsultasi dengan dokter secara teratur dapat membantu mendeteksi masalah kesehatan yang mungkin mempengaruhi risiko PAP.

Dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan di atas, seseorang dapat mengurangi risiko mengembangkan Penyakit Arteri Perifer pada usia lanjut dan mempertahankan kesehatan arteri yang baik. 

        Pengobatan Penyakit Arteri Perifer (PAP) pada lansia bertujuan untuk mengurangi gejala, meningkatkan aliran darah ke ekstremitas, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan PAP pada lansia dapat melibatkan beberapa pendekatan, termasuk perubahan gaya hidup, pengobatan obat-obatan, terapi non-invasif, atau prosedur bedah dalam kasus yang lebih parah. 

Beberapa opsi pengobatan yang mungkin direkomendasikan oleh dokter:

Perubahan Gaya Hidup: 
Mengadopsi gaya hidup sehat yang mencakup diet sehat, aktivitas fisik teratur, berhenti merokok, dan pengelolaan berat badan dapat membantu mengurangi gejala PAP dan memperlambat perkembangan kondisi.

Obat-obatan: 
Dokter dapat meresepkan obat-obatan untuk mengendalikan faktor risiko seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, atau diabetes yang dapat memperburuk PAP. Contoh obat-obatan yang mungkin diresepkan termasuk statin, antihipertensi, atau obat antiplatelet.

Terapi Antiplatelet: 
Terapi antiplatelet seperti aspirin dapat direkomendasikan untuk mencegah pembekuan darah yang dapat menyumbat arteri.

Terapi Peningkatan Aliran Darah: 
Beberapa terapi yang bertujuan untuk meningkatkan aliran darah ke ekstremitas, seperti terapi tekanan negatif, terapi hiperbarik oksigen, atau terapi dengan agen vasoaktif, mungkin direkomendasikan dalam beberapa kasus.

Terapi Fisik: 
Program rehabilitasi kardiopulmoner atau terapi fisik khusus dapat membantu meningkatkan kekuatan otot dan stamina, serta mengurangi gejala claudication intermiten.

Pengobatan Intervensional: 
Jika gejala PAP parah dan tidak merespons terhadap pengobatan konservatif, dokter dapat merekomendasikan prosedur intervensional seperti angioplasti atau stent arteri untuk membuka arteri yang menyempit.

Prosedur Bedah: 
Dalam kasus yang lebih serius, seperti jika arteri sangat menyempit atau tersumbat, prosedur bedah seperti bypass arteri atau endarterektomi mungkin diperlukan untuk mengembalikan aliran darah normal ke ekstremitas.

Setiap rencana pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan individu dan dipantau secara teratur oleh dokter untuk memastikan efektivitasnya serta untuk menghindari komplikasi. Diskusi terbuka dengan dokter dan mengikuti rekomendasinya secara cermat akan membantu menentukan pendekatan pengobatan terbaik untuk mengelola PAP pada lansia.


Sumber:

https://www.healthinaging.org/a-z-topic/peripheral-artery-disease

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2686340/

https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/01.ATV.18.2.185

https://academic.oup.com/biomedgerontology/article/59/2/M172/610298

https://www.ejves.com/article/S1078-5884(23)00060-6/fulltext



Thursday, 25 April 2024

Bedakan Lupa Normal dan lupa Gangguan Ingatan pada Lansia.

        Lupa atau kehilangan ingatan dalam beberapa situasi tertentu adalah pengalaman yang umum bagi semua orang, tidak hanya lansia. Namun, penting untuk memahami perbedaan antara lupa yang normal dan gangguan ingatan yang lebih serius yang mungkin terjadi pada lansia.

Lupa yang Normal:
  • Lupa sementara, terutama terhadap hal-hal yang tidak penting atau kurang penting.
  • Biasanya terjadi pada saat stres, kurang tidur, atau kelelahan.
  • Kemampuan untuk mengingat kembali informasi secara spontan saat situasinya memungkinkan.
  • Tidak mengganggu fungsi sehari-hari atau aktivitas rutin.
Lansia yang mengalami lupa normal merupakan hal yang wajar.
(Sumber: foto LPC-Lansia)
lupa Gangguan Ingatan pada Lansia:

  • Gangguan ingatan yang lebih serius dan berkelanjutan.
  • Kesulitan yang signifikan dalam mengingat informasi penting atau peristiwa-peristiwa baru-baru ini.
  • Gangguan dalam fungsi sehari-hari, seperti kesulitan dalam mengingat janji, nama orang-orang terdekat, atau kesulitan dalam melakukan tugas-tugas rutin.
  • Dapat disertai dengan gejala lain, seperti kebingungan, kesulitan berbicara atau menulis, perubahan perilaku, atau penurunan kemampuan untuk merencanakan dan menyelesaikan tugas.
Gangguan ingatan yang parah dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan seseorang untuk merawat diri sendiri. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan perbedaan antara lupa yang normal dan gangguan ingatan yang memerlukan perhatian medis serius.

Penting untuk membedakan lupa normal dan gangguan ingatan.
(Sumber: foto canva.com)
Istilah medis untuk ingatan jangka pendek adalah "ingatan kerja" atau "memori kerja". Ingatan kerja merujuk pada sistem ingatan yang terlibat dalam penyimpanan dan pemrosesan informasi dalam jangka waktu yang singkat, biasanya beberapa detik hingga beberapa menit. Ingatan kerja memungkinkan kita untuk sementara menyimpan informasi yang baru dipelajari atau dihadapi dalam kesadaran kita.

Sementara itu, istilah medis untuk ingatan jangka panjang adalah "memori deklaratif". Memori deklaratif adalah jenis memori yang menyimpan informasi tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang dapat diungkapkan dalam bentuk verbal. 

Ini Mencakup Dua Sub Jenis Utama:

Memori episodik: Memori episodik adalah jenis memori deklaratif yang terkait dengan penyimpanan dan pengingatan peristiwa-peristiwa spesifik yang telah dialami oleh individu, seperti pengalaman pribadi dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.

Memori semantik: Memori semantik adalah jenis memori deklaratif yang mencakup pengetahuan umum tentang dunia, termasuk fakta-fakta, konsep-konsep, dan aturan-aturan yang tidak terkait langsung dengan pengalaman pribadi individu.

Kedua jenis memori ini adalah bagian dari memori jangka panjang dan berperan dalam menyimpan informasi yang lebih stabil dan tahan lama dibandingkan dengan ingatan jangka pendek.

       Pada lansia, baik ingatan jangka pendek maupun jangka panjang dapat mengalami perubahan. Beberapa perubahan umum yang terkait dengan ingatan pada lansia termasuk:

Ingatan Jangka Pendek (Memori Kerja):

  • Lansia mungkin mengalami penurunan dalam kemampuan mereka untuk menyimpan dan mengingat informasi baru dalam waktu singkat.
  • Kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap informasi baru.
  • Gangguan pada kemampuan untuk memproses informasi dengan cepat, yang dapat mempengaruhi penghapalan informasi baru.
  • Sementara beberapa aspek ingatan jangka pendek mungkin terpengaruh, yang lain masih dapat dipertahankan dengan latihan dan stimulasi yang tepat.

Pada lansia mengalami perubahan ingatan jangka pendek.
(Sumber: gambar canva.com)

Ingatan Jangka Panjang (Memori Deklaratif):

  • Meskipun beberapa lansia mungkin mengalami penurunan ingatan jangka panjang, terutama untuk peristiwa baru-baru ini, banyak aspek ingatan jangka panjang, seperti pengalaman hidup dan keterampilan yang dikuasai, tetap relatif stabil.
  • Ingatan semantik, yang merupakan pengetahuan umum tentang dunia, cenderung lebih terjaga dibandingkan dengan memori episodik, yang melibatkan ingatan akan peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidup seseorang.
  • Meskipun demikian, beberapa lansia dapat mengalami gangguan pada ingatan jangka panjang yang signifikan, seperti demensia, yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengingat informasi masa lalu dan bahkan mengenal orang-orang terdekat.

Beberapa gangguan ingatan jangka pendek dan jangka panjang pada lansia, antara lain:

Proses Penuaan Alami: 
Proses penuaan alami dapat menyebabkan penurunan performa pada ingatan jangka pendek dan panjang. Ini bisa disebabkan oleh perubahan struktural dan fungsional dalam otak seiring bertambahnya usia.

Penyakit Vaskular: 
Penyakit vaskular, seperti penyakit jantung koroner atau stroke, dapat mengganggu aliran darah ke otak. Hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada area otak yang penting untuk fungsi ingatan, baik jangka pendek maupun panjang.

Penyakit Neurodegeneratif: 
Penyakit-penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, atau Lewy body dementia sering kali menyebabkan gangguan ingatan yang signifikan pada lansia. Penyakit-penyakit ini cenderung mempengaruhi ingatan jangka panjang terutama, tetapi juga dapat memengaruhi ingatan jangka pendek.

Gangguan Kesehatan Mental: 
Kondisi kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan bisa memengaruhi fungsi kognitif, termasuk ingatan. Lansia dengan gangguan kesehatan mental ini mungkin mengalami kesulitan dalam mempertahankan ingatan baik jangka pendek maupun panjang.

Efek Samping Obat: 
Beberapa obat yang umumnya diresepkan untuk kondisi-kondisi medis pada lansia dapat memiliki efek samping yang memengaruhi fungsi kognitif, termasuk ingatan. Misalnya, beberapa jenis obat antihipertensi, obat tidur, atau antidepresan dapat memengaruhi ingatan.

Gangguan Sensorik: 
Penurunan indra, seperti gangguan pendengaran atau penglihatan, juga dapat berkontribusi pada gangguan ingatan pada lansia. Gangguan sensorik ini dapat menghalangi seseorang dalam menerima atau memproses informasi secara efektif, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ingatan.

Gangguan sensorik  mempengaruhi ingatan.
(Sumber: foto canva.com)
Gaya Hidup Tidak Sehat: 
Gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang buruk, kurangnya tidur yang cukup, dan kurangnya stimulasi kognitif, juga dapat memperburuk gangguan ingatan pada lansia.

       Mengobati gangguan ingatan pada lansia tergantung pada penyebabnya. Dalam beberapa kasus, seperti pada penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer atau demensia vaskular, tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan kondisi tersebut secara menyeluruh, tetapi perawatan dapat membantu dalam mengelola gejalanya. 

Di sisi lain, jika gangguan ingatan disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat diubah, seperti kondisi medis lainnya atau pola hidup yang tidak sehat, tindakan tertentu dapat membantu memperbaiki atau mengurangi gejala gangguan ingatan. 

Berikut beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:

Perawatan Medis: Konsultasi dengan dokter atau spesialis kesehatan yang berkaitan untuk menilai kondisi lansia dan mencari penyebab gangguan ingatan. Dokter dapat meresepkan pengobatan atau terapi yang sesuai, tergantung pada kondisi yang mendasari.

Pengobatan untuk Kondisi Kesehatan Terkait: Jika gangguan ingatan disebabkan oleh kondisi medis seperti penyakit vaskular atau gangguan kesehatan mental, pengobatan yang tepat untuk kondisi tersebut dapat membantu mengurangi gejala gangguan ingatan.

Perawatan untuk Penyakit Neurodegeneratif: Untuk kondisi-kondisi seperti Alzheimer atau demensia, terapi obat-obatan tertentu, seperti inhibitor kolinesterase atau memantau glutamat, mungkin diresepkan untuk mengelola gejalanya. Terapi non-obat, seperti terapi perilaku kognitif atau dukungan psikososial, juga dapat membantu.

Pengelolaan Obat: Jika gangguan ingatan disebabkan oleh efek samping obat-obatan, dokter dapat meninjau rejimen obat pasien dan membuat penyesuaian jika diperlukan.

Gaya Hidup Sehat: Mendorong gaya hidup sehat, termasuk diet seimbang, olahraga teratur, tidur yang cukup, stimulasi kognitif, dan interaksi sosial yang aktif, dapat membantu menjaga kesehatan otak dan mengurangi risiko gangguan ingatan.

Latihan Kognitif: Program-program latihan kognitif, seperti teka-teki, permainan memori, atau kursus pendidikan, dapat membantu merangsang otak dan memperbaiki fungsi ingatan pada lansia.

Dukungan Sosial: Menjaga hubungan yang kuat dengan keluarga, teman, atau kelompok dukungan dapat memberikan dukungan emosional dan praktis yang penting dalam mengelola gangguan ingatan pada lansia.

Dukungan sosial mampu mengelola gangguan ingatan.
(Sumber: foto canva.com)

Memahami setiap kasus gangguan ingatan pada lansia mungkin memiliki penyebab dan penanganan yang berbeda. Konsultasikan dengan profesional medis untuk penilaian dan rekomendasi yang tepat.


Sumber:

https://www.nia.nih.gov/health/memory-loss-and-forgetfulness/memory-problems-forgetfulness-and-aging

https://alzheimer.ca/en/about-dementia/do-i-have-dementia/differences-between-normal-aging-dementia

https://www.helpguide.org/articles/alzheimers-dementia-aging/age-related-memory-loss.htm

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/alzheimers-disease/in-depth/memory-loss/art-20046326

https://www.cdc.gov/aging/publications/features/worsening-memory-loss/index.html


Sunday, 21 April 2024

Klonus, Lutut Diketuk Palu Karet Menendang Cepat dan Jauh.

         Klonus adalah gerakan yang berulang-ulang dan ritmis yang terjadi karena kontraksi otot yang cepat secara bergantian. Ini sering terjadi sebagai respons terhadap rangsangan yang kuat pada tendon tertentu di tubuh, terutama pada daerah-daerah seperti pergelangan kaki atau lengan. 

Kontraksi otot yang cepat dan bergantian menimbulkan klonus.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Klonus sering kali dianggap sebagai tanda dari masalah neurologis, seperti cedera otak atau penyakit saraf tertentu. Kondisi ini dapat diobservasi oleh dokter sebagai bagian dari pemeriksaan fisik dan seringkali memerlukan penilaian lebih lanjut untuk menentukan penyebab yang mendasarinya.

Klonus merupakan manifestasi dari hiperrefleksia , yaitu saat otot Anda mengalami respons refleks yang terlalu aktif. Misalnya, penyedia layanan kesehatan sering menguji refleks otot Anda dengan mengetuk lutut Anda dengan palu karet. Jika Anda menderita hiperrefleksia, kaki Anda akan menendang lebih jauh dan lebih cepat dari biasanya.

Klonus pada lansia bisa menjadi tanda dari berbagai masalah kesehatan, terutama yang terkait dengan gangguan neurologis atau perubahan dalam sistem saraf. 

Beberapa ciri yang mungkin muncul pada lansia yang mengalami klonus meliputi:

Ketidakstabilan Motorik:
Lansia yang mengalami klonus mungkin mengalami kesulitan dalam menjaga keseimbangan atau melakukan gerakan yang halus.

Kelemahan Otot: 
Klonus dapat menjadi tanda kelemahan otot, terutama jika klonus terjadi setelah rangsangan tertentu.

Koordinasi yang Buruk: 
Gangguan koordinasi gerakan, seperti kesulitan dalam berjalan atau melakukan tugas-tugas sehari-hari yang membutuhkan keterampilan motorik, dapat menjadi tanda terkait dengan klonus pada lansia.

Gangguan koordinasi gerakan yang buruk sehingga sulit berjalan.
(Sumber: foto canva.com)
Refleks yang Berlebihan: 
Klonus sering kali terjadi sebagai respons terhadap rangsangan atau tekanan pada tendon tertentu. Peningkatan refleks ini dapat menjadi ciri khas pada lansia yang mengalami klonus.

Gangguan Neurologis Lainnya: 
Klonus pada lansia juga seringkali terkait dengan gangguan neurologis lainnya, seperti tremor, kejang, atau masalah sensorik.

Beberapa faktor penyebab klonus pada lansia meliputi:
Penyakit Neurologis: 
Klonus dapat menjadi gejala dari berbagai penyakit neurologis yang sering terjadi pada lansia, seperti penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, atau penyakit serebrovaskular.

Cedera Otak: 
Cedera otak traumatis atau cedera otak lainnya dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf yang mengontrol gerakan otot, yang dapat menghasilkan klonus.

Degenerasi Saraf: 
Proses degeneratif yang terjadi pada sistem saraf, seperti degenerasi saraf perifer atau degenerasi medula spinalis, dapat menyebabkan klonus pada lansia.

Efek Samping Obat: 
Beberapa obat yang sering digunakan oleh lansia untuk mengobati berbagai kondisi kesehatan, seperti obat-obatan untuk tekanan darah tinggi, depresi, atau gangguan tidur, dapat memiliki efek samping yang termasuk klonus.

Gangguan Metabolik: 
Kondisi medis yang mengganggu metabolisme tubuh, seperti gangguan elektrolit, gangguan hormonal, atau diabetes, juga dapat menyebabkan klonus pada lansia.

Kerusakan Pembuluh Darah: 
Penyumbatan atau perdarahan dalam pembuluh darah yang menyuplai darah ke otak (penyakit serebrovaskular) dapat menyebabkan kerusakan pada area otak yang mengatur gerakan otot dan menyebabkan klonus.

Stres dan Kondisi Emosional: 
Faktor psikologis seperti stres atau kecemasan juga dapat mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan klonus pada lansia.

Faktor penyebab klonus pada lansia bisa sangat bervariasi, dan seringkali kondisi ini merupakan hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang berbeda. Pengobatan klonus pada lansia tergantung pada penyebab yang mendasarinya. 

Beberapa metode pengobatan yang mungkin digunakan:

Penanganan Penyakit Penyebab:
Jika klonus disebabkan oleh penyakit tertentu, seperti penyakit Parkinson atau penyakit Alzheimer, pengobatan akan difokuskan pada pengelolaan penyakit yang mendasarinya. Ini mungkin melibatkan obat-obatan tertentu, terapi fisik, atau intervensi bedah tergantung pada kondisi spesifik.

Pengelolaan Obat: 
Jika klonus disebabkan oleh efek samping obat, dokter mungkin akan merekomendasikan untuk mengubah dosis, mengganti obat, atau menghentikan obat yang menyebabkan masalah.

Terapi Fisik:
Terapi fisik dapat membantu memperbaiki kelemahan otot, meningkatkan keseimbangan, dan meningkatkan koordinasi gerakan. Ini dapat membantu mengurangi keparahan klonus dan meningkatkan kualitas hidup.

Terapi fisik dapat membantu kelemahan otot.
(Sumber: foto canva.com)
Terapi Okupasi:
Terapis okupasi dapat membantu lansia mengembangkan strategi untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari dengan lebih efisien dan aman, serta membantu dalam penyesuaian lingkungan rumah agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pengelolaan Faktor Risiko: 
Penting untuk mengelola faktor-faktor risiko kesehatan lainnya yang dapat memperburuk klonus, seperti menjaga tekanan darah yang sehat, mengelola kadar gula darah bagi penderita diabetes, dan menjaga gaya hidup sehat secara umum.

Konseling dan Dukungan Psikologis: 
Klonus dan kondisi kesehatan lainnya dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Konseling atau dukungan psikologis dapat membantu lansia dan keluarga mereka dalam menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan kondisi kesehatan.

Penggunaan Alat Bantu:
Dalam beberapa kasus, penggunaan alat bantu seperti tongkat atau kursi roda dapat membantu dalam mobilitas dan mengurangi risiko cedera akibat klonus.

Jika seseorang mengalami klonus atau gejala lain yang mencurigakan, penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter untuk evaluasi dan diagnosis yang tepat. Dokter dapat melakukan pemeriksaan fisik dan tes tambahan untuk menentukan penyebab klonus dan merencanakan penanganan yang sesuai.



Sumber:

https://my.clevelandclinic.org/health/symptoms/24822-clonus

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534862/

https://www.webmd.com/a-to-z-guides/what-is-clonus-reflex#1-3

https://www.verywellhealth.com/clonus-causes-diagnosis-and-treatment-5213409