Thursday, 29 February 2024

Coping Religius dan Spiritual pada Lansia

        Beberapa penelitian menemukan bahwa lansia yang sangat religius dan menggunakan mekanisme penanggulangan yang religius memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi dan kecemasan serta memiliki rasa kesejahteraan psikologis yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak . Bahkan persepsi tentang disabilitas tampaknya berubah seiring dengan tingkat religiusitas mereka.

Lansia yang religius dan menggunakan coping religius tidak depresi.
(Sumber: foto paguyuban 209)

Coping religius dan spiritual pada lansia merujuk pada cara-cara tertentu yang digunakan oleh orang tua atau lansia untuk mengatasi stres, kesulitan, atau tantangan dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan sumber daya dan keyakinan spiritual atau religius mereka. 


Berikut adalah pengertian masing-masing dari kedua konsep tersebut:

Coping Religius:
 
Coping religius melibatkan penggunaan keyakinan, nilai-nilai, dan praktik-praktik keagamaan dalam menghadapi situasi-situasi yang menantang dalam kehidupan. Ini bisa mencakup doa, meditasi, ritual keagamaan, atau keterlibatan dalam kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk menenangkan pikiran, mencari ketenangan batin, atau menemukan makna dalam pengalaman hidup. Coping religius sering kali berfungsi sebagai sumber kekuatan dan ketenangan bagi individu dalam menghadapi stres dan kesulitan.

Coping Spiritual: 
Coping spiritual melibatkan pencarian dan pengalaman individu terhadap makna, tujuan hidup, dan koneksi dengan yang lebih besar atau transenden. Ini bisa mencakup refleksi diri, pencarian makna dalam penderitaan, atau penemuan kekuatan dalam keyakinan akan keberadaan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Coping spiritual juga dapat melibatkan pencarian kepuasan dalam hubungan interpersonal, pengalaman alam, atau ekspresi seni yang mendalam.

Bagi lansia, coping religius dan spiritual sering kali menjadi sumber daya yang signifikan dalam menghadapi perubahan fisik, sosial, dan emosional yang terkait dengan penuaan. Ini bisa membantu mereka dalam mencari makna dalam pengalaman hidup mereka, menemukan ketenangan dalam menghadapi keterbatasan fisik atau sosial, serta merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dengan demikian, coping religius dan spiritual dapat menjadi aspek penting dalam perawatan holistik bagi lansia.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan coping religius dan spiritual pada lansia:

Keyakinan dan Nilai-Nilai Agama: 
Lansia yang memiliki keyakinan agama yang kuat cenderung menggunakan coping religius dan spiritual sebagai cara untuk menghadapi stres dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Keyakinan dan nilai-nilai agama ini menjadi sumber kekuatan dan ketenangan bagi mereka.

Pengalaman Hidup dan Pendidikan Agama: 
Pengalaman hidup dan tingkat pendidikan agama juga mempengaruhi penggunaan coping religius dan spiritual. Lansia yang telah terlibat dalam praktik keagamaan sepanjang hidup mereka atau yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ajaran agama cenderung lebih mungkin menggunakan coping religius dan spiritual.

Pendidikan agama mempengaruhi penggunaan coping religius.
(Sumber: foto canva.com)
Dukungan Sosial dari Komunitas Keagamaan:
Dukungan sosial dari komunitas keagamaan juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi penggunaan coping religius dan spiritual pada lansia. Lansia yang terlibat secara aktif dalam komunitas keagamaan mereka mungkin merasa lebih didukung dan terhubung, yang dapat memperkuat penggunaan coping religius dan spiritual.

Keterbatasan Fisik dan Kesehatan: 
Lansia yang mengalami keterbatasan fisik atau masalah kesehatan tertentu mungkin cenderung mencari dukungan dalam coping religius dan spiritual. Praktik-praktik seperti meditasi, doa, atau refleksi spiritual dapat membantu mereka mengatasi rasa sakit, kelelahan, atau keterbatasan fisik lainnya.

Perubahan dalam Kehidupan Sosial:
Perubahan dalam kehidupan sosial, seperti pensiun, kehilangan pasangan hidup, atau terpisah dari keluarga, dapat mendorong lansia untuk mencari makna dan ketenangan dalam coping religius dan spiritual.

Penerimaan akan Kematian dan Ketidakpastian:
Lansia yang semakin menyadari keterbatasan usia dan kematian juga mungkin menggunakan coping religius dan spiritual sebagai cara untuk mencari makna dalam kehidupan mereka dan menghadapi ketidakpastian yang terkait dengan masa depan.

Faktor-faktor ini secara bersama-sama mempengaruhi bagaimana lansia menggunakan coping religius dan spiritual sebagai cara untuk menghadapi tantangan dan stres dalam kehidupan mereka.

       Tanda-tanda bahwa seorang lansia membutuhkan coping religius dan spiritual dapat bervariasi tergantung pada individu dan situasi mereka. 

Berapa ciri umum yang menunjukkan bahwa seorang lansia mungkin membutuhkan coping religius dan spiritual meliputi:

Peningkatan Stres atau Kecemasan:
Lansia yang mengalami peningkatan stres atau kecemasan dalam kehidupan sehari-hari mungkin mencari dukungan dalam praktik-praktik spiritual atau religius untuk menenangkan pikiran dan mencari ketenangan batin.

Lansia yang mengalami stres mencari dukungan praktik spiritual.
(Sumber: foto canva.com)

Krisis Identitas atau Makna:
Lansia yang menghadapi krisis identitas atau mencari makna dalam kehidupan mereka pada tahap-tahap akhir kehidupan mungkin merasa tertarik pada pencarian spiritual atau religius untuk menemukan arti yang lebih dalam.

Pengalaman Kehilangan atau Kesedihan:
Lansia yang mengalami kehilangan signifikan, seperti kematian pasangan hidup atau kehilangan kemampuan fisik atau mental, mungkin mencari dukungan dalam iman dan keyakinan spiritual mereka.

Keterbatasan Fisik atau Kesehatan:
Lansia yang mengalami keterbatasan fisik atau masalah kesehatan tertentu mungkin mencari dukungan dalam praktik-praktik spiritual atau religius untuk mengatasi rasa sakit, kelelahan, atau ketidaknyamanan fisik.

Pertanyaan tentang Kematian dan Kehidupan Setelahnya: 
Lansia yang mulai mempertanyakan makna hidup, tujuan, dan eksistensi mereka mungkin mencari jawaban dalam keyakinan spiritual atau religius mereka tentang kematian dan kehidupan setelahnya.

Kesepian atau Isolasi Sosial: 
Lansia yang merasa kesepian atau terisolasi secara sosial mungkin mencari dukungan dalam komunitas keagamaan atau praktik-praktik spiritual untuk merasa terhubung dengan orang lain dan merasa didukung.

Perubahan Dalam Kehidupan Sosial atau Lingkungan: 
Perubahan dalam kehidupan sosial atau lingkungan, seperti pensiun, pindah tempat tinggal, atau perubahan besar dalam rutinitas sehari-hari, dapat mendorong lansia untuk mencari dukungan dalam keyakinan spiritual atau religius mereka.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik dalam hal spiritualitas dan religiusitas mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan menghormati kebutuhan individu saat mencari dukungan dalam coping religius dan spiritual.

        Cara menggunakan coping religius dan spiritual pada lansia dapat bervariasi tergantung pada preferensi dan keyakinan individu.

Beberapa cara umum yang dapat membantu lansia menggunakan coping religius dan spiritual:

Doa dan Meditasi: 
Lansia dapat menggunakan doa atau meditasi sebagai cara untuk mencari ketenangan batin, merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, dan menenangkan pikiran mereka dalam menghadapi stres atau kesulitan.

Lansia mencari ketenangan batin dengan berdoa.
(Sumber: canva.com)
Partisipasi dalam Kegiatan Keagamaan:
Lansia dapat terlibat dalam kegiatan keagamaan seperti ibadah, perayaan keagamaan, atau kelompok doa sebagai cara untuk merasa terhubung dengan komunitas keagamaan mereka dan mendapatkan dukungan sosial dari sesama umat.

Pembacaan atau Studi Teks Keagamaan:
Membaca atau mempelajari teks-teks keagamaan dapat membantu lansia menemukan ketenangan batin, mendapatkan wawasan tentang makna hidup, dan menemukan dukungan dalam keyakinan spiritual mereka.

Mendiskusikan Isu-Isu Spiritual dengan Orang Lain:
Lansia dapat mencari dukungan dalam berbicara dengan anggota komunitas keagamaan mereka, teman-teman, atau anggota keluarga tentang isu-isu spiritual atau religius yang mereka hadapi.

Mengembangkan Rutinitas Spiritual: 
Membuat rutinitas spiritual seperti waktu harian untuk berdoa, meditasi, atau refleksi spiritual dapat membantu lansia menjaga kesehatan mental dan emosional mereka.

Mengikuti Konseling atau Pendampingan Spiritual: 
Lansia dapat mencari bimbingan dari seorang konselor atau pendeta/pemimpin agama untuk membantu mereka menjelajahi masalah spiritual atau religius yang mungkin mereka hadapi dalam proses penuaan.

Menyumbang atau Melayani Komunitas: 
Melakukan amal atau melayani komunitas dalam kerangka keagamaan mereka dapat menjadi cara bagi lansia untuk merasa terhubung dengan orang lain dan menemukan makna dalam pengalaman hidup mereka.

Pengembangan Koneksi Emosional: 
Lansia dapat mencari dukungan dalam membangun dan memelihara hubungan emosional dengan sesama umat atau keluarga yang membagikan keyakinan spiritual mereka.

Penggunaan coping religius dan spiritual harus disesuaikan dengan preferensi dan keyakinan individu masing-masing. Selain itu, lansia juga dapat mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau agama jika mereka merasa perlu bantuan tambahan dalam mengatasi stres atau kesulitan yang mereka hadapi.




Sumber:

https://www.snydervillage.com/spiritual-needs-older-adults/

https://www.msdmanuals.com/professional/geriatrics/social-issues-in-older-adults/religion-and-spirituality-in-older-adults

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36991287/

https://www.researchgate.net/publication/286444901_Spiritual_Religious_Coping_is_Associated_with_Quality_of_Life_in_Institutionalized_Older_Adults

https://www.intechopen.com/chapters/40016

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0197457217301520

Wednesday, 28 February 2024

Sindrom Diogenes pada Lansia, Rumah tidak Terawat.

       Penimbunan sampah dan barang-barang yang tampaknya acak secara kompulsif adalah ciri utama  Sindrom Diogenes, yang terutama terjadi pada orang lanjut usia dan berhubungan dengan demensia progresif. Ciri-ciri lainnya termasuk pengabaian diri yang ekstrim, sikap apatis, penarikan diri dari pergaulan, dan kurangnya rasa malu.

Sindrom ini merupakan istilah yang keliru, karena namanya diambil dari nama filsuf Yunani Diogenes dari Sinope. Diogenes adalah seorang Sinis yang, menurut filosofi yang ia bantu temukan, menolak keinginan akan kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, memilih untuk hidup bebas dari semua harta benda. Dia menemukan kebajikan dalam kemiskinan, tidur di toples keramik besar, dan mencari interaksi.

Lansia perlu mewaspadai sindrom Diogenes.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Sindrom Diogenes adalah suatu kondisi psikologis yang biasanya ditemukan pada lansia di mana individu tersebut menunjukkan perilaku yang ekstrim dalam penolakan terhadap perawatan diri dan  kebersihan, serta isolasi sosial yang signifikan. Orang yang mengalami sindrom Diogenes sering kali tinggal dalam kondisi lingkungan yang sangat tidak sehat atau kumuh, menumpuk sampah atau barang-barang yang tidak berguna di sekitar mereka, dan sering kali menolak bantuan dari orang lain.

Sindrom Diogenes sering dikaitkan dengan masalah kesehatan mental seperti gangguan kepribadian, demensia, atau depresi pada lansia. Perilaku ini dapat sangat merugikan bagi individu yang mengalaminya, karena dapat menyebabkan risiko kesehatan fisik yang serius akibat kekurangan kebersihan, dan juga dapat menyebabkan isolasi sosial yang berdampak negatif pada kualitas hidup mereka.

Sindrom Diogenes bukanlah diagnosa medis resmi, tetapi lebih merupakan deskripsi perilaku yang sangat mengganggu dan memerlukan intervensi profesional, termasuk intervensi medis dan psikologis, untuk membantu individu yang terpengaruh.

Beberapa ciri khas Sindrom Diogenes pada lansia, yang meliputi:

Penolakan Terhadap Perawatan Diri: 
Individu dengan sindrom Diogenes cenderung menolak perawatan diri yang baik, termasuk mandi, mengganti pakaian, atau menjaga kebersihan pribadi lainnya. Mereka mungkin terlihat kumuh dan tidak terurus.

Rumah Tidak Terawat: 
Lingkungan tempat tinggal individu yang mengalami sindrom Diogenes sering kali sangat tidak terawat. Rumah mereka mungkin penuh dengan sampah, barang-barang tidak berguna, atau benda-benda yang menumpuk, menyebabkan kondisi yang tidak higienis.

Lansia yang sindrom Diogenes lingkungannya jorok dan kotor.
(Sumber: foto canva.com)
Isolasi Sosial: 
Mereka cenderung menghindari kontak sosial dengan orang lain dan sering kali hidup dalam isolasi yang ekstrem. Mereka mungkin menolak bantuan dari keluarga, teman, atau tenaga medis.

Kegagalan dalam Merawat Kesehatan: 
Individu dengan sindrom Diogenes sering kali tidak memperhatikan kebutuhan kesehatan mereka sendiri, seperti minum obat secara teratur atau menjalani pemeriksaan medis yang diperlukan.

Perilaku Paranoia atau Keengganan:
Mereka mungkin menunjukkan perilaku paranoid terhadap orang lain atau keengganan untuk menerima bantuan, bahkan ketika mereka membutuhkannya.

Lansia enggan menerima bantuan dan perilaku paranoid.
(Sumber: foto canva.com)

Kehilangan Keteraturan dalam Kehidupan Sehari-hari:
Mereka cenderung kehilangan struktur dan keteraturan dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti tidak memiliki jadwal yang tetap untuk makan atau tidur.

Pengumpulan Barang-Barang Tidak Berguna:
Individu mungkin cenderung mengumpulkan barang-barang yang tidak berguna atau tidak relevan, yang seringkali menumpuk dan menyebabkan kekacauan di sekitar mereka.

Pengabaian terhadap Kondisi Lingkungan yang Tidak Sehat: 
Mereka mungkin tidak sadar atau tidak peduli dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat di sekitar mereka, seperti kelembaban tinggi, jamur, atau kehadiran hama.

Ciri-ciri ini bisa bervariasi dari individu ke individu, dan tidak semua individu dengan sindrom Diogenes akan menunjukkan semua ciri ini. 

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap sindrom Diogenes pada lansia meliputi:

Masalah Kesehatan Mental: 
Gangguan kepribadian, depresi, kecemasan, atau demensia adalah faktor risiko yang signifikan. Gangguan kesehatan mental ini dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk merawat diri sendiri dan mengelola kehidupan sehari-hari dengan baik.

Keterbatasan Fisik: 
Lansia dengan keterbatasan fisik, seperti masalah mobilitas atau kelelahan kronis, mungkin mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, yang dapat menyebabkan penolakan terhadap perawatan diri dan isolasi sosial.

Keterbatasan fisik membuat lansia mengalami isolasi sosial..
(Sumber: foto canva.com)

Trauma Emosional atau Stres: 
Pengalaman traumatis, seperti kehilangan orang yang dicintai, pensiun, atau perubahan besar dalam kehidupan, dapat menyebabkan seseorang mengalami sindrom Diogenes sebagai mekanisme koping yang tidak sehat.

Kekurangan Dukungan Sosial: 
Kurangnya dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas dapat meningkatkan risiko isolasi sosial dan penolakan terhadap bantuan yang ditawarkan.

Keterbatasan Finansial:
Keterbatasan finansial atau masalah keuangan dapat menghalangi akses seseorang terhadap perawatan diri yang baik atau memperburuk kondisi lingkungan tempat tinggal mereka.

Kebiasaan Hidup yang Tidak Sehat: 
Gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurangnya aktivitas fisik, konsumsi alkohol yang berlebihan, atau kebiasaan merokok, dapat berkontribusi pada sindrom Diogenes dan masalah kesehatan mental lainnya.

Kurangnya Pengetahuan atau Pendidikan tentang Kesehatan: 
Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga kebersihan dan perawatan diri pada usia lanjut dapat menyebabkan seseorang mengabaikan aspek-aspek ini dari kesehatan mereka.

Ketidakmampuan untuk Menyadari Masalahnya Sendiri: 
Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan menyadari atau menerima bahwa mereka memiliki masalah perawatan diri atau lingkungan yang tidak sehat, yang membuat sulit untuk mencari bantuan atau perubahan.

Faktor-faktor ini dapat berinteraksi satu sama lain dan memperburuk sindrom Diogenes pada lansia. Penting bagi individu dan keluarga mereka untuk menyadari faktor-faktor risiko ini dan mencari bantuan profesional jika diperlukan.

       Mencegah sindrom Diogenes pada lansia melibatkan beberapa pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, serta mempromosikan kemandirian dan kualitas hidup yang baik. 

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah sindrom Diogenes pada lansia:

Pendidikan dan Kesadaran: 
Penting untuk memberikan pendidikan dan informasi kepada lansia dan keluarganya tentang pentingnya merawat diri, menjaga kebersihan, dan memperhatikan lingkungan tempat tinggal. Kesadaran akan risiko sindrom Diogenes dan tanda-tanda peringatannya penting untuk mencegahnya.

Kesehatan Mental dan Emosional:
Membantu lansia dalam menjaga kesehatan mental dan emosional mereka adalah kunci. Ini bisa mencakup memfasilitasi dukungan sosial, aktivitas sosial yang terstruktur, dan memberikan dukungan emosional selama periode transisi atau stres.

Perawatan Kesehatan Rutin: 
Penting untuk memastikan bahwa lansia menerima perawatan kesehatan rutin yang komprehensif, termasuk pemeriksaan fisik dan kesehatan mental. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini dan memberikan intervensi yang tepat.

Perawatan rutin penting untuk menjaga kesehatan.
(Sumber: foto canva.com)
Kemandirian dan Keterlibatan: 
Mendorong kemandirian sebanyak mungkin adalah penting, tetapi juga penting untuk menawarkan bantuan dan dukungan yang sesuai ketika diperlukan. Melibatkan lansia dalam kegiatan sehari-hari dan memberikan tanggung jawab yang sesuai dapat membantu menjaga kemandirian mereka.

Pengelolaan Stres dan Trauma: 
Mengenali dan mengelola stres serta trauma emosional pada lansia sangat penting. Ini bisa melibatkan bantuan dari profesional kesehatan mental atau dukungan kelompok untuk membantu mereka menghadapi perubahan hidup atau pengalaman traumatis.

Lingkungan yang Aman dan Dukungan Keluarga: 
Menciptakan lingkungan tempat tinggal yang aman, bersih, dan terorganisir adalah kunci. Dukungan dari keluarga, teman, atau tetangga juga dapat membantu mencegah isolasi sosial dan memberikan bantuan jika diperlukan.

Aktivitas dan Hobi:
Mendorong lansia untuk tetap aktif fisik dan mental dengan terlibat dalam kegiatan dan hobi yang mereka nikmati dapat membantu menjaga kesejahteraan secara keseluruhan.

Edukasi tentang Pengelolaan Keuangan: 
Jika masalah keuangan menjadi faktor risiko, memberikan edukasi tentang pengelolaan keuangan yang baik dan membantu lansia dalam merencanakan keuangan mereka dapat membantu mengurangi stres dan risiko sindrom Diogenes.

Setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik, jadi pendekatan pencegahan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi spesifik masing-masing individu. Dukungan keluarga dan intervensi profesional dapat sangat membantu dalam mencegah atau mengelola sindrom Diogenes pada lansia.

       Sindrom Diogenes pada lansia seringkali merupakan hasil dari berbagai faktor, termasuk masalah kesehatan mental, fisik, dan sosial. Pengobatan sindrom Diogenes pada lansia melibatkan pendekatan yang holistik dan seringkali memerlukan campur tangan dari berbagai profesional kesehatan. 

Beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengobati sindrom Diogenes pada lansia:

Evaluasi Medis dan Psikologis: 
Langkah pertama adalah melakukan evaluasi medis dan psikologis menyeluruh oleh profesional kesehatan. Ini akan membantu dalam menilai kondisi fisik dan mental individu, serta mengidentifikasi masalah kesehatan yang mendasarinya.

Perawatan Kesehatan Mental: 
Jika sindrom Diogenes terkait dengan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian, perawatan kesehatan mental yang sesuai diperlukan. Ini bisa termasuk terapi bicara (psikoterapi), obat-obatan, atau kombinasi keduanya.

Perawatan Medis dan Rehabilitasi Fisik: 
Jika ada masalah kesehatan fisik yang mendasari, seperti keterbatasan mobilitas atau masalah kesehatan kronis, perawatan medis dan rehabilitasi fisik mungkin diperlukan. Ini bisa melibatkan terapi fisik, obat-obatan, atau intervensi medis lainnya.

Manajemen Kebutuhan Keseharian: 
Penting untuk membantu individu dalam memenuhi kebutuhan keseharian mereka, termasuk makanan, kebersihan pribadi, dan perawatan kesehatan. Ini bisa melibatkan bantuan dari anggota keluarga, perawat rumah, atau asisten pribadi.

Perubahan Lingkungan: 
Mengubah atau merapikan lingkungan tempat tinggal individu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini bisa melibatkan membersihkan rumah, menghilangkan barang-barang tidak berguna, dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

Lingkungan yang baik meningkatkan kesejahteraan lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Pendidikan dan Dukungan: 
Memberikan pendidikan tentang pentingnya merawat diri dan kesehatan pribadi serta memberikan dukungan emosional dan praktis dapat membantu individu dalam mengatasi sindrom Diogenes. Ini bisa melibatkan konseling, dukungan kelompok, atau bimbingan dari profesional kesehatan.

Pengawasan dan Pemantauan: 
Penting untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terus-menerus terhadap individu yang mengalami sindrom Diogenes untuk memastikan bahwa mereka menerima perawatan dan dukungan yang sesuai. Ini bisa melibatkan kerja sama dengan anggota keluarga, perawat, atau tenaga medis.

 Pengobatan sindrom Diogenes pada lansia seringkali merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang individualistik. Setiap individu akan memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik, dan pendekatan pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing individu. Dukungan keluarga dan kerja sama dengan berbagai profesional kesehatan juga sangat penting dalam proses pengobatan.



Sumber:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3553571 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2656295/

https://www.rightathome.net/palm-beach/blog/diogenes-syndrome-in-seniors

https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/diogenes-syndrome

https://www.cambridge.org/core/journals/bjpsych-open/article/diogenes-syndrome-in-dementia-a-case-report/11B794632EDC1B17819854134CF3375B

https://www.medicalnewstoday.com/articles/314595


Tuesday, 27 February 2024

Strategi Coping pada Lansia untuk Mengelola Stres

        Salah satu kunci untuk menjaga kesejahteraan di masa penuaan adalah penggunaan strategi coping yang efektif yang memfasilitasi adaptasi optimal lansia pada tahap ini. Mengetahui strategi mana yang dapat meningkatkan proses ini dan mengarah pada peningkatan kepuasan hidup. 

Coping didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang dimobilisasi untuk mengelola situasi stres internal dan eksternal. Menetapkan beberapa pedoman psikologis dan pribadi untuk keberhasilan penuaan dan merupakan indikator penting dari berfungsinya kesehatan mental secara positif, yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan kesehatan di negara-negara maju.

Coping adalah pikiran dan perilaku untuk mengelola situasi stres.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Lansia harus menghadapi berbagai perubahan selama penuaan yang dapat diartikan sebagai stres, dan penyesuaian yang baik terhadap perubahan ini menentukan apakah lansia dapat beradaptasi secara optimal terhadap penuaan, sehingga memperoleh kepuasan. Jenis strategi penanggulangan yang diaktifkan dalam situasi berbeda mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mental 

Coping stres pada lansia merujuk pada strategi atau cara-cara yang digunakan oleh orang lanjut usia (lansia) untuk menghadapi atau menanggulangi stres dan tekanan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Stres pada lansia bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan fisik dan kesehatan, kehilangan sosial, perubahan lingkungan, atau masalah keuangan.

Lansia harus memahami coping strategi stres.
(Sumber: foto canva.com)

Coping stres pada lansia melibatkan berbagai strategi, seperti:

Coping problem-focused: 
Melibatkan upaya untuk mengatasi masalah yang menjadi sumber stres, misalnya dengan mencari solusi praktis atau mencari bantuan dari orang lain.

Coping emotion-focused:
Melibatkan upaya untuk mengelola atau mengubah respons emosional terhadap situasi stres, misalnya dengan menerima situasi tersebut atau menggunakan teknik relaksasi.

Coping meaning-focused:
Melibatkan upaya untuk mencari makna atau pemahaman yang lebih dalam terhadap situasi stres, misalnya dengan memandang situasi tersebut sebagai suatu pelajaran atau pengalaman pertumbuhan pribadi.

Coping sosial: 
Melibatkan dukungan dari orang lain, baik dalam bentuk dukungan emosional maupun dukungan praktis, seperti bantuan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari.

Coping religius atau spiritual:
Melibatkan keyakinan dan praktik keagamaan atau spiritual untuk mengatasi stres, misalnya dengan berdoa, meditasi, atau mengikuti praktik keagamaan.

Strategi coping yang efektif bagi setiap individu lansia dapat bervariasi tergantung pada preferensi pribadi, kepercayaan, dan kondisi kesehatan mereka. Mendorong lansia untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping yang sesuai dapat membantu mereka menghadapi stres dengan lebih efektif dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Penyakit apa pun, baik fisik maupun mental, dapat memerlukan teknik coping. 

Beberapa penyakit yang sering kali memerlukan strategi coping yang efektif meliputi:

Penyakit Kronis:
Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, arthritis, atau penyakit autoimun memerlukan coping untuk mengelola gejala, menghadapi perubahan gaya hidup yang diperlukan, dan menjaga kualitas hidup yang optimal.

Kanker:
Diagnosis kanker dan perawatan yang terkait dengannya, seperti kemoterapi atau radioterapi, dapat sangat menantang secara emosional dan fisik. Coping dapat membantu pasien dan keluarganya menghadapi stres, mengelola efek samping, dan menjaga harapan dan kualitas hidup yang tinggi selama perjalanan pengobatan.

Gangguan Mental: 
Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, atau gangguan suasana hati memerlukan strategi coping untuk mengelola gejala, menghadapi stigmatisasi, dan mempertahankan kesehatan mental yang baik.

Penyakit Neurologis:
Penyakit neurologis seperti Alzheimer, Parkinson, atau multiple sclerosis (MS) dapat memerlukan coping untuk mengelola tantangan kognitif, fisik, dan emosional yang terkait dengan kondisi tersebut.

Penyakit Menular dan Pandemik:
Penyakit menular seperti influenza, HIV/AIDS, atau pandemi seperti COVID-19 dapat memerlukan coping untuk mengelola ketidakpastian, isolasi sosial, dan dampak fisik dan mental dari penyakit tersebut.

Penyakit yang Berkaitan dengan Gaya Hidup:
Penyakit yang terkait dengan gaya hidup seperti obesitas, penyakit jantung, atau diabetes tipe 2 memerlukan coping untuk mengubah perilaku dan kebiasaan hidup agar lebih sehat.

Penyakit yang terkait gaya hidup memerlukan coping untuk mengubah perilaku.
(Sumber: foto canva.com)

Penyakit yang Menyebabkan Disabilitas atau Keterbatasan:
Penyakit atau cedera yang menyebabkan disabilitas atau keterbatasan fisik memerlukan coping untuk mengatasi tantangan fisik, emosional, dan sosial yang terkait dengan kondisi tersebut.

Dalam semua kasus, teknik coping yang efektif dapat membantu individu dan keluarganya mengatasi tantangan yang terkait dengan penyakit, mengelola stres, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

        Menggunakan teknik coping pada lansia memerlukan pendekatan yang sensitif dan sesuai dengan kebutuhan dan preferensi individu. 

Beberapa langkah umum yang dapat membantu dalam menggunakan coping pada lansia:

Pemahaman tentang Kebutuhan Individu: 
Setiap lansia memiliki kebutuhan dan tantangan yang unik. Penting untuk memahami secara individu bagaimana mereka merespons stres, apa yang membuat mereka merasa tenang, dan bagaimana mereka ingin menghadapi masalah yang muncul.

Komunikasi Terbuka: 
Dukungan sosial dan dukungan dari anggota keluarga atau perawat sangat penting. Menyediakan saluran komunikasi terbuka di mana lansia merasa nyaman berbicara tentang perasaan mereka, tantangan yang mereka hadapi, dan cara mereka ingin ditolong adalah kunci.

Pilihan Strategi Coping yang Sesuai: 
Ada berbagai teknik coping yang dapat digunakan, termasuk tetapi tidak terbatas pada, teknik relaksasi, meditasi, latihan pernapasan, olahraga ringan, terapi bicara, atau mengikuti kegiatan yang memberikan kepuasan. Penting untuk menyesuaikan pilihan teknik coping dengan minat, kemampuan fisik, dan preferensi lansia.

Promosi Kemandirian: 
Mengajarkan lansia untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping mereka sendiri adalah penting untuk meningkatkan rasa kemandirian dan kontrol atas situasi yang mereka hadapi. Ini juga membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam mengatasi stres dan tantangan.

Ajarkan lansia mengidentifikasi dan menggunakan strategi coping sendiri.
(Sumber: foto canva.com)
 
Jadwal dan Rutinitas yang Teratur:
Menciptakan rutinitas harian yang terstruktur dan konsisten dapat membantu lansia merasa lebih terkendali dan terorganisir, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan.

Dukungan dari Tenaga Kesehatan Profesional: 
Terapis, konselor, atau dokter dapat memberikan bimbingan dan dukungan tambahan dalam mengembangkan dan menerapkan strategi coping yang efektif. Mereka juga dapat membantu dalam mengelola perubahan fisik atau kesehatan mental yang mungkin terjadi pada lansia.

Mendorong Kegiatan Sosial dan Keterlibatan: 
Aktivitas sosial dan interaksi dengan orang lain dapat menjadi sumber dukungan emosional dan distraksi yang baik dari stres. Mendorong lansia untuk tetap terlibat dalam kegiatan sosial, seperti klub, kelompok gereja, atau kelas seni, dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Evaluasi dan Penyesuaian:
Penting untuk secara teratur mengevaluasi efektivitas teknik coping yang digunakan dan siap untuk menyesuaikan strategi jika diperlukan sesuai dengan perubahan kebutuhan atau situasi lansia.

Dengan memperhatikan kebutuhan individu dan menggunakan pendekatan yang holistik, dapat dibantu lansia untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari mereka dengan lebih baik menggunakan teknik coping yang sesuai.




Sumber:

https://www.goodtherapy.org/blog/coping-mechanisms/

https://www.verywellhealth.com/coping-mechanisms-5272135

https://psychologycompass.com/blog/coping-with-stress/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1948895/

https://bluemoonseniorcounseling.com/specialties/development-of-coping-skills/

Monday, 26 February 2024

5 Tahapan Penuaan Lansia, Apakah Anda dapat Melalui.

        Penuaan adalah proses yang panjang dan rumit, dan kebutuhan seseorang yang menua dapat berubah kapan saja. Dalam beberapa kasus, lansia relatif stabil dalam kesehatan fisik dan kognitif selama bertahun-tahun. Namun, di lain waktu, kesehatan mereka mungkin menurun drastis.

Theory of Gerotranscendence yang disusun oleh Tornstam adalah teori yang menggambarkan perjalanan psikologis yang mungkin dialami oleh sebagian lansia selama proses penuaan. Proses menuju gerotranscendence melibatkan perkembangan di mana individu secara bertahap mengubah konsepsi dasar mereka, sehingga mengakibatkan pergeseran definisi mereka tentang realitas dari pandangan dunia yang materialistis dan rasional ke pandangan yang lebih kosmis dan transendental, yang biasanya disertai dengan peningkatan kepuasan hidup.

Penuaan adalah proses panjang dan rumit, Tornstam membagi 5 tahapan.
(Sumber: foto pens 49 ceria)

Istilah gerotranscendence dipilih oleh Tornstam karena banyak perubahan terkait, krisis atau karakteristik perkembangan yang dijelaskan oleh ilmuwan dan ahli teori lain melibatkan berbagai cara di mana orang lanjut usia menerobos batas-batas atau melampaui krisis perkembangan ketika berpindah ke tahap baru dalam kehidupan. Dengan demikian, istilah gerotranscendence digunakan dalam pengertian sederhana ini, bukan dalam pengertian religius atau metafisik ( Tornstam, 2005 ). Istilah gerotranscendence digunakan untuk menggambarkan proses perkembangan dan tahap perkembangan akhir.

Tornstam (1997) mengusulkan gerotranscendence sebagai sebuah langkah perkembangan, di mana seseorang mengubah “perspektif mereka dari pandangan dunia yang materialistis dan pragmatis ke pandangan yang lebih transenden, biasanya disertai dengan peningkatan kepuasan hidup.

Berikut penjelasan singkat mengenai setiap tahapan:

Swasembada (Self-Sufficiency): 
Pada tahap ini, individu cenderung lebih fokus pada kebutuhan dan kegiatan pribadi mereka sendiri. Mereka berusaha untuk mempertahankan otonomi dan independensi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ini sering kali terjadi pada awal penuaan ketika kesehatan fisik masih relatif baik dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sendiri masih ada. Mereka hidup mandiri dan dapat menyelesaikan aktivitas sehari-hari dengan mudah, seperti  membersihkan rumah, dan mandi tidak menimbulkan kesulitan atau masalah keamanan yang serius.

Saling Ketergantungan (Interdependence):
Pada tahap ini, individu mulai memperhatikan pentingnya keterhubungan dengan orang lain dalam kehidupan mereka. Mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat mencapai segala sesuatu sendiri dan mulai mengandalkan dukungan dari orang lain, baik itu anggota keluarga, teman, atau masyarakat. Mereka membutuhkan perhatian dari keluarga atau teman. 

Lansia saling ketergantungan dengan keluarga, teman dan masyarakat.
(Sumber: foto canva.com)

Ketergantungan (Dependency):
Pada tahap ini, individu mengalami peningkatan ketergantungan pada orang lain dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Ini bisa disebabkan oleh penurunan kesehatan fisik atau mental yang signifikan yang membatasi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan eksternal. 
Lansia sudah tidak bisa lagi hidup sendiri dengan aman. Penurunan kognitif, masalah kesehatan fisik, atau kombinasi keduanya menimbulkan risiko keselamatan langsung atau menghalangi mereka menyelesaikan aktivitas sehari-hari.

Manajemen Krisis (Crisis Management): 
Pada tahap ini, individu menghadapi krisis atau tantangan besar yang terkait dengan penuaan, seperti masalah kesehatan yang serius, kehilangan orang yang dicintai, atau masalah keuangan. Mereka perlu mengatasi krisis ini dengan mengandalkan sumber daya internal dan eksternal untuk mencapai penyesuaian yang diperlukan. Tahap ini membutuhkan dukungan medis segera. Lansia harus tinggal di fasilitas perawatan terampil atau menerima perawatan profesional ekstensif di rumah. Terkadang, perawatan ini diperlukan karena penyakit fisik. Di lain waktu, lansia memerlukan perawatan memori karena Alzheimer atau demensia.

Akhir Kehidupan (End of Life):
Tahap ini adalah tahap akhir dari kehidupan, di mana individu menghadapi kematian. Pada tahap ini, fokus individu mungkin bergeser pada refleksi terhadap hidup yang telah mereka jalani, menerima kematian sebagai bagian alami dari siklus kehidupan, dan mencari makna dalam akhir kehidupan mereka. Beberapa lansia memilih untuk berhenti menerima perawatan medis dan memasuki perawatan rumah sakit, dan yang lainnya ingin terus menerima layanan yang sama. Namun secara keseluruhan, tujuan tahap ini adalah agar lansia merasa senyaman mungkin. Menerima akhir kehidupan bisa jadi sangat sulit bagi individu dan keluarga mereka. Hal ini sering kali merupakan pengalaman spiritual, namun sikap setiap orang terhadap proses tersebut berbeda-beda. 

Lansia refleksi terhadap hidup, menerima kematian bagian alami dari siklus kehidupan.
(Sumber: foto canva.com)

Beberapa lansia mungkin mengalami tahapan-tahapan ini secara bertahap seiring waktu, sementara yang lain mungkin mengalami sebagian atau bahkan tidak mengalami sama sekali. Faktor-faktor seperti kepribadian, pengalaman hidup, kesehatan fisik dan mental, dukungan sosial, dan lingkungan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons proses penuaan.

Beberapa ciri yang mungkin dimiliki oleh lansia yang mengalami tahapan-tahapan tersebut:

Peningkatan refleksi dan introspeksi: 
Lansia yang mengalami tahapan Gerotranscendence mungkin menunjukkan peningkatan dalam refleksi diri dan introspeksi. Mereka mungkin lebih sering memikirkan makna hidup, tujuan mereka, dan arti eksistensial.

Peningkatan rasa keterhubungan:
Mereka mungkin merasa lebih terhubung dengan alam semesta dan sesama manusia secara keseluruhan. Mereka dapat merasa bahwa ada kesadaran kolektif yang lebih besar di luar diri mereka sendiri.

Transendensi waktu dan ruang: 
Lansia pada tahap ini mungkin mengalami perasaan yang lebih besar akan kedekatan dengan masa lalu dan mungkin juga melihat masa depan dengan perspektif yang lebih luas. Mereka mungkin tidak lagi terlalu terikat pada keterbatasan waktu dan ruang yang konvensional.

Perubahan nilai dan prioritas: 
Mereka mungkin mengalami perubahan dalam nilai-nilai dan prioritas mereka, dengan mengutamakan hubungan yang bermakna, pertumbuhan pribadi, dan pencarian makna hidup daripada pencapaian material atau prestasi.

Penerimaan akan kematian: 
Lansia yang mengalami tahapan Gerotranscendence mungkin lebih mampu menerima dan menghadapi kenyataan kematian dengan damai. Mereka mungkin melihat kematian sebagai bagian alami dari siklus kehidupan dan mengalami kedamaian dalam mempersiapkan diri untuk tahap akhir kehidupan mereka.

Lansia lebih mampu menerima tahapan akhir kehidupan.
(Sumber: foto canva.com)

Meskipun Theory of Gerotranscendence menyajikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami perubahan psikologis yang mungkin terjadi pada sebagian lansia, tidak semua individu akan mengalami setiap tahapannya dengan cara yang sama atau bahkan tidak  mengalami tahapan tersebut sama sekali, karena langsung pada tahap akhir kehidupan (End of Life).




Sumber:











 



Sunday, 25 February 2024

Lansia Super Kognitif, Apakah Anda Termasuk Didalamnya

        Lansia super kognitif adalah sebuah konsep yang mengacu pada keadaan di mana seseorang tetap mempertahankan kemampuan kognitifnya secara optimal bahkan pada usia lanjut. Istilah ini muncul untuk menggambarkan sekelompok orang yang, meskipun telah mencapai usia lanjut, tidak mengalami penurunan kognitif yang signifikan yang biasanya terkait dengan proses penuaan. Mereka tetap memiliki kemampuan berpikir, mengingat, memecahkan masalah, dan menjaga fungsi kognitif lainnya pada tingkat yang tinggi.

Lansia super kognitif memiliki kognisi yang baik dalam usia lanjut.
(Sumber: foto LPC-Lansia)

Lansia super kognitif merupakan area penelitian yang menarik dalam ilmu kesehatan dan neurosains, karena dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor apa yang mungkin berkontribusi terhadap menjaga kognisi yang baik sepanjang rentang usia. Faktor-faktor yang telah diidentifikasi termasuk gaya hidup sehat, faktor genetik, kesehatan mental yang baik, tingkat pendidikan yang tinggi, dan aktivitas kognitif yang terus menerus. 

Lansia super kognitif umumnya memiliki ciri-ciri berikut:

Kemampuan Kognitif yang Tetap Optimal: 
Mereka tetap memiliki kemampuan kognitif yang baik, seperti kemampuan memori, pemecahan masalah, pemikiran abstrak, dan kemampuan berpikir secara kritis, bahkan pada usia lanjut.

Kemampuan Memori yang Baik:
Kemampuan memori jangka pendek dan jangka panjang tetap relatif baik. Mereka mungkin masih dapat mengingat informasi dengan baik dan menjaga konsentrasi.

Fleksibilitas Kognitif:
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan belajar hal baru tetap tinggi. Ini mencakup kemampuan belajar dari pengalaman baru dan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah.

Aktivitas Kognitif yang Tinggi: 
Mereka cenderung terlibat dalam aktivitas yang menstimulasi otak secara teratur, seperti membaca, menulis, memecahkan teka-teki, atau terlibat dalam aktivitas sosial yang memerlukan interaksi kognitif yang tinggi.

Aktivitas kognitif tinggi memerlukan interaksi kognitif.
(Sumber: foto canva.com)
Kesehatan Mental yang Baik:
Lansia dengan penuaan super kognitif cenderung memiliki kesehatan mental yang baik, termasuk kesehatan emosional yang stabil dan kemampuan untuk mengelola stres dengan baik.

Gaya Hidup Sehat: 
Mereka biasanya menjaga gaya hidup sehat, termasuk pola makan seimbang, olahraga teratur, tidur yang cukup, dan menghindari kebiasaan merokok atau minum alkohol secara berlebihan.

Kesehatan Fisik yang Baik: 
Kesehatan fisik yang baik juga dapat berkontribusi pada lansia super kognitif. Mereka mungkin tetap aktif secara fisik dan menjaga kesehatan jantung serta sistem sirkulasi yang baik.

Ketajaman Mental: 
Kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks dan menangani situasi yang menuntut secara mental tetap tinggi, tanpa menunjukkan penurunan yang signifikan seiring bertambahnya usia.

         Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya lansia super kognitif termasuk kombinasi dari faktor genetik, gaya hidup, faktor lingkungan, dan faktor lainnya. 

Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam terjadinya lansia super kognitif meliputi:

Genetika: 
Faktor genetik dapat memainkan peran penting dalam menentukan kecenderungan seseorang untuk mempertahankan kemampuan kognitif yang tinggi sepanjang rentang usia. Studi-studi genetika telah menunjukkan bahwa beberapa gen tertentu dapat mempengaruhi risiko terhadap penyakit neurodegeneratif dan fungsi kognitif.

Gaya Hidup Sehat: 
Gaya hidup sehat, seperti pola makan seimbang, olahraga teratur, tidur yang cukup, dan menghindari kebiasaan merokok atau minum alkohol secara berlebihan, dapat berkontribusi pada penuaan super kognitif. Aktivitas fisik dan mental yang teratur juga dapat memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan otak.

Aktivitas Kognitif: 
Terlibat dalam aktivitas kognitif yang menantang, seperti membaca, menulis, memecahkan teka-teki, atau terlibat dalam aktivitas sosial yang memerlukan interaksi kognitif yang tinggi, dapat membantu menjaga kesehatan otak dan mencegah penurunan kognitif.

Membaca, menulis, dan memecahkan teka-teki bagian dari aktivitas kognitif.
(Sumber: foto canva.com)
Kesehatan Mental:
Kesehatan mental yang baik, termasuk kesehatan emosional yang stabil dan kemampuan untuk mengelola stres dengan baik, juga dapat berkontribusi pada penuaan super kognitif. Stres kronis dan masalah kesehatan mental seperti depresi dapat memengaruhi fungsi kognitif.

Pendidikan dan Stimulasi Kognitif: 
Tingkat pendidikan yang tinggi dan terus menerus terlibat dalam belajar dan aktivitas kognitif yang menantang dapat membantu menjaga kesehatan otak dan mengurangi risiko penurunan kognitif seiring bertambahnya usia.

Kesehatan Fisik: 
Kesehatan fisik yang baik, termasuk kesehatan jantung dan sistem sirkulasi yang baik, juga dapat memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan otak dan fungsi kognitif.

Faktor Lingkungan: 
Faktor lingkungan, seperti tingkat pendidikan, akses terhadap perawatan kesehatan yang baik, dan lingkungan sosial yang mendukung, juga dapat mempengaruhi penuaan super kognitif. 

Kombinasi dari faktor-faktor ini dapat berinteraksi dan mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengalami lansia super kognitif. Namun demikian, mekanisme yang tepat di balik fenomena ini masih menjadi subjek penelitian yang sedang berlangsung.

       Menjadi lansia yang mengalami penuaan super kognitif melibatkan serangkaian langkah dan kebiasaan sehat yang dapat membantu menjaga kesehatan otak dan fungsi kognitif Anda sepanjang rentang usia. 

Beberapa langkah yang dapat Anda lakukan untuk menjadi lansia super kognitif:

Menerapkan Gaya Hidup Sehat: 
Pola makan seimbang yang kaya akan nutrisi, dengan memperbanyak konsumsi buah, sayuran, biji-bijian, ikan, dan kacang-kacangan, dapat membantu menjaga kesehatan otak. Hindari konsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan gula tambahan. Selain itu, tetaplah terhidrasi dengan cukup air setiap hari.

Olahraga Teratur: 
Melakukan aktivitas fisik secara teratur dapat meningkatkan aliran darah ke otak dan meningkatkan fungsi kognitif. Cobalah untuk melibatkan diri dalam berbagai jenis olahraga, seperti berjalan kaki, bersepeda, berenang, atau yoga, sesuai dengan kemampuan fisik Anda.

Aktivitas Kognitif:
Teruslah menantang otak Anda dengan aktivitas yang menstimulasi kognitif, seperti membaca, menulis, memecahkan teka-teki, belajar hal baru, atau berpartisipasi dalam kursus atau seminar. Terlibat dalam aktivitas yang memerlukan pemikiran kritis dan kreatif juga dapat membantu menjaga kesehatan otak.

Pertahankan Kesehatan Mental:
Penting untuk menjaga kesehatan mental Anda dengan mengelola stres, berlatih teknik relaksasi, menjaga hubungan sosial yang positif, dan mencari bantuan jika Anda mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan.

Tidur yang Cukup:
Pastikan Anda mendapatkan tidur yang cukup setiap malam, karena tidur yang baik sangat penting untuk kesehatan otak dan fungsi kognitif yang optimal.

Hindari Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol Berlebihan: 
Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak kesehatan otak dan meningkatkan risiko penurunan kognitif. Hindari atau kurangi konsumsi kedua zat tersebut.

Tetap Terlibat dalam Kegiatan Sosial: 
Berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan menjaga hubungan yang baik dengan teman, keluarga, dan komunitas dapat membantu menjaga kesehatan otak dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.

Kontrol Faktor Risiko Kesehatan Lainnya: 
Jaga tekanan darah, kadar gula darah, dan kadar kolesterol dalam kisaran yang sehat. Pengendalian faktor-faktor risiko kesehatan lainnya, seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas, juga dapat membantu menjaga kesehatan otak.

Terus Belajar dan Menantang Diri Sendiri: 
Tetaplah terbuka untuk belajar hal baru dan menantang diri Anda sendiri secara teratur. Ini dapat membantu menjaga otak Anda aktif dan adaptif sepanjang hidup Anda.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini dalam gaya hidup Anda sehari-hari, peluang Anda untuk  meningkatkan penuaan super kognitif dan menjaga kesehatan otak Anda sepanjang rentang usia.

        Orang yang disebut lansia super kognitif adalah mereka yang pada usia lanjut tetap mempertahankan kemampuan kognitif yang optimal, bahkan melebihi perkiraan usia normal. Mereka mungkin tidak mengalami penurunan kognitif yang signifikan yang sering terjadi pada orang-orang seusia mereka.

Lansia super kognitif meskipun usia lanjut tetap mempertahankan kognisinya.
(Sumber: foto canva.co )

       Kriteria untuk mengidentifikasi seseorang sebagai individu lansia super kognitif biasanya melibatkan tes kognitif dan evaluasi oleh profesional kesehatan. Namun demikian, tidak ada definisi yang jelas dan seragam tentang siapa saja yang dapat disebut sebagai lansia super kognitif, dan hal ini masih menjadi subjek penelitian yang sedang berkembang dalam ilmu kesehatan dan neurosains.

Secara umum, orang yang memenuhi ciri-ciri berikut mungkin dianggap sebagai individu lansia super kognitif:

  • Mempertahankan kemampuan kognitif yang tinggi pada usia lanjut, seperti memori yang baik, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan berpikir abstrak.
  • Aktif secara fisik dan mental, terlibat dalam aktivitas yang menantang secara kognitif, seperti membaca, menulis, atau memecahkan teka-teki.
  • Memiliki gaya hidup sehat, termasuk pola makan seimbang, olahraga teratur, dan tidur yang cukup.
  • Menjaga kesehatan mental yang baik dan mengelola stres dengan efektif.
  • Memiliki hubungan sosial yang positif dan terlibat dalam kegiatan sosial yang memelihara kesehatan otak.
  • Mengendalikan faktor risiko kesehatan lainnya, seperti tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, atau diabetes.
  • Tetap terbuka untuk pembelajaran dan pertumbuhan pribadi, serta menantang diri sendiri secara teratur.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa penilaian  lansia super kognitif dapat bervariasi tergantung pada kriteria yang digunakan oleh para peneliti dan profesional kesehatan.




Sumber:

https://www.nia.nih.gov/news/cognitive-super-agers-defy-typical-age-related-decline-brainpower 

https://cheba.unsw.edu.au/news/super-ageing-defining-exceptional-cognitive-ability-late-life 

https://www.nytimes.com/2021/06/21/well/mind/aging-memory-centenarians.html

https://www.nm.org/healthbeat/healthy-tips/4-habits-super-agers

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30793954/

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/23279095.2019.1570928

https://www.cnn.com/2022/11/26/health/superager-secrets-good-memory-wellness/index.html

Lebih dari 20 Penyakit Mental Turunan pada Lansia

         Dalam konteks medis dan kesehatan mental, istilah "gila" tidak digunakan secara tepat atau resmi untuk menggambarkan kondisi kesehatan mental. Sebaliknya, istilah-istilah yang lebih tepat digunakan seperti "gangguan mental", "gangguan jiwa", atau nama spesifik gangguan mental tertentu seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar.

Gangguan mental yang diturunkan dari orang tua atau kerabat, istilah yang lebih tepat dan tidak stigmatik adalah "gangguan mental turunan" atau "gangguan mental yang memiliki faktor risiko genetik". Ini merujuk pada situasi di mana seseorang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental tertentu karena faktor genetik yang mereka warisi dari orang tua atau kerabat mereka yang menderita gangguan mental serupa.

Beberapa gangguan mental diturunkan dari orang tua.
(Sumber: foto forum 0909)

Penyakit gangguan mental turunan pada lansia merujuk pada gangguan mental yang memiliki faktor genetik atau turunan dari orang tua atau leluhur dan muncul pada usia lanjut. Ini berarti bahwa individu tersebut memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental tertentu karena faktor genetik yang diwarisi dari keluarga mereka. 

Tanda-tanda gangguan mental turunan dari orang tua pada lansia bisa bervariasi tergantung pada jenis gangguan mental yang terlibat. 

Beberapa ciri umum yang mungkin muncul:

Riwayat Keluarga: 
Lansia dengan riwayat keluarga yang memiliki gangguan mental tertentu, seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental serupa.

Perubahan Perilaku:
Perubahan perilaku yang signifikan dan tidak biasa dapat menjadi tanda gangguan mental. Ini bisa termasuk isolasi sosial, kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, atau perubahan drastis dalam kebiasaan sehari-hari.

Ketakutan atau Kecemasan yang Berlebihan: 
Lansia yang menderita gangguan mental turunan mungkin memiliki ketakutan atau kecemasan yang tidak masuk akal atau berlebihan terhadap hal-hal tertentu.

Gangguan Mood: 
Perubahan mood yang tiba-tiba dan ekstrem, seperti periode depresi yang dalam atau periode mania yang berlebihan, dapat menjadi tanda gangguan mental.

Gangguan Pikiran atau Persepsi: 
Lansia dengan gangguan mental turunan mungkin mengalami gangguan pikiran atau persepsi, seperti halusinasi atau paranoid.

Gangguan Kognitif:
Gangguan kognitif, seperti kesulitan dalam pemikiran, ingatan, atau penilaian, juga bisa menjadi tanda gangguan mental pada lansia.

Gangguan kognitif berupa kesulitan dalam penilaian.
(Sumber: foto canva.com)
Gangguan Pola Tidur atau Makan:
Perubahan dalam pola tidur atau makan yang signifikan dan berkelanjutan juga dapat mengindikasikan masalah kesehatan mental.

Gangguan Fisik yang Tak Terdiagnosis: 
Kadang-kadang, gangguan mental dapat menyebabkan gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis lainnya.

Rasa Putus Asa atau Tidak Berdaya:
Lansia yang mengalami gangguan mental mungkin merasa putus asa, tidak berdaya, atau kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati.

Meskipun  tidak semua ciri-ciri ini muncul pada setiap individu, dan diagnosis akurat memerlukan evaluasi oleh profesional kesehatan mental. 

Beberapa gangguan mental yang dapat diturunkan dari orang tua:

Demensia, termasuk Alzheimer:
Gangguan neurodegeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif, termasuk memori, pemikiran, dan perilaku, yang umumnya terjadi pada usia lanjut.

Skizofrenia: 
Gangguan mental serius yang mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku, dengan gejala seperti halusinasi, delusi, dan gangguan pemikiran.

Gangguan bipolar: 
Gangguan suasana hati yang ditandai dengan perubahan drastis antara episode mania yang tinggi energi dan episode depresi yang sedih.

Gangguan depresi mayor: 
Gangguan suasana hati yang menyebabkan perasaan sedih yang berkepanjangan, kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas, serta gejala fisik dan mental lainnya.

Gangguan kecemasan generalisata:
Kecemasan kronis yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap situasi tertentu, dengan gejala seperti kegelisahan yang persisten, ketegangan otot, dan kesulitan berkonsentrasi.

Gangguan kecemasan kronis pada lansia.
(Sumber: foto canva.com)
Gangguan obsesif-kompulsif: 
Gangguan yang ditandai oleh pemikiran obsesif yang tidak diinginkan dan kuat serta perilaku kompulsif yang dilakukan sebagai respons terhadap obsesi tersebut.

Gangguan bipolar tipe II: 
Versi lebih ringan dari gangguan bipolar, ditandai dengan episode depresi mayor yang sering terjadi diselingi dengan episode hipomania.

Gangguan kepribadian antisosial:
Gangguan yang ditandai oleh pola perilaku yang menunjukkan kurangnya penyesalan atau belas kasihan terhadap orang lain, serta ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.

Gangguan kepribadian borderline:
Gangguan kepribadian yang ditandai oleh ketidakstabilan emosi, perilaku impulsif, hubungan interpersonal yang tidak stabil, dan citra diri yang buruk.

Gangguan kepribadian narsistik:
Gangguan kepribadian yang ditandai oleh kebutuhan akan pujian, rasa superioritas yang berlebihan, dan kurangnya empati terhadap orang lain.

Gangguan bipolar tipe I: 
Versi yang lebih parah dari gangguan bipolar, dengan episode mania yang lebih ekstrem dan seringkali memerlukan perawatan medis darurat.

Gangguan bipolar campuran:
Gangguan bipolar dengan gejala mania dan depresi yang terjadi bersamaan atau dalam waktu singkat.

Gangguan kepribadian paranoid:
Gangguan kepribadian yang ditandai oleh kecurigaan yang mendalam dan merasa bahwa orang lain memiliki motif jahat terhadap mereka.

Paranoid gangguan kepribadian yang ditandai dengan kecurigaan.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan kecemasan sosial: 
Kecemasan yang berlebihan terhadap situasi sosial atau kinerja di depan orang lain, dengan ketakutan akan penghakiman negatif.

Gangguan stres pascatrauma:
Gangguan mental yang muncul setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis, dengan gejala seperti mimpi buruk, kecemasan, dan peningkatan reaktivitas emosional.

Gangguan makan seperti bulimia nervosa: 
Gangguan makan yang ditandai oleh pola makan impulsif yang disertai dengan periode makan berlebihan yang diikuti oleh perilaku kompensasi seperti muntah atau puasa.

Gangguan makan seperti anoreksia nervosa:
Gangguan makan yang ditandai oleh ketakutan akan berat badan dan citra tubuh yang tidak realistis, yang mengarah pada penolakan untuk menjaga berat badan yang sehat.

Gangguan kecemasan fobik: 
Kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali terhadap objek atau situasi tertentu, seperti ketinggian atau hewan.

Gangguan kecemasan terpisah: 
Kecemasan terhadap perpisahan dari figur pengasuh atau orang yang dekat, sering terjadi pada anak-anak atau remaja.

Gangguan kecemasan agorafobia: Kecemasan terhadap situasi atau tempat di mana mungkin sulit untuk melarikan diri atau mendapatkan bantuan jika terjadi serangan panik.

Gangguan makan lainnya: 
Gangguan makan yang tidak termasuk dalam kategori anoreksia nervosa atau bulimia nervosa, seperti binge eating disorder.

Gangguan somatoform:
Gangguan yang ditandai oleh gejala fisik yang nyata tetapi tidak dapat dijelaskan secara medis atau tidak memiliki penyebab fisik yang jelas.

Gangguan hiperaktivitas dengan defisit perhatian:
Gangguan neurobiologis yang ditandai oleh pola perilaku hiperaktif, impulsif, dan kurangnya perhatian.

Gangguan bipolar campuran dengan ketergantungan alkohol:
Gangguan bipolar dengan gejala campuran yang seringkali disertai dengan kecanduan alkohol.

Gangguan somatisasi:
Gangguan di mana seseorang mengalami gejala fisik yang berulang dan kronis, tetapi tidak memiliki penyebab medis yang jelas.

Gangguan bipolar campuran dengan ketergantungan obat: 
Gangguan bipolar dengan gejala campuran yang seringkali disertai dengan kecanduan obat.

Gangguan bipolar tipe I dengan onset psikotik:
Gangguan bipolar tipe I dengan episode mania yang parah dan disertai dengan gejala psikotik seperti halusinasi atau delusi.

Gangguan mood campuran:
Gangguan mood yang ditandai oleh gejala mania dan depresi yang terjadi bersamaan atau bergantian dengan cepat.

Gangguan mood ditandai dengan mania dan depresi.
(Sumber: foto canva.com)

Gangguan depresi utama dengan onset psikotik:
Gangguan depresi mayor dengan gejala psikotik seperti halusinasi atau delusi.

Gangguan bipolar campuran dengan onset psikotik:
Gangguan bipolar campuran dengan episode mania dan depresi yang disertai dengan gejala psikotik.

       Faktor gangguan mental yang diturunkan dari orang tua dapat melibatkan berbagai komponen, termasuk genetik, lingkungan, dan interaksi antara keduanya. 

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi kemungkinan gangguan mental turun-temurun dari orang tua:

Faktor Genetik:
Genetika memainkan peran penting dalam rentang gangguan mental, dan studi menunjukkan bahwa seseorang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental jika ada riwayat keluarga yang kuat. Namun, genetika tidaklah satu-satunya faktor yang berperan.

Pengaruh Lingkungan dalam Keluarga:
Lingkungan di mana anak dibesarkan, termasuk dinamika keluarga, tingkat stres, dan tingkat dukungan sosial, juga dapat mempengaruhi perkembangan gangguan mental. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, konflik keluarga yang persisten, atau kurangnya dukungan emosional dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada anak-anak.

Model Perilaku: 
Anak-anak dapat meniru atau menyesuaikan perilaku orang tua mereka, termasuk pola pikir dan cara mereka menangani stres. Jika orang tua memiliki pola pikir atau respons yang tidak sehat terhadap situasi tertentu, ini dapat memengaruhi bagaimana anak-anak mereka mengatasi stres dan masalah emosional.

Paparan Lingkungan yang Berbahaya: 
Paparan anak-anak terhadap lingkungan yang berbahaya, seperti kekerasan, penyalahgunaan zat, atau pengabaian, yang mungkin ada dalam lingkungan keluarga, dapat berkontribusi pada risiko gangguan mental.

Faktor Biologis:
Selain faktor genetik, ada faktor biologis lain yang mungkin berperan, seperti perubahan neurobiologis yang disebabkan oleh stres kronis atau pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak.

Interaksi Genetik dan Lingkungan:
Penting untuk diingat bahwa interaksi antara faktor genetik dan lingkungan juga berperan dalam perkembangan gangguan mental. Misalnya, seseorang dengan kerentanan genetik terhadap depresi mungkin memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi jika mereka juga mengalami stres kronis dalam lingkungan keluarga.

Setiap individu memiliki risiko unik terhadap gangguan mental, dan faktor-faktor ini dapat berinteraksi secara kompleks dalam menentukan apakah seseorang akan mengalami gangguan mental tertentu.

       Mencegah gangguan mental turunan pada lansia melibatkan serangkaian langkah dan praktik yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan mental dan kesejahteraan. Meskipun tidak selalu mungkin untuk sepenuhnya mencegah gangguan mental, terutama jika ada faktor genetik yang terlibat.

Beberapa langkah berikut dapat membantu mengurangi risiko atau mengelola gejalanya:

Pola Hidup Sehat: Mengadopsi pola hidup sehat, termasuk diet seimbang, berolahraga secara teratur, cukup tidur, dan menghindari konsumsi alkohol berlebihan serta merokok, dapat mendukung kesehatan mental.

Manajemen Stres: Belajar teknik manajemen stres seperti meditasi, yoga, atau relaksasi dapat membantu mengurangi tingkat stres, yang dapat memengaruhi kesehatan mental.

Jaga Koneksi Sosial: Menjaga hubungan yang sehat dan aktif dengan keluarga, teman, dan komunitas dapat memberikan dukungan sosial yang penting untuk kesehatan mental.

Hindari Isolasi: Mencegah isolasi sosial dengan tetap terlibat dalam aktivitas sosial dan komunitas dapat membantu mengurangi risiko gangguan mental.

Tetap Aktif Secara Kognitif: Melakukan latihan otak seperti teka-teki, membaca, belajar hal baru, atau terlibat dalam kegiatan yang menantang secara kognitif dapat membantu menjaga kesehatan mental.

Konseling atau Terapi: Menerima konseling atau terapi psikologis secara teratur, terutama jika ada riwayat keluarga dengan gangguan mental, dapat membantu dalam pengelolaan stres dan emosi yang mungkin berkaitan dengan faktor genetik.

Pantau Kesehatan Fisik: Penting untuk menjaga kesehatan fisik secara menyeluruh dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur dan mengobati kondisi medis yang mungkin berkontribusi pada gangguan mental.

Edukasi Keluarga: Meningkatkan pemahaman tentang gangguan mental dalam keluarga dan mempromosikan dukungan dan pemahaman yang positif dapat membantu dalam pengelolaan gejala.

Perhatian pada Tanda-tanda Awal: Penting untuk mengenali tanda-tanda dan gejala gangguan mental pada tahap awal dan mencari bantuan profesional jika diperlukan.

Dukungan Medis dan Terapi: Menerima pengobatan yang sesuai, baik itu melalui terapi psikologis, obat-obatan, atau kombinasi keduanya, dapat membantu mengelola gejala dan mencegah kekambuhan.

Memiliki pemahaman yang baik tentang risiko dan langkah-langkah pencegahan gangguan mental turunan pada lansia dapat membantu individu dan keluarga mengambil tindakan proaktif untuk menjaga kesehatan mental yang optimal.


Sumber: